أعُوْذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ
Sesungguhnya Aku berniat kerana اللهَ
Tugasan gerak organ-organ tubuh badanKu kepada اللهَ
Daku Niatkan Tasbih anggota-anggota organ tubuhku buat اللهَ.
Ku serahkan seluruh kehidupanku kebergantungan sepenuhnya KepadaMu Ya اللهَ
(الْحَمْدُ لِلَّهِ)Tahmid Dengan Denyutan Nadiku
(لَا إِلٰهَ إِلَّا ٱلله)Tahlil Degupan Jantungku
(اللَّهُ أَكْبَرُ)Takbir dalam Hela Turun Naik Nafasku
اَلْحَمْدُ ِللهِ syukur kepadaMU YA اللهَ
وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللَّ ... اَللَّهُمَّ صَلِّىْ عَلَىْ سَيِّدِنَامُحَمَّدٍ ALLAH اللهَ
ALLAH اللهَ
Syekh Siti Jenar – Pandangan Murid-Murid tentang ajaran beliau
Seterusnya[Next]:- Syekh Siti Jenar – Pengertian Solat
ALLAH اللهَ ALLAH اللهَ ALLAH اللهَALLAH اللهَ
وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللَّ ... اَللَّهُمَّ صَلِّىْ عَلَىْ سَيِّدِنَامُحَمَّدٍ ALLAH اللهَ
Syekh Siti Jenar – Pandangan Murid-Murid tentang ajaran beliau
Syekh Siti Jenar – Pandangan Murid-Murid tentang ajaran beliau
Pengeran Panggong
“….Saya mencari ilmu sejati yang
berhubungan langsung dengan asal dan tujuan hidup, dan itu saya
pelajari melalui tanajjul tarki. Menurut saya , untuk mengharapkan
hidayah hanyalah bias didapat dengan kesejatian ilmu. Demi kesentausaan
hati menggapai gejolak jiwa, saya tidak ingin terjebak dalam syariat.”
“Jika saya terjebak dalam syariat, maka
seperti burung sudah bergerak, akan tetapi mendapatkan pikiran yang
salah. Karena perbuatan salah dalam syariat adalah pada kesalahpahaman
dalam memahami larangan. Bagi saya kesejatian ilmu itulah yang
seharusnya dicari dan disesuaikan dengan ilmu kehidupan. Kebanyakan
manusia itu, jika sudah sampai pada janji maka hatinya menjadi
khawatir, wataknya selalu was-was…senantiasa takut gagal….Alam dibawah
kolong langit, diatas hamparan bumi dan semua isi didalamnya hanyalah
ciptaan Yang Esa, tidak ada keraguan. Lahir batin harus bulat, mantap
berpegang pada tekad.” (Serat Suluk Malang Sumirang, Pupuh 1-2).
“Yang membuat kita paham akan diri
kita, Pertama tahu akan datang ajal, karena itu tahu jalan
kemuliaannya, Kedua, tahu darimana asalnya ada kita ini sesungguhnya,
berasal dari tidak ada. Kehendak-Nya pasti jadi, dan kejadian itu
sendiri menjadi misal. Wujud mustahil pertandanya sebagai cermin yang
bersih merata keseluruh alam. Yang pasti dzatnya kosong, sekali dan
tidak ada lagi. Dan janganlah menyombongkan diri, bersikaplah menerima
jika belum berhasil. Semua itu kehendak Sang Maha Pencipta. Sebagai
makhluk ciptaan, manusia didunia ini hanya satu repotnya. Yaitu tidak
berwenang berkehendak, dan hanya pasrah kepada kehendak Allah.”
“Segala yang tercipta terdiri dari
jasad dan sukma, serta badan dan nyawa. Itulah sarana utama, yakni
cahaya, roh, dan jasad. Yang tidak tahu dua hal itu akan sangat
menyesal. Hanya satu ilmunya, melampaui Sang Utusan. Namun bagi yang
ilmunya masih dangkal akan mustahil mencapai kebenaran, dan manunggal
dengan Allah. Dalam hidup ini, ia tidak bisa mengaku diri sebagai
Allah, Sukma Yang Maha Hidup. Kufur jika menyebut diri sebagai Allah.
Kufur juga jika menyamakan hidupnya dengan Hidup Sang Sukma, karena
sukmaitu adalah Allah.” [Serat Suluk Malang Sumirang, Pupuh 2].
” Waktu shalat merupakan pilihan waktu
yang sesungguhnya berangkat dari ilmu yang hebat. Mengertikah Anda,
mengapa shalat dzuhur empat raka’at? Itu disebabkan kita manusia
diciptakan dengan dua kaki dan dua tangan. Sedang shalat ‘Ashar empat
raka’at juga, adalah kejadian bersatunya dada dengan Telaga al-Kautsar
dengan punggung kanan dan kiri. Shalat Maghrib itu tiga raka’at, karena
kita memiliki dua lubang hidung dan satu lubang mulut. Adapun shalat
‘Isya’ enjadi empat raka’at karena adanya dua telinga dan dua buah
mata. Adapun shalat Subuh, mengapa dua raka’at adalah perlambang dari
kejadian badan dan roh kehidupan. Sedangkan shalat tarawih adalah
sunnah muakkad yang tidak boleh ditinggalkan dua raka’atnya oleh yang
melakukan, men-jadi perlambang tumbuhnya alis kanan dan kiri.”
“Adapun waktu yang lima, bahwa
masing-masing berbeda-beda yang memilikinya. Shalat Subuh, yang
memiliki adalah Nabi Adam. Ketika diturunkan dari surga mulia, berpisah
dengan istrinya Hawa menjadi sedih karena tidak ada kawan. Lalu ada
wahyu dari melalui malaikat Jibril yang mengemban perintah Tuhan kepada
Nabi Adam, “Terimalah cobaan Tuhan, shalat Subuhlah dua raka’at”. Maka
Nabi Adampun siap melaksanakannya. Ketika Nabi Adam melaksanakan shalat
Subuh pada pagi harinya, ketika salam. Telah mendapati istrinya berada
dibelakangnya, sambil menjawab salam. Shalat Dzuhur dimaksudkan ketika
Kanjeng Nabi Ibrahim pada zaman kuno mendapatkan cobaan besar,
dimasukkan ke dalam api hendak dihukum bakar. Ketika itu Nabi Ibrahim
mendapat wahyu ilahi, disuruh untuk melaksanakan shalat Dzuhur empat
raka’at. Nabi Ibrahim melaksanakan shalat, api padam seketika. Adapun
shalat Ashar, dimaksudkan ketika Nabi Yunus sedang naik perahu dimakan
ikan besar. Nabi Yunus merasakan kesusahan ketika berada di dalam perut
ikan. Waktu itu terdapat wahyu Ilahi, Nabi Yunus diperintahkan
melaksanakan shalat Ashar empat raka’at. Nabi Yunus segera
melaksanakan, dan ikan itu tidak mematikannya. Malah ikan itu mati,
kemudian Nabi Yunus keluar dari perut ikan. Sedangkan shalat Maghrib
pada zaman kuno yang memulainya adalah Nabi Nuh. Ketika musibah banjir
bandang sejagat, Nabi Nuh bertaubat merasa bersalah. Dia diterima
taubatnya disuruh mengerjakan shalat. Kemudian Nabi Nuh melaksanakan
shalat Maghrib tiga raka’at, maka banjirpun surut seketika. Shalat
‘Isya sesungguhnya Nabi Isa yang memulainya. Ketika kalah perang
melawan Raja Harkiyah (Juga disebut Raja Herodes, atasan Gubernur
Pontius Pilatus) semua kaumnya bingung tidak tahu utara, selatan,
barat, timur dan tengah. Nabi Isa merasa susah, dan tidak lama kemudian
datang malaikat Jibril membawa wahyu dengan uluk salam. Nabi Isa
diperintahkan melaksanakan shalat ‘Isya. Nabi Isa menyanggupinya, dan
semua kaumnya mengikutinya, dan malaikat Jibril berkata, “Aku yang
membalaskan kepada Pendeta Balhum.” [Serat Suluk Malang Sumirang, Pupuh
2].
“Menurut pemahaman saya, sesuai
petunjuk Syekh Siti Jenar dahulu, anasir itu ada empat yang berupa
anasir batin dan ansir lahir. Pertama, anasir Gusti. Perlu dipahami
dengan baik dzat, sifat, asma dan af’al (perbuatan) kedudukannya dalam
rasa. Dzat maksudnya adalah bahwa diri manusia dan apapun yang kemerlap
di dunia ini tidak ada yang memiliki kecuali Tuhan Yang Maha Tinggi,
yang besar atau yang kecil adalah milik Allah semua. Ia tidak memiliki
hidupnya sendiri. Hanya Allah yang Hidup, yang Tunggal. Adapun sifat
sesungguhnya segala wujud yang kelihatan yang besar atau kecil, seisi
bumi dan langit tidak ada yang memiliki hanya Allah Tuhan Yang Maha
Agung. Adapun asma sesungguhnya, nama semua ciptaan seluruh isi bumi
adalah milik Tuhan Allah Yang Maha Lebih Yang Maha Memiliki Nama.
Sedangkan artinya af’al adalah seluruh gerak dan perbuatan yang
kelihatan dari seluruh makhluk isi bumi ini adalah tidak lain dari
perbuatan Allah Yang Maha Tinggi, demikian maksud anasir Gusti.”
“Anasir roh, ada empat perinciannya
yang berwujud ilmu yang dinamai cahaya persaksian (nur syuhud).
Maksudnya adalah sebagai berikut : pertama, yang disebut wujud
sesungguhnya adalah hidup sejati atau amnusia sejati seperti
pertempuran yang masih perawan itulah yang dimaksud badarullah yang
sebenarnya. Kedua, yang disebut ilmu adalah pengetahuan batin yang
menjadi nur atau cahaya kehidupan atau roh idhafi, cahaya terang
menyilaukan seperti bintang kejora. Ketiga, yang dimaksud syuhud adalah
kehendak batin kejora. Ketiga, yang dimaksud syuhud adalah kehendak
batin tatkala memusatkan perhatian terutama ketika mengucapkan takbir.
Demikianlah penjelasan tentang anasir roh, percayalah kepada
kecenderungan hati.”
“Anasir manusia maksudnya hendaklah
dipahami bahwa manusia itu terdiri dari bumi, api, angin dan air. Bumi
itu menjadi jasad, api menjadi cahaya yang bersinar, angin menjadi
napas keluar masuk, air, menjadi darah. Keempatnya bergerak tarik
menarik secara ghaib. Demikianlah penjelasan saya tentang anasir.
[Serat Suluk Malang Sumirang, Pupuh 3].
Syekh Amongraga
”Syekh Amongraga adalah salah seorang
pewaris ajaran Syekh Siti Jenar pada masa Sultan Agung Hanyokusumo
(1645). Mengenai rincian kehidupan dan ajaran Syekh Amongraga dapat
dibaca di serat Centini”.
Syekh Amongraga mewasiatkan berbagai inti ajaran yang meliputi (Primbon Sabda Sasmaya; hlm. 24):
1. Rahayu ing Budhi (selamat akhlak dan moral).
2. Mencegah dan berlebihnya makanan.
3. Sedikit tidur.
4. Sabar dan tawakal dalam hati.
5. Menerima segala kehendak dan takdir Tuhan.
6. Selalu mensyukuri takdir Tuhan.
7. Mengasihi fakir dan miskin.
8. Menolong orang yang kesusahan.
9. Memberi makan kepada orang yang lapar.
10. Memberi pakaian kepada orang yang telanjang.
11. Memberikan payung kepada orang yang kehujanan.
12. Memberikan tudung kepada orang yang kepanasan.
13. Memberikan minum kepada orang yang haus.
14. Memberikan tongkat penunjuk kepada orang yang buta.
15. Menunjukkan jalan kepada orang yang tersesat.
16. Menyadarkan orang yang lupa.
17. Membenarkan ilmu dan laku orang yang salah.
18. Mengasihi dan memuliakan tamu.
19. Memberikan maaf kepada kesalahan dan dosa sanak-kandung, saudara, dan semua manusia.
20. Jangan merasa benar, jangan merasa
pintar dalam segala hal, jangan merasa memiliki, merasalah bahwa semua
itu hanya titipan dari Tuhan yang membuat bumi dan langit, jadi manusia
itu hanyalah sudarma (memanfaatkan dengan baik dengan tujuan dan cara
yang baik pula) saja. Pakailah budi, syukur, sabar, menerima, dan rela.
Ajaran Syekh Amongraga itu sebenarnya meliputi semua tindakan manusia
di dalam menyelami kehidupan di bumi ini, yang disebut Syekh Siti Jenar
sebagai alam kematian. Dalam memahami 20 ajaran tersebut, hendaknya
jangan terjebak dalam segi kontekstualnya saja, namun hendaknya
diselami dengan segenap nalar dan rasa batin.
Syari’at Palsu Para Wali Menurut Ki Cantula
“Menurut ajaran guruku Syekh Siti
Jenar, di dunia ini alam kematian. Oleh karena itu, dunia yang sunyi
ini tidak ada Hyang Agung serta malaikat. Akan tetapi bila saya besok
sudah ada di alam kehidupan saya akan berjumpa dan kadang kala saya
menjadi Allah. Nah, di situ saya akan bersembahyang.”
“Jika sekarang saya disuruh sholat di
mesjid saya tidak mau, meskipun saya bukan orang kafir. Boleh jadi saya
orang terlantar akan Pangeran Tuhan. Kalau santri gundul, tidak tahunya
yang ada di sini atau di sana. Ia berpengangan kandhilullah, mabuk akan
Allah, buta lagi tuli.”
“Lain halnya dengan saya, murid Syekh
Siti Jenar. Saya tidak menghiraukan ujar para Wali, yang mengkukuhkan
Syari’at palsu, yang merugikan diri sendiri. Nah, Syekh Dumba,
pikirkanlah semua yang saya katakan ini. Dalam dadamu ada Al-Qur’an.
Sesuai atau tidak yang saya tuturkan itu, kanda pasti tahu.” [Serat
Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh V Pangkur, 8-18]
Ki Bisono
Ki Bisana menyanggupi kemudian menjawab pertanyaan dari Sultan Demak:
“Pertanyaan pertama : Pertanyaan, bahwa
Allah menciptakan alam semesta itu adalah kebohongan belaka. Sebab alam
semesta itu barang baru, sedang Allah tidak membuat barang yang
berwujud menurut dalil : layatikbiyu hilamuhdil, artinya tiada
berkehendak menciptakan barang yang berwujud. Adapun terjadinya alam
semesta ini ibaratnya : drikumahiyati : artinya menemukan keadaan. Alam
semesta ini : la awali. Artinya tiada berawal. Panjang sekali kiranya
kalau hamba menguraikan bahwa alam semesta ini merupakan barang baru,
berdasarkan yang ditulis dalam Kuran.”
“Pertanyaan yang kedua : Paduka
bertanya di mana rumah Hyang Widi. Hal itu bukan merupakan hal yang
sulit, sebab Allah sejiwa dengan semua zat. Zat wajibul wujud itulah
tempat tinggalnya, seumpamanya Zat tanahlah rumahnya. Hal ini panjang
sekali kalau hamba terangkan. Oleh karena itu hamba cukupkan sekian
saja uraian hamba.”
“Selanjutnya pertanyaan ketiga :
berkurangnya nyawa siang malam, sampai habis ke manakah perginya nyawa
itu. Nah, itu sangat mudah untuk menjawabnya. Sebab nyawa tidak dapat
berkurang, maka nyawa itu bagaikan jasad , berupa gundukan, dapat aus,
rusak dimakan anai-anai. Hal inipun akan panjang sekali untuk hamba
uraikan. Meskipun hamba orang sudra asal desa, akan tetapi tata bahasa
kawi hamba mengetahui juga, baik bahasa biasa maupun yang dapat
dinyanyikan. Lagu tembang sansekerta pun hamba dapat menyanyikan juga
dengan menguraikan arti kalimatnya, sekaligus hamba bukan seorang empu
atau pujangga, melainkan seorang yang hanya tahu sedikit tentang ilmu.”
“Itu semua disebabkan karena hamba
berguru kepada Syekh Siti Jenar, di Krendhasawa, tekun mempelajari
kesusasteraan dan menuruti perintah guru yang bijaksana. Semua murid
Syekh Siti Jenar menjadi orang yang cakap, berkat kemampuan mereka
untuk menerima ajaran guru mereka sepenuh hati.”
“Adapun pertanyaan yang keempat :
paduka bertanya bagaimanakah rupa Yang Maha Suci itu. Kitab Ulumuddin
sudah memberitahukan : walahu lahir insan, wabatinul insani
baitu-baytullahu (Arab asli : wa Allahu dzahir al-insan, wabathin,
al-insanu baytullahu), artinya lahiriah manusia itulah rupa Hyang Widi.
Batiniah manusia itulah rumah Hyang Widi. Banyak sekali yang tertulis
dalam Kitab Ulumuddin, sehingga apabila hamba sampaikan kepada paduka,
Kanjeng Pangeran Tembayat tentu bingung, karena paduka tidak dapat
menerima, bahkan mungkin paduka mengira bahwa hamba seorang majenun.
Demikianlah wejangan Syekh Siti Jenar yang telah hamba terima.”
“Guru hamba menguraikan asal-usul
manusia dengan jelas, mudah diterima oleh para siswa, sehingga mereka
tidak menjadi bingung. Diwejang pula tentang ilmu yang utama, yang
menjelaskan tentang dan kegunaan budi dalam alam kematian di dunia ini
sampai alam kehidupan di Akhirat. Uraiannya jelas dapat dilihat dengan
mata dan dibuktikan dengan nyata.”
“Dalam memberikan pelajaran, guru hamba
Syekh Siti Jenar, tiada memakai tirai selubung, tiada pula memakai
lambang-lambang. Semua penjelasan diberikan secara terbuka, apa adanya
dan tanpa mengharapkan apa-apa sedikitpun. Dengan demikian musnah
segala tipu muslihat, kepalsuan dan segala perbuatan yang dipergunakan
untuk melakukan kejahatan. Hal ini berbeda dengan apa yang dilakukan
para guru lainnya. Mereka mengajarkan ilmunya secara diam-diam dan
berbisik-bisik, seolah-olah menjual sesuatu yang gaib, disertai dengan
harapan untuk memperoleh sesuatu yang menguntungkan untuk dirinya.”
“Hamba sudah berulang kali berguru
serta diwejang oleh para wali mu’min, diberitahu akan adanya Muhammad
sebagai Rosulullah serta Allah sebagai Pangeran hamba. Ajaran yang
dituntunkan menuntun serta membuat hamba menjadi bingung dan menurut
pendapat hamba ajaran mereka sukar dipahami, merawak-rambang tiada
patokan yang dapat dijadikan dasar atau pegangan. Ilmu Arab menjadi
ilmu Budha, tetapi karena tidak sesuai kemudian mereka mengambil dasar
dan pegangan Kanjeng Nabi. Mereka mematikan raga, merantau kemana-mana
sambil menyiarkan agama. Padahal ilmu Arab itu tiada kenal bertapa,
kecuali berpuasa pada bulan Romadan, yang dilakukan dengan mencegah
makan, tiada berharap apapun.”
“Jadi jelas kalau para wali itu masih
manganut agama Budha, buktinya mereka masih sering ketempat-tempat
sunyi, gua-gua, hutan-hutan, gunung-gunung atau tepi samudera dengan
mengheningkan cipta, sebagai laku demi terciptanya keinginan mereka
agar dapat bertemu dengan Hyang Sukma. Itulah buktinya bahwa mereka
masih dikuasai setan ijajil. Menurut cerita Arab Ambiya, tiada orang
yang dapat mencegah sandang pangan serta tiada untuk kuasa berjaga
mencegah tidur kecuali orang Budha yang mensucikan dirinya dengan jalan
demikian. Nah, silahkan memikirkan apa yang hamba katakan, sebagai
jawaban atas empat pertanyaan paduka.”[Serat Syaikh Siti Jenar Ki
Sasrawijaya, Pupuh V Pangkur, 22-45].
Ki Lonthang Semarang
“Kalau menurut wejangan guru saya,
orang sembahyang itu siang malam tiada putusnya ia lakukan. Hai Bonang
ketahuilah keluarnya napasku menjadi puji. Maksudnya napasku menjadi
shalat. Karena tutur penglihatan dan pendengaran disuruh melepaskan
dari angan-angan, jadi kalau kamu shalat masih mengiaskan kelanggengan
dalam alam kematian ini, maka sesungguhnyalah kamu ini orang kafir.”
“Jika kamu bijaksana mengatur
tindakanmu, tanpa guna orang menyembah Rabbu’l ‘alamien, Tuhan sekalian
alam, sebab di dunia ini tidak ada Hyang Agung. Karena orang melekat
pada bangkai, meskipun dicat dilapisi emas, akhirnya membusuk juga,
hancur lebur bercampur dengan tanah. Bagaimana saya dapat bersolek?”
“Menurut wejangan Syekh Siti Jenar,
orang sembahyang tidak memperoleh apa-apa, baik di sana, maupun di
sini. Nyatanya kalau ia sakit, ia menjadi bingung. Jika tidur seperti
budak, disembarang tempat. Jika ia miskin, mohon agar menjadi kaya
tidak dikabulkan. Apalagi bila ia sakaratul maut, matanya membelalak
tiada kerohan. Karena ia segan meninggalkan dunia ini. Demikianlah
wejangan guru saya yang bijaksana.”
“Umumnya santri dungu, hanya berdzikir
dalam keadaan kosong dari kenyataan yang sesungguhnya, membayangkan
adanya rupa Zat u’llahu, kemudian ada rupa dan inilah yang ia anggap
Hyang Widi.”
“Apakah ini bukan barang sesat?
Buktinya kalau ia memohon untuk menjadi orang kaya tidak diluluskan.
Sekalipun demikian saya disuruh meluhurkan Dzat’llahu yang rupanya ia
lihat waktu ia berdzikir, mengikuti syara’ sebagai syari’at, jika
Jum’at ke mesjid berlenggang mengangguk-angguk, memuji Pangeran yang
sunyi senyap, bukan yang di sana, bukan yang di sini.”
“Saya disuruh makbudullah, meluhurkan
Tuhan itu, serta akan ditipu diangkat menjadi Wali, berkeliling menjual
tutur, sambil mencari nasi gurih dengan lauknya ayam betina berbulu
putih yang dimasak bumbu rujak pada selamatan meluhurkan Rasulullah. Ia
makan sangat lahap, meskipun lagaknya seperti orang yang tidak suka
makan. Hal itulah gambaran raja penipu!”
“Bonang, jangan berbuat yang demikian.
Ketahuilah dunia ini alam kematian, sedang akhirat alam kehidupan yang
langgeng tiada mengenal waktu. Barang siapa senang pada alam kematian
ini, ia terjerat goda, terlekat pada surga dan neraka, menemui panas,
sedih, haus, dan lapar”. [Serat Syaikh Siti Jenar, Ki Sastrawijaya,
Pupuh XI Pangkur, 9-20].
“Tiada usah merasa enggan menerima
petuahku yang tiga buah jumlahnya. Pertama janganlah hendaknya kamu
menjalankan penipuan yang keterlaluan, agar supaya kamu tidak
ditertawakan orang di kelak kemudian hari. Yang kedua, jangan kamu
merusak barang-barang peninggalan purba, misalnya : lontar naskah
sastra yang indah-indah, tulisan dan gambar-gambar pada batu candhi.
Demikian pula kayu dan batu yang merupakan peninggalan kebudayaan zaman
dulu, jangan kamu hancur-leburkan. Ketahuilah bagi suku Jawa
sifat-sifat Hindu-Budha tidak dapat dihapus. Yang ketiga, jika kamu
setuju, mesjid ini sebaiknya kamu buang saja musnahkan dengan api. Saya
berbelas kasihan kepada keturunanmu, sebab tidak urung mereka menuruti
kamu, mabuk do’a, tersesat mabuk-tobat, berangan-angan lam yakunil.”
“…orang menyembah nama yang tiada
wujudnya, harus dicegah. Maka dari itu jangan kamu terus-teruskan,
sebab itu palsu.” [Serat Syaikh Siti Jenar, Ki Sastrawijaya, Pupuh XI
Pangkur, 25-36].
Sunan Panggung – Khutbah
“Banyak orang yang gemar dengan
ksejatian, tapi karena belum pernah berguru maka semua itu dipahami
dalam konteks dualitas. Yang satu dianggap wjud lain. Sesungguhnya
orang yng melihat sepeti ini akan kecewa. Apalagi yang ditemui akan
menjadi hilang. Walaupun dia berkeliling mencari, ia tidak akan
menemukan yang dicari. Padahal yang dicari, sesungguhnya telah ditimang
dan dipegang, bahkan sampai keberatan membawanya. Dan karena belum tahu
kesejatiannya, ciptanya tanpa guru menyepelekan tulisan dan kesejatian
Tuhan.”
“Walaupun dituturkan sampai capai,
ditunjukkan jalannya, sesungguhnya dia tidak memahaminya karena ia
hanya sibuk menghitung dosa besar dan kecil yg diketahuinya. Tentang
hal kufur kafir yang ditolaknya itu, bukti bahwa ia adalah orang yang
masih mentah pengetahuannya. Walaupun tidak pernah lupa sembahyang,
puasanya dapat dibangga-banggakan tanpa sela, tapi ia terjebak menaati
yang sudah ditentukan Tuhan.
Sembah puji dan puasa yang ditekuni,
membuat orang justru lupa akan sangkan paran (asal dan tujuan). Karena
itu, ia lebih konsentrasi melihat dosa besar-kecil yang dikhawatirkan,
dan ajaran kufur kafir yang dijauhi justru membuat bingung sikapnya.
Tidak ada dulu dinulu. Tidak merasa, tidak menyentuh. Tidak saling
mendekati, sehingga buta orang itu. Takdir dianggap tidak akan terjadi,
salah-salah menganggap ada dualisme antara Maha Pencipta dan Maha
Memelihara.
Jika aku punya pemikiran yang demikian,
lebih baik aku mati saja ketika masih bayi. Tidak terhitung tidak
berfikir, banyak orang yang merasa menggeluti tata lafal, mengkaji
sembahyang dan berletih-letih berpuasa. Semua itu dianggap akan mampu
mengantarkan. Padahal salah-salah menjadikan celaka dan bahkan banyak
yang menjadi berhala.”
“Pemikiran saya sejak kecil, Islam
tidak dengan sembahyang, Islam tidak dengan pakaian, Islam tidak dengan
waktu, Islam tidak dengan baju dan Islam tidak dengan bertapa. Dalam
pemikiran saya, yang dimaksud Islam tidak karena menolak atau menerima
yang halal atau haram.
Adapun yang dimaksud orang Islam itu,
mulia wisesa jati, kemuliaan selamat sempurna sampai tempat tinggalnya
besok. Seperti bulu selembar atau tepung segelintir, hangus tak
tersisa. Kehidupan di dunia seperti itu keberadaannya.”
“Manusia, sebelum tahu makna Alif, akan
menjadi berantakan….Alif menjadi panutan sebab uintuk semua huruf, alif
adalah yang pertama. Alif itu badan idlafi sebagai anugerah. Dua-duanya
bukan Allah. Alif merupakan takdir, sedangkan yang tidak bersatu
namanya alif-lapat. Sebelum itu jagat ciptaan-Nya sudah ada. Lalu alif
menjadi gantinya, yang memiliki wujud tunggal. Ya, tunggal rasa,
tunggal wujud. Ketunggalan ini harus dijaga betul sebab tidak ada yang
mengaku tingkahnya. ALif wujud adalah Yang Agung. Ia menjadi wujud
mutlak yang merupakan kesejatian rasa. Jenisnya ada lima, yaitu alif
mata, wajah, niat jati, iman, syari’at.”
“Allah itu penjabarannya adalah dzat
Yang Maha Mulia dan Maha Suci. Allah itu sebenarnya tidak ada lain,
karena kamu itu Allah. Dan Allah semua yang ada ini, lahir batin kamu
ini semua tulisan merupakan ganti dari alif, Allah itulah adanya.”
“Alif penjabarannya adalah permulaan
pada penglihatan, melihat yang benar-benar melihat. Adapun melihat Dzat
itu, merupakan cermin ketunggalan sejati menurun kepada kesejatianmu.
Cahaya yang keluar, kepada otak keberadaan kita di dunia ini merupakan
cahaya yang terang benderang, itu memiliki seratus dua puluh tujuh
kejadian. Menjadi penglihatan dan pendengaran, napas yang tunggal,
napas kehidupan yang dinamakan Panji. Panji bayangan dzat yang mewujud
pada kebanyakkan imam. Semua menyebut dzikir sejati, laa ilaaha
illallah.” [Serat Suluk Malang Sumirang, Pupuh 4].
Sunan Geseng - Kematian
“Banyak orang yang salah menemui
ajalnya. Mereka tersesat tidak menentu arahnya, pancaindera masih tetap
siap, segala kesenangan sudah ditahan, napas sudah tergulung dan
angan-angan sudah diikhlaskan, tetapi ketika lepas tirta nirmayanya
belum mau. Maka ia menemukan yang serba indah.”
“Dan ia dianggap manusia yang luar
biasa. Padahal sesungguhnya ia adalah orang yang tenggelam dalam
angan-angan yang menyesatkan dan tidak nyata. Budi dan daya hidupnya
tidak mau mati, ia masih senang di dunia ini dengan segala sesuatu yang
hidup, masih senang ia akan rasa dan pikirannya. Baginya hidup di dunia
ini nikmat, itulah pendapat manusia yang masih terpikat akan
keduniawian, pendapat gelandangan yang pergi ke mana-mana tidak menentu
dan tidak tahu bahwa besok ia akan hidup yang tiada kenal mati.
Sesungguhnyalah dunia ini neraka.”
“Maka pendapat Kyai Siti Jenar betul,
saya setuju dan tuan benar-benar seorang mukmin yang berpendapat tepat
dan seyogyanya tuan jadi cermin, suri tauladan bagi orang-orang lain.
Tarkumasiwalahu (Arab asli : tarku ma siwa Allahu), di dunia ini hamba
campur dengan kholiqbta, hambanya di surga, khaliknya di neraka agung.”
[Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh VIII Dandanggula, 29-31]
Shalat (tarek dan Daim)
Syekh Siti Jenar mengajarkan dua macam
bentuk shalat, yang disebut shalat tarek dan shalat daim. Shalat tarek
adalah shalat thariqah, diatas sedikit dari syari’at. Shalat tarek
diperuntukkan bagi orang yang belum mampu untuk sampai pada tingkatan
Manunggaling Kawula Gusti, sedang shalat daim merupakan shalat yang
tiada putus sebagai efek dari kemanunggalannya. Sehingga shalat daim
merupakan hasil dari pengalaman batin atau pengalaman spiritual. Ketika
seseorang belum sanggup melakukan hal itu, karena masih adanya hijab
batin, maka yang harus dilakukan adalah shalat tarek. Shalat tarek
masih terbatas dengan adanya lima waktu shalat, sedang shalat daim
adalah shalat yang tiada putus sepanjang hayat, teraplikasi dalam
keseluruhan tindakan keseharian ( penambahan, mungkin efeknya adalah
berbentuk suci hati, suci ucap, suci pikiran ); pemaduan hati, nalar,
dan tindakan ragawi.
Kata “tarek” berasal dari kata Arab
“tarki” atau “tarakki” yang memiliki arti pemisahan. Namun maksud lebih
mendalam adalah terpisahnya jiwa dari dunia, yang disusul dengan
tanazzul (manjing)-nya al-Illahiyah dalam jiwa. Shalat tarek yang
dimaksud di sini adalah shalat yang dilakukan untuk dapat melepaskan
diri dari alam kematian dunia, menuju kemanunggalan. Sehingga menurut
Syekh Siti Jenar, shalat yang hanya sekedar melaksanakan perintah
syari’at adalah tindakan kebohongan, dan merupakan kedurjanaan budi.
Pengambilan shalat tarek ini berasal
dari Kitab Wedha Mantra bab 221; Shalat Tarek Limang Wektu. (Sang
Indrajit: 1979, hlm. 63-66).
Keterangan bagi yang mengamalkan ilmu shalat tarek lima waktu ini.
(Semua hal yang berkaitan dengan shalat
tarek ini diterjemahkan dengan apa adanya dari Kitab Wedha Mantra.
Makna terjemahan yang bertanda kutip hanyalah arti untuk memudahkan
pemahaman. Adapun maksud dan substansi yang ada dalam kalimat-kalimat
asli dalam bahasa Jawa-Kawi, lebih mendalam dan luas dari pemahaman dan
terjemahan diatas.(penulisnya wanti-wanti banget). Pelaksanaan shalat
tarek bisa saja diamalkan bersamaan dengan shalat syari’at sebagaimana
biasa, bisa juga dilaksanakan secara terpisah. Hanya saja terdapat
perbedaan dalam hal wudlunya. Jika dalam shalat syari’at, anggota wudhu
yang harus dibasuh adalah wajah, tangan, sebagian kepala, dan kaki,
sementara dalam shalat tarek adalah di samping tempat-tempat tersebut,
harus juga membasuh seluruh rambut, tempat-tempat pelipatan anggota
tubuh, pusar, dada, jari manis, telinga, jidat, ubun-ubun, serta pusar
tumbuhnya rambut (Jawa; unyeng-unyengan). Walhasil wudlu untuk shalat
tarek sama halnya dengan mandi besar (junub/jinabat).
Bahwa kematian orang yang menerapkan
ilmu ini masih terhenti pada keduniaan, akan tetapi sudah mendapatkan
balasan surga sendiri. Maka paling tidak ujaran-ujaran shalat tarek ini
hendaknya dihafalkan, jangan sampai tidak, agar memperoleh kesempurnaan
kematian.
Bagi yang akan membuktikan, siapa saja
yang sudah melaksanakan ilmu ini, dapat saja dibuktikan. Ketika
kematian jasadnya didudukkan di daratan (di atas tanah), di kain kafan
serta diberi kain lurub (penutup) serta selalu ditunggu, kalau sudah
mendapatkan dan sampai tujuh hari, bisa dibuka, niscaya tidak akan
membusuk, (bahkan kalau iradah dan qudrahnya sudah menyatu dengan
Gusti), jasad dalam kafan tersebut sudah sirna. Kalau dikubur dengan
posisi didudukkan, maka setelah mendapat tujuh hari bisa digali
kuburnya, niscaya jasadnya sudah sirna, dan yang dikatakan bahwa sudah
menjadi manusia sempurna. Maka karena itu, orang yang menerapkan ilmu
ini, sudah menjadi manusia sejati.
Sedangkan tentang ilmu ini, bukanlah
manusia yang mengajarkan, cara mendapatkannya adalah hasil dari
laku-prihatin, berada di dalam khalwat (meditasi, mengheningkan cipta,
menyatu karsa dengan Tuhan sebagaimana diajarkan Syekh Siti Jenar).
Tentang anjuran untuk pembuktian di
atas, sebenarnya tidak diperlukan, sebab yang terpenting adalah
penerapan pada diri kita masing-masing. Justru pembuktian paling
efektif adalah jika kita sudah mengaplikasikan ilmu tersebut. Apalagi
pembuktian seperti itu jika dilaksanakan akan memancing kehebohan,
sebagaimana terjadi dalam kasus kematian Syekh Siti Jenar serta para
muridnya.
Seterusnya[Next]:- Syekh Siti Jenar – Pengertian Solat
اَللَّهُمَّ صَلِّىْ عَلَىْ سَيِّدِنَامُحَمَّدٍ
والله أعلم بالـصـواب
Moga Bermanfaat.
Moga Bermanfaat.
...........................................................................................................
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Subhanallah 100X سبحان الله
Alhamdulillah 100X الحمد لله
LA ILAHA ILLALLAH 100X لا إله إلا الله
Allāhu akbar 100X الله أكبر
Alhamdulillah syukur kepada ALLAH
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Subhanallah 100X سبحان الله
Alhamdulillah 100X الحمد لله
LA ILAHA ILLALLAH 100X لا إله إلا الله
Allāhu akbar 100X الله أكبر
Alhamdulillah syukur kepada ALLAH
No comments:
Post a Comment