17 December 2019

Memahami Allah


Memahami Allah

Ingredients:
Oleh : DODY ISKANDAR dinata
Para ilmuwan laboratoriumnya di luar diri, modalnya berfikir.
Para pejalan laboratoriumnya di dalam diri, modalnya berkeyakinan.
Sama – sama mencari kemantapan rahasia hidup…
Siapakah yang cepat sampai ?
Abad 21 adalah titik klimaks sebuah pencarian manusia terhadap Tuhannya. Di belahan bumi India para maha guru spiritual menganggap abad ini adalah ttitk ordinat peredaran simetris terbaik antara jagad mikrokosmos dengan makrokosmos sehingga orang akan mudah belajar mengenai ketuhanan. Di belahan barat para intelektual kebingungan mencari titik perhentian karir, titik Tuhan, God spot. Para spirilogic mengkotak – kotakkan IQ, EQ dan SQ kemudian menganggapnya sebagai sebuah temuan besar yang harus dipatentkan guna sebuah urusan professional alias imperium perut. Tak ketinggalan para pecinta dunia berusaha meluruskan konsep bisnisnya dengan Spiritual Capital. Psikolog tak kalah anehnya menyederhanakan puluhan teori usang menjadi sebuah teori flow, pasrah mengalir sajalah agar mampu mencapai authentic happiness.
Bagaimana dengan dunia Islam, khususnya di Indonesia ? Tentu tak kalah unik…
Terkadang akhir -akhir ini saya merasa agak geli ketika melihat buku-buku baru atau hot topic di internet kok semua bahasan mengenai kebenaran Allah harus dilegalisasi dulu oleh ilmu pengetahuan moden, entah itu fisika, kimia , biologi, kedokteran dan semacamnya. Seakan-akan walau memperoleh manfaat sebab dari bertaqarub dengan Allah tetapi dilain hal nggak ilmiah, maka kita akan tertolak, sesat. Sebuah pertanyaan ke dalam diri, sejak kapan sih seorang muslim harus menunggu legalisasi logis formal untuk memperoleh spiritual journey sebuah ayat ? Apakah hanya karena sebuah alasan modernitas ilmiah maka kita harus mengalahkan keyakinan akan manfaat sebuah perjalanan ? Padahal sejauh dan secanggih saat ini, kalau sudah sudah membahas sebuah agama, ilmu pengetahuan hanya bisa berputar -putar di wilayah hipotesa, tesis, disertasi dan rumusan-rumusan tanpa bisa lebih jauh masuk menjadikannya sebuah inti perjalanan.
Sebagai contoh seorang Einstein atau Stephen Hawking dan kawan-kawan seprofesi bisa saja merumuskan hukum melipat waktu, konsep black hole, big bang ataupun teori kecepatan cahaya dan semua itu memang relatif berbanding benar dengan ayat Quran. Tetapi tanpa mengurangi rasa hormat, apakah beliau-beliau ini bisa mengalami, mengaktifkan dan menjalankannya ? Apakah beliau seorang pejalan atau masih terhenti sebatas pemikir ? Padahal di kalangan pejalan spiritual muslim yang banyak bertebaran di Malang pinggiran, Jember, Banyuwangi, dan banyak titik lagi di penjuru Nusantara, hal itu sudah menjadi realitas perjalanan. Dan tentu saja Rasulullah Muhammad adalah panglima pelipat waktu, pengajar sejati metode perjalanan kecepatan cahaya ini dengan pembuktian peristiwa Isra Mi’raj. Dalam hal ini Abubakar yang terkenal cerdas dan sidiq langsung mengiyakan tanpa banyak riset.
Inilah yang dinamakan konsep iman. Percaya dan akhirnya harus mengalami sendiri.
Anehnya kalau kejadian semacam ini sebenarnya tetap ada dan saya ungkapkan seperti sekarang, mungkin orang yang terbiasa kritis dan sangat ilmiah malah menarik mundur jam waktu, menyetel mindset seperti pendeta menghadapi Galileo, menyelidiki siapa penulis penyebar berita awu -awu ini.. Ah itu sihir… jin beserta kemampuan tehnologinya … Kita berbalik 180 derajat menjadi penuduh yang tercerabut dari tradisi ilmiah dan keakhlakan.
Pertanyaan dasar, bagaimana mungkin jin bisa secanggih itu, padahal menurut Islam hanya manusia saja mahluk yang berakal. Lalu bagaimana mungkin sihir wong modalnya cuma baca La ilaha ilallah dan La haula walaquwwata ila billah plus puasa sunnah. Sebuah penyerahan full dan berlindung di dalam benteng Allah masak jin bisa masuk sih ? Sebegitu lemahkah benteng Allah untuk ditembus ? masak safety nya kalah sama benteng Pentagon ? Padahal para dukun KGB atau spiritual manapun dengan kekuatan bantuan bolo kurowo jin gendruwo ndhas klunthung saja nggak mampu mencuri data di Pentagon. Belum lagi kalau saya ungkapkan ada banyak orang yang mampu menjalankan proses materialisasi, menciptakan benda dengan perantara partikel udara seperti teori – teori ilmiah hanya bermodal meyakini komposisi ayat kun fayakun dan La haula walaquwwata ila billah yang dihunjamkan sampai akar keyakinan terdalam.
Begitu sederhananya aplikasi teori ayat ini sehingga kita yang hidup di jaman modern menolaknya karena tidak mengandung kemewahan konsep entah itu konsep fisika, biologi ataupun hukum fiqih. Padahal saat ini seorang anak bangsa Professor Johanes Surya dengan pasukan fisikawan muda yang merajai olympiade fisika tingkat dunia malah bercita-cita menggunakan fisika tanpa rumus. Semua rumus digantikan dengan prinsip dasar MESTAKUNG alias semesta mendukung dengan penjelasan sederhana, bahwa ketika sesuatu dalam keadaan terdesak maka seluruh partikel alam raya akan mendukung dan menolongnya. Hebat benar beliau. Bangunan pikiran yang begitu eksak menjadi non eksak sebab sebenarnya non eksak hanyalah sebuah bangunan eksak dengan parameter tak terhingga sehingga orang sulit membuat rumusan pasti. Bagi saya beliau sangat islami sekali walaupun entah KTP nya beragama apa.
Dan, sebenarnya konsep puasa dibarengi berniat kalimat tauhid adalah konsep mestakung sejati yang telah diajarkan Rasul belasan abad yang lalu. Ketika seseorang melakukan puasa, otomatis bangunan konsep material dalam dirinya perlahan mulai tampak melemah. Pertama tenaga fisik yang gemagah mulai berkurang, kemudian otak yang katanya cerdas pun menurun gelombang frekwensinya. Kewaspadaan terhadap dunia luar mulai berkurang namun kewaspadaan ke dalam diri semakin bertambah tingkat kekonsentrasiannya. Lambat laun hanya dengan sebuah proses latihan mengikhlaskan sebuah pengakuan bahwa kita benar -benar nggak punya kekuatan. Blesss…semesta mendukung apa yang kita maui…tiba – tiba kesuperpoweran diri terkuak, semua seperti mimpi yang terkendali penuh dengan kekuatan lintas dimensi, entah dimensi benda, dimensi akal, dimensi ruang ataupun dimensi waktu….semua ada dan dapat kita gunakan…kata pedagang Padang, dipilih… dipilih… dipilih… tinggal pilih… tinggal pilih… tinggal pilih…. Semua adalah imajinasi yang mewujud mengikuti Kehendak. Kun fayakun…
Tapi ini adalah sebuah perjalanan yang masih bersifat Isra’ yang harus diteruskan menuju perjalanan Mi’raj. Sebab banyak sekali orang yang mengalami pembebasan konsep diri melalui ke Isra’ an ini lalu menganggap sebagai puncak pencapaian karena memang di sinilah digelar dengan nyata senyata-nyatanya segala kemampuan sang masterpiece, menungso. Perjalanan Isra adalah konsep perjalanan horizontal yang kita sebut hablumminannas dimana semua pencapaiannya masih bersifat kebutuhan dunia itu sendiri entah yang terwujud dalam ilmu ekonomi, politik, budaya, pengobatan, hukum fiqih, fisika biologi, olah raga bahkan kebatinan yang sering dianggap orang sebagai ilmu kegaiban langit.
Dan pada kenyataannya semua ilmu itu memang hanya berlaku dan berguna selama nafas masih di kandung badan, urusan habluminannas. Sebab setelah kehidupan dunia ini usia yang berlaku hanyalah urusan Mi’raj. Ruh yang kembali, jiwa yang tenang.
Benar adanya bahwa nanti yang dipertimbangkan terlebih dahulu amal seseorang adalah kebenaran sholatnya, bukan modal kapital, keringat atau akal karena ketiganya harus balik maning ke bumi untuk dimanfaatkan generasi selanjutnya. Untuk itulah kemudian diperlukan konsep Mi’raj.
Lalu bagaimana konsep Mi’raj itu sendiri ? Mi’raj adalah kumpulan ingatan kepada Allah yang di rangkum dalam ibadah sholat. Sholat itu Mi’raj nya orang mukmin…begitu kata Rasul. Lebih begitu sederhananya lagi konsep ini sehingga orang yang berada di wilayah Isra’ pun terkadang malah tak percaya, sebab orang sudah terbiasa dengan alam yang aneh-aneh dan menara gading pikiran.
Konsep Mi’raj sangatlah mudah… Ingatlah, ya, cuma mengingat…..mengingat tidak ada rumusannya selain mengurut kejadian ke belakang, bukan malah menebak ke depan…hanya dengan MENGINGAT Allah-lah hati menjadi tenteram ( RA’D :29 ). Jadi parameter orang yang ingat pernah bertemu Allah ya sederhana saja, jiwanya selalu tenang walau menghadapi berbagai persoalan hidup
Tapi bagaimana mau ingat wong ketemu aja nggak pernah ? Contoh semisal, saya ingat kalau putri Diana adalah teman saya waktu kecil, sebab memang dulu pernah bertemu akrab bahkan selalu mengendarai kuda bersama. Lha kalau waktu kecil nggak pernah ketemu, apanya yang harus diingat ? Masak saya harus ngaku-ngaku dan pura -pura ingat bahwa dulu pernah akrab dan selalu bertemu di Istana. Untungnya Allah begitu mahfum bahwa daya ingat otak kita yang pandai ini ternyata masih sangat cekak. Untuk itu dengan murahnya Allah menjelaskan bahwa kita pernah berhadapan langsung.
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengata-kan: “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)” ( Al A’raf 172 ).
Maka ber Mi’raj lah dengan membahas dan memahami Allah dengan cara yang sangat sederhana yaitu mengingat-ingat – merunut kebelakang mencari asal muasal kejadian diri dengan metode berdzikir. Masalah saya dan Anda hanya bisa mengingat sebatas NamaNya, SifatNya, IlmuNya, atau CiptaanNya saja ya nggak masalah. Allah Maha Memahami kok.
Selama berniat untuk yakin bisa berjumpa dengan Allah, nanti lama-lama keyakinan itulah yang membimbing pada tujuan akhir dengan sebuah proses yang unik tak terduga. Pun seandainya kita sudah bisa menyaksikan Dzatnya sebagai konsekuensi kelanjutan ada nama pasti ada yang dinamai, lebih baik disimpan saja sebagai kenangan terindah sebab kalau diomongkan nggak akan pernah ketemu, malah – malah hilang nikmatnya plus berakhir hanya sekedar jadi fitnah dan kehebohan yang tak bermakna.
Biarkan ban luar tetap berada diluar, ban dalam tetap di dalam dengan penuh angin agar roda kehidupan tetap berputar dengan baik.
Wassalam, Semoga bermanfaat
Dody Ide
Proses Isra lebih dari tujuh samudra tinta tertulis
Poses Mi’raj lebih dari tujuh samudra tinta terhapus
Ketika tiada yang tertulis maka tak ada yang terbaca
Maka muncullah sang ummi yang bersyahadat di sudut keheningan….

No comments: