MAKNA LAA ILAAHA ILLALLAH (لاَ إِلهَ إِلاَّ الله)
لاَ إِلهَ إلاَّ الله merupakan kalimat yang sangat akrab dengan kita, bahkan kalimat inilah yang kita jadikan sebagai panji tauhid dan identitas keislaman. Kalimat ini sangat mudah diucapkan, namun menuntut adanya sebuah konsekuensi yang amat besar. Oleh karena itu, Allah gelari kalimat ini sebagai “Al ‘Urwatul Wutsqo” (buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus), sebagaimana dalam firman-Nya:
{فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لَا انْفِصَامَ لَهَا وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ} [البقرة: 256]
“Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut (segala apa yang diibadahi selain Allah) dan beriman kepada Allah, maka sungguh ia telah berpegang kepada Al ‘Urwatul Wutsqo (buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus). Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al Baqarah: 256)
Memahami makna لاَ إِلهَ إِلاَّ الله merupakan perkara yang diwajibkan oleh Allah atas setiap muslim, sebagaimana dalam firman-Nya:
{فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ} [محمد: 19]
“Maka ketahuilah (ilmuilah) bahwa sesungguhnya tidak ada ilah yang berhak di ibadahi melainkan Allah.” (QS. Muhammad: 19)
Al-Imam Al-Biqo’i berkata: “Sesungguhnya ilmu tentang (kalimat) ‘Laa ilaaha illallah’ (لاَ إِلهَ إِلاَّ الله) ini merupakan ilmu yang paling agung yang dapat menyelamatkan dari kengerian di hari kiamat.
لاَ إِلهَ إِلاَّ الله bila ditinjau secara harfiah bermakna:
– لاَ (Laa) : Tidak ada, atau tiada
– إله (Ilaaha) : اَلإلَهُ adalah sesuatu yang hati ini rela untuk beribadah kepada-Nya dengan penuh kecintaan, pemujaan, kepasrahan, pemuliaan, pengagungan, pengabdian, perendahan diri, rasa takut dan harapan, serta penyerahan diri.
Jadi ilah maknanya adalah sesuatu yang diibadahi, atau dengan kata lain ilah bermakna ma’bud (sesuatu yang diibadahi)
– إلاَّ (illa) : Kecuali, atau melainkan
– الله (Allah) : Ibnu Abbas berkata: Allah, Dialah yang mempunyai hak uluhiyyah (hak sebagai ilah) dan hak untuk diibadah atas seluruh makhluk-Nya.
Adapun bila ditinjau dari rangkaian kata secara utuh, maka maknanya adalah
لاَ مَعْبُوْدَ بِحَقٍّ إِلاَّ الله
“Tiada ilah yang berhak diibadahi melainkan Allah semata.
لاَإِلهَ sebagai nafyu (peniadaan) atas segala apa yang diibadahi selain Allah,
إِلاَّ الله sebagai itsbat (penetapan) bahwa seluruh ibadah hanyalah milik Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya dalam hal ibadah ini, sebagaimana tiada sekutu bagi-Nya dalam hal kekuasaan.”
Dari penjelasan di atas ada suatu permasalahan yang menarik untuk dibahas, yaitu: yang berkaitan dengan makna لاَ إِلهَ إِلاَّ الله itu sendiri, dimana muncul suatu tanda tanya:
Mengapa tidak dimaknakan dengan
لاَ إِلهَ مَوْجُوْدٌ إلاَّ الله “Tiada ilah yang ada melainkan Allah?”
atau لاَ خَالِقَ إلاَّ الله “Tiada Pencipta melainkan Allah?”
Adapun yang pertama, mengapa tidak dimaknakan dengan
لاَ إِلهَ مَوْجُوْدٌ إلاَّ الله “Tiada ilah yang ada melainkan Allah?”
Maka jawabnya adalah, karena di alam semesta ini banyak benda/makhluk yang diibadahi selain Allah, seperti pohon, batu, manusia dan lain sebagainya. Itu semua disebut sebagai ilah. Sehingga secara fakta ilah lain selain Allah itu ada, namun itu batil, yakni mereka tidak berhak dijadikan ilah, mereka dijadikan ilah dengan cara yang batil. Maka segala sesuatu selain Allah yang diibadahi (dijadikan ilah) adalah batil. Adapun yang berhak dijadikan ilah adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala satu-satu-Nya tidak ada sekutu bagi-Nya.
Oleh karena itu Allah Ta’ala berfirman:
{ ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّ مَا يَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ هُوَ الْبَاطِلُ وَأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْعَلِيُّ الْكَبِير} [الحج: 62]
“Demikianlah, karena sesungguhnya Allah, Dialah yang haq (Ilah yang sebenarnya, yang wajib diibadahi), dan sesungguhnya apa saja selain Allah yang mereka seru (ibadahi) itulah yang batil, dan sesungguhnya Allah, Dialah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (Q.S. Al-Hajj : 62)
Maka meninjau dari pengertian di atas, maka tidak tepat jika لاَ إِلهَ إِلاَّ الله dimaknakan
لاَ إِلهَ مَوْجُوْدٌ إلاَّ الله “Tiada ilah yang ada melainkan Allah?”
Karena faktanya ilah lain selain Allah itu ada, namun mereka itu batil. Oleh karena itu makna yang tepat adalah :
لاَ مَعْبُوْدَ بِحَقٍّ إِلاَّ الله
“Tiada ilah yang berhak diibadahi melainkan Allah semata.
Tidak pula dimaknakan dengan لاَ خَالِقَ إلاَّ الله “Tiada pencipta melainkan Allah”,
Memang benar, bahwa tiada Pencipta kecuali hanya Allah saja. Ini keyakinan yang wajib diimani oleh seorang muslim. Namun menjadikan “Tiada pencipta melainkan Allah” sebagai makna lailaha illallah adalah tidak tepat.
Karena makna إله dalam syahadat لاَ إِلهَ إِلاَّ الله ini bermakna مَأْلُوْهٌ yang artinya مَعْبُوْدٌ (yang diibadahi), bukan Pencipta, sebagaimana yang telah lalu dari penjelasan para ulama.
Bahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyebutkannya dalam banyak ayat-Nya bahwa makna ilah adalah ma’bud (yang berhak diibadahi), seperti firman-Nya :
{أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا اللَّهَ} [هود: 2]
“Agar kalian tidak beribadah kecuali kepada Allah.” (Q.S. Huud:2)
Perhatikan, Allah menafsirkan lailaha illallah, dengan tidak beribadah kecuali kepada Allah. Maka dari sini kita memahami dua hal
– ilah bermakna ma’bud (yang diibadahi)
– Kalimat lailaha illallah adalah meniadakan peribadatan kepada selain Allah, dan menetapkan peribadatan hanya kepada Allah saja. Jadi tidak benar jika lailaha illallah dimaknakan dengan “Tiada pencipta melainkan Allah”.
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman :
{وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ لِأَبِيهِ وَقَوْمِهِ إِنَّنِي بَرَاءٌ مِمَّا تَعْبُدُونَ (26) إِلَّا الَّذِي فَطَرَنِي فَإِنَّهُ سَيَهْدِينِ (27)} [الزخرف: 26، 27]
“Sesungguhnya aku (Ibrohim) berlepas diri dari apa yang kalian ibadahi kecuali Dzat yang telah menciptakanku (Allah).” (Q.S. Az Zukhruf: 26-27)
Perhatikan, pada ayat di atas Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan sikap Nabi Ibrohim ‘alaihis salam sebagai bentuk realisasi kalimat tauhid lailaha illallah, yaitu sikap berlepas diri dari segala sesuatu yang diibadahi selain Allah, dan menetapkan hak ibadah tersebut hanya untuk Allah semata. Jadi tidak benar jika lailaha illallah dimaknakan dengan “Tiada pencipta melainkan Allah”
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman :
{أَلَّا نَعْبُدَ إِلَّا اللَّهَ وَلَا نُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا} [آل عمران: 64]
“Agar kita tidak beribadah kecuali hanya kepada Allah, dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatupun.” (Q.S. Ali Imron: 64)
Sekali lagi, makna lailaha illallah adalah tidak beribadah kecuali hanya kepada Allah, dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatupun. Maka tidak benar jika lailaha illallah dimaknakan dengan “Tiada pencipta melainkan Allah”
Ayat-ayat di atas merupakan tafsiran dari kalimat لاَ إِلهَ إِلاَّ الله dan terkhusus lafadz إله yang darinya diketahui bahwa ia bermakna: مَعْبُوْدٌ “yang diibadahi” bukan bermakna “Pencipta”.
Kemudian, bila kita tinjau keadaan orang-orang musyrik Quraisy yang saat itu enggan bahkan menentang untuk mengucapkan لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهniscaya kita mendapati bahwa mereka telah berikrar bahwa Allahlah yang menciptakan mereka. Allah U berfirman:
{وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَهُمْ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ} [الزخرف: 87]
“Dan sesungguhnya jika kamu bertanya kepada mereka: “Siapakah yang menciptakan mereka? Niscaya mereka menjawab: “Allah.” (Q.S. Az Zukhruf: 87)
Kalau seandainya yang dimaukan dari kalimat لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ tersebut suatu ikrar bahwa Allah adalah pencipta, maka tentunya tidak akan ada permusuhan antara mereka dengan Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam , dan tidak akan pula mereka dinyatakan sebagai orang-orang musyrik.
Namun disaat kalimat tauhid ini berkonsekuensi untuk meninggalkan segala bentuk peribadatan kepada selain Allah, dan menjadikan Allah sebagai satu-satunya Dzat yang diibadahi, maka terjadilah apa yang terjadi antara Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam dengan kaum Quraisy, bahkan antara para rasul sebelumnya dengan kaum mereka masing-masing. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
{إِنَّهُمْ كَانُوا إِذَا قِيلَ لَهُمْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ يَسْتَكْبِرُونَ (35) وَيَقُولُونَ أَئِنَّا لَتَارِكُوا آَلِهَتِنَا لِشَاعِرٍ مَجْنُونٍ (36)} [الصافات: 35، 36]
“Sesungguhnya mereka dahulu apabila dikatakan (kepada mereka): لاَ إِلهَ إِلاَّ الله (tiada ilah yang berhak diibadahi melainkan Allah) mereka menyombongkan diri dan mereka berkata: “Apakah kami harus meninggalkan ilah-ilah (sesembahan-sesembahan) kami karena seorang penyair gila?” (Q.S. Ash Shooffaat: 35-36)
Dia juga berfirman (tentang ucapan orang-orang kafir):
{ أَجَعَلَ الْآَلِهَةَ إِلَهًا وَاحِدًا إِنَّ هَذَا لَشَيْءٌ عُجَابٌ} [ص: 5]
“Mengapa ia (Rasul) menjadikan ilah-ilah (sesembahan-sesembahan) yang banyak itu menjadi satu ilah saja? Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan.” (Q.S. Shaad: 5)
Yakni kaum musyrikin Quraisy tidak setuju dengan dakwah Nabi Muhammad shallallahu ‘alahi wa sallam untuk meninggalkan ilah-ilah yang banyak, yaitu batu, pohon, kuburan, berhala, para wali yang mereka jadikan ilah (mereka ibadahi) – yang jumlah ilah mereka sangat banyak– maka itu semua harus ditinggalkan, dan hanya beribadah kepada satu ilah saja, yaitu Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Kaum Quraisy enggan dan menolak makna ini, sementara kaum mukminin yang beriman kepada menerima sepenuhnya makna ini. Maka kaum Quraisy adalah musyrikin dan kafir, dan kaum mukminin adalah para muslimin sekaligus muwahhidin (orang-orang yang tunduk patuh kepada Allah dengan bertauhid kepada-Nya).
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
{وَمَنْ أَحْسَنُ دِينًا مِمَّنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ وَاتَّبَعَ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا} [النساء: 125]
“Siapakah yang lebih baik agama-Nya daripada orang-orang yang berislam (menyerahkan) wajahnya hanya kepada Allah, dan mereka itu berbuat ihsan (mengikuti Rasulullah dalam amalnya) dan mengikuti millah Ibrahim yang lurus.” (An-Nisa’ : 125)
Dari sini jelaslah bahwa makna syahadat لاَ إِلهَ إِلاَّ الله adalah لاَ مَعْبُوْدَ بِحَقٍّ إِلاَّ الله , tidak selainnya.
Demikianlah penjelasan dari kami seputar makna لاَ إِلهَ إِلاَّ الله , semoga bahasan yang relatif singkat ini dapat membantu kita semua di dalam memahami kalimat لاَ إِلهَ إِلاَّ الله sesuai dengan apa yang dimaukan oleh Allah dan Rasul-Nya.
MUTIARA HADITS SHAHIH
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam, siapakah yang paling bahagia untuk mendapatkan syafa’atmu?
Beliau shallallahu ‘alahi wa sallam menjawab:
مَنْ قَالَ : لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله خَالِصًا مِنْ قَلْبِهِ
“ (yaitu): Barangsiapa yang mengucapkan kalimat لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله dalam keadaan ikhlash (bersih dari berbagai kesyirikan) keluar dari lubuk hatinya. (H.R Al Bukhari dan yang lainnya)
No comments:
Post a Comment