04 December 2019

Pengertian Wali 2

Pengertian Wali 2 Wali secara etimologi berarti dekat. Adapun secara terminologi menurut pengertian sebagian ulama ahlussunah, wali adalah orang yang beriman lagi bertakwa tetapi bukan nabi. Sebagian ulama lain berpendapat bahwa seluruh orang yang beriman lagi bertakwa adalah disebut wali Allah, dan wali Allah yang paling utama adalah para nabi, yang paling utama di antara para nabi adalah para rasul, yang paling utama di antara para rasul adalah Ulul ‘azmi, yang paling utama di antara Ulul ‘azmi adalah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka para wali Allah tersebut memiliki perbedaan dalam tingkat keimanan mereka, sebagaimana mereka memiliki tingkat yang berbeda pula dalam kedekatan Mereka dengan Allah. Maka dapat disimpulkan di sini bahwa wali-wali Allah terbagi kepada dua golongan: Golongan petama, Assaabiquun Almuqarrabuun (barisan terdepan dari orang-orang yang dekat dengan Allah). Yaitu mereka yang melakukan hal-hal yang mandub (sunnah) serta menjauhi hal-hal yang makruh di samping melakukan hal-hal yang wajib. Sebagaimana lanjutan hadits: “Dan senantiasa seorang hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnah hingga Aku mencintainya”. Golongan kedua, Ashaabulyamiin (golongan kanan). Yaitu mereka hanya cukup dengan melaksanakan hal-hal yang wajib saja serta menjauhi hal-hal yang diharamkan, tanpa melakukan hal-hal yang mandub atau menjauhi hal-hal yang makruh. Sebagaimana yang disebutkan dalam potongan hadits di atas: “Dan tidaklah seorang hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu ibadah yang lebih Aku cintai dari apa yang telah Aku wajibkan kepadanya”.Kedua golongan ini disebutkan Allah dalan firman-Nya: “Adapun jika ia termasuk golongan yang dekat (kepada Allah). Maka dia memperoleh ketentraman dan rezki serta surga kenikmatan. Dan adapun jika ia termasuk golongan kanan. Maka keselamatan bagimu dari golongan kanan”. (QS. Al Waaqi’ah, ayat: 88-91). Kemudian para wali itu terbagi pula menurut amalan dan perbuatan Mereka kepada dua bagian; wali Allah dan wali setan. Maka untuk membedakan di antara kedua jenis wali ini perlu kita melihat amalan seorang wali tersebut, bila amalannya benar menurut Al-Qur’an dan Sunnah maka dia adalah wali Allah sebaliknya bila amalannya penuh dengan kesyirikan dan segala bentuk bid’ah maka dia adalah wali setan. Berikut kita akan rinci ciri-ciri dari kedua jenis wali tersebut. Ciri-ciri Wali Allah Allah telah menyebutkan ciri para waliNya dalam firman-Nya, “Ingatlah; sesungguhnya para wali-wali Allah Mereka tidak merasa takut dan tidak pula merasa sedih. Yaitu orang-orang yang beriman lagi bertakwa”. (QS. Yunus, ayat: 62-63). Ciri pertama, Beriman, artinya keimanan yang yang dimilikinya tidak dicampuri oleh berbagai bentuk kesyirikan. Keimanan tersebut tidak hanya sekedar pengakuan tetapi keimanan yang mengantarkan kepada bertakwa. Landasan keimanan yang pertama adalah Dua kalimat syahadat. Maka orang yang tidak mengucapkan dua kalimat syahadat atau melakukan hal-hal yang membatalkan kalimat tauhid tersebut adalah bukan wali Allah. Seperti menjadikan wali sebagai perantara dalam beribadah kepada Allah, atau menganggap bahwa hukum selain Islam adalah sama atau lebih baik dari hukum Islam. Atau berpendapat semua agama adalah benar. Atau berkeyakinan bahwa kenabian dan kerasulan tetap ada sampai hari kiamat bahwa Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bukan penutup segala rasul dan nabi. Ciri kedua, Bertakwa, artinya ia melakukan apa yang diperintah Allah dan menjauhi apa yang dilarang Allah. Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits ini yaitu melakukan hal-hal yang diwajibkan agama, ditambah lagi dengan amalan-amalan sunnah. Maka oleh sebab itu kalau ada orang yang mengaku sebagai wali, tapi ia meninggalkan beramal kepada Allah maka ia termasuk pada jenis wali yang kedua yaitu wali setan. Atau melakukan ibadah-ibadah yang tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah dan para sahabatnya. Baik dalam bentuk shalat maupun zikir, dll. Ciri-ciri Wali Setan Adapun ciri wali setan adalah orang yang mengikuti kemauan setan, mulai dari melakukan syirik dan bid’ah sampai berbagai bentuk kemaksiatan. Di antaranya adalah apa yang disebutkan dalam hadits ini yaitu memusuhi wali-wali Allah. Banyak cara setan dalam menyesatkan wali-walinya di antaranya adalah bila ada orang yang melarang berdoa atau meminta di kuburan wali, setan langsung membisikkan kepadanya bahwa orang ini tidak menghormati wali. Sebagaimana Allah terangkan dalam firman-Nya bahwa setan juga memberikan wahyu kepada para wali-wali mereka: “Sesungguhnya setan-setan itu mewahyukan kepada wali-wali Mereka untuk membantahmu, jika kamu menaati Mereka sesungguhnya kamu termasuk menjadi orang-orang musyrikin”. (QS. Al An’aam, ayat: 121). Sesungguhnya menghormati wali bukanlah dengan berdoa di kuburannya, justru ini adalah perbuatan yang di benci wali itu sendiri karena telah menyekutukannya dengan Allah. Manakah yang lebih tinggi kehormatan seorang wali di sisi Allah dengan kehormatan seorang nabi? Jelas nabi lebih tinggi. Jangankan meminta kepada wali kepada nabi sekalipun tidak boleh berdoa. Jangankan saat setelah mati di waktu hidup saja nabi tidak mampu mendatangkan manfaat untuk dirinya sendiri, apalagi untuk orang lain setelah mati!. Kalau hal itu benar tentulah para sahabat akan berbondong-bondong ke kuburan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saat Mereka kekeringan atau kelaparan atau saat diserang oleh musuh. Tapi kenyataan justru sebaliknya, saat paceklik terjadi di Madinah, Umar bin Khaththab mengajak kaum muslimin melakukan shalat istikharah kemudian menyuruh Abbas bin Abdul Muthalib berdoa, karena kedekatannya dengan Nabi, bukannya Umar meminta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena kehidupan beliau di alam barzah tidak bisa disamakan dengan kehidupan di alam dunia. Kemudian bentuk lain dari cara setan dalam menyesatkan wali-walinya adalah dengan memotivasi seseorang melakukan amalan-amalan bid’ah, sebagai contoh kisah yang amat mashur yaitu kisah Sunan Kalijaga, kita tidak mengetahui apakah itu benar dilakukan beliau atau kisah yang didustakan atas nama beliau, namun kita tidak mengingkari kalau memang beliau seorang wali, yang kita cermati adalah kisah kewalian beliau yang jauh dari tuntunan sunnah, yaitu beliau bersemedi selama empat puluh hari di tepi sebuah sungai kemudian di akhir persemedian beliau mendapatkan karomah. Kejanggalan pertama dari kisah ini adalah bagaimana beliau melakukan shalat, kalau beliau shalat berarti telah meninggalkan shalat berjamaah dan shalat Jum’at? adakah petunjuk dari Rasulullah untuk mencari karomah dengan persemedian seperti ini? Dengan meninggalkan shalat atau meninggalkan shalat berjamaah dan shalat Jum’at. Banyak orang berasumsi bila seseorang memiliki atau dapat melakukan hal-hal yang luar biasa dianggap sebagai wali. Padahal belum tentu, boleh jadi itu adalah tipuan atau sihir, atas bantuan setan dan jin setelah ia melakukan apa yang diminta oleh jin dan setan tersebut. Seperti ada orang yang bisa terbang atau berjalan di atas air atau tahan pedang atau bisa memberi tahu tentang sesuatu yang hilang, oleh sebab itu yang perlu dicermati dari setiap orang memiliki hal-hal yang serupa adalah bagaimana amalannya apakah amalannya sehari-hari menurut sunnah atau tidak? sebagaimana dikatakan Imam Syafi’i: “Bila kamu melihat seseorang berjalan di atas air atau terbang di udara maka ukurlah amalannya dengan sunnah”. Karena setan bisa membawa seseorang untuk terbang, atau memberi tahu para walinya sesuatu yang tidak dilihat oleh orang lain. Sebagaimana Dajjal yang akan datang di akhir zaman memiliki kekuatan yang luar biasa. Begitu pula para kaum musyrikin dapat mendengar suara dari berhala yang mereka sembah, pada hal itu adalah suara setan. Dan banyak sekali kejadian yang luar biasa dimiliki oleh orang-orang yang sesat begitu pula orang yang murtad dsb. Yang kesemuanya adalah atas tipuan setan. Sebagaimana yang diriwayatkan dalam kisah seorang Nabi palsu Mukhtar bin Abi ‘Ubaid, yang mengaku sebagai Nabi. Ia mengaku bahwa dia menerima wahyu, lalu seseorang berkata kepada Ibnu ‘Umar dan Ibnu ‘Abbas: sesungguhnya Mukhtar mengaku diturunkan kepadanya wahyu? Dua orang sahabat tersebut menjawab: benar, kemudian salah seorang dari Mereka membaca firman Allah: “Maukah kamu Aku beritakan kepada siapa turunnya para setan? Mereka turun kepada setiap pendusta yang banyak dosa “. (Asy Syu’araa, ayat: 221-222). Dan yang lain membaca firman Allah, “Dan sesungguhnya para setan itu mewahyukan kepada wali-wali Mereka untuk membantahmu”. (QS. Al An’aam, ayat: 121). Oleh sebab itu bila seseorang mendapat ilham dia tidak boleh langsung percaya sampai ia mengukur kebenarannya dengan Al-Qur’an dan Sunnah. Karena nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan dalam sebuah hadits: “Sesungguhnya dalam diri anak Adam terdapat bisikan dari setan dan bisikan dari malaikat”. (HR. A t Tirmizy no. 2988) Berkata Abu Sulaiman Ad Daraany: “Boleh jadi terbetik di hatiku apa yang terbetik di hati Mereka (orang-orang sufi) maka aku tidak menerimanya kecuali dengan dua saksi dari kitab dan sunnah.” Beberapa kesalahpahaman tentang kewalian yang terjadi di tengah-tengah masyarakat yaitu: 1. Berasumsi bahwa seorang wali itu Maksum (terbebas) dari segala kesalahan, sehingga mereka menerima segala apa yang dikatakan wali. Banyak orang memahami bahwa seseorang tidak akan pernah sampai kepada puncak kewalian kecuali ia (maksum) terbebas dari segala kesalahan, hal ini sangat menjauhi kebenaran yang terdapat dalam Islam. Sesungguhnya para ulama telah sepakat tiada yang maksum dari umat manusia kecuali para nabi dan rasul dalam hal menyampai wahyu yang mereka terima. Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “setiap anak adam adalah pasti bersalah, dan sebaik-baik orang yang bersalah adalah yang mau bertaubat”. (HR. At Tirmizy no. 2499). Pemahaman seperti ini telah menyeret banyak orang ke dalam kesesatan, dan lebih sesat lagi ada yang berpendapat bahwa wali lebih tinggi derajatnya dari Nabi sebagaimana pandangan orang-orang rafidhah (syi’ah) dan sebagian dari orang-orang sufi. Oleh sebab itu kebanyakan Mereka mengkultuskan sang kiai atau sang guru dan membenarkan kesesatan yang dilakukan oleh sang kiai atau sang guru sekalipun perbuatan tersebut nyata-nyata melanggar Al-Qur’an dan Sunnah. Bahkan dikisahkan bila seorang murid melihat sang guru minum khamar, maka sebenarnya ia minum susu, tapi yang salah adalah penglihatan sang murid karena matanya berlumuran dosa, begitulah orang-orang sufi melakukan doktrin dalam menyebarkan kesesatan mereka. 2. Berasumsi bahwa seorang wali itu mesti memiliki karomah (kekuatan luar bisa). Bentuk kedua dari kesalahpahaman dalam masalah perwalian adalah berasumsi bahwa Mereka mesti memiliki karomah yang nyata bahkan bisa dipertontonkan kepada khalayak ramai. Seperti tahan pedang dan sebagainya. Tapi sebetulnya itu semua adalah tipuan setan. Seorang wali boleh jadi ia diberi karomah yang nyata boleh jadi tidak, tapi karomah yang paling besar di sisi wali adalah istiqomah dalam menjalankan ajaran agama, bukan berarti kita mengingkari adanya karomah tapi yang kita ingkari adalah asumsi banyak orang bila ia tidak memiliki karomah berarti ia bukan wali. Oleh sebab itu Abu ‘Ali Al Jurjaany berpesan: “Jadilah engkau penuntut istiqomah bukan penuntut karomah, sesungguhnya dirimu lebih condong untuk mencari karomah, danTuhanmu menuntut darimu istiqomah”. Betapa banyaknya para sahabat yang merupakan orang terdepan dalam barisan para wali tidak memiliki karomah. Begitu pula Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai hamba yang paling mulia di sisi Allah waktu berhijrah beliau mengendarai unta bukan mengendarai angin, begitu pula dalam perperangan beliau memakai baju besi bahkan pernah cedera pada waktu perang uhud. Karomah bukan sebagai syarat mutlak bagi seorang wali. Karomah diberikan Allah kepada seseorang boleh jadi sebagai cobaan dan ujian baginya, atau untuk menambah keyakinannya kepada ajaran Allah, atau pertolongan dari Allah terhadap orang tersebut dalam kesulitan. Para ulama menyebutkan seseorang yang tidak butu* kepada karomah lebih baik dari orang yang butu* kepada karomah. Bahkan kebanyakan para ulama salaf bila Mereka mendapat karomah justru Mereka bersedih dan tidak merasa bangga karena mereka takut bila hal tersebut adalah istidraaj (tipuan). Begitu pula mereka takut bila di akhirat kelak tidak lagi menerima balasan amalan mereka setelah mereka menerima waktu di dunia dalam bentuk karomah. Begitu pula bila mereka di beri karomah, mereka justru menyembunyikannya bukan memamerkannya atau berbangga diri di hadapan orang lain. 3. Berasumsi bahwa seorang wali dapat mengetahui hal-hal yang gaib. Bentuk kesalahpahaman ketiga dalam masalah perwalian adalah berasumsi bahwa Mereka dapat mengetahui hal-hal yang gaib. Asumsi ini sangat bertolak belakang dengan firman Allah, “Di sisi-Nya (Allah) segala kunci-kunci yang gaib, tiada yang dapat mengetahuinya kecuali Dia (Allah)”. (QS. Al An’aam, ayat : 59). Dan firman Allah, “Katakanlah” :tiada seorang pun di langit maupun di bumi yang dapat mengetahui hal yang gaib kecuali Allah”. (QS. An Naml, ayat: 65). Termasuk para nabi dan rasul sekalipun tidak dapat mengetahui hal yang gaib kecuali sebatas apa yang diwahyukan Allah kepada Mereka. Sebagaimana firman Allah kepada Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Katakanlah: Aku tidak mengatakan kepada kalian bahwa di sisiku gudang-gudang rezeki Allah, dan aku pun tidak mengetahui hal yang gaib”. (QS. Al An’aam, ayat: 50). Dan firman Allah: “Katakanlah: aku tidak memiliki untuk diriku manfaat dan tidak pula (menolak) mudarat, dan jika seandainya aku mengetahui hal yang gaib tentulah aku akan (memperoleh) kebaikan yang amat banyak dan tidak akan pernah ditimpa kejelekan”. (QS. Al A’raaf, ayat: 188). Asumsi sesat ini telah menjerumuskan banyak manusia kejalan kesyirikan, sehingga Mereka lebih merasa takut kepada wali dari pada takut kepada Allah, atau meminta dan berdoa kepada wali yang sudah mati yang Mereka sebut dengan tawassul. Yang pada hakikatnya adalah kesyirikan semata. Karena meminta kepada makhluk adalah syirik. Tidak ada bedanya dengan kesyirikan yang dilakukan oleh kaum Nuh ‘alaihis salam. Dan orang-orang kafir Quraisy pada zaman jahiliyah. Dengan argumentasi yang sama bahwa Mereka para wali itu orang suci yang akan menyampaikan doa Mereka pada Allah. Hal inilah yang dilakukan kaum musyrikin sebagaimana yang disebutkan Allah dalam firman-Nya: “Ingatlah; milik Allah-lah agama yang suci (dari syirik), dan orang-orang mengambil wali (pelindung) selain Allah berkata: kami tidak menyembah Mereka melainkan supaya Mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya”. (QS. Az Zumar, ayat: 3). Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam, shalawat dan salam buat Nabi terakhir yang membawa peringatan bagi seluruh umat manusia, semoga shalawat dan salam juga terlimpahkan buat keluarga dan para sahabatnya serta orang-orang yang tetap berpegang teguh dengan petunjuk mereka sampai hari kiamat. Terjemahan Hadits “Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu ia berkata: telah bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,: “Sesungguhnya Allah telah berfirman: Barang siapa yang memusuhi Waliku maka sesungguhnya Aku telah menyatakan perang kepadanya, dan tidaklah seorang hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu ibadah yang lebih Aku cintai dari apa yang telah Aku wajibkan kepadanya, dan senantiasa seorang hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnah hingga Aku mencintainya. Jika Aku mencintainya jadilah aku sebagai pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar, dan sebagai penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, dan sebagai tangannya yang ia gunakan untuk berbuat, dan sebagai kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. Dan jika ia meminta (sesuatu) kepada-Ku pasti Aku akan memberinya, dan jika ia memohon perlindungan dariKu pasti Aku akan melindunginya”. (Hadits ini dirawikan Imam Bukhari dalam kitab shahihnya, hadits no. 6137) Hadits ini disebut juga hadits kudsi, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meriwayatkannya langsung dari Allah, adapun perbedaan antara hadits kudsi dengan hadits biasa ada beberapa pendapat, yang masyhur di kalangan para ulama adalah bahwa hadits kudsi lafaz dan maknanya datang langsung dari Allah adapun hadits biasa, lafaznya dari nabi sedangkan maknanya dari Allah subhanahu wa ta’ala. Kemudian apa perbedaan antara hadits kudsi dengan Al-Qur’an? Karena keduanya sama-sama datang dari Allah baik lafaz maupun makna? Sebagian ulama menyebutkan: perbedaanya adalah Al-Qur’an mendapat pahala dalam segi membaca dan hal-hal lainnya, adapun hadits kudsi mendapat pahala dengan memahami dan mengamalkannya. Namun sebagian ulama meninggalkan dari mencari-cari perbedaan tersebut takut akan terjerumus kepada persoalan yang berlebih-lebihan yang akhirnya akan menyebabkan berbicara dalam agama tanpa ilmu. WAllahu a’lam bisshawaab. Sahabat yang merawikan hadits ini dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, sahabat yang terbanyak meriwayatkan hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nama beliau adalah Abdurrahman bin Shakhar Addausy, masuk Islam pada saat perang Khaibar tahun ke 7 H. dan meninggal dunia pada th. 57 H. Mengapa beliau sahabat yang terbanyak meriwayatkan hadits? Pertama, berkat doa nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepadanya, agar setiap hadits yang ia dengar langsung hafal dan tidak lupa untuk selamanya. Kedua, ia selalu bersama Nabi semenjak berjumpa dengan beliau, ia tidak punya kesibukan lain kecuali mengambil ilmu dari Nabi, adapun para sahabat yang lain Mereka mempunyai kesibukan untuk mengurus keluarga dan harta mereka. Imam Az Dzahaby menyebutkan dalam kitab Siyyarnya, “seseorang bertanya kepada Tholhah bin Ubaidillah: kenapa Abu Hurairah lebih banyak mengetahui hadits dari kalian? Kami mendengar darinya apa yang tidak kami dengar dari kalian? Apakah ia mengatakan sesuatu yang tidak dikatakan Rasulullah? Jawab Tholhah: adapun tentang ia mendengar sesuatu yang tidak kami dengar, saya tidak meragukannya, saya akan menerangkan hal tersebut padamu, kami memiliki keluarga, binatang ternak dan pekerjaan, kami datang menemui Rasulullah hanya pada dua penghujung hari (pagi dan sore). Sedangkan ia (Abu Hurairah) adalah orang yang miskin, sebagai tamu di pintu rumah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tangannya selalu bersama tangan Rasulullah, maka kami tidak meragukan apa yang ia dengar sekalipun kami tidak mendengarnya dari Rasulullah, engkau tidak akan menemukan seseorang akan tetap baik bila ia mengatakan sesuatu yang tidak dikatakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Abu Hurairah sendiri pun telah menjelaskan tentang hal tersebut ketika berita seperti ini dari seseorang sampai kepadanya: “Aku datang menemui Rasulullah pada saat perang khaibar, umurku saat itu sudah melewati 30 tahun. Aku tetap tinggal bersamanya sampai beliau meninggal dunia, aku ikut bersamanya ke rumah-rumah istri beliau, aku selalu membantu beliau, aku selalu ikut perang dan haji bersama beliau, dan tetap selalu shalat di belakang beliau, maka oleh sebab itu (demi Allah) aku menjadi orang yang paling tahu dengan hadits-hadits beliau”. Kandungan Hadits Hadits di atas mengandung beberapa pembahasan penting di antaranya: Pertama: Tentang al wala’ wal bara’ (loyalitas dan berlepas diri) Dalam potongan awal dari hadits di atas disebutkan: “Barang siapa yang memusuhi Waliku maka sesungguhnya Aku telah menyatakan perang kepadanya”. Maksud dari memusuhi dalam hadits ini adalah memusuhi karena alasan agama dan iman bukan karena urusan duniawi, adapun pertikaian yang disebabkan oleh urusan duniawi selama tidak sampai pada puncak kebencian tidak mendapat ancaman yang disebutkan Allah dalam hadits ini. Karena perselisihan dan pertikaian juga terjadi di kalangan sebahagian para sahabat, sebab mereka adalah manusia biasa yang juga memeliki kesalahan dan kealpaan, tapi pertikaian tersebut tidak sampai pada tingkat kebencian, bahkan secepatnya mereka saling memaafkan, sebagaimana yang pernah terjadi antara Abu bakar dan Umar atau pertikaian tersebut timbul karena ijtihad Mereka masing-masing sebagaimana apa yang terjadi dalam perang shiffin dan jamal. Adapun kebencian yang didasari oleh kebencian kepada agama dan keimanan adalah merupakan dosa besar dan bahkan bisa menyebabkan seseorang keluar dari Islam, sebagaimana kebencian orang-orang Ahlu bid’ah kepada Ahlussunnah, atau kebencian orang-orang munafikin dan kafirin kepada umat Islam. Begitu pula setiap orang yang tidak menginginkan Islam dan sunnah tersebar di kalangan umat manusia. Apalagi bila sampai pada tingkat menangkap atau menculik dan membunuh tokoh-tokoh Ahlussunnah. Orang yang paling nomor satu dalam memusuhi wali-wali Allah adalah kaum Rafidhah (Syi’ah), mereka sangat memusuhi orang-orang yang berada digaris depan dan paling mulia dari seluruh wali Allah setelah para nabi dan rasul yaitu para sahabat yang mulia. Mereka orang-orang rafidhah mengkafirkan dan mencaci para sahabat yang telah berjuang dijalan Allah untuk tegaknya agama Islam ini dengan harta dan jiwa raga mereka. Imam As Sya’bi mengungkapkan bahwa kebencian Rafidhah kepada para wali Allah melebihi kebencian yahudi dan nasrani kepada para wali Allah: “bila engkau bertanya kepada seorang yahudi siapa generasi terbaik agama kamu? Ia akan menjawab: sahabat Musa. Begitu pula bila engkau bertanya kepada seorang nasrani: siapa generasi terbaik agamamu? Ia akan menjawab: sahabat Isa. Tapi bila engkau bertanya kepada seorang rafidhah: siapa generasi yang terburuk dalam agama ini? Ia akan menjawab: Sahabat Muhammad.” Oleh sebab itu Imam Abu Hatim Arraazy berkata, “sebetulnya Mereka itu ingin membatalkan Al-Qur’an dan Sunnah, tapi Mereka tidak mampu maka Mereka ingin mencela orang yang menyampaikan Al-Qur’an dan sunnah supaya bisa membatalkan Al-Qur’an dan Sunnah, tapi mereka (orang syi’ah) itu lebih berhak untuk dicela, Mereka itu adalah orang-orang zindik.” Cara ini pulalah yang ditempuh oleh berbagai kelompok yang melenceng dari sunnah sekarang ini, kita tidak perlu menyebutkan nama mereka masing-masing, tapi cukup kita kenal ciri mereka, karena nama bisa bertukar di setiap tempat dan di setiap saat, bila kita melihat ada kelompok yang melecehkan ulama atau pengikut sunnah itulah mereka. Kenapa mereka menempuh cara ini? Karena bila generasi dijauhkan dari ulamanya maka saat itu mereka baru bisa memasukkan ide-ide atau pemikiran mereka, oleh sebab itu mereka selalu melecehkan atau meremehkan para penegak sunnah, supaya bila label jelek ini sudah tertanam dalam benak seseorang, saat itu ia tidak akan mau lagi mendengar nasihat para ulama, maka saat itu pula berbagai pemikiran dapat dimasukkan kepada mereka. Sekarang kita kembali kepada taufik utama kita, yaitu apakah pengertian wali, siapa wali Allah itu? bermacam pandangan telah mewarnai bursa kewalian, ada yang berpandangan bila seseorang telah memiliki hal-hal yang luar biasa berarti dia telah sampai pada tingkat kewalian, seperti tidak luka bila dipukul dengan senjata tajam dan sebagainya. Sebagian orang berpendapat bila sudah pakai baju jubah dan surban berarti sudah wali, sebagian lain berpendapat bila seseorang suka berpakaian kusut dan bersendal cepit berarti ia wali, ada pula yang berpandangan bila seseorang kerjanya berzikir selalu berarti dia wali. Dan banyak lagi pendapat-pendapat tentang perwalian yang tidak dapat kita sebutkan satu persatu di sini. Kami letakkan di sini beberapa maklumat mengenai sekumpulan wali-wali Allah yang terpilih Wali Sembilan (Pulau Jawa, Indonesia) Asy-Syaikh Muhammad As-Suhaimi (Kelang, Malaysia) Asy-Syaikh Ismail (Pulau Besar, Melaka) Asy-Syaikh Al-Junaid Al-Baghdadi (Baghdad, Iraq) Asy-Syaikh Ahmad Ar-Rifa’i (Bata’ih, Iraq) Asy-Syaikh Abu Madyan At-Tilimsani (Tlemcen, Algeria) Asy-Syaikh Al-Akbar Muhyiddin Ibn ‘Arabi (Damaskus, Syria) Asy-Syaikh Ahmad Ibn ‘Ataillah (al-Qahirah, Mesir) Asy-Syaikh Abdul Wahhab Asy-Sya’rani (Al-Qahirah, Mesir) Asy-Syaikh Muhammad As-Sanusi (Al-Jaghbub, Libya) Related posts

No comments: