Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Sesungguhnya Aku berniat kerana Allah:
Daku Niatkan Tasbih anggota-anggota organ tubuhku buat Allah.
Ku serahkan seluruh kehidupanku kebergantungan sepenuhnya kepada Mu Ya Allah..
Hatiku berdetik disetiap saat menyebut Subhanallah سبحان الله
Denyutan Nadiku dengan Alhamdulillah الحمد لله
Degupan Jantongku bertasbih LA ILAHA ILLALLAH لا إله إلا الله
Hembusan Nafasku berzikir Allāhu akbar الله أكبر
الحمد لله syukur kepada الله
Mengagumkan, Menolak Batu Merah Delimanya Dibeli Cash Rp. 5 Milyar
*
Seperti pada kisah Menolak Tawaran Rp. 500 juta untuk Seekor Burung Gagak dan Andai Semua Mubaligh Seperti Ini, kisah ini juga menimpa sehabat kebanggaan saya, yang kita sebut disini, Ahmad. Dibandingkan kisah sekarang ini, menolak Rp. 500 juta itu tidak seberapa. Ahmad juga sanggup menolak uang cash 5 Milyar. Luar biasa!! Tentu sangat sulit menemukan orang seperti ini zaman sekarang. Tapi, jangan salah orang itu ada. Seperti kisahnya yang lain, kisah ini mudah-mudahan menjadi renungan, pelajaran dan hikmah bagi kita semua. Marilah kita mengambil hikmah dan keteladanan atas kemuliaan seseorang yang kita belum sanggup seperti itu.
Kisah ini terjadi tahun 2006 di Bandung ketika Ahmad tidak lama baru pulang dari perjalannnya 4 tahun mengembara menjadi mushafir dalam pengertian yang sesungguhnya. Ia berjalan kaki ke seluruh Indonesia tanpa bekal sedikitpun. Perintah mengembara itu datang dari seseorang yang datang dalam bayangan ketika Ahmad berada dipuncak penderitaan hidupnya. Tapi, hingga 5 tahun sejak mulai mengembara, Ahmad tidak juga kenal siapa orang itu, wajahnya pun tidak jelas. Tujuan perintahnya pun tidak tahu. Pokoknya, orang tua yang berjubah putih dan berwibawa itu menyuruhnya pergi dari rumahnya dan berjalan kaki mengembara tidak tahu kemana dan untuk berapa lama. Seperti Nabi Ibrahim yang yakin bahwa perintah menyembelih anaknya Ismail datang dari Tuhan, Ahmad pun yakin itu perintah yang harus dilaksanakan. Apalagi ia sedang berada dalam puncak penderitaannya. Dan ia pun selesai melaksanakan tugas itu dengan tentu segudang pengalaman selama di perjalannya. Sebuah pengalaman spiritual yang dahsyat. Tidak aneh, kalau Ahmad yang tadinya orang biasa-biasa, tidak berkualitas, bahkan pernah terjerumus pada rusaknya pergaulan dan kejahatan, kemudian berubah total dan memiliki banyak sekali kelebihan-kelebihan yang tidak dimiliki orang biasa. Kini Ahmad adalah seorang penasehat yang menyentuh pada siapa saja yang memerlukannya dan jama’ah pengajiannya sudah ribuan.
Banyak keanehan, keajaiban dan misteri yang ia alami selama pengembaraannya, diantaranya, yang akan saya ceritakan ini. Dalam sebuah perjalanan, Ahmad diberi sebuah batu kecil berwarna merah oleh seorang tua yang tak dikenalnya. Sebelumnya, ia tidak tahu sedikitpun itu batu apa. Karena tidak tahu, ia simpan saja dan tidak pernah memikirkannya. Dari obrolan dengan beberapa orang yang ia kenali dan ajak ngobrol di perjalanannya, ia diberitahu bahwa itu adalah batu Merah Delima. Ia diberitahu juga keistimewaan-keistimewaan batu itu. Tapi ia tetap tak memikirkannya. Pokoknya, itu pemberian dan ia menyimpannya sebagai kenangan dari orang tua misterius itu. Tapi, pikirannya kemudian terpengaruh juga. Ia penasaran ingin mencoba keanehan batu itu seperti diceritakan orang-orang kepadanya.
Suatu hari, Ahmad menjajarkan beberapa gelas bening dan semuanya diisi air putih. Pada gelas yang pertama ia memasukkan batu kecil itu. Ia kaget luar biasa, semua air dalam gelas-gelas yang berjejer itu menjadi merah warnanya. Unik juga, pikirnya. Masih penasaran, ia mencoba juga seperti dikatakan orang-orang kepadanya. Suatu saat, ia masuk ke sebuah kolam yang airnya kehijau-hijauan. Kemudian ia mencelupkan batu itu dengan tangannya. Ajaib, ia kaget luar biasa. Tiba-tiba, seluruh kolam menjadi merah oleh pengaruh batu itu. Ahmad baru percaya itu bukan batu sembarangan. Lalu Ahmad berfikir-fikir, orang tua itu siapa? Dan apa maksudnya memberikan batu sakti itu kepadanya?
Selama di perjalanannya mengembara, Ahmad selalu berusaha menjaga tauhid dan keimanannya kepada Allah. Ia pun tidak ingin hatinya terpengaruh oleh batu itu. Merah delima itu hanyalah batu. Ia tidak ingin melebih-lebihkannya dan ia pun menganggapnya biasa-biasa saja. Ahmad sadar betul, imannya tidak ingin rusak. “Yang hebat itu Allah bukan batu itu,” begitu yang ada dalam pikirannya. Ia takut sekali terjerumus pada sikap syirik karena mengagungkan batu itu. Ahmad pun bersikap biasa saja, ia menyimpan batu itu dalam sebuah kotak korek api dan tidak mengingat-ingatnya.
Suatu hari di tahun 2006, entah tahu dari mana, datang utusan seorang pengusaha di Jakarta mengontaknya dan mengetahui bahwa ia mempunyai batu merah delima yang ternyata banyak dicari-cari orang itu, dan konon harganya sangat mahal. Pengusaha itu tertarik untuk membelinya. Ia ingin bertemu dan melihat-lihat batu itu. Dalam hatinya, Ahmad tidak berniat menjualnya tapi ia ingin tahu apa keinginan mereka. Bertemulah mereka di sebuah tempat di Bandung. Datanglah dua mobil utusan pengusaha itu. Salah seorangnya adalah tentara dengan membawa pistol. Utusan itu mengatakan, bosnya di Jakarta ingin membeli batu itu tapi ingin menguji dulu keasliannya. Dalam pertemuan itu disepakatilah, batu itu diminta dibawa dulu ke Jakarta oleh rombongan dan, sebagai jaminan, Ahmad diberi uang perkenalan Rp. 2 juta. Bila jadi dibeli, mereka akan kembali lagi membawa cash 5 milyar. Bila tidak jadi, batu akan dikembalikan dan uang 2 juta milik Ahmad. Karena sejak awal, Ahmad memang tidak mengagung-agungkan batu itu, ia ringan saja mempersilahkan dan ia bersyukur mendapat uang Rp. 2 juta. Berangkatlah rombongan itu ke Jakarta. Ahmad pun pulang ke rumahnya dengan riang.
Sesudah sekitar dua jam perjalanan, rombongan yang sedang di perjalanan menuju Jakarta itu mengakui kaget. Ia menelpon Ahmad dan menyatakan batu itu hilang dari mereka. Ahmad kaget juga. Jangan-jangan mereka menipu. Penasaran, ia mengambil kotak korek api tempat batu itu di laci mejanya. Lho? Ia juga kaget, batu itu ada di kotak korek itu lagi. Begitu memberitahu batu itu ternyata ada dikotaknya lagi, rombongan itu berjanji akan datang lagi dalam waktu dua hari. Mereka ingin bertemu lagi di tempat yang sama. Ahmad hanya terheran-heran dengan kejadian itu.
Setelah dua hari benarlah rombongan itu datang lagi. Setelah bertemu, akhirnya batu itu diuji keasliannya oleh mereka di tempat itu juga. Awalnya, batu itu ditaruh di dekat beberapa ekor ayam dengan ditaburi beras didekatnya. Aneh, tak satu pun ayam berani mendekatinya. Kemudian, salah seorang dari rombongan itu, tentara yang membawa pistol, membuat skenario. Sambil basa-basi, ia meminta Ahmad memegang batu itu dan mengatakan mungkin cocok untuk dibeli. Ketika batu dipegang Ahmad, tiba-tiba si tentara mengambil pistolnya dan ditembakkan ke arah dada Ahmad di depan kumpulan orang-orang: “Doorr ….!” Suara letusan senjata kerasa sekali. Mereka kaget, Ahmad tidak apa-apa. Peluru itu mental dan tidak menembus dadanya.
Tapi Ahmad, benar-benar kaget luar biasa dibuatnya. Ia sama sekali tidak menyangka dan sangat kaget seberani itu mereka menembak dirinya. Mereka tidak berfikir bagaimana bila ia mati? Ahmad merasa dipermainkan dan ia tersinggung dengan cara seperti itu. Mereka bermain-main dengan nyawa orang. Ahmad tidak terima dan terjadilah keributan. Ahmad marah-marah dan membentak mereka semua. Rombongan berusaha menjelaskan bahwa itu adalah caranya menguji keaslian batu merah delima yang terkenal istimewa dan memiliki kekuatan itu. Ahmad tetap tidak terima diperlakukan seperti itu. “Bagaimana kalau saya mati??!! Goblok! seenaknya saja kamu!” Melihat Ahmad tidak terima dan marah, rombongan itu ketakutan. Mereka berusaha menenangkannya. Tentara itu kena bogem mentah Ahmad dan terjungkal ke tanah. Beberapa orang itu terus berusaha menenangkan Ahmad. Akhirnya, mereka membawa Ahmad ke dalam mobilnya. Di dalam mobil mereka memperlihatkan gepokan uang sangat banyak dalam dua buah koper besar. Mereka mengatakan percaya batu itu adalah asli dan berniat membelinya seharga Rp. 5 miliar sebagai perintah dari bosnya, seorang pengusaha Cina di Jakarta. Bila Ahmad tidak percaya dengan keaslian uang itu mereka siap mengurusnya melalui bank.
Ternyata, ini yang diluar dugaan mereka, uang banyak itu tidak sedikit pun mempengaruhi Ahmad. Mereka tidak berhasil meredam kekesalan Ahmad yang merasa dilecehkan dengan memainkan nyawa orang. Ia tetap marah karena ia merasa dirinya tidak memiliki keistimewaan apa-apa. Bagaimana bila ia mati beneran? Sambil membentak, ia memutuskan batu tidak akan dijual. Ia tidak tertarik dengan uang itu. Ahmad membentak: “Pergi kamu semua dan bawa lagi uang itu. Saya tidak butuh!” Mereka memaksanya karena sangat menginginkannya. Mereka agak memaksa dan bicara soal uangnya yang sudah ada di mobil. Terjadi keributan lagi. Ahmad tetap tidak mau. Ia menilai aneh dan tidak wajar sebuah batu akan dibeli milayaran rupiah padahal batu itu ia anggap biasa-biasa saja dan, bukan apa-apa. Tapi, Ahmad tahu batu akan dibeli sebagai azimat. Sambil memarahi, Ahmad mengusir mereka. Mereka terus mendesak. Karena terus dipaksa-paksa, Ahmad tiba-tiba melakukan atraksi yang mengagetkan mereka semua dan ia sendiri tidak merencanakannya.
“Niih … lihat, daripada kamu semua maksa-maksa terus saya menjual batu ini, niih… lihaat … lihaat oleh kamu semua!! Ahmad membuka mulutnya dan “clup!” batu itu dimasukkan dan menelannya. “Sekarang kamu mau apa hah? Pulang kamu semua!! Cepaat… sebelum saya lebih marah lagi..!! Cepaat.. saya tidak takut oleh kamu semua!!” Orang-orang itu pada kaget, kebingungan melihat batu yang sangat berharga itu ditelan. Ini benar-benar luar biasa. Mungkin dalam pikiran mereka, orang ini sudah tidak mempan ditembak, batunya ditelan lagi. Mereka semakin takut dan akhirnya rombongan itu masuk mobil dan tancap gas sebelum terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Mereka kabur dan kembali ke Jakarta dengan nihil.
Ketika Ahmad menceritakan peristiwa ini, saya tentu tidak mengerti dan sangat menyesalkannya. Sambil terheran-heran saya bertanya, mengapa ia tidak menjualnya. Dengan uang itu, kita bisa berbuat amal yang banyak: menyumbang, membangun masjid, membuat sekolah, naik haji sekeluarga dan menghajikan orang tua selain membeli rumah yang bagus, mobil dll. Tapi, Ahmad hanya menjawab pendek: “Dari cara seperti itu?! Dari uang hasil begitu? Gak akan bener Kaang ..!!” Jawaban itu tanpa ekspresi penyesalan sedikitpun. Jawaban yang membuat saya merenung dan berfikir.
Tapi, diam-diam saya menemukan kebenaran pada sikapnya. Setelah merenung, akhirnya saya pun setuju dan membenarkannya. Hati saya mengatakan: “Inilah orang kaya yang sesungguhnya. Orang kaya sejati adalah orang yang tidak ditaklukan oleh keinginan-keinginan dan angan-angan. Kekayaan hatinya dan kebesaran jiwanya telah menganggap kecil kekayaan dunia. Sedangkan orang-orang yang selalu sibuk mencari uang, sudah kaya dan terus ingin menambah kekayaannya karena selalu merasa kurang, justru itulah orang-orang miskin. Kemiskinan mental dan jiwanya menyebabkan mereka tak pernah puas mencari kepuasan dan kesenangan duniawi.” Saya bersyukur didekatkan dengan orang kaya yang sebenarnya ini. Saya pun mengubur harapan bahwa ia akan membayar utang-utannya da utang saya juga atau membelikan saya ini itu dari uang itu. “Mari kita cari dari cara yang berkah, sobat!” kata Ahmad. Setelah peristiwa itu, hari demi hari, minggu demi minggu, bulan dan bulan, tahun demi tahun, Ahmad tidak pernah membahas peristiwa itu. Ia melupakan telah “membuang” uang begitu besar. Batu itu hingga kini masih meraga dalam tubuhnya. Entah bagaimana akhirnya. Wallahu’alam!
Seperti pada kisah Menolak Tawaran Rp. 500 juta untuk Seekor Burung Gagak dan Andai Semua Mubaligh Seperti Ini, kisah ini juga menimpa sehabat kebanggaan saya, yang kita sebut disini, Ahmad. Dibandingkan kisah sekarang ini, menolak Rp. 500 juta itu tidak seberapa. Ahmad juga sanggup menolak uang cash 5 Milyar. Luar biasa!! Tentu sangat sulit menemukan orang seperti ini zaman sekarang. Tapi, jangan salah orang itu ada. Seperti kisahnya yang lain, kisah ini mudah-mudahan menjadi renungan, pelajaran dan hikmah bagi kita semua. Marilah kita mengambil hikmah dan keteladanan atas kemuliaan seseorang yang kita belum sanggup seperti itu.
Kisah ini terjadi tahun 2006 di Bandung ketika Ahmad tidak lama baru pulang dari perjalannnya 4 tahun mengembara menjadi mushafir dalam pengertian yang sesungguhnya. Ia berjalan kaki ke seluruh Indonesia tanpa bekal sedikitpun. Perintah mengembara itu datang dari seseorang yang datang dalam bayangan ketika Ahmad berada dipuncak penderitaan hidupnya. Tapi, hingga 5 tahun sejak mulai mengembara, Ahmad tidak juga kenal siapa orang itu, wajahnya pun tidak jelas. Tujuan perintahnya pun tidak tahu. Pokoknya, orang tua yang berjubah putih dan berwibawa itu menyuruhnya pergi dari rumahnya dan berjalan kaki mengembara tidak tahu kemana dan untuk berapa lama. Seperti Nabi Ibrahim yang yakin bahwa perintah menyembelih anaknya Ismail datang dari Tuhan, Ahmad pun yakin itu perintah yang harus dilaksanakan. Apalagi ia sedang berada dalam puncak penderitaannya. Dan ia pun selesai melaksanakan tugas itu dengan tentu segudang pengalaman selama di perjalannya. Sebuah pengalaman spiritual yang dahsyat. Tidak aneh, kalau Ahmad yang tadinya orang biasa-biasa, tidak berkualitas, bahkan pernah terjerumus pada rusaknya pergaulan dan kejahatan, kemudian berubah total dan memiliki banyak sekali kelebihan-kelebihan yang tidak dimiliki orang biasa. Kini Ahmad adalah seorang penasehat yang menyentuh pada siapa saja yang memerlukannya dan jama’ah pengajiannya sudah ribuan.
Banyak keanehan, keajaiban dan misteri yang ia alami selama pengembaraannya, diantaranya, yang akan saya ceritakan ini. Dalam sebuah perjalanan, Ahmad diberi sebuah batu kecil berwarna merah oleh seorang tua yang tak dikenalnya. Sebelumnya, ia tidak tahu sedikitpun itu batu apa. Karena tidak tahu, ia simpan saja dan tidak pernah memikirkannya. Dari obrolan dengan beberapa orang yang ia kenali dan ajak ngobrol di perjalanannya, ia diberitahu bahwa itu adalah batu Merah Delima. Ia diberitahu juga keistimewaan-keistimewaan batu itu. Tapi ia tetap tak memikirkannya. Pokoknya, itu pemberian dan ia menyimpannya sebagai kenangan dari orang tua misterius itu. Tapi, pikirannya kemudian terpengaruh juga. Ia penasaran ingin mencoba keanehan batu itu seperti diceritakan orang-orang kepadanya.
Suatu hari, Ahmad menjajarkan beberapa gelas bening dan semuanya diisi air putih. Pada gelas yang pertama ia memasukkan batu kecil itu. Ia kaget luar biasa, semua air dalam gelas-gelas yang berjejer itu menjadi merah warnanya. Unik juga, pikirnya. Masih penasaran, ia mencoba juga seperti dikatakan orang-orang kepadanya. Suatu saat, ia masuk ke sebuah kolam yang airnya kehijau-hijauan. Kemudian ia mencelupkan batu itu dengan tangannya. Ajaib, ia kaget luar biasa. Tiba-tiba, seluruh kolam menjadi merah oleh pengaruh batu itu. Ahmad baru percaya itu bukan batu sembarangan. Lalu Ahmad berfikir-fikir, orang tua itu siapa? Dan apa maksudnya memberikan batu sakti itu kepadanya?
Selama di perjalanannya mengembara, Ahmad selalu berusaha menjaga tauhid dan keimanannya kepada Allah. Ia pun tidak ingin hatinya terpengaruh oleh batu itu. Merah delima itu hanyalah batu. Ia tidak ingin melebih-lebihkannya dan ia pun menganggapnya biasa-biasa saja. Ahmad sadar betul, imannya tidak ingin rusak. “Yang hebat itu Allah bukan batu itu,” begitu yang ada dalam pikirannya. Ia takut sekali terjerumus pada sikap syirik karena mengagungkan batu itu. Ahmad pun bersikap biasa saja, ia menyimpan batu itu dalam sebuah kotak korek api dan tidak mengingat-ingatnya.
Suatu hari di tahun 2006, entah tahu dari mana, datang utusan seorang pengusaha di Jakarta mengontaknya dan mengetahui bahwa ia mempunyai batu merah delima yang ternyata banyak dicari-cari orang itu, dan konon harganya sangat mahal. Pengusaha itu tertarik untuk membelinya. Ia ingin bertemu dan melihat-lihat batu itu. Dalam hatinya, Ahmad tidak berniat menjualnya tapi ia ingin tahu apa keinginan mereka. Bertemulah mereka di sebuah tempat di Bandung. Datanglah dua mobil utusan pengusaha itu. Salah seorangnya adalah tentara dengan membawa pistol. Utusan itu mengatakan, bosnya di Jakarta ingin membeli batu itu tapi ingin menguji dulu keasliannya. Dalam pertemuan itu disepakatilah, batu itu diminta dibawa dulu ke Jakarta oleh rombongan dan, sebagai jaminan, Ahmad diberi uang perkenalan Rp. 2 juta. Bila jadi dibeli, mereka akan kembali lagi membawa cash 5 milyar. Bila tidak jadi, batu akan dikembalikan dan uang 2 juta milik Ahmad. Karena sejak awal, Ahmad memang tidak mengagung-agungkan batu itu, ia ringan saja mempersilahkan dan ia bersyukur mendapat uang Rp. 2 juta. Berangkatlah rombongan itu ke Jakarta. Ahmad pun pulang ke rumahnya dengan riang.
Sesudah sekitar dua jam perjalanan, rombongan yang sedang di perjalanan menuju Jakarta itu mengakui kaget. Ia menelpon Ahmad dan menyatakan batu itu hilang dari mereka. Ahmad kaget juga. Jangan-jangan mereka menipu. Penasaran, ia mengambil kotak korek api tempat batu itu di laci mejanya. Lho? Ia juga kaget, batu itu ada di kotak korek itu lagi. Begitu memberitahu batu itu ternyata ada dikotaknya lagi, rombongan itu berjanji akan datang lagi dalam waktu dua hari. Mereka ingin bertemu lagi di tempat yang sama. Ahmad hanya terheran-heran dengan kejadian itu.
Setelah dua hari benarlah rombongan itu datang lagi. Setelah bertemu, akhirnya batu itu diuji keasliannya oleh mereka di tempat itu juga. Awalnya, batu itu ditaruh di dekat beberapa ekor ayam dengan ditaburi beras didekatnya. Aneh, tak satu pun ayam berani mendekatinya. Kemudian, salah seorang dari rombongan itu, tentara yang membawa pistol, membuat skenario. Sambil basa-basi, ia meminta Ahmad memegang batu itu dan mengatakan mungkin cocok untuk dibeli. Ketika batu dipegang Ahmad, tiba-tiba si tentara mengambil pistolnya dan ditembakkan ke arah dada Ahmad di depan kumpulan orang-orang: “Doorr ….!” Suara letusan senjata kerasa sekali. Mereka kaget, Ahmad tidak apa-apa. Peluru itu mental dan tidak menembus dadanya.
Tapi Ahmad, benar-benar kaget luar biasa dibuatnya. Ia sama sekali tidak menyangka dan sangat kaget seberani itu mereka menembak dirinya. Mereka tidak berfikir bagaimana bila ia mati? Ahmad merasa dipermainkan dan ia tersinggung dengan cara seperti itu. Mereka bermain-main dengan nyawa orang. Ahmad tidak terima dan terjadilah keributan. Ahmad marah-marah dan membentak mereka semua. Rombongan berusaha menjelaskan bahwa itu adalah caranya menguji keaslian batu merah delima yang terkenal istimewa dan memiliki kekuatan itu. Ahmad tetap tidak terima diperlakukan seperti itu. “Bagaimana kalau saya mati??!! Goblok! seenaknya saja kamu!” Melihat Ahmad tidak terima dan marah, rombongan itu ketakutan. Mereka berusaha menenangkannya. Tentara itu kena bogem mentah Ahmad dan terjungkal ke tanah. Beberapa orang itu terus berusaha menenangkan Ahmad. Akhirnya, mereka membawa Ahmad ke dalam mobilnya. Di dalam mobil mereka memperlihatkan gepokan uang sangat banyak dalam dua buah koper besar. Mereka mengatakan percaya batu itu adalah asli dan berniat membelinya seharga Rp. 5 miliar sebagai perintah dari bosnya, seorang pengusaha Cina di Jakarta. Bila Ahmad tidak percaya dengan keaslian uang itu mereka siap mengurusnya melalui bank.
Ternyata, ini yang diluar dugaan mereka, uang banyak itu tidak sedikit pun mempengaruhi Ahmad. Mereka tidak berhasil meredam kekesalan Ahmad yang merasa dilecehkan dengan memainkan nyawa orang. Ia tetap marah karena ia merasa dirinya tidak memiliki keistimewaan apa-apa. Bagaimana bila ia mati beneran? Sambil membentak, ia memutuskan batu tidak akan dijual. Ia tidak tertarik dengan uang itu. Ahmad membentak: “Pergi kamu semua dan bawa lagi uang itu. Saya tidak butuh!” Mereka memaksanya karena sangat menginginkannya. Mereka agak memaksa dan bicara soal uangnya yang sudah ada di mobil. Terjadi keributan lagi. Ahmad tetap tidak mau. Ia menilai aneh dan tidak wajar sebuah batu akan dibeli milayaran rupiah padahal batu itu ia anggap biasa-biasa saja dan, bukan apa-apa. Tapi, Ahmad tahu batu akan dibeli sebagai azimat. Sambil memarahi, Ahmad mengusir mereka. Mereka terus mendesak. Karena terus dipaksa-paksa, Ahmad tiba-tiba melakukan atraksi yang mengagetkan mereka semua dan ia sendiri tidak merencanakannya.
“Niih … lihat, daripada kamu semua maksa-maksa terus saya menjual batu ini, niih… lihaat … lihaat oleh kamu semua!! Ahmad membuka mulutnya dan “clup!” batu itu dimasukkan dan menelannya. “Sekarang kamu mau apa hah? Pulang kamu semua!! Cepaat… sebelum saya lebih marah lagi..!! Cepaat.. saya tidak takut oleh kamu semua!!” Orang-orang itu pada kaget, kebingungan melihat batu yang sangat berharga itu ditelan. Ini benar-benar luar biasa. Mungkin dalam pikiran mereka, orang ini sudah tidak mempan ditembak, batunya ditelan lagi. Mereka semakin takut dan akhirnya rombongan itu masuk mobil dan tancap gas sebelum terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Mereka kabur dan kembali ke Jakarta dengan nihil.
Ketika Ahmad menceritakan peristiwa ini, saya tentu tidak mengerti dan sangat menyesalkannya. Sambil terheran-heran saya bertanya, mengapa ia tidak menjualnya. Dengan uang itu, kita bisa berbuat amal yang banyak: menyumbang, membangun masjid, membuat sekolah, naik haji sekeluarga dan menghajikan orang tua selain membeli rumah yang bagus, mobil dll. Tapi, Ahmad hanya menjawab pendek: “Dari cara seperti itu?! Dari uang hasil begitu? Gak akan bener Kaang ..!!” Jawaban itu tanpa ekspresi penyesalan sedikitpun. Jawaban yang membuat saya merenung dan berfikir.
Tapi, diam-diam saya menemukan kebenaran pada sikapnya. Setelah merenung, akhirnya saya pun setuju dan membenarkannya. Hati saya mengatakan: “Inilah orang kaya yang sesungguhnya. Orang kaya sejati adalah orang yang tidak ditaklukan oleh keinginan-keinginan dan angan-angan. Kekayaan hatinya dan kebesaran jiwanya telah menganggap kecil kekayaan dunia. Sedangkan orang-orang yang selalu sibuk mencari uang, sudah kaya dan terus ingin menambah kekayaannya karena selalu merasa kurang, justru itulah orang-orang miskin. Kemiskinan mental dan jiwanya menyebabkan mereka tak pernah puas mencari kepuasan dan kesenangan duniawi.” Saya bersyukur didekatkan dengan orang kaya yang sebenarnya ini. Saya pun mengubur harapan bahwa ia akan membayar utang-utannya da utang saya juga atau membelikan saya ini itu dari uang itu. “Mari kita cari dari cara yang berkah, sobat!” kata Ahmad. Setelah peristiwa itu, hari demi hari, minggu demi minggu, bulan dan bulan, tahun demi tahun, Ahmad tidak pernah membahas peristiwa itu. Ia melupakan telah “membuang” uang begitu besar. Batu itu hingga kini masih meraga dalam tubuhnya. Entah bagaimana akhirnya. Wallahu’alam!
No comments:
Post a Comment