Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Sesungguhnya Aku berniat kerana Allah:
Daku Niatkan Tasbih anggota tubuhku buat Allah.
Ku serahkan seluruh kehidupanku kebergantungan sepenuhnya kepada Mu Ya Allah..
Hatiku berdetik disetiap saat menyebut Subhanallah سبحان الله
Denyutan Nadiku dengan Alhamdulillah الحمد لله
Degupan Jantongku bertasbih LA ILAHA ILLALLAH لا إله إلا الله
Hembusan Nafasku berzikir Allāhu akbar الله أكبر
الحمد لله syukur kepada الله
KAMIS, 01 JANUARI 2015
MENGENAL DUNIA JIN DARI QUR'AN DAN HADIS
MENGENAL LEBIH DALAM TENTANG JIN
MENURUT AL-QURAN DAN SUNNAH
Manusia dari dulu hingga kini masih penasaran dengan identitas jin, dan ingin tahu siapa sih mahluk yang sering menggoda hati dan mencelakakan manusia itu? Sesuai dengan namanya, jin adalah suatu makhluk yang masih samar bagi manusia. Istilah jin (mestinya dengan dobel ‘n’) berasal dari kata janna – yajunnu – jannan ,artinya, menutupi,menyembunyikan, menjadi gelap, merahasiakan atau melindungi.
Akar kata janana kemudian menjadi janin, berarti “anak yang masih dalam kandungan”. Seorang yang gila atau tertutup akalnya dinamakan majnuun. Begitu juga istilah jannaat bentuk jamak dari jannat, berarti “kebun” dalam arti “kebun tanaman yang dipenuhi oleh tumbuh-tumbuhan sehingga menutup pandangan manusia dari luar”, bisa juga dinamakan jannah, “surga” karena hakekatnya tertutup oleh pengetahuan manusia, atau paling tidak karena di sana “terdapat hal-hal yang tidak pernah terlihat oleh mata, terdengar oleh telinga, serta terjangkau oleh pikiran”.
Jadi jin itu masih menjadi rahasia bagi manusia karena kita tidak dapat melihat jin dalam bentuknya aslinya sebagaimana firman Allah:
“Sesungguhnya ia (jin) dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka.” [Al-A’raf (7): 27].
Kalau keberadaannya saja begitu samar, bagaimana kita tahu biografi jin ? Tidak terlalu sulit, sebab kita cukup mencari informasi trntang jin dari al-Quran dan hadis hadis Nabi saw yang telah banyak menyebutkan biografi jin
DEFINISI JIN
Setelah kita mengetahui asal kata jin, maka pikiran kita sudah mulai bekerja dengan baik menuju kepada obyek yang kita amati. Karena itulah, ada beberapa ulama yang mendefinisikan apa hakekat jin itu. Menurut Dr Umar Sulaiman Al-Asqar, jin adalah makhluk halus yang diciptakan oleh Allah. Ia memiliki potensi dan keajaiban yang tidak dipunyai oleh makhluk lain. Ia bisa bergerak cepat, berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya yang jauh dalam sekejap. Ia dapat membawa manusia terbang di udara, menyusup ke dalam tubuh manusia,, binatang, pohon-pohon dan lainnya.
JIN MAMPU BERGERAK CEPAT
Apa dasarnya? Yaitu firman Allah: “Ifrit dari golongan jin berkata (kepada Sulaiman): “Saya akan datang kepadamu dengan membawa singgasana itu (singgasana Ratu Yaman) kepadamu sebelum kamu berdiri dari tempat dudukmu. Sesugguhnya aku benar-benar kuat membawanya dan dapat dipercaya.” Seorang jin yang mempunyai ilmu dari Al-Kitab berkata: “Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip.” Maka tatkala Sulaiman melihat singgasana itu terlihat di hadapannya, ia pun berkata: “Ini adalah dari karunia Tuhan-ku ….. [An-Naml (27): 39-40].
Begitu juga dengan keterangan Rasulullah saw: “Sesungguhnya setan (jin kafir) berjalan cepat dari anak Adam di tempat mengalirnya darah …. “ (HR Bukhari-Muslim). Begitu perkasanya jin? Tidak juga. Jin tidak mengetahui hal yang gaib, sebagaimana manusia, jin tidak akan mengetahui apakah hari akan hujan atau tidak, nasib manusia esok hari seperti rezeki, jodoh, dan lainnya; jenis kelamin janin, hari kiamat, serta saat kematian.
JIN TIDAK MENGETAHUI HAL YANG GHAIB
“Maka tatkala Kami telah memutuskan kematian Sulaiman, tidak ada yang menunjukkan kepada mereka tentang kematiannya itu kecuali rayap yang memakan tongkatnya. Maka tatkala ia telah tersungkur, barulah jin itu tahu bahwa kalau sekiranya mereka mengetahui yang gaib, tentulah mereka tidak tetap dalam siksa yang menghinakan.” [Saba’ (34): 14].
SENJATA JIN
Lalu dengan cara apa jin kafir bisa mencelakakan manusia? Dengan cara menghasut lewat bisikan di dalam hati manusia. “Katakanlah: “Aku berlindung kepada Tuhan (yang memelihara dan menguasai) manusia. Raja Manusia. Sembahan manusia. Dari kejahatan (bisikan) setan yang biasa bersembunyi, dari kejahatan (bisikan) ke dalam hati manusia, dari (golongan ) jin dan manusia.” (An-Naas (114):1-6]
JIN dan SETAN
Mengapa jin sering juga disebut setan? Dua istilah ini bisa ditelusuri dari kisah penciptaan Adam, ketika itu, malaikat dan iblis diminta sujud (menghormat) kepada Adam sebagai mahluk yang lebih berilmu dari pada mereka berdua. Malaikat tunduk kepada perintah Allahuntuk sujud kepada Adam sedang iblis menolak perintah Allah dengan alasan:
“Saya (iblis) lebih baik daripadanya (Adam): Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah.” (Al-A’raf (7): 12]. Karena kafir kepada Allah itulah, iblis diusir dari surga. Ketika iblis menggoda Adam dan Hawa untuk mau memakan buah larangan itu, Al-Qur’an menyebut iblis dengan istilah setan: “Lalu keduanya digelincirkan oleh setan dari surga itu dan dikeluarkan dari keadaan semula dan Kami berfirman: “Turunlah kamu! Sebagian kamu menjadi musuh bagi yang lain, dan bagi kamu ada tempat kediaman di bumi, dan kesenangan hidup sampai waktu yang ditentukan.” [Al-Baqarah (2): 36].
IBLIS:
Iblis adalah bentuk kata benda bahasa Arab diambil dari kata “ilbalasa” yang berarti “orang yang tidak punya kebaikan”; dan “ublisa” berarti “putus asa dan bingung”. Iblis adalah salah satu jin yang waktu itu sudah ada bersama malaikat. Golongan jin lainnya, misalnya ifrit. Ada kemungkinan, iblis adalah salah satu pemimpin terbesar bangsa jin, karena itu mewakili “Perhelatan” yang diadakan Allah, bersama malaikat dan Adam.
Merujuk kepada surat Al-Baqarah (2): 36 dan An-Naas (114): 6, maka mereka yang disebut setan bisa berasal dari golongan jin dan dari golongan manusia. Jadi setan adalah jin kafir dan manusia kafir. Namun memang Al-Qur’an lebih sering menyebut setan ini dalam arti jin kafir. Sedang setan manusia juga disebut thagut (orang yang kelewat batas), sebab dia adalahkawan-kawan setan (jin kafir).
Dari sini dapat diketahui bahwa induk segala makhluk halus yang mengganggu manusia, entah itu bernama setan (satan), hantu (ghost), dan kuntilanak (sundel bolong) Atau sebagai digolongkan orang Jawa, yaitu memedi (hantu yang menakut-nakuti), lelembut (mahluk halus), tuyul (hantu bocah), dedemit atau demit (hantu penghuni suatu tempat), dandanyang (roh pelindung). Semua adalah jin kafir! Mereka menjadi pengikut iblis dan ifrit.
Merujuk kepada surat Al-Baqarah (2): 36 dan An-Naas (114): 6, maka mereka yang disebut setan bisa berasal dari golongan jin dan dari golongan manusia. Jadi setan adalah jin kafir dan manusia kafir. Namun memang Al-Qur’an lebih sering menyebut setan ini dalam arti jin kafir. Sedang setan manusia juga disebut thagut (orang yang kelewat batas), sebab dia adalahkawan-kawan setan (jin kafir).
Dari sini dapat diketahui bahwa induk segala makhluk halus yang mengganggu manusia, entah itu bernama setan (satan), hantu (ghost), dan kuntilanak (sundel bolong) Atau sebagai digolongkan orang Jawa, yaitu memedi (hantu yang menakut-nakuti), lelembut (mahluk halus), tuyul (hantu bocah), dedemit atau demit (hantu penghuni suatu tempat), dandanyang (roh pelindung). Semua adalah jin kafir! Mereka menjadi pengikut iblis dan ifrit.
PENCIPTAAN JIN
Jin diciptakan dari api dalam Al-Qur’an disebutkan: “Dan, Kami telah menciptakan jin sebelum (Adam) dari api yang sangat panas.” [Al-Hijr (15):27]. “Dan, Dia telah telah menciptakan jin dari nyala api. “ [Ar-Rahman (55): 27].
Sedang di dalam hadits shahih disebutkan, dari A’isyah dari Nabi saw. Beliau bersabda:
“Malaikat telah diciptakan dari cahaya. Jin telah diciptakan dari api. Dan Adam telah diciptakan dari apa yang disifatkan pada kalian.” (HR Muslim).
“Malaikat telah diciptakan dari cahaya. Jin telah diciptakan dari api. Dan Adam telah diciptakan dari apa yang disifatkan pada kalian.” (HR Muslim).
Karena perbedaan asal penciptaan inilah, iblis melakukan kias diskrIminasi bahwa dia yang berasal dari api mengaku lebih baik dibanding dengan Adam yang berasal dari “tanah liat kering (berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk”. Karena itulah, dalam kazanah hukum Islam ada ulama yang menolak kias, karena kias berasal dari iblis.
Sebetulnya kias (qiyas) yang dipergunakan iblis adalah kias diskreminasi, bukan kias dalam makna analogi (persamaannya). Iblis menggunakan variabel diskret ini didasarkan kepada rasa enggan, sombong, dan tinggi hati. Oleh sebab itu, Allah mengutuk iblis karena telah berbuat kafir kepada-Nya. Sebagaimana penciptaan manusia, jin yang berasal dari api tidak kemudian menjadi mahluk api, maksudnya, tidak seluruhnya dalam bentuk api menyala. Begitu juga manusia diciptakan dari tanah, tetapi secara fisik tidak dalam bentuk tanah, melainkan dalam bentuk daging, darah dan tulang-tulang. Hal ini untuk menjawab alasan orang yang culas, bahwa meski jin kafir nanti dimasukkan ke dalam api neraka, tetapi hukuman itu tidak akan membuat mereka sakit, sebab keduanya diciptakan dari bahan yang sama, yaitu api. Keterangan ini jelas batil, sebagaimana manusia yang diciptakan dari tanah, kalau tubuh manusia ini terkena lemparan bongkahan tanah maka akan sakit juga, meski keduanya berasal dari bahan yang sama.
Perbedaan lainnya adalah jin diciptakan lebih dulu dari manusia. Lalu lebih dulu mana jin dengan malaikat? Ada tiga kemungkinan, karena tidak ada keterangan yang shahih, yaitu malaikat lebih dulu dari jin, malaikat dan jin diciptakan bersamaan, terakhir jin lebih dahulu diciptakan dari malaikat. Jadi hak Allah untuk untuk menciptakan mereka lebih dahulu atau lebih akhir.
Hanya, sebagai manusia yang memiliki alat yang disebut akal, maka kita lebih cenderung berpendapat – bisa benar dan bisa salah - bahwa malaikat lebih dulu diciptakan dari jin. Alasannya, malaikat diciptakan Allah untuk mengabdi dan sekaligus menjadi pembantu Allah, sedang jin hanya diciptakan untuk beribadah kepada-Nya. Karena dengan dua tugas utama itulah malaikat lebih dahulu diciptakan dari jin.
TUGAS JIN
TUGAS JIN
Allah menciptakan mahluk ada tujuannya. Begitu juga dengan penciptaan jin. “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” [Adz-Dzariyat (51): 56].
Jadi pada awal mulanya jin itu adalah mahluk yang taat beribadah kepada Allah. Contohnya iblis adalah jenis mahluk yang sangat meyakini ketauhidan Allah. Mengapa kemudian mereka kafir kepada Allah?
Ini tidak lepas dari penciptaan Adam sebagai manusia pertama. Ketika Adam diciptakan dan diajarkan nama-nama benda, maka dia lebih unggul dari malaikat dan iblis. Allah menyuruh kedunya sujud tanda hormat kepada Adam, malaikat tunduk, tetapi iblis menolak, karena itulah dia kafir kepada Allah. Iblis yang kafir kemudian mendapat sebutan setan. Sejak kejadian itu, mulai terpecah-belahlah golongan jin menjadi dua. Yang pertama golongan jin kafir juga disebut setan, kedua jin yang tetap tunduk kepada Allah, sebut saja jin Muslim. Jin kafir menggoda dan mencelakakan manusia hingga akhir dunia, sementara jin Muslim tetap kepada fitrahnya beribadah kepad Allah. Dalam Al-Qur’an disebutkan: “ Dan sesungguhnya di antara kami ada orang-orang yang saleh dan di antara kami ada (pula) yang tidak demikian halnya. Adalah kami menempuh jalan yang berbeda-beda.” [Al-Jin (72):11].
Jadi pada awal mulanya jin itu adalah mahluk yang taat beribadah kepada Allah. Contohnya iblis adalah jenis mahluk yang sangat meyakini ketauhidan Allah. Mengapa kemudian mereka kafir kepada Allah?
Ini tidak lepas dari penciptaan Adam sebagai manusia pertama. Ketika Adam diciptakan dan diajarkan nama-nama benda, maka dia lebih unggul dari malaikat dan iblis. Allah menyuruh kedunya sujud tanda hormat kepada Adam, malaikat tunduk, tetapi iblis menolak, karena itulah dia kafir kepada Allah. Iblis yang kafir kemudian mendapat sebutan setan. Sejak kejadian itu, mulai terpecah-belahlah golongan jin menjadi dua. Yang pertama golongan jin kafir juga disebut setan, kedua jin yang tetap tunduk kepada Allah, sebut saja jin Muslim. Jin kafir menggoda dan mencelakakan manusia hingga akhir dunia, sementara jin Muslim tetap kepada fitrahnya beribadah kepad Allah. Dalam Al-Qur’an disebutkan: “ Dan sesungguhnya di antara kami ada orang-orang yang saleh dan di antara kami ada (pula) yang tidak demikian halnya. Adalah kami menempuh jalan yang berbeda-beda.” [Al-Jin (72):11].
“Dan sesungguhnya di antara kami ada orang-orang yang taat dan ada (pula) (orang-orang) yang menyimpang dari kebenaran. Barangsiapa yang taat, maka mereka itu benar-benar telah memilih jalan yang lurus. Adapun orang-orang yang menyimpang dari kebenaran, maka mreka menjadi kayu api bagi neraka Jahanam.” [Al-Jin (72): 14-15].
Jin terus menggoda anak cucu Adam di dunia, hingga saat munculnya Nabi Sulaiman yang diberikan kemampuan Allah untuk bisa menundukkan bangsa jin. Jin dan setan itu diperbudak oleh Nabi Sulaiman untuk membangun gedung yang tinggi, patung-patung, piring-piring yang besar seperti kolam, dan periuk yang tetap berada di atas tungku. Kemampuan Nabi Sulaiman menundukkan jin ini karena doanya terkabul. “Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak dimiliki oleh seorangpun jua sesudahku.” [Shad (38): 35].
Doa inilah yang mencegah Nabi Muhammad saw untuk mengikat seorang jin atau iblis yang telah mengganggu salatnya. “Demi Allah, kalau tidak karena doa saudara kita Sulaiman, niscaya dia akan diikat sehingga bisa dipermainkan oleh anak-anak penduduk Madinah.” (HR Muslim).
Dari hadis ini dapat diambil kesimpulan bahwa tidak ada seorangpun yang dapat menundukkan jin, sebab kemampuan untuk menundukkan jin hanya bisa dimiliki Nabi Sulaiman dan para nabi yang telah mendapatkannya dari Allah, sehingga Nabi Muhammad saw sendiri mengurungkan niatnya – meski memiliki kemampuan untuk itu.
HUKUM MEMINTA BANTUAN JIN
Bagaimana kalau jin itu sendiri yang suka rela membantu manusia? Rasulullah sebagai manusia yang agung, yang dulu banyak mendapatkan kesulitan, tidak pernah mendapatkan tawaran bantuan dari jin (Muslim). Begitu juga tidak ada cerita para sahabat bekerja sama dengan jin. Yang ada justru cerita tentang para jin yang menggoda para sahabat, seperti kasusAbu Hurairah yang didatangi jin kafir yang menyamar sebagai peminta-minta. Tiga hari berturut-turut jin itu meminta sesuatu dari baitul maal, ketika dilaporkan kepada Nabi, maka diberitahu bahwa itu adalah setan yang menyamar, maka ditangkapnya. Setan itu minta dilepaskan dengan imbalan mengajarkan kepada Abu Hurairah supaya tidak tergoda setan, yaitu dengan membaca ayat Kursi.
Kebanyakan kerjasama dengan bantuan jin kafir itu justru menimbulkan malapetaka, sebagaiman disitir Al-Qur’an:
“Dan sesungguhnya ada beberapa orang di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa orang di antara jin, maka jin-jin itu menambah dosa dan kesalahan bagi mereka.” (Al-Jin (72): 6].
Sebelum Nabi saw diangkat menjadi rasul, setan selalu mengintip pembicaraan di langit ke tujuh. Setelah itu, informasi yang tidak lengkap itu ditambah-tambahi dengan dusta dan disebarkan kepada para dukun pengikut setan untuk meramal atau untuk kepentingan hawa nafsunya sendiri. Itulah sebabnya, manusia bertambah dosa dan kesalahannya karena mereka meminta bantuan para setan itu. Setelah Nabi saw diangkat jadi rasul, Allah menembak para setan itu dengan meteor, sehingga tertutup pintu langit bagi mereka.
“Dan sesungguhnya ada beberapa orang di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa orang di antara jin, maka jin-jin itu menambah dosa dan kesalahan bagi mereka.” (Al-Jin (72): 6].
Sebelum Nabi saw diangkat menjadi rasul, setan selalu mengintip pembicaraan di langit ke tujuh. Setelah itu, informasi yang tidak lengkap itu ditambah-tambahi dengan dusta dan disebarkan kepada para dukun pengikut setan untuk meramal atau untuk kepentingan hawa nafsunya sendiri. Itulah sebabnya, manusia bertambah dosa dan kesalahannya karena mereka meminta bantuan para setan itu. Setelah Nabi saw diangkat jadi rasul, Allah menembak para setan itu dengan meteor, sehingga tertutup pintu langit bagi mereka.
CARA JIN BERIBADAH
Kembali pada pokok persoalan, bagaimana cara jin itu beribadah kepada Allah? Golongan jin beribadah menurut syariat pada masa Nabi berada. Untuk sekarang para jin beribadah mengikuti cara Nabi Muhammad saw: “Katakanlah (hai Muhammad): “Telah diwahyukan kepadaku bahwasanya sekumpulan jin telah mendengarkan (Al-Qur’an) lalu mereka berkata: “Sesungguhnya kami telah mendengarkan Al-Qur’an yang menakjubkan (yang) memberi petunjuk kepada jalan yang benar, lalu kami beriman kepadanya. Dan kami sekali-kali tidak akan mempersekutukan seorangpun dengan Tuhan kami, dan bahwasanya Maha Tinggi kebersaran Tuhan kami, Dia tidak beristri dan tidak (pula) beranak.” [Al-Jin (72): 1-3].
JIN BERANAK PINAK
Seperti manusia, apakah jin juga berketurunan? Sebagian besar ulama berpendapat bahwa jin juga berketurunan seperti manusia. Alasannya: “Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: “Sujudlah kamu kepada Adam”, maka sujudlah mereka kecuali iblis. Dia adalah dari golongan jin, maka ia mendurhakai perintah Tuhannya. Patutkah kamu mengambil dia dan turunan-turunannya (dzurriyyatahu) sebagai pemimpin selain daripada-Ku, sedang mereka adalah musuhmu? Amat buruklah iblis itu sebagai pengganti (Allah) bagi orang-orang yang zalim. [Al-Kahfi (18): 50].
Berarti jin itu berketurunan. Dalam logika kita, jin itu melakukan perkawinan dan beranak-pinak seperti manusia. Cuma dalam hal ini kita tidak tahu bagaimana hakekat reproduksi mereka. “Mereka (para bidadari) belum disentuh oleh manusia sebelum mereka (penghuni surga) dan tidak pula oleh jin. [Ar-Rahman (55): 56].
JIN MASUK SURGA DN NERAKA
Di sini diketahui bahwa jin Muslim akan masuk surga, dan mereka juga akan melakukan hubungan suam-istri dengan para bidadari sebagaimana manusia melakukan perkawinan. Jadi jin juga melakukan perkawinan dan beranak-pinak ketika di dunia. Ada persoalan, betulkah manusia bisa kawin dengan jin? Mustahil. Jin dan manusia adalah spesies yang berbeda, seperti, dapatkah kawina (bersatu) antara api dengan tanah? Mungkin yang dimaksud di sini adalah perkawinan ideologi, di mana manusia telah sesat mengikutigodaan setan (jin kafir).
JIN MENGALAMI KEMATIAN
Menurut keterangan hadis, jin mengalami ajal. Namun dipercayai umur mereka panjang-panjang seperti umur iblis yang hingga akhir dunia. Mereka juga makan dan minum, menurut hadis sahih: “Tulang dan kotoran binatang itu merupakan makanan jin” (HR Bukhari).
BENTUK ASLI JIN
Bagaimana wajah jin kafir (setan)? Hadis sahih menunjukkan bahwa setan memiliki dua tanduk, sedang Al-Qur’an menunjukkan bahwa wajah itu menyeramkan. “Sesungguhnya ia (zaqqum) adalah sebatang pohon yang keluar dari dasar neraka yang menyala-nyala. Buahnya seperti kepala-kepala setan.” [ Ash-Shafat (37): 65].
Bentuknya? Besar kemungkinan lebih kecil dari manusia, karena dalam hadits Nabi sawtentang keinginan akan menangkap jin dan akan dipermainkan anak-anak Madinah, dan bentuknya mungkin seperti boneka, sehingga anak-anak senang mempermainkannya. Wallahualam.
TEMPAT TINGGAL JIN
Di mana tempat jin kafir? Rumah yang lama tidak didiami manusia akan menjadi sarang jin, dan menurut hadits Muslim, pasar adalah tempat setan bertempur. Jin memiliki waktu-waktu tertentu untuk aktivitas, sebab kita dilarang salat sunah pada waktu fajar dan tenggelamnya matahari (HR Bukhari), karena itulah waktu bencana, saat orang menyembah matahari.
Beberapa aktivitas jin kafir adalah menyembah berhala, mengundi nasib, berjudi, dan minum minuman keras, serta perbuatan maksiat dan mungkar lainnya sebagaimana disebutkan Al-Qur’an. Yang jelas, di manapun dan kapanpun, bila ada kesempatan jin kafir alias setan menggoda manusia, maka mereka akan berada di tempat dan waktu yang diperlukan itu
BERINTERKASI JIN
Jin memang diakui keberadaannya dalam syariat. Sayangnya, banyak masyarakat yang menyikapinya dengan dibumbui klenik mistis. Bahkan belakangan, tema jin dan alam ghaib menjadi salah satu komoditi yang menyesaki tayangan berbagai media.
Fenomena alam jin akhir-akhir ini menjadi topik yang ramai diperbincangkan dan hangat di bursa obrolan. Menggugah keinginan banyak orang untuk mengetahui lebih jauh dan menyingkap tabir rahasianya, terlebih ketika mereka banyak disuguhi tayangan-tayangan televisi yang sok berbau alam ghaib. Lebih parah lagi, pembahasan seputar itu tak lepas dari pemahaman mistik yang menyesatkan dan membahayakan aqidah. Padahal alam ghaib, jin, dan sebagainya merupakan perkara yang harus diimani keberadaannya dengan benar.
Membahas topik seputar jin sendiri sejatinya sangatlah panjang. Sampai-sampai guru kami Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi t mengatakan: “Bila ada seseorang yang menulisnya, tentu akan keluar menjadi sebuah buku seperti Bulughul Maram atau Riyadhus Shalihin, dilihat dari sisi klasifikasinya, yang muslim dan yang kafir, penguasaan jin dan setan, serta godaan-godaannya terhadap Bani Adam.”
Keagamaan Kaum Jin
Jin tak jauh berbeda dengan Bani Adam. Di antara mereka ada yang shalih dan ada pula yang rusak lagi jahat. Seperti firman Allah I menghikayatkan mereka:
“Dan sesungguhnya di antara kami ada orang-orang yang shalih dan di antara kami ada (pula) yang tidak demikian halnya. Adalah kami menempuh jalan yang berbeda-beda.” (Al-Jin: 11)
Dalam ayat lain Allah I berfirman:
Dalam ayat lain Allah I berfirman:
“Dan sesungguhnya di antara kami ada orang-orang yang taat dan ada (pula) orang-orang yang menyimpang dari kebenaran.” (Al-Jin: 14)
Di antara mereka ada yang kafir, jahat dan perusak, ada yang bodoh, ada yang sunni, ada golongan Syi’ah, serta ada juga golongan sufi.
Diriwayatkan dari Al-A’masy, beliau berkata: “Jin pernah datang menemuiku, lalu kutanya: ‘Makanan apa yang kalian sukai?’ Dia menjawab: ‘Nasi.’ Maka kubawakan nasi untuknya, dan aku melihat sesuap nasi diangkat sedang aku tidak melihat siapa-siapa. Kemudian aku bertanya: ‘Adakah di tengah-tengah kalian para pengikut hawa nafsu seperti yang ada di tengah-tengah kami?’ Dia menjawab: ‘Ya.’‘Bagaimana keadaan golongan Rafidhah yang ada di tengah kalian?” tanyaku. Dia menjawab: ‘Merekalah yang paling jelek di antara kami’.”
Ibnu Katsir t berkata: “Aku perlihatkan sanad riwayat ini pada guru kami, Al-Hafizh Abul Hajjaj Al-Mizzi, dan beliau mengatakan: ‘Sanad riwayat ini shahih sampai Al-A’masy’.” (Tafsir Al-Qur`anul ’Azhim, 4/451)
Mendakwahi Jin
Dakwah memiliki kedudukan yang sangat agung. Dakwah merupakan bagian dari kewajiban yang paling penting yang diemban kaum muslimin secara umum dan para ulama secara lebih khusus. Dakwah merupakan jalan para rasul, di mana mereka merupakan teladan dalam persoalan yang besar ini.
Karena itulah Allah mewajibkan para ulama untuk menerangkan kebenaran dengan dalilnya dan menyeru manusia kepadanya. Sehingga keterangan itu dapat mengeluarkan mereka dari gelapnya kebodohan, dan mendorong mereka untuk melaksanakan urusan dunia dan agama sesuai dengan apa yang telah diperintahkan Allah.
Dakwah yang diemban Nabi n adalah dakwah yang universal, tidak terbatas kepada kaum tertentu tetapi untuk seluruh manusia. Bahkan kaum jin pun menjadi bagian dari sasaran dakwahnya.
Al-Qur`an telah mengabarkan kepada kita bahwa sekelompok kaum jin men-dengarkan Al-Qur`an, sebagaimana tertera dalam surat Al-Ahqaf ayat 29-32. Kemudian Allah menyuruh Nabi kita n agar memberitahukan yang demikian itu. Allah I berfirman:
Al-Qur`an telah mengabarkan kepada kita bahwa sekelompok kaum jin men-dengarkan Al-Qur`an, sebagaimana tertera dalam surat Al-Ahqaf ayat 29-32. Kemudian Allah menyuruh Nabi kita n agar memberitahukan yang demikian itu. Allah I berfirman:
“Katakanlah (hai Muhammad): ‘Telah diwahyukan kepadaku bahwasanya: sekumpulan jin telah mendengarkan Al-Qur`an, lalu mereka berkata: ‘Sesungguhnya kami telah mendengarkan Al-Qur`an yang menakjubkan’,” dan seterusnya. (Lihat Al-Qur`an surat Al-Jin: 1)
Tujuan dari itu semua adalah agar manusia mengetahui ihwal kaum jin, bahwa beliau n diutus kepada segenap manusia dan jin. Di dalamnya terdapat petunjuk bagi manusia dan jin serta apa yang wajib bagi mereka yakni beriman kepada Allah I, Rasul-Nya, dan hari akhir. Juga taat kepada Rasul-Nya dan larangan dari melakukan kesyirikan dengan jin.
Jika jin itu sebagai makhluk hidup, berakal dan dibebani perintah dan larangan, maka mereka akan mendapatkan pahala dan siksa. Bahkan karena Nabi n pun diutus kepada mereka, maka wajib atas seorang muslim untuk memberlakukan di tengah-tengah mereka seperti apa yang berlaku di tengah-tengah manusia berupa amar ma’ruf nahi mungkar dan berdakwah seperti yang telah disyariatkan Allah I dan Rasul-Nya. Juga seperti yang telah diserukan dan dilakukan Nabi n atas mereka. Bila mereka menyakiti, maka hadapilah serangannya seperti saat membendung serangan manusia. (Idhahu Ad-Dilalah fi ‘Umumi Ar-Risalah, hal. 13 dan 16)
Mendakwahi kaum jin tidaklah mengharuskan seseorang untuk terjun menyelami seluk-beluk alam dan kehidupan mereka, serta bergaul langsung dengannya. Karena semua ini tidaklah diperintahkan. Sebab, lewat majelis-majelis ta’lim dan kegiatan dakwah lainnya yang dilakukan di tengah-tengah manusia berarti juga telah mendakwahi mereka.
Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi t berkata: “Bisa jadi ada sebagian orang mengira bahwa para jin itu tidak menghadiri majelis-majelis ilmu. Ini adalah sangkaan yang keliru. Padahal tidak ada yang dapat mencegah mereka untuk menghadirinya, kecuali di antaranya ada yang mengganggu dan ada setan-setan. Maka kita katakan:
“Ya Rabbku, aku berlindung kepada Engkau dari bisikan-bisikan setan. Dan aku berlindung (pula) kepada Engkau ya Rabbku, dari kedatangan mereka kepadaku.” (Al-Mu`minun: 97-98) [lihat Nashihatii li Ahlis Sunnah Minal Jin]
Adakah Rasul dari Kalangan Jin?
Para ulama berselisih pendapat tentang masalah ini, apakah dari kalangan jin ada rasul, ataukah rasul itu hanya dari kalangan manusia? Sementara Allah I berfirman:
“Wahai golongan jin dan manusia, apakah belum datang kepadamu rasul-rasul dari golongan kamu sendiri yang menyam-paikan kepadamu ayat-ayat-Ku dan memberi peringatan kepadamu terhadap pertemuan-mu dengan hari ini?” Mereka berkata: ‘Kami menjadi saksi atas diri kami sendiri’. Kehidupan dunia telah menipu mereka, dan mereka menjadi saksi atas diri mereka sendiri bahwa mereka adalah orang-orang yang kafir.” (Al-An’am: 130)
Sebagian ulama berdalil dengan ayat ini untuk menyatakan bahwa ada rasul dari kalangan jin. Juga berdalilkan dengan sebuah atsar (riwayat) dari Adh-Dhahhak ibnu Muzahim. Beliau mengatakan bahwa ada rasul dari kalangan jin. Yang berpendapat seperti ini di antaranya adalah Muqatil dan Abu Sulaiman, namun keduanya tidak menyebutkan sandaran (dalil)-nya. (Zadul Masir, 3/125)
Yang benar, wal ’ilmu ’indallah, tidak ada rasul dari kalangan jin. Dan pendapat inilah yang para salaf dan khalaf berada di atasnya. Adapun atsar yang datang dari Adh-Dhahhak, telah diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dalam Tafsir-nya (12/121). Namun di dalam sanadnya ada syaikh (guru) Ibnu Jarir yang bernama Ibnu Humaid yakni Muhammad bin Humaid Abu Abdillah Ar-Razi. Para ulama banyak membicarakan-nya, seperti Al-Imam Al-Bukhari telah berkata tentangnya: “Fihi nazhar (perlu ditinjau kembali, red.).” Al-Imam Adz-Dzahabi t berkata: “Dia, bersamaan dengan kedudukannya sebagai imam, adalah mungkarul hadits, pemilik riwayat yang aneh-aneh.” (Siyarul A’lam An-Nubala`, 11 / 530). Lebih lengkapnya silahkan pembaca merujuk kitab-kitab al-jarhu wa ta’dil.
Ibnu Katsir t berkata: “Tidak ada rasul dari kalangan jin seperti yang telah dinyatakan Mujahid dan Ibnu Juraij serta yang lainnya dari para ulama salaf dan khalaf. Adapun berdalil dengan ayat –yakni Al-An’am: 130–, maka perlu diteliti ulang karena masih terdapatnya kemung-kinan, bukan merupakan sesuatu yang sharih (jelas pendalilannya). Sehingga kalimat ‘dari golongan kamu sendiri’ maknanya adalah ‘dari salah satu golongan kamu’.” (Lihat Tafsir Al-Qur`anul ‘Azhim, 2/188)
Ibnu Katsir t berkata: “Tidak ada rasul dari kalangan jin seperti yang telah dinyatakan Mujahid dan Ibnu Juraij serta yang lainnya dari para ulama salaf dan khalaf. Adapun berdalil dengan ayat –yakni Al-An’am: 130–, maka perlu diteliti ulang karena masih terdapatnya kemung-kinan, bukan merupakan sesuatu yang sharih (jelas pendalilannya). Sehingga kalimat ‘dari golongan kamu sendiri’ maknanya adalah ‘dari salah satu golongan kamu’.” (Lihat Tafsir Al-Qur`anul ‘Azhim, 2/188)
Menikah dengan Jin
Menikah adalah satu-satunya cara terbaik untuk mendapatkan keturunan. Karena itulah Allah I mensyariatkannya untuk segenap hamba-hamba-Nya. Allah I berfirman:
“Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang perempuan.”(An-Nuur: 32)
Kaum jin memiliki keturunan dan anak keturunannya beranak-pinak, sebagaimana manusia berketurunan dan anak keturunan-nya beranak-pinak. Allah I berfirman:
“Patutkah kalian mengambil dia dan turunan-turunannya sebagai pemimpin selain-Ku, sedangkan mereka adalah musuh kalian?” (Al-Kahfi: 50)
Kalangan kaum jin itu ada yang berjenis laki-laki dan ada juga perempuan, sehingga untuk mendapatkan keturunan merekapun saling menikah. Allah I berfirman:
“Tidak pernah disentuh oleh manusia sebelum mereka (penghuni-penghuni surga yang menjadi suami mereka) dan tidak pula oleh jin.” (Ar-Rahman: 56)
Artha’ah Ibnul Mundzir t berkata: “Dhamrah ibnu Habib pernah ditanya: ‘Apakah jin akan masuk surga?’ Beliau menjawab: ‘Ya, dan mereka pun menikah. Untuk jin yang laki-laki akan mendapatkan jin yang perempuan, dan untuk manusia yang jenis laki-laki akan mendapatkan yang jenis perempuan’.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Katsir dalam Tafsir-nya, 4/288)
Termasuk kasih sayang Allah I terhadap Bani Adam, Allah I menjadikan untuk mereka suami-suami atau istri-istri dari jenis mereka sendiri. Allah I berfirman:
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya. Dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.” (Ar-Rum: 21)
Perkara ini, yakni pernikahan antara manusia dengan manusia adalah hal yang wajar, lumrah dan sesuai tabiat, karena adanya rasa cinta dan kasih sayang di tengah-tengah mereka. Persoalannya, mungkinkah terjadi pernikahan antara manusia dengan jin, atau sebaliknya jin dengan manusia?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah t berkata: “Pernikahan antara manusia dengan jin memang ada dan dapat menghasilkan anak. Peristiwa ini sering terjadi dan populer. Para ulama pun telah menyebutkannya. Namun kebanyakan para ulama tidak menyukai pernikahan dengan jin.” (Idhahu Ad-Dilalah hal. 16)
Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi t mengatakan: “Para ulama telah berselisih pendapat tentang perkara ini sebagaimana dalam kitab Hayatul Hayawan karya Ad-Dimyari. Namun menurutku, hal itu diperbolehkan, yakni laki-laki yang muslim menikahi jin wanita yang muslimah. Adapun firman Allah I:
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepada-nya…” (Ar-Rum: 21),
maka –maknanya– ini adalah anugrah yang terbesar di mana manusia yang jenis laki-laki menikah dengan manusia yang jenis perempuan, dan jin laki-laki dengan jin perempuan.
Tetapi jika seorang laki-laki dari kalangan manusia menikah dengan seorang perempuan dari kalangan jin, maka kita tidak memiliki alasan dari syariat yang dapat mencegahnya. Demikian juga sebaliknya. Hanya saja Al-Imam Malik t tidak menyukai bila seorang wanita terlihat dalam keadaan hamil, lalu dia ditanya: “Siapa suamimu?” Dia menjawab: “Suamiku dari jenis jin.”
Saya (Asy-Syaikh Muqbil) katakan: “Memungkinkan sekali fenomena yang seperti ini membuka peluang terjadinya perzinaan dan kenistaan.” (Nashihatii li Ahlis Sunnah Minal Jin)
maka –maknanya– ini adalah anugrah yang terbesar di mana manusia yang jenis laki-laki menikah dengan manusia yang jenis perempuan, dan jin laki-laki dengan jin perempuan.
Tetapi jika seorang laki-laki dari kalangan manusia menikah dengan seorang perempuan dari kalangan jin, maka kita tidak memiliki alasan dari syariat yang dapat mencegahnya. Demikian juga sebaliknya. Hanya saja Al-Imam Malik t tidak menyukai bila seorang wanita terlihat dalam keadaan hamil, lalu dia ditanya: “Siapa suamimu?” Dia menjawab: “Suamiku dari jenis jin.”
Saya (Asy-Syaikh Muqbil) katakan: “Memungkinkan sekali fenomena yang seperti ini membuka peluang terjadinya perzinaan dan kenistaan.” (Nashihatii li Ahlis Sunnah Minal Jin)
Meminta Bantuan Jin
Sangat rasional dan amatlah sesuai dengan fitrah bila yang lemah meminta bantuan kepada yang kuat, dan yang kekurangan meminta bantuan kepada yang serba kecukupan.
Manusia lebih mulia dan lebih tinggi kedudukannya daripada jin. Sehingga sangatlah jelek dan tercela bila manusia meminta bantuan kepada jin. Selain itu, bila ternyata yang dimintai bantuannya adalah setan, maka secara perlahan, setan itu akan menyuruh kepada kemaksiatan dan penyelisihan terhadap agama Allah I. Allah I berfirman:
Manusia lebih mulia dan lebih tinggi kedudukannya daripada jin. Sehingga sangatlah jelek dan tercela bila manusia meminta bantuan kepada jin. Selain itu, bila ternyata yang dimintai bantuannya adalah setan, maka secara perlahan, setan itu akan menyuruh kepada kemaksiatan dan penyelisihan terhadap agama Allah I. Allah I berfirman:
“Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin. Maka jin-jin itu menambah ketakutan bagi mereka.” (Al-Jin: 6)
Ibnu Mas’ud z berkata: “Ada sekelompok orang dari kalangan manusia yang menyembah beberapa dari kalangan jin, lalu para jin itu masuk Islam. Sementara sekelompok manusia yang menyembahnya itu tidak mengetahui keislamannya, mereka tetap menyembahnya sehingga Allah I mencela mereka.” (Diambil dari Qa’idah ’Azhimah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah hal. 24)
Jin tidak mengetahui perkara yang ghaib dan tidak punya kekuatan untuk memberikan kemudharatan tidak pula mendatangkan kemanfaatan. Allah I berfirman:
Ibnu Mas’ud z berkata: “Ada sekelompok orang dari kalangan manusia yang menyembah beberapa dari kalangan jin, lalu para jin itu masuk Islam. Sementara sekelompok manusia yang menyembahnya itu tidak mengetahui keislamannya, mereka tetap menyembahnya sehingga Allah I mencela mereka.” (Diambil dari Qa’idah ’Azhimah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah hal. 24)
Jin tidak mengetahui perkara yang ghaib dan tidak punya kekuatan untuk memberikan kemudharatan tidak pula mendatangkan kemanfaatan. Allah I berfirman:
“Maka tatkala Kami telah menetapkan kematian Sulaiman, tidak ada yang menunjuk-kan kematiannya itu kepada mereka kecuali rayap yang memakan tongkatnya. Maka tatkala ia telah tersungkur, tahulah jin itu bahwa kalau mereka mengetahui yang ghaib tentulah mereka tidak tetap dalam siksa yang menghinakan.” (Saba`: 14)
Jin tidak memiliki kemampuan untuk menolak mudharat atau memindahkannya. Jin tidak bisa mentransfer penyakit dari tubuh manusia ke dalam tubuh binatang. Demikian pula manusia, tidak punya kemampuan untuk itu. Allah I berfirman:
“Dan tidak adalah kekuasaan Iblis terhadap mereka, melainkan hanyalah agar Kami dapat membedakan siapa yang beriman kepada adanya kehidupan akhirat dari siapa yang ragu-ragu tentang itu. Dan Rabbmu Maha Memelihara segala sesuatu. Katakanlah: ‘Serulah mereka yang kamu anggap (sebagai sesembahan) selain Allah, mereka tidak memiliki (kekuasaan) seberat zarrahpun di langit dan di bumi. Dan mereka tidak mempunyai suatu sahampun dalam (penciptaan) langit dan bumi dan sekali-kali tidak ada di antara mereka yang menjadi pembantu bagi-Nya’.” (Saba`: 21-22)
Gangguan Jin
secara umum, gangguan jin merupakan sesuatu yang tidak diragukan lagi keberadaannya, baik menurut pemberitaan Al-Qur`an, As-Sunnah, maupun ijma’. Allah I berfirman:
“Dan jika setan mengganggumu dengan suatu gangguan, maka mohonlah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Fushshilat: 36)
Rasulullah n bersabda:
Rasulullah n bersabda:
“Sesungguhnya setan menampak-kan diri di hadapanku untuk memutus shalatku. Namun Allah memberikan kekuasaan kepadaku untuk menghadapinya. Maka aku pun membiarkannya. Sebenarnya aku ingin mengikatnya di sebuah tiang hingga kalian dapat menontonnya. Tapi aku teringat perkataan saudaraku Sulaiman u: ‘Ya Rabbi anugerahkanlah kepada-ku kerajaan yang tidak dimiliki seorang pun sesudahku’. Maka Allah mengusirnya dalam keadaan hina.” (HR. Al-Bukhari no. 4808, Muslim no. 541 dari Abu Hurairah )
Suatu ketika Rasulullah n sedang mendirikan shalat, lalu didatangi setan. Beliau memegangnya dan mencekiknya. Beliau bersabda:
“Hingga tanganku dapat merasakan lidahnya yang dingin yang menjulur di antara dua jariku: ibu jari dan yang setelahnya.” (HR. Ahmad, 3/82-83 dari Abu Sa’id Al-Khudri )
Diriwayatkan dari ‘Utsman bin Abil ‘Ash z, ia berkata:
“Wahai Rasulullah, setan telah menjadi penghalang antara diriku dan shalatku serta bacaanku.” Beliau n bersabda: “Itulah setan yang bernama Khanzab. Jika engkau merasakannya, maka berlindunglah kepada Allah darinya dan meludahlah ke arah kiri tiga kali.” Aku pun melakukannya dan Allah telah mengusirnya dari sisiku. (HR. Muslim no. 2203 dari Abul ’Ala`)
Gangguan jin juga bisa berupa masuknya jin ke dalam tubuh manusia yang diistilahkan orang sekarang dengan kesu-rupan atau kerasukan.
Gangguan jin juga bisa berupa masuknya jin ke dalam tubuh manusia yang diistilahkan orang sekarang dengan kesu-rupan atau kerasukan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah t berkata: “Keberadaan jin merupakan perkara yang benar menurut Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya serta kesepakatan salaful ummah dan para imamnya. Demikian pula masuknya jin ke dalam tubuh manusia adalah perkara yang benar dengan kesepakatan para imam Ahlus Sunnah wal Jamaah. Allah I berfirman:
“Orang-orang yang makan (mengam-bil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila.” (Al-Baqarah: 275)
Dan dalam hadits yang shahih dari Nabi :
Dan dalam hadits yang shahih dari Nabi :
“Sesungguhnya setan itu berjalan di dalam diri anak Adam melalui aliran darah.”
Tidak ada imam kaum muslimin yang mengingkari masuknya jin ke dalam tubuh orang yang kesurupan. Siapa yang mengingkarinya dan menyatakan bahwa syariat telah mendustakannya, berarti dia telah mendustakan syariat itu sendiri. Tidak ada dalil-dalil syar’i yang menolaknya.” (Majmu’ul Fatawa, 24/276-277, diambil dari tulisan Asy-Syaikh Ibnu Baz, Idhahul Haq)
Ibnul Qayyim juga telah panjang lebar menerangkan masalah ini. (Lihat Zadul Ma’ad, 4/66-69)
Tidak ada imam kaum muslimin yang mengingkari masuknya jin ke dalam tubuh orang yang kesurupan. Siapa yang mengingkarinya dan menyatakan bahwa syariat telah mendustakannya, berarti dia telah mendustakan syariat itu sendiri. Tidak ada dalil-dalil syar’i yang menolaknya.” (Majmu’ul Fatawa, 24/276-277, diambil dari tulisan Asy-Syaikh Ibnu Baz, Idhahul Haq)
Ibnul Qayyim juga telah panjang lebar menerangkan masalah ini. (Lihat Zadul Ma’ad, 4/66-69)
Golongan yang Mengingkari Masuknya Jin ke dalam Tubuh Manusia (Kesurupan)
a. Kaum orientalis, musuh-musuh Islam yang tidak percaya kecuali kepada hal-hal yang bisa diraba panca indra.b. Para ahli filsafat dan antek-anteknya, mereka mengingkari keberadaan jin. Maka secara otomatis merekapun mengingkari merasuknya jin ke dalam tubuh manusia.
c. Kaum Mu’tazilah, mereka mengakui adanya jin tetapi menolak masuknya jin ke dalam tubuh manusia.
d. Prof. Dr. ‘Ali Ath-Thanthawi, guru besar Universitas Al-Azhar, Kairo. Ia mengingkari dan mendustakan terjadinya kesurupan karena jin dan menganggap hal itu hanyalah sesuatu yang direkayasa (lihat artikel Idhahul Haq fi Dukhulil Jinni Fil Insi, Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz )
e. Dr. Muhammad Irfan. Dalam surat kabar An-Nadwah tanggal 14/10/1407 H, menyatakan bahwa: “Masuknya jin ke dalam tubuh manusia dan bicaranya jin lewat lisan manusia adalah pemahaman ilmiah yang salah 100%.” (Idhahul Haq)
f. Persatuan Islam (PERSIS). Dalam Harian Pikiran Rakyat tanggal 5 September 2005, mengeluarkan beberapa pernyataan yang diwakili Dewan Hisbahnya, sebagai berikut: “Poin 7 …Tidak ada kesurupan jin, keyakinan dan pengobatan kesurupan jin adalah dusta dan syirik.”
Semua pengingkaran atas kemampuan masuknya jin ke dalam tubuh manusia adalah batil. Hanya terlahir dari sedikitnya ilmu akan perkara-perkara yang syar’i dan terhadap apa yang ditetapkan ahlul ilmi dari kalangan Ahlus Sunnah Wal Jamaah.
Semua pengingkaran atas kemampuan masuknya jin ke dalam tubuh manusia adalah batil. Hanya terlahir dari sedikitnya ilmu akan perkara-perkara yang syar’i dan terhadap apa yang ditetapkan ahlul ilmi dari kalangan Ahlus Sunnah Wal Jamaah.
Abdullah bin Ahmad bin Hambal berkata: “Aku pernah berkata pada ayahku: ‘Sesungguhnya ada sekumpulan kaum yang berkata bahwa jin tidak dapat masuk ke tubuh manusia yang kerasukan.’ Maka ayahku berkata: ‘Wahai anakku, tidak benar. Mereka itu berdusta. Bahkan jin dapat berbicara lewat lidahnya’.” (Idhahu Ad-Dilalah, atau lihat Majmu’ul Fatawa, 19/10)
Berikut ini pernyataan para mufassir (ahli tafsir) berkenaan dengan firman Allah I:
“Orang-orang yang makan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila.” (Al-Baqarah: 275)
Al-Imam Ibnu Jarir Ath-Thabari t mengatakan: “Yakni bahwa orang-orang yang menjalankan praktek riba ketika di dunia, maka pada hari kiamat nanti akan bangkit dari dalam kuburnya seperti bangkitnya orang yang kesurupan setan yang dirusak akalnya di dunia. Orang itu seakan kerasukan setan sehingga menjadi seperti orang gila.” (Jami’ Al-Bayan Fi Tafsir Al-Qur`an, 3/96)
Al-Imam Al-Qurthubi t mene-gaskan: “Ayat ini adalah argumen yang mementahkan pendapat orang yang mengingkari adanya kesurupan jin dan menganggap yang terjadi hanyalah faktor proses alamiah dalam tubuh manusia serta bahwa setan sama sekali tidak dapat merasuki manusia.” (Al-Jami’ li Ahkamil Qur`an, 3/355)
Al-Imam Ibnu Katsir t berkata: “Yakni mereka tidak akan bangkit dari kuburnya pada hari kiamat melainkan seperti bangkitnya orang yang kesurupan setan saat setan itu merasukinya.” (Tafsir Al-Qur`anul ‘Azhim, 1/359)
Penyebab Kesurupan
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah t menjelaskan bahwa masuknya jin pada tubuh manusia bisa jadi karena dorongan syahwat, hawa nafsu dan rasa cinta kepada manusia, sebagaimana yang terjadi antara manusia satu sama lainnya. Terkadang -atau bahkan mayoritasnya- juga karena dendam dan kemarahan atas apa yang dilakukan sebagian manusia seperti buang air kecil, menuangkan air panas yang mengenai sebagian mereka, serta membu-nuh sebagian mereka meskipun manusia tidak mengetahuinya. Kalangan jin juga banyak melakukan kedzaliman dan banyak pula yang bodoh, sehingga mereka melakukan pembalasan di luar batas. Masuknya jin ke tubuh manusia terkadang disebabkan keisengan sebagian mereka dan tindakan jahat yang dilakukan-nya. (Idhahu Ad-Dilalah Fi ‘Umumi Ar-Risalah, hal. 16) Bagaimana kita menghindari gangguan-gangguan itu? Ibnu Taimiyah t menjelaskan: “Adapun orang yang melawan permusuhan jin dengan cara yang adil sebagaimana Allah dan Rasul-Nya perintahkan, maka dia tidak mendzalimi jin. Bahkan ia taat kepada Allah dan Rasul-Nya dalam menolong orang yang terdzalimi, membantu orang yang kesusahan, dan menghilangkan musibah dari orang yang tertimpanya, dengan cara yang syar’i dan tidak mengandung syirik serta tidak mengandung kedzaliman terhadap makhluk. Yang seperti ini, jin tidak akan mengganggunya, mungkin karena jin tahu bahwa dia orang yang adil atau karena jin tidak mampu mengganggunya. Tapi bila jin itu dari kalangan yang sangat jahat, bisa jadi dia tetap mengganggunya, tetapi dia lemah. Untuk yang seperti ini, semestinya ia melindungi diri dengan membaca ayat Kursi, Al-Falaq, An-Nas (atau bacaan lain yang semakna, ed), shalat, berdoa, dan semacam itu yang bisa menguatkan iman dan menjauhkan dari dosa-dosa…” (Idhahu Ad-Dilalah, hal. 138)Pembaca, demikian yang dapat kami paparkan di sini, mudah-mudahan dapat mewakili apa yang belum lengkap penjelasannya.Wal’ilmu ’indallah.
Catatan Kaki:
1 Di antara ulama yang berpendapat terlarangnya hal itu adalah Asy-Syaikh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqith Beliau mengatakan: “Saya tidak mengetahui dalam Kitabullah maupun Sunnah Rasulullah adanya dalil yang menunjukkan bolehnya pernikahan antara manusia dan jin. Bahkan yang bisa dijadikan pendukung dari dzahir ayat adalah tidak bolehnya hal itu.” (Adhwa`ul Bayan, 3/321)
Badruddin Asy-Syibli dalam bukunya Aakamul Mirjan mengemukakan bahwa sekelompok tabi’in membenci pernikahan jin dengan manusia. Di antara mereka adalah Al-Hasan, Qatadah, Az-Zuhri, Hajjaj bin Arthah, demikian pula sejumlah ulama Hanafiyah.
Badruddin Asy-Syibli dalam bukunya Aakamul Mirjan mengemukakan bahwa sekelompok tabi’in membenci pernikahan jin dengan manusia. Di antara mereka adalah Al-Hasan, Qatadah, Az-Zuhri, Hajjaj bin Arthah, demikian pula sejumlah ulama Hanafiyah.
4 komentar: