اَلسَلامُ عَلَيْكُم وَرَحْمَةُ اَللهِ وَبَرَكاتُهُ
3X سُبْحَانَ اللهِ وَبِحَمْدِهِ عَدَدَ خَلْقَهِ وَرِضَى نَفْسِهِ وَزِنَةَ عَرْشِهِ وَمِدَادَ كَلِمَاتِهِ
Sesungguhnya Aku berniat kerana اللهَ
Sesungguhnya Aku berniat kerana اللهَ
Tugasan gerak organ-organ tubuh badanKu kepada اللهَ
Daku Niatkan Tasbih anggota-anggota organ tubuhku buat اللهَ.
Ku serahkan seluruh kehidupanku kebergantungan sepenuhnya KepadaMu Ya اللهَ
Ku serahkan seluruh kehidupanku kebergantungan sepenuhnya KepadaMu Ya اللهَ
Kerdipan Mataku berIstighfar Astaghfirullah (أسْتَغْفِرُاللهَ)
Hatiku berdetik disetiap saat menyebut Subhanallah (سُبْحَانَ اللَّهِ)
Denyutan Nadiku dengan Alhamdulillah (الْحَمْدُ لِلَّهِ)
Degupan Jantongku bertasbih LA ILAHA ILLALLAH (لَا إِلٰهَ إِلَّا ٱلله)
Hela Turun Naik Nafasku berzikir Allāhu akbar (اللَّهُ أَكْبَرُ)
الْحَمْدُ لِلَّهِ syukur kepada وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللَّ ...اللهَ
MAKRIFAT SUNAN KALIJAGA (4)
MAKRIFAT SUNAN KALIJAGA (4)
MUTIARA ILMU SYARIAT (Bagian 04)
Syekh Malaya masuk dengan segera melalui telinga Kanjeng
Nabi Khidir. Sesampainya di dalam tubuh Kanjeng Nabi Khidir, Syekh Malaya
melihat samudera luas tiada bertepi sejauh mata memandang, semakin diamati
semakin jauh tampaknya. Kanjeng Nabi Khidir bertanya keras-keras, “hai apa yang
kamu lihat?”
Syekh Malaya segera menjawab, “Angkasa Raya yang kuamati,
kosong melompong jauh tidak kelihatan apa-apa, kemana kakiku melangkah, tidak
tahu arah utara selatan barat timur pun tidak kami kenal lagi, bawah dan atas
serta muka belakan, tidak mampu saya bedakan. Bahkan semakin membingungkanku”.
Kanjeng Nabi Khidir berkata lemah-lembut, “usahakan jangan
sampai bingung hatimu”. Tiba-tiba Syekh Malaya melihat suasana terang benderang.
Dihadapannya nampak Kanjeng Nabi Khidir, Syekh Malaya melihat Kanjeng Nabi
Khidir malayang di udara kelihatan memancarkan cahaya gemerlapan. Saat itu
Syekh Malaya melihat arah utara selatan, barat dan timur sudah kelihatan jelas,
atas serta bawah juga sudah terlihat dan mampu menjaring matahari, tenang
rasanya sebab melihat Kanjeng Nabi Khidir, rasanya berada di alam yang lain
dari yang lain.
Kanjeng Nabi Khidir berkata lembut, “jangan berjalan hanya
sekedar berjalan, lihatlah dengan sungguh-sungguh apa yang terlihat olehmu”.
Syekh Malaya menjawad, “Ada warna empat macam yang nampak padaku semua itu
sudah tidak kelihatan lagi, hanya empat macam yang kuingat yaitu hitam merah
kuning dan putih”.
Berkata Kanjeng Nabi Khidir, “yang pertama kau lihat cahaya
mencorong tapi tidak tahu namanya ketahuilah itu adalah pancamaya, yang
sebenarnya ada di dalam dirimu sendiri yang mengatur dirimu. Pancamaya yang
indah itu disebut mukasyafah, bila mana kamu mampu membingbing dirimu ke dalam
sifat terpuji, yaitu sifat yang asli. Maka dari itu jangan asal bertindak,
selidikilah semua bentuk jangan sampai tertipu nafsu. Usahakan semaksimal
mungkin agar hatimu menduduki sifat asli, perhatikan terus hatimu itu, supaya
tetap dalam jati diri!” Tentramlah hati Syekh Malaya, setelah mengerti itu
semua dan baru mantap rasa hatinya serta gembira.
Kanjeng Nabi Khidir melanjutkan penjelasannya, “adapun yang
kuning, merah, hitam serta putih itu adalah penghalanya. Sebab isinya dunia ini
sudah lengkap, yaitu terbagi kedalam tiga golongan, semuanya adalah penghalang
tingkah laku, kalau mampu menjauhi itu pasti dapat berkumpul dengan ghaib, itu
yang menghalangi meningkatkan citra diri. Hati yang tiga macam yaitu hitam,
merah dan kuning, semua itu menghalangi pikiran dan kehendak tiada putus-putusnya.
Maksudnya akan menghalangi menyatunya hamba dengan Tuhan yang membuat nyawa
lagi mulia. Jika tidak tercampur oleh tiga hal itu, tentu terjadi hilangnya
jiwa, maksudnya orang akan mencapai tingkatan Maqom Fana dan akan masuk Maqom
Baqo atau abadi. Maksudnya senantiasa berdekatan rapat dengan Sang Pencipta.
Namun yang perlu diperhatikan dan diingat dengan seksama, bahwa penghalang yang
ada dalam dihati, mempunyai kelebihan yang perlu kamu ketahui dan sekaligus
sumber inti kekuatannya. Yang hitam lebih perkasa, pekerjaanya marah, mudah
sakit hati, angkara murka secara membabi buta. Itulah hati yang menghalangi,
menutup kepada kebajikan.
Sedangkan yang berwarna merah, ikut menunjukkan nafsu yang
tidak baik, segala keinginan nafsu keluar dari si merah, mudah emosi dalam
mencapai tujuan, hingga menutup kepada hati yang sudah jernih tenang menuju
akhir hidup yang baik (khusnul khatimah). Adapun yang berwarna kuning,
kemampuannya mengahalangi segala hal, pikiran yang baik maupun pekerjaan yang
baik. Hati kuninglah yang menghalangi timbulnya pikiran yang baik hanya membuat
kerusakan, menelantarkan ke jurang kehancuran. Sedangkan yang putih itulah yang
sebenarnya, membuat hati tenang serta suci tanpa ini itu, pahlawan dalam
kedamaian”.
Kanjeng Nabi Khidir memberi kesempatan bagi Syekh Malaya
untuk merenungkan penjelasannya tadi. Selanjutnya beliu berkata, “hanya itulah
yang dapat dirasakan manusia akan kesaksiannya. Sesungguhnya yang terwujud
adanya, hanya menerima anugrah semata-mata dan hanya itulah yang dapat
dilaksanakan. Kalau kamu tetap berusaha agar abadi berkumpulnya diri dekat
Tuhan, maka senantiasalah menghadapi tiga musuh yang sangat kejam, besar dan
tinggi hati (bohong). Ketiga musuhmu saling kerjasama, padahal si putih tanpa
teman, hanya sendirian saja, makanya sering dapat dikalahkan. Kalau sekiranya
dapat mengatasi akan segala kesukaran yang timbul dari tiga hala itu, maka
terjadilah persatuan erat wujud, tanpa berpedoman itu semua tidak akan terjadi
persatuan eret antara manusia dan Penciptanya”. Syekh Malaya sudah memahaminya,
dengan semangat mulai berusaha disertai tekad membaja demi mendapatkan pedoman
akhir kehidupan, demi kesempurnaan dekatnya dengan Allah SWT.
Kanjeng Nabi Khidir kembali melanjutkan wejanganya, “Setelah
hilang empat macam warna ada hal lain lagi nyala satu delapan warnanya”. Syekh
Malaya berkata, “Apakah namanya, nyala satu delapan warnanya, apakah namanya,
nyala satu delapan warnanya, apakah yang dimaksud sebenarnya? Nyalanya semakin
jelas nyata, ada yang tampak berubah-ubah warna menyambar-nyambar, ada yang
seperti permata yang berkilau tajam sinarnya”.
Sang Kanjeng Nabi Khidir berpesan, “Nah, itulah sesungguhnya
tunggal. Pada dirmu sendiri sudah tercakup makna di dalamnya, rahasianya
terdapat pada dirimu juga, serta seluruh isi bumi tergambar pada tubuhmu dan
juga seluruh alam semesta. Dunia kecil tidak jauh berbeda. Ringkasnya, utara,
barat, selatan, timur, atas serta bawah. Juga warna hitam, merah, kuning dan
putih itulah isi kehidupan dunia. Didunia kecil dan alam semesta, dapat
dikatakan semua isinya. Kalau ditimbang dengan yang ada dalam dirimu dalam
dirimu ini, kalau hilang warna yang ada, dunia kelihatan kosong kesulitannya
tidak ada, dikumpulkan kepada wujud rupa yang satu, tidak lelaki tidak pula
perempuan. Sama pula dengan bentuk yang ada ini, yang bila dilihat berubah-ubah
putih. Camkanlah dengan cermat semua itu”. Syekh Malaya mengamati, “yang
seperti cahaya berganti-ganti kuning, cahayanya terang benderang memancar,
melingkar mirip pelangi, apakah itu yang dimaksudkan wujud dari Dzat yang
dicari dan didambakan? Yang merupakan hakikat wujud sejati?”
Kanjeng Nabi Khidir menjawab dengan lemah lembut, “itu bukan
yang kau dambakan, yang dapat mmenguasai segala keaadaan. Yang kamu dambakan
tidak dapat kamu lihat, tiada bentuk apalagi berwarna, tidak berwujud garis,
tidak dapat ditangkap mata, juga tidak bertempat tinggal hanya dapat dirasakan
oleh orang yang awas mata hatinya, hanya berupa pengambaran-pengambaran
(simbol) yang memenuhi jagad raya, dipegang tidak dapat. Bila itu yang kamu
lihat, yang nampak seperti berubah-ubah putih, yang terang benderang sinarnya,
memancarkan sinar yang menyala-nyala. Sang Permana itulah sebutannya.
Hidupnya ada pada dirimu. Permana itu menyatu pada dirmu
sendiri, tetapi tidak merasakan suka dan duka, tempat tinggalnya pada ragamu.
Tidak ikut suka dan duka, juga tidak ikut sakit dan menderita jika Sang Permana
meninggalkan tempatnya, raga menjdi tak berdaya dan pastilah lemahlah seluruh
badanmu, sebab itulah letak kekuatannya, ikut merasakan kehidupan, yang
mengerti rahasia di dunia. Dan itulah yang sedang mengenai pada dirimu, seperti
diibaratkan pula pada hewan, yang tumbuh di sekitar raga.
Hidupnya karena adanya Permana, dihidupi oleh nyawa yang
mempunyai kelebihan, mengusai seluruh badan. Permana itu bila mati ikut
menggung, namun bila telah hilang nyawanya kemudian yang hidup hanya sukma atau
nyawa yang ada. Kehilangan itulah yang didapatkan, kehidupan nyawalah yang
sesungguhnya, yang sudah berlalu diibaratkan seperti rasanya pohon yang tidak
berbuah, sang Permana yang mengetahui dengan sadar, sesungguhnya satu asal.
Menjawablah Syekh Malaya, “Kalau begitu manakah warna bentuk
sebenarnya?” kanjeng Nabi Khidir berkata, “Hal itu tidak dapat kamu pahami di
dalam keadaan nyata semata-mata, tidak semudah itu untuk mendapatkannya”, Syekh
Malaya menyela pembicaraan< “Saya mohon pelajaran lagi, sampai saya paham
betul, sampai putus. Saya menyerahkan hidup dan mati, demi mengharapkan tujuan
yang pasti, jangan sampai tanpa hasil”.
Kanjeng Nabi Khidir berkata lembut dan manis yang isinya
bercampur perlambang dan sindiran, “Misalnya ada orang membicarakan sesuatu
hal, lotnya seharusnya baik, nyatanya lotnya justru merupakan bumbunya yang
bercampur dengan rahasia yang terasa sebagai jiwa suci. Nubuwah yang penuh
rahasia itu sebenarnya rahasia ini. Yaitu ketika masih berada di sifat jamal
ialah jauhar awal. Bila sudah keluar menjadi jauhar akhir yang sudah dewasa,
yang awal itulah rahasia sejati. Si jauhar akhir itu ternyata dalam satu wujud,
satu mati dan satu hidup dengan jauhar, ketika dalam kesatuan satu wujud, satu
raksa, satu hidup menyatu dalam keadaan sehidup-semati. Segala ulah jauhar
akhir selamanya bersikap pasrah, sedangkan jauhar batin ini ialah yang dipuji
dan disembah hanyalah Allah yang sejati. Tidak ada sama sekali rasa sakit
karena sebenarnya kamu ini nukad ghaib. Nukad ghaib ialah ketika di masa awal
atau kuna, ia tidak hidup juga tidak mati. Sebenarnya yang dikatakan nukad itu,
tidak lain ghaib jugalah namanya itu. Setelah datangnya nukad itu, yang sudah
hidup sejak dulu, dicipta menjadi Alif. Alif itu sendiri jisim latif. Dan
keberadaanmu yang sebenarnya itulah yang disebut atau dinamakan neqdu”.
Sambil menghela nafas Kanjeng Nabi Khidir berkata pelan,
“Sekarang jauhar sejati, yaitu namamu itu semasa hidup ialah syahadat jati.
Dalam hidup dan kehidupanmu disebut juga darah hidup. Darah hidup itu sendiri
ialah yang dinamakan Rasulullah rasa sejati. Syahadat jati adalah darah, tempat
segala Dzat atau makhluk merasakan rasa yang sebenarnya tentang hidup dan
kehidupan. Yang sama dengan satuan Jibril-Muhammad-Allah. Sedangkan keempatnya
adalah yang disebut darah hidup. Jelasnya coba perhatikan orang mati! Apa
darahnya? Darah itu kini hilang, hilangnya bersama atau menyatu dengan sukma.
Sukma atau ruh hilang dan kembali pada Alif itu disebut Ruh Idhafi. Pengertian
jisim Latif ialah Jisim Angling yang sudah ada terdahulu kala yaitu Alif yang
disebut Angling. Padahal alif itu tanpa mata, tidak berkata-kata dan tidak
mendengar, tanpa perilaku dan tidak melihat. Dan itulah Alif, yang artinya,
menjadi Alif itu karena dijabarkan atau dikembangkang. Bukankah ruh Idhafi itu
bagian Dzatullah”?.
Setelah mengajarkan semua pelajaran sampai selesai, tentang
Ruh Idhafi yang menjadi inti pembahasannya. Kanjeng Nabi Khidir berkata,
“Adapun wujud sesungguhnya alif itu, asal muasalnya berasal dari jauhar alif
itu. Yang dinamakan Kalam Karsa. Timbullah hasrat kehendak Allah untuk
menjadikan terwujudnya dirimu. Dengan adanya wujud dirimu menunjukkan akan
adanya Allah dengan sesungguhnya. Allah tidak mungkin ada dua apalagi tiga.
Siapa yang mengetahui asal muasal kejadian dirinya, saya berani memastikan
bahwa orang itu tidak akan membanggakan dirinya sendiri! Adapu sifat jamal
(sifat yang bagus) itu ialah, sifat yang selalu berusaha menyebutkan bahwa pada
dasarnya adanya dirinya itu, karena adanya yang mewujudkan keberadannya”.
Kanjeng Nabi Khidir menandaskan penjelsannya, “Demikianlah
yang difirmankan Allah kepada Nabi Muhammad yang menjadi kekasih-Nya, bunyi
firman-Nya sebagai berikut : kalau tidak ada dirimu, Saya (Allah) tidak akan
dikenal atau disebut. Hanya dengan sebab adanya kamulah yang menyebut akan
keberadaan-Ku. Sehingga kelihatan seolah-olah satu dengan dirimu. Adanya Aku
(Allah), menjadikan ada dirimu. Wujudmu menunjukkan adanya wujud Dzat-Ku.
Dan untuk menjelaskan jati dirmu, tidakkah kau sadari, bahwa
hampir ada persamaan Asma-Ku yang baik (Asmaul Husna) dengan sebutan manusia
yang baik itu semua kau maksudkan untuk memudahkan pengambaran perwujudan
tentang Diri-Ku. Padahal kau tahu, Aku berada dengan dirimu, yang tak mungkin
dapat disamakan satu sama lain. Dan kamu pasti mengalami dan tidak mungkin
dapat melukiskan atau menyebutkan Asma-Ku dengan setepat-tepatnya. Namamu yang
baik dapat menyerupai nama-Ku yang baik (Asmaul Husna)”. Selanjutnya Kanjeng
Nabi Khidir bertanya, “Apakah kamu sudah dapat meraih sebutan nama yang baik
itu? Baik di dunia maupun di akhirat? Kamu ini merupakan penerus atau pewaris
Muhammad Rasulullah, sekaligus Nabi Allah. Ya Illahi, ya Allah ya Tuhanku……”.
Kanjeng Nabi Khidir mengakhiri pembacaan Firman Allah SWT,
kemudian melanjutkan memberi penjelasan pada Sunan Kalijaga, “Tanda-tanda
adanya Allah itu, ada pada dirimu sendiri harap direnungkan dan diingat betul.
Asal mula Alif itu akan menjadikan dirimu bersusah-payah selagi hidup, Budi
Jati sebutannya. Yang tidak terasa, menimbulkan budi atau usaha untuk mengatasi
lika-liku kehidupan. Bagi orang yang senang membicarakan dan memuji dirinya
sendiri, akan dapat melemahkan semangat usahanya, antara tidak dan ya, penuh
dengan kebimbangan. Sedang yang dimaksudkan dengan jauhar budi (mutiara budi)
ialah, bila sudah mengetahui maksud dan budi iman yaitu menjalankan segala
tingkah laku dengan didasari keimanan kepada Allah. Alif tercipka karena sudah
menjadi ketentuan yang sudah digariskan. Sesungguhnya Alif itu, tetap kelihatan
apa adanya dan tidak dapat berubah. Itulah yang disebur Alif. Adapun bila
terjadi perubahan, itulah yang disebut Alif Adi, yang menyesuaikan diri dengan
keadaanmu Mutiara awal kehidupan (jauhar awal) dimaksudkan dengan kehidupan
tempo dulu yang betul-betul terjadisebagaimana tinja junub dan jinabat. Jauhar
awal ibarat bebauan atau aroma akan tiba saatnya, tidak boleh tidak akan kita
laksanakan dan rasakan di dalam kehidupan kita didunia. Jelasnya, kehidupan
yang telah digariskan sebelumnya oleh jauhar itu, telah memuat garis hidup dan
mati kita. Segalanya telah ditentukan di dalam jauhar awal.
Dari keterangan tentang jauhar awal tadi, tentu akan
menimbulkan pertanyaan, diantaranya, mengapa kamu wajib shalat di dalam dunia
ini? Penjelasannya demikian : Asal mula diwajibkan menjalankan shalat itu ialah
disesuaikan dengan ketentuan di zaman azali, kegaiban yang kau rasakan,
bukankah juga berdiri tegak, bersidakep mencipkatakan keheningan hati,
bersidekep menyatukan konsentrasi, menyatukan segala gerakmu? Ucapanmu juga kau
satukan, akhirnya kau rukuk tunduk kepada yang menciptakanmu. Merasa sedih
karena malu, sehingga menimbulkan keluar air matamu yang jernih, sehingga
tenanglah segala kehidupan ruhmu. Rhasia iman dapat kau resapi. Setelah
merasakan semua itu, mengapa harus sujud ke bumi? Pangkal mula dikerjakan sujud
bermula adanya cahaya yang memberi pertanda pentingnya sujud. Yaitu merasa
berhadapan dengan wujud Allah, biarpun tidak dapat melihat Allah sesungguhnya,
dan yakin bahwa Allah melihat segala gerak kita (pelajaran tentang ikhsan).
Dengan adanya agama Islam yang dimaksudkan, agar makhluk yang ada di bumi dan
di langit termasuk dirimu itu, beribadah sujud kepada Allah dengan hati yang
ikhlas sampai kepala diletakkan di muka bumi, sehingga bumi dengan segala
keindahannya tidak tampak dihadapanmu, hatimu hanya ingat Allah semata-mata. Ya
demikianlah seharusnya perasaanmu, senantiasa merasa sujud dimuka bumi ini.
Mengapa pula menjalankan duduk diam seakan-akan menunggu sesuatu? Melambungkan
pengosongan diri dengan harapan ketemu Allah. Padahal sebenarnya itu tidak
dapat mempertemukan dengan Allah. Allah yang kau sembah itu betul-betul ada.
Dan hanya Allah-lah tempat kamu mengabdikan diri dengan sesungguhnya.
Dan janganlah sekali-kali dirimu menggap sebagai Allah. Dan
dirimu jangan pula menganggap sebagai Nabi Muhammad. Untuk menemukan rahasia
(rahsa) yang sebenarnya herus jeli, sebab antara rahasia yang satu berbeda
dengan rahasia yang lain. Dari Allah-lah Nabi Muhammad mengetahui segala
rahasia yang tersembunyi. Nabi Muhammad sebagai makhluk yang dimuliakan Allah.
Beliu sering menjalankan puasa. Dan akan dimuliakan makhluk-Nya, kalau mau
mengeluarkan shodagoh. Dimuliakan makhluk-Nya bagi yang dapat naik haji. Dan
makhluk-Nya akan dimuliakan, kalau melakukan ibadah shalat”.
Bersambung……………..
Alang alang kumitir
Posted by SAYYID PENDITA at 9:18 PM
MAKRIFAT SUNAN KALIJAGA (4)
Wallahu Alam Bishshawab.
Moga Bermanfaat.
Insya ALLAH
.........................................................
No comments:
Post a Comment