12 December 2019

Chisytiyyah

Chisytiyyah Chisytiyyah Pernah Bertemu Syekh Abdul Qadir Jilani INDIA, negara jajahan Inggeris ini ternyata tidak saja kreatif melahirkan filem-filem yang popular di Malaysia. Tapi, juga melahirkan tarekat Chisytiyyah. Imam tarekat Chisytiyyah ini adalah Khwaja Mu’inuddin Hasan Sanjari Chisyti, ia juga dijuluki Nabi al-Hind (Nabi India), Gharib Nawaz (penyantun orang-orang miskin), Khwaja-I-khwajagan (imam segala imam), Khwaja-I-Buzurg (Imam Agung), Atha’ al Rasul (Pemberian Nabi), dan Khwaja-I-Ajmeri (wali dari Ajmer). Chisyti lahir pada 1142 M atau sebagian ahli tarekat menyebutkan tahun 1136 M di Sanjar, sebuah kota di Sistan, pinggiran Khurasan, dan masa mudanya dihabiskan di Sanjar, India. Ia murid dari dan pengganti Khwaja Utsman Haruni. Sesudah berbaiat, selama 20 tahun Chisyti hidup bersama Syekh Najmuddin Kubro, Syekh Awhaduddin Kirmani, Syekh Syihabuddin Suhrawardi, dan Khwaja Yusuf Hamadani. Pertemuannya dengan Syekh Abdul Qodir Jaelani yang dibuktikan dengan berbagai catatan sejarah. Ia wafat pada hari Jumat, bulan Rajab 632 H/1235 M dan dimakamkan di Ajmer, India. Dalam tarekat Chisytiyyah sebelum Syekh memberikan perintah lebih jauh kepada murid, ia menyuruhnya untuk berpuasa sehari, terutama pada hari Kamis. Kemudian Syekh menyuruhnya untuk mengucapkan istighfar dan durud sepuluh kali serta membaca ayat al-Quran; Annisa: 103: “…Maka ingatlah Allah di waktu kamu berdiri, duduk, dan berbaring,…” Para Syekh tarekat Chisytiyyah menganjurkan cara zikir berikut ini: Murid mesti duduk bersila, dan menghadap kiblat. Ia tidak harus berwudhu lebih dahulu, namun akan lebih sempurna jika ia berwudhu. Duduk dengan tegak, menutup kedua matanya, dan meletakkan kedua tangannya di atas lututnya. Jika ia duduk bersila, ia harus menahan kima atau nadi kaki kirinya dengan jari kaki kanannya. Posisi ini boleh membuat hati merasa hangat mampu menghilangkan bisikan-bisikan was-was. Dengan duduk seperti itu murid mulai melakukan zikir jahar (keras) atau khafi (diam). Dalam tarekat Chisytiyyah, Dzikr-I-Haddadi juga diamalkan sebagaimana dalam tarekat Qodiriyah. Seperti dituturkan Imam Abu Hafsh Haddad. Cara pengamalannya adalah: sang Dzakir (orang yang berdzikir) mesti duduk dengan melipat kedua kakinya sedemikian rupa sehingga kedua pahanya berada dalam keadaan istirahat di tanah. Kemudian ia mesti membentangkan kedua tangannya tinggi-tinggi ke atas. Dan ketika mengucapkan Laailaaha, ia berdiri di atas kedua lututnya dan kemudian kembali ke posisi semula. Lalu meletakkan kedua tangannya di antara kedua pahanya yang terlipat dan sampil mengucapkan illallaah-dengan memukul dadanya dengan kata-kata yang sarat (penuh) dengan makna keagungan dan kebesaran Allah swt. Sebagian orang mengucapkan Laailaaha dari hati dan membawanya ke bahu kanan, serta mengetukkan kalimat illallaah. Sebagian lagi mengetukkan kalimat hu (Dia Yang Maha Esa) pada dada. Sang Dzakir antara lain diperintahkan melakukan zikir tiga ketukan: zikr-I-she-paaya. Ada tiga rukun dalam zikir ini: yaitu nama Allah, perenungan atas sifat-sifat-Nya (Maha Melihat, Maha Mendengar, Maha Mengetahui, dan sebagainya), serta adanya perantara. Sang Dzakir dengan memahami maknanya-mengucapkan Allaahu ‘alimun, Allaahu bashirun, Allaahu sami’un. Ini disebut nuzul atau tangga turun. Gerakan ganda ini disebut sebuah dawr atau sirkulasi yakni sebuah zikir yang terdiri atas ‘uruj dan nuzul. Rahasia ‘uruj dan nuzul adalah bahwa jangkauan pendengaran lebih terbatas dibandingkan dengan jangkauan penglihatan, dan jangkauan penglihatan lebih terbatas dibandingkan dengan jangkauan pengetahuan. Karena menurut Chisytiyyah dalam tahap awalnya, sang hamba terbelenggu oleh akalnya dan apa yang diamatinya, yang lebih sempit ketimbang semua tahap lainnya. Karena itu, ia menempatkan sami’ lebih dahulu dan ketika sesudah mengalami kemajuan, ia sampai pada tahap keghaiban yang luas, ia pun menempatkan bashir lebih dahulu. Ketika sesudah mengalami kemajuan, ia sampai pada tahap “keghaiban dalam keghaiban” yang bahkan lebih luas lagi, ia pun memikirkan ‘alim, dan kemudian ia kembali. Dalam zikir tiga ketukan ini sang dzakir mesti menahan nafasnya sedemikian rupa sehingga secara berangsur-angsur, dari dua hingga tiga kali, zikir ini bisa diulangi sebanyak 40 kali sampai 50 kali. Ini bisa membantu menghangatkan hati, agar lemak dalam hati tempat penghasut yang melahirkan berbagai perasaan kemunafikan dalam hati, akan terbakar, dan sehingga sang dzakir diliputi oleh cinta Allah dan keadaan fana (sementara) diri boleh dikembangkan. Selain itu jamaah tarekat Chisytiyyah mengamalkan dzikir pas-I-anfas atau zikir menjaga nafas sebagai berikut: Orang yang berzikir mengucapkan Laailaaha dalam nafas yang dihembuskan, dan illallaah dalam nafas yang dihirup, dengan lidah hati. Artinya, penafian (Laailaaha) dilakukan ketika napas keluar, dan penegasan dilakukan ketika nafas masuk. Selama keluar-masuknya napas ini pandangan diarahkan kepada pusar. Zikir ini mesti sering diulang-ulang agar pernafasan itu sendiri menjadi dzakir, baik di waktu sang dzakir itu tidur maupun terbangun. Bahkan zikir di bawah ini sangat efektif untuk mengubati berbagai penyakit: yaitu sang dzakir memukul sisi sebelah dada kiri dengan Ya Ahad (Wahai Yang Mahaesa), pada sisi sebelah kanan dengan Ya Shamad (Wahai zat tempat meminta), dan Ya Witr (Wahai Yang Mahaganjil) pada hati. Para sufi terkemuka berpandangan bahawa ketika diri manusia terlepas dari segenap kesenangan duniawi, dan wujud bathiniyahnya makin bertambah kuat dengan mengingat Allah, maka terjalinlan sebuah hubungan antara dirinya dengan alam ruhani. Disebabkan hubungan ini hati manusia pun tercerahkan dan ia pun melihat zat Allah serta mengetahui perintah-perintah dan keridhaan Allah. Kini cahaya pun terpantul dari pandangan batin pada mata lahir dan ia pun mulai melihat dengan indera-indera lahiriah berbagai alam spiritual batiniah. Pada tahap ini, ia sudah terlepas dari alam lahiriah dan batiniah. Kontemplasi yang ditetapkan Sufi Chisytiyyah: Kontemplasi atas nama diri Allah; Sang penempuh jalan spiritual pergi ke suatu tempat terpencil dan merenungkan bahawa kata Allah tertulis dengan tinta emas di hatinya bahwa ia tengah membaca dengan penuh gairah dan semangat, dan berada di hadapan Allah. Ia merasa asyik dengan itu sehingga kehilangan kesedaran tentang dirinya sendiri. Kontemplasi Allahu hadir; Allah Maha Melihat dan Allah bersamaku. Sang penempuh jalan spiritual mestilah berpandangan bahwa Allah senantiasa bersama dirinya dan bahwa mustahil Allah berpisah darinya. Dilakukan dengan menutup matanya dan memusatkan perhatian pada hatinya dan berpandangan bahwa Allah bersamanya dan melihatnya. Kontemplasi Nashirah; sang penempuh jalan spiritual membuka matanya dan mengarahkan pandangannya pada ujung hidungnya. Ini dilakukan sampai bahagian hitam matanya sama sekali hilang (tidak terlihat), dan yang tinggal hanya bahagian putihnya. Dan saat melakukan ini ia memikirkan bahwa Allah hadir dan melihat dirinya. Berbagai perasaan munafik dihilangkan dengan kontemplasi ini serta kedamaian bias diraihnya. Kontemplasi Mahmudah; dengan membuka matanya dan mengarahkan pandangannya ke tengah-tengah alis mata serta merenungkan kebesaran dan keesaan Allah. Kontemplasi Aku tidak ada, yang ada hanya Allah; dilakukan dengan dia dan merenungkan hanya untuk Allah. Kontemplasi Mi’raj al-Arifin (kenaikan kaum arif). Di sini mesti menyadari bahawa segenap wujud yang bersifat mungkin bagaikan cermin. Dan segenap capaian mereka yang bersifat material mahupun spiritual di dalamnya tidak lain kecuali cerminan dari nama-nama dan sifat-sifat Allah swt. Seseorang mesti membayangkan seluruh alam semesta ini sebagai cermin dan melihat Allah di dalamnya dengan segenap nama dan sifat-Nya, agar ia bisa dimasukkan ke dalam orang-orang yang telah menyaksikan Allah (ahl al-musyahadah). Kontemplasi Pendekatan (Muqarabah), Penyaksian (Musyahadah), Pengawasan (Mu’ayanah); seseorang duduk seperti salat, bersama syekhnya, merenungkan alim, sami’, bashir (Maha Mengetahui, Maha Mendengar, Maha Melihat). Kemudian mengarahkan pandangannya ke hati, lalu menutupnya. Dan lalu melihat hatinya dengan mata batin dan berfikir bahawa ia tengah menyaksikan Allah. Kemudian menenadahkan tangannya ke langit dan tetap membuka tangannya. Lalu ia membayangkan bahwa rohnya telah meninggalkan tubuhnya dan, sambil menembus langit ia menyaksikan Allah secara bertatap-muka. Kontemplasi atas Ayat al-Quran: “Tidakkah engkau lihat Tuhanmu?… (Al-Furqan; 45). Sesudah merenungkan ayat ini, seseorang yang sedang mengalami ekstase (puncak spiritual) mengungkapkan keadaan mentalnya dalam-bait syair: Engkaulah yang kucari, wahai kekasihku! Ke manapun kuedarkan pandangan, yang kucari hanya diri-Mu! Mataku bermaksud mencariMu semata, Doa ungkapkan Diri-Mu kepadaku, siapapun yang kulihat! Seribu jendela terbuka untuk melihat-Mu, Jendela mana saja yang kubuka, tujuanku hanya Diri-Mu! Kematianlah jika aku tak melihat-Mu, Jauh lebih baik aku memandang-Mu daripada mati! Kaum sufi dalam tarekat Chisytiyyah juga merenungkan ayat-ayat al-Quran ini untuk mengosongkan sirr dan mencapai kehadiran abadi bersama Allah: …ke mana pun engkau menghadapkan wajahmu, di situ ada wajah Allah,…(Albaqarah: 115). …Kami lebih dekat kepadanya dari urat lehernya (Qaf;:16). Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada kamu, tetapi kamu tidak melihat (Al-Waqi’ah: 85). …Dia bersamamu di mana pun kamu berada… (Al-Hadid: 4). Dan juga dalam dirimu, apakah tidak kamu perhatikan? (Adzdzaariyat:21). Dan lain sebagainya. Syekh Kalimullah adalah seorang syekh berkedudukan tinggi dalam tarekat Chisytiyyah. Ia adalah khalihah dan murid syekh Yahya Madani Chisyti, lahir pada 1060 H/1460 M, dan meninggal pada 1142 H/1720 M.

No comments: