أعُوْذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ
Sesungguhnya Aku berniat kerana اللهَ
Tugasan gerak organ-organ tubuh badanKu kepada اللهَ
Daku Niatkan Tasbih anggota-anggota organ tubuhku buat اللهَ.
Ku serahkan seluruh kehidupanku kebergantungan sepenuhnya KepadaMu Ya اللهَ
(الْحَمْدُ لِلَّهِ)Tahmid Dengan Denyutan Nadiku
(لَا إِلٰهَ إِلَّا ٱلله)Tahlil Degupan Jantungku
(اللَّهُ أَكْبَرُ)Takbir Hela Turun Naik Nafasku
اَلْحَمْدُ ِللهِ syukur kepada اللهَ
وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللَّ ... اَللَّهُمَّ صَلِّىْ عَلَىْ سَيِّدِنَامُحَمَّدٍ ALLAH اللهَ
ALLAH اللهَ
Sunan Gunung Jati - Syekh Siti Jenar
Sunan Gunung Jati - Syekh Siti Jenar
Artikel tengtang Syekh Siti Jenar
sangat banyak bertebaran di internet. Saya mengumpulkan dari berbagai
sumber, dan bisa jadi sumber tersebut juga mengcopy paste dari sumber
yang lain. Sumber itu di antaranya www.faith.freedom.org, www.wikipedia.com,
atau artikel yang ditulis oleh Achmad Chodjin yang berjudul “Mistik dan
Makrifat Syekh Siti Jenar” dan lain-lain. Sebagai kepustakaan, sayang
bila berbagai informasi penting itu padahal bila kita berkeinginan
untuk mempelajarinya maka kita akan mendapatkan banyak pengetahuan
tentng ilmu allah.. Mohon maaf bila saya tidak mampu melinkkan
sumber-sumber asli naskah tersebut. Kepada para penulis artikel di
bawah ini, saya mohon maaf karena telah dengan sengaja mengcopy paste
artikel Anda tanpa menuliskan nama Anda. (WONG ALUS)
SYEKH SITI JENAR (juga dikenal dalam
banyak nama lain, antara lain Sitibrit, Lemahbang, dan Lemah Abang)
adalah seorang tokoh yang dianggap Sufi dan juga salah satu penyebar
agama Islam di Pulau Jawa. Tidak ada yang mengetahui secara pasti
asal-usulnya. Di masyarakat terdapat banyak varian cerita mengenai
asal-usul Syekh Siti Jenar.
Sebagian umat Islam menganggapnya sesat
karena ajarannya yang terkenal, yaitu Manunggaling Kawula Gusti. Akan
tetapi sebagian yang lain menganggap bahwa Syekh Siti Jenar adalah
intelektual yang sudah mendapatkan esensi Islam itu sendiri. Ajaran –
ajarannya tertuang dalam pupuh, yaitu karya sastra yang dibuatnya.
Meskipun demikian, ajaran yang sangat mulia dari Syekh Siti Jenar
adalah budi pekerti.
Syekh Siti Jenar mengembangkan ajaran
cara hidup sufi yang dinilai bertentangan dengan ajaran Walisongo.
Pertentangan praktek sufi Syekh Siti Jenar dengan Walisongo terletak
pada penekanan aspek formal ketentuan syariah yang dilakukan oleh
Walisongo.
1. Konsep dan ajaran
Ajaran Syekh Siti Jenar yang paling
kontroversial terkait dengan konsepnya tentang hidup dan mati, Tuhan
dan kebebasan, serta tempat berlakunya syariat tersebut. Syeh Siti
Jenar memandang bahwa kehidupan manusia di dunia ini disebut sebagai
kematian. Sebaliknya, yaitu apa yang disebut umum sebagai kematian
justru disebut sebagai awal dari kehidupan yang hakiki dan abadi.
Konsekuensinya, ia tidak dapat dikenai
hukum yang bersifat keduniawian (hukum negara dan lainnnya), tidak
termasuk didalamnya hukum syariat peribadatan sebagaimana ketentuan
syariah. Dan menurut ulama pada masa itu yang memahami inti ajaran Siti
Jenar bahwa manusia di dunia ini tidak harus memenuhi rukun Islam yang
lima, yaitu: syahadat, shalat, puasa, zakat dan haji. Baginya, syariah
itu baru berlaku sesudah manusia menjalani kehidupan paska kematian.
Syech Siti Jenar juga berpendapat bahwa Allah itu ada dalam dirinya,
yaitu di dalam budi. Pemahaman inilah yang dipropagandakan oleh para
ulama pada masa itu. Mirip dengan konsep Al-Hallaj (tokoh sufi Islam
yang dihukum mati pada awal sejarah perkembangan Islam sekitar abad
ke-9 Masehi) tentang Hulul yang berkaitan dengan kesamaan sifat manusia
dan Tuhan. Dimana Pemahaman ketauhidan harus dilewati melalui 4 tahapan
; 1. Syariat (dengan menjalankan hukum-hukum agama spt sholat, zakat
dll); 2. Tarekat, dengan melakukan amalan-amalan spt wirid, dzikir
dalam waktu dan hitungan tertentu; 3. Hakekat, dimana hakekat dari
manusia dan kesejatian hidup akan ditemukan; dan 4. Ma’rifat, kecintaan
kepada Allah dengan makna seluas-luasnya. Bukan berarti bahwa setelah
memasuki tahapan-tahapan tersebut maka tahapan dibawahnya ditiadakan.
Pemahaman inilah yang kurang bisa dimengerti oleh para ulama pada masa
itu tentang ilmu tasawuf yang disampaikan oleh Syekh Siti Jenar. Ilmu
yang baru bisa dipahami setelah melewati ratusan tahun pasca wafatnya
sang Syekh. Para ulama mengkhawatirkan adanya kesalahpahaman dalam
menerima ajaran yang disampaikan oleh Syekh Siti Jenar kepada
masyarakat awam dimana pada masa itu ajaran Islam yang harus
disampaikan adalah pada tingkatan ‘syariat’. Sedangkan ajaran Siti
Jenar sudah memasuki tahap ‘hakekat’ dan bahkan ‘ma’rifat’kepada Allah
(kecintaan dan pengetahuan yang mendalam kepada ALLAH). Oleh karenanya,
ajaran yang disampaikan oleh Siti Jenar hanya dapat dibendung dengan
kata ‘SESAT’.
Dalam pupuhnya, Syekh Siti Jenar merasa
malu apabila harus berdebat masalah agama. Alasannya sederhana, yaitu
dalam agama apapun, setiap pemeluk sebenarnya menyembah zat Yang Maha
Kuasa. Hanya saja masing – masing menyembah dengan menyebut nama yang
berbeda – beda dan menjalankan ajaran dengan cara yang belum tentu
sama. Oleh karena itu, masing – masing pemeluk tidak perlu saling
berdebat untuk mendapat pengakuan bahwa agamanya yang paling benar.
Syech Siti Jenar juga mengajarkan agar
seseorang dapat lebih mengutamakan prinsip ikhlas dalam menjalankan
ibadah. Orang yang beribadah dengan mengharapkan surga atau pahala
berarti belum bisa disebut ikhlas.
1. 1. Manunggaling Kawula Gusti
Dalam ajarannya ini, pendukungnya
berpendapat bahwa Syekh Siti Jenar tidak pernah menyebut dirinya
sebagai Tuhan. Manunggaling Kawula Gusti dianggap bukan berarti
bercampurnya Tuhan dengan Makhluknya, melainkan bahwa Sang Pencipta
adalah tempat kembali semua makhluk. Dan dengan kembali kepada
Tuhannya, manusia telah menjadi sangat dekat dengan Tuhannya.
Dan dalam ajarannya, ‘Manunggaling
Kawula Gusti‘ adalah bahwa di dalam diri manusia terdapat ruh yang
berasal dari ruh Tuhan sesuai dengan ayat Al Qur’an yang menerangkan
tentang penciptaan manusia (“Ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat:
“Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah. Maka apabila
telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya roh Ku; maka
hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya (Shaad;
71-72)”)>. Dengan demikian ruh manusia akan menyatu dengan ruh Tuhan
dikala penyembahan terhadap Tuhan terjadi.
Perbedaan penafsiran ayat Al Qur’an
dari para murid Syekh Siti inilah yang menimbulkan polemik bahwa di
dalam tubuh manusia bersemayam ruh Tuhan, yaitu polemik paham
‘Manunggaling Kawula Gusti’.
2. Pengertian Zadhab
Dalam kondisi manusia modern seperti
saat ini sering temui manusia yang mengalami hal ini terutama dalam
agama Islam yang sering disebut zadhab atau kegilaan berlebihan
terhadap Illa yang maha Agung atau Allah.
Mereka belajar tentang bagaimana Allah
bekerja, sehingga ketika keinginannya sudah lebur terhadap kehendak
Allah, maka yang ada dalam pikirannya hanya Allah, Allah, Allah dan
Allah…. disekelilingnya tidak tampak manusia lain tapi hanya Allah yang
berkehendak, Setiap Kejadian adalah maksud Allah terhadap Hamba ini….
dan inilah yang dibahayakan karena apabila tidak ada GURU yang Mursyid
yang berpedoman pada AlQuran dan Hadits maka hamba ini akan keluar dari
semua aturan yang telah ditetapkan Allah untuk manusia.Karena hamba ini
akan gampang terpengaruh syaitan, semakin tinggi tingkat keimanannya
maka semakin tinggi juga Syaitan menjerumuskannya.Seperti contohnya Lia
Eden dll… mereka adalah hamba yang ingin dekat dengan Allah tanpa
pembimbing yang telah melewati masa ini, karena apabila telah melewati
masa ini maka hamba tersebut harus turun agar bisa mengajarkan yang HAK
kepada manusia lain seperti juga Rasullah pun telah melewati masa ini
dan apabila manusia tidak mau turun tingkatan maka hamba ini akan
menjadi seprti nabi Isa AS.Maka Nabi ISA diangkat Allah beserta
jasadnya. Seperti juga Syekh Siti Jenar yang kematiannya menjadi
kontroversi.Dalam masyarakat jawa kematian ini disebut “MUKSO” ruh
beserta jasadnya diangkat Allah.
2. 1. Hamamayu Hayuning Bawana
Prinsip ini berarti memakmurkan bumi.
Ini mirip dengan pesan utama Islam, yaitu rahmatan lil alamin. Seorang
dianggap muslim, salah satunya apabila dia bisa memberikan manfaat bagi
lingkungannya dan bukannya menciptakan kerusakan di bumi.
3. Kontroversi
Kontroversi yang lebih hebat terjadi di
sekitar kematian Syekh Siti Jenar. Ajarannya yang amat kontroversial
itu telah membuat gelisah para pejabat kerajaan Demak Bintoro. Di sisi
kekuasaan, Kerajaan Demak khawatir ajaran ini akan berujung pada
pemberontakan mengingat salah satu murid Syeh Siti Jenar, Ki Ageng
Pengging atau Ki Kebokenanga adalah keturunan elite Majapahit (sama
seperti Raden Patah) dan mengakibatkan konflik di antara keduanya.
Dari sisi agama Islam, Walisongo yang
menopang kekuasaan Demak Bintoro, khawatir ajaran ini akan terus
berkembang sehingga menyebarkan kesesatan di kalangan umat. Kegelisahan
ini membuat mereka merencanakan satu tindakan bagi Syekh Siti Jenar
yaitu harus segera menghadap Demak Bintoro. Pengiriman utusan Syekh
Dumbo dan Pangeran Bayat ternyata tak cukup untuk dapat membuat Siti
Jenar memenuhi panggilan Sri Narendra Raja Demak Bintoro untuk
menghadap ke Kerajaan Demak. Hingga konon akhirnya para Walisongo
sendiri yang akhirnya datang ke Desa Krendhasawa di mana perguruan Siti
Jenar berada.
Para Wali dan pihak kerajaan sepakat
untuk menjatuhkan hukuman mati bagi [b]Syekh Siti Jenar dengan tuduhan
telah membangkang kepada raja.[/b] Maka berangkatlah lima wali yang
diusulkan oleh Syekh Maulana Maghribi ke Desa Krendhasawa. Kelima wali
itu adalah Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Pangeran Modang, Sunan Kudus,
dan Sunan Geseng. (Walet: Ini adalah Noordin M Top Jaman Dulu)
Sesampainya di sana, terjadi perdebatan
dan adu ilmu antara kelima wali tersebut dengan Siti Jenar. Menurut
Siti Jenar, kelima wali tersebut tidak usah repot-repot ingin membunuh
Siti Jenar. Karena beliau dapat meminum tirtamarta (air kehidupan)
sendiri. Ia dapat menjelang kehidupan yang hakiki jika memang ia dan
budinya menghendaki.
Tak lama, terbujurlah jenazah Siti
Jenar di hadapan kelima wali. Ketika hal ini diketahui oleh
murid-muridnya, serentak keempat muridnya yang benar-benar pandai yaitu
Ki Bisono, Ki Donoboyo, Ki Chantulo dan Ki Pringgoboyo pun mengakhiri
“kematian”-nya dengan cara yang misterius seperti yang dilakukan oleh
gurunya di hadapan para wali.[rujukan?]
4. Kisah pada saat pasca kematian
Terdapat kisah yang menyebutkan bahwa
ketika jenazah Siti Jenar disemayamkan di Masjid Demak, menjelang salat
Isya, semerbak beribu bunga dan cahaya kilau kemilau memancar dari
jenazah Siti Jenar.
Jenazah Siti Jenar sendiri dikuburkan
di bawah Masjid Demak oleh para wali. Pendapat lain mengatakan, ia
dimakamkan di Masjid Mantingan, Jepara, dengan nama lain.
Setelah tersiar kabar kematian Syekh
Siti Jenar, banyak muridnya yang mengikuti jejak gurunya untuk menuju
kehidupan yang hakiki. Di antaranya yang terceritakan adalah Kiai
Lonthang dari Semarang Ki Kebokenanga dan Ki Ageng Tingkir.
Syekh Siti Jenar – Biodata
Syekh Siti Jenar (829-923 H/1348-1439
C/1426-1517 M), memiliki banyak nama : San Ali (nama kecil pemberian
orangtua angkatnya, bukan Hasan Ali Anshar seperti banyak ditulis
orang); Syekh ‘Abdul Jalil (nama yg diperoleh di Malaka, setelah
menjadi ulama penyebar Islam di sana); Syekh Jabaranta (nama yg dikenal
di Palembang, Sumatera dan daratan Malaka); Prabu Satmata (Gusti yg
nampak oleh mata; nama yg muncul dari keadaan kasyf atau mabuk
spiritual; juga nama yg diperkenalkan kepada murid dan pengikutnya);
Syekh Lemah Abang atau Lemah Bang (gelar yg diberikan masyarakat Lemah
Abang, suatu komunitas dan kampung model yg dipelopori Syekh Siti
Jenar; melawan hegemoni kerajaan. Wajar jika orang Cirebon tidak
mengenal nama Syekh Siti Jenar, sebab di Cirebon nama yg populer adalah
Syekh Lemah Abang); Syekh Siti Jenar (nama filosofis yg mengambarkan
ajarannya tentang sangkan-paran, bahwa manusia secara biologis hanya
diciptakan dari sekedar tanah merah dan selebihnya adalah roh Allah;
juga nama yg dilekatkan oleh Sunan Bonang ketika memperkenalkannya
kepada Dewan Wali, pada kehadirannya di Jawa Tengah/Demak; juga nama
Babad Cirebon); Syekh Nurjati atau Pangran Panjunan atau Sunan Sasmita
(nama dalam Babad Cirebon, S.Z. Hadisutjipto); Syekh Siti Bang, serta
Syekh Siti Brit; Syekh Siti Luhung (nama-nama yg diberikan masyarakat
Jawa Tengahan); Sunan Kajenar (dalam sastra Islam-Jawa versi Surakarta
baru, era R.Ng. Ranggawarsita [1802-1873]); Syekh Wali Lanang Sejati;
Syekh Jati Mulya; dan Syekh Sunyata Jatimurti Susuhunan ing Lemah Abang.
Siti Jenar lebih menunjukkan sebagai
simbolisme ajaran utama Syekh Siti Jenar yakni ilmu kasampurnan, ilmu
sangkan-paran ing dumadi, asal muasal kejadian manusia, secara biologis
diciptakan dari tanah merah saja yg berfungsi sebagai wadah (tempat)
persemayaman roh selama di dunia ini. Sehingga jasad manusia tidak
kekal akan membusuk kembali ketanah. Selebihnya adalah roh Allah, yg
setelah kemusnaan raganya akan menyatu kembali dengan keabadian. Ia di
sebut manungsa sebagai bentuk “manunggaling rasa” (menyatu rasa ke
dalam Tuhan).
Dan karena surga serta neraka itu
adalah untuk derajad fisik maka keberadaan surga dan neraka adalah di
dunia ini, sesuai pernyataan populer bahwa dunia adalah penjara bagi
orang mukmin. Menurut Syekh Siti Jenar, dunia adalah neraka bagi orang
yg menyatu-padu dgn Tuhan. Setelah meninggal ia terbebas dari belenggu
wadag-nya dan bebas bersatu dgn Tuhan. Di dunia manunggalnya hamba dgn
Tuhan sering terhalang oleh badan biologis yg disertai nafsu-nafsunya.
Itulah inti makna nama Syekh Siti Jenar.
Siti Jenar – Biodata
Syekh Siti Jenar lahir sekitar tahun
829 H/1348 C/1426 M (Serat She Siti Jenar Ki Sasrawijaya; Atja, Purwaka
Tjaruban Nagari (Sedjarah Muladjadi Keradjan Tjirebon), Ikatan Karyawan
Museum, Jakarta, 1972; P.S. Sulendraningrat, Purwaka Tjaruban Nagari,
Bhatara, Jakarta, 1972; H. Boedenani, Sejarah Sriwijaya, Terate,
Bandung, 1976; Agus Sunyoto, Suluk Abdul Jalil Perjalanan Rohani Syaikh
Syekh Siti Jenar dan Sang Pembaharu, LkiS, yogyakarta, 2003-2004;
Sartono Kartodirjo dkk, [i]Sejarah Nasional Indonesia, Depdikbud,
Jakarta, 1976; Babad Banten; Olthof, W.L., Babad Tanah Djawi. In Proza
Javaansche Geschiedenis, ‘s-Gravenhage, M.Nijhoff, 1941; raffles,
Th.S., The History of Java, 2 vol, 1817), dilingkungan Pakuwuan
Caruban, pusat kota Caruban larang waktu itu, yg sekarang lebih dikenal
sebagai Astana japura, sebelah tenggara Cirebon. Suatu lingkungan yg
multi-etnis, multi-bahasa dan sebagai titik temu kebudayaan serta
peradaban berbagai suku.
Selama ini, silsilah Syekh Siti Jenar
masih sangat kabur. Kekurangjelasan asal-usul ini juga sama dgn
kegelapan tahun kehidupan Syekh Siti Jenar sebagai manusia sejarah.
Pengaburan tentang silsilah, keluarga
dan ajaran Beliau yg dilakukan oleh penguasa muslim pada abad ke-16
hingga akhir abad ke-17. Penguasa merasa perlu untuk “mengubur” segala
yg berbau Syekh Siti Jenar akibat popularitasnya di masyarakat yg
mengalahkan dewan ulama serta ajaran resmi yg diakui Kerajaan Islam
waktu itu. Hal ini kemudian menjadi latar belakang munculnya kisah
bahwa Syekh Siti Jenar berasal dari cacing.
Dalam sebuah naskah klasik, cerita yg
masih sangat populer tersebut dibantah secara tegas, “Wondene kacariyos
yen Lemahbang punika asal saking cacing, punika ded, sajatosipun inggih
pancen manungsa darah alit kemawon, griya ing dhusun Lemahbang.”
[Adapun diceritakan kalau Lemahbang (Syekh Siti Jenar) itu berasal dari
cacing, itu salah. Sebenarnya ia memang manusia berdarah kecil saja
(rakyat jelata), bertempat tinggal di desa Lemah Abang]…..
Jadi Syekh Siti Jenar adalah manusia
lumrah hanya memang ia walau berasal dari kalangan bangsawan setelah
kembali ke Jawa menempuh hidup sebagai petani, yg saat itu, dipandang
sebagai rakyat kecil oleh struktur budaya Jawa, disamping sebagai wali
penyebar Islam di Tanah Jawa.
Syekh Siti Jenar yg memiliki nama kecil
San Ali dan kemudian dikenal sebagai Syekh ‘Abdul Jalil adalah putra
seorang ulama asal Malaka, Syekh Datuk Shaleh bin Syekh ‘Isa ‘Alawi bin
Ahmadsyah Jamaludin Husain bin Syekh ‘Abdullah Khannuddin bin Syekh
Sayid ‘Abdul Malikal-Qazam. Maulana ‘Abdullah Khannuddin adalah putra
Syekh ‘Abdul Malik atau Asamat Khan. Nama terakhir ini adalah seorang
Syekh kalangan ‘Alawi kesohor di Ahmadabad, India, yg berasal dari
Handramaut. Qazam adalah sebuah distrik berdekatan dgn kota Tarim di
Hadramaut.
Syekh ‘Abdul Malik adalah putra Syekh
‘Alawi, salah satu keluarga utama keturunan ulama terkenal Syekh ‘Isa
al-Muhajir al-Bashari al-‘Alawi, yg semua keturunannya bertebaran ke
berbagai pelosok dunia, menyiarkan agama Islam. Syekh ‘Abdul Malik
adalah penyebar agama Islam yg bersama keluarganya pindah dari Tarim ke
India. Jika diurut keatas, silsilah Syekh Siti Jenar berpuncak pada
Sayidina Husain bin ‘Ali bin Abi Thalib, menantu Rasulullah. Dari
silsilah yg ada, diketahui pula bahwa ada dua kakek buyutnya yg menjadi
mursyid thariqah Syathariyah di Gujarat yg sangat dihormati, yakni
Syekh Abdullah Khannuddin dan Syekh Ahmadsyah Jalaluddin. Ahmadsyah
Jalaluddin setelah dewasa pindah ke Kamboja dan menjadi penyebar agama
Islam di sana.
Adapun Syekh Maulana ‘sa atau Syekh
Datuk ‘Isa putra Syekh Ahmadsyah kemudian bermukim di Malaka. Syekh
Maulana ‘Isa memiliki dua orang putra, yaitu Syekh Datuk Ahamad dan
Syekh Datuk Shaleh. Ayah Syekh Siti Jenar adalah Syekh Datuk Shaleh
adalah ulama sunni asal Malaka yg kemudian menetap di Cirebon karena
ancaman politik di Kesultanan Malaka yg sedang dilanda kemelut
kekuasaan pada akhir tahun 1424 M, masa transisi kekuasaan Sultan
Muhammad Iskandar Syah kepada Sultan Mudzaffar Syah. Sumber-sumber
Malaka dan Palembang menyebut nama Syekh Siti Jenar dgn sebutan Syekh
Jabaranta dan Syekh ‘Abdul Jalil.
Pada akhir tahun 1425, Syekh Datuk
Shaleh beserta istrinya sampai di Cirebon dan saat itu, Syekh Siti
Jenar masih berada dalam kandungan ibunya 3 bulan. Di Tanah Caruban
ini, sambil berdagang Syekh Datuk Shaleh memperkuat penyebaran Islam yg
sudah beberapa lama tersiar di seantero bumi Caruban, besama-sama dgn
ulama kenamaan Syekh Datuk Kahfi, putra Syehk Datuk Ahmad. Namun, baru
dua bulan di Caruban, pada tahun awal tahun 1426, Syekh Datuk Shaleh
wafat.
Sejak itulah San Ali atau Syekh Siti
Jenar kecil diasuh oleh Ki Danusela serta penasihatnya, Ki Samadullah
atau Pangeran Walangsungsang yg sedang nyantri di Cirebon, dibawah
asuhan Syekh datuk Kahfi.
Jadi walaupun San Ali adalah keturunan
ulama Malaka, dan lebih jauh lagi keturunan Arab, namun sejak kecil
lingkungan hidupnya adalah kultur Cirebon yg saat itu menjadi sebuah
kota multikultur, heterogen dan sebagai basis antarlintas perdagangan
dunia waktu itu.
Saat itu Cirebon dgn Padepokan Giri
Amparan Jatinya yg diasuh oleh seorang ulama asal Makkah dan Malaka,
Syekh Datuk Kahfi, telah mampu menjadi salah satu pusat pengajaran
Islam, dalam bidang fiqih dan ilmu ‘alat, serta tasawuf. Sampai usia 20
tahun, San Ali mempelajari berbagai bidang agama Islam dgn sepenuh
hati, disertai dgn pendidikan otodidak bidang spiritual.
Padepokan Giri Amparan Jati
Setelah diasuh oleh Ki Danusela samapai
usia 5 tahun, pada sekitar tahun 1431 M, Syekh Siti Jenar kecil (San
Ali) diserahkan kepada Syekh Datuk Kahfi, pengasuh Pedepokan Giri
Amparan Jati, agar dididik agama Islam yg berpusat di Cirebon oleh
Kerajaan Sunda di sebut sebagai musu(h) alit [musuh halus] .
Di Padepokan Giri Amparan Jati ini, San
Ali menyelesaikan berbagai pelajaran keagamaan, terutama nahwu, sharaf,
balaghah, ilmu tafsir, musthalah hadist, ushul fiqih dan manthiq. Ia
menjadi santri generasi kedua. Sedang yg akan menjadi santri generasi
ketiga adalah Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Syarif
Hidayatullah baru datang ke Cirebon, bersamaan dgn pulangnya Syekh Siti
Jenar dari perantauannya di Timur Tengah sekitar tahun 1463, dalam
status sebagai siswa Padepokan Giri Amparan Jati, dgn usia sekitar
17-an tahun.
Pada tahun 1446 M, setelah 15 tahun
penuh menimba ilmu di Padepokan Amparan Jati, ia bertekad untuk keluar
pondok dan mulai berniat untuk mendalami kerohanian (sufi). Sebagai
titik pijaknya, ia bertekad untuk mencari “sangkan-paran” dirinya.
Tujuan pertmanya adalah Pajajaran yg
dipenuhi oleh para pertapa dan ahli hikmah Hindu-Budha. Di Pajajaran,
Syekh Siti Jenar mempelajari kitab Catur Viphala warisan Prabu
Kertawijaya Majapahit. Inti dari kitab Catur Viphala ini mencakup empat
pokok laku utama.
Pertama, nihsprha, adalah suatu keadaan
di mana tidak adal lagi sesuatu yg ingin dicapai manusia. Kedua,
nirhana, yaitu seseorang tidak lagi merasakan memiliki badan dan
karenanya tidak ada lagi tujuan. Ketiga, niskala adalah proses rohani
tinggi, “bersatu” dan melebur (fana’) dgn Dia Yang Hampa, Dia Yang Tak
Terbayangkan, Tak Terpikirkan, Tak Terbandingkan. Sehingga dalam
kondisi (hal) ini, “aku” menyatu dgn “Aku”. Dan keempat, sebagai
kesudahan dari niskala adalah nirasraya, suatu keadaan jiwa yg
meninggalkan niskala dan melebur ke Parama-Laukika (fana’ fi al-fana’),
yakni dimensi tertinggi yg bebas dari segala bentuk keadaan, tak
mempunyai ciri-ciri dan mengatasi “Aku”.
Dari Pajajaran San Ali melanjutkan
pengembaraannya menuju Palembang, menemui Aria Damar, seorang adipati,
sekaligus pengamal sufi-kebatinan, santri Maulana Ibrahim Samarkandi.
Pada masa tuanya, Aria Damar bermukim di tepi sungai Ogan, Kampung
Pedamaran.
Diperkirakan Syekh Siti Jenar berguru
kepada Aria Damar antara tahun 1448-1450 M. bersama Aria Abdillah ini,
San Ali mempelajari pengetahuan tentang hakikat ketunggalan alam
semesta yg dijabarkan dari konsep “nurun ‘ala nur” (cahaya Maha
Cahaya), atau yg kemudian dikenal sebagai kosmologi emanasi.
Dari Palembang, San Ali melanjutkan
perjalanan ke Malaka dan banyak bergaul dgn para bangsawan suku Tamil
maupun Malayu. Dari hubungan baiknya itu, membawa San Ali untuk
memasuki dunia bisnis dgn menjadi saudagar emas dan barang kelontong.
Pergaulan di dunia bisnis tsb dimanfaatkan oleh San Ali untuk
mempelajari berbagai karakter nafsu manusia, sekaligus untuk menguji
laku zuhudnya ditengah gelimang harta. Selain menjadi saudagar, Syekh
Siti jenar juga menyiarkan agama Islam yg oleh masyarakat setempat
diberi gelar Syekh jabaranta. Di Malaka ini pula, ia bertemu dgn Datuk
Musa, putra Syekh Datuk Ahmad. Dari uwaknya ini, Syekh Datuk Ahmad, San
Ali dianugerahi nama keluarga dan nama ke-ulama-an Syekh Datuk ‘Abdul
Jalil.
Dari perenungannya mengenai dunia nafsu
manusia, hal ini membawa Syekh Siti Jenar menuai keberhasilan
menaklukkan tujuh hijab, yg menjadi penghalang utama pendakian rohani
seorang salik (pencari kebenaran). Tujuh hijab itu adalah lembah kasal
(kemalasan naluri dan rohani manusia); jurang futur (nafsu menelan
makhluk/orang lain); gurun malal (sikap mudah berputus asa dalam
menempuh jalan rohani); gurun riya’ (bangga rohani); rimba sum’ah
(pamer rohani); samudera ‘ujub (kesombongan intelektual dan kesombongan
ragawi); dan benteng hajbun (penghalang akal dan nurani).
Pencerahan Rohani di Baghdad
Setelah mengetahui bahwa dirinya
merupakan salah satu dari keluarga besar ahlul bait (keturunan
Rasulullah), Syekh Siti Jenar semakin memiliki keinginan kuat segera
pergi ke Timur Tengah terutama pusat kota suci Makkah.
Dalam perjalanan ini, dari pembicaraan
mengenai hakikat sufi bersama ulama Malaka asal Baghdad Ahmad
al-Mubasyarah al-Tawalud di sepanjang perjalanan. Syekh Siti Jenar
mampu menyimpan satu perbendaharaan baru, bagi perjalanan rohaninya
yaitu “ke-Esaan af’al Allah”, yakni kesadaran bahwa setiap gerak dan
segala peristiwa yg tergelar di alam semesta ini, baik yg terlihat
maupun yg tidak terlihat pada hakikatnya adalah af’al Allah. Ini
menambah semangatnya untuk mengetahui dan merasakan langsung bagaimana
af’al Allah itu optimal bekerja dalam dirinya.
Inilah pangkal pandangan yg dikemudian
hari memunculkan tuduhan dari Dewan Wali, bahwa Syekh Siti Jenar
menganut paham Jabariyah. Padahal bukan itu pemahaman yg dialami dan
dirasakan Syekh Siti Jenar. Bukan pada dimensi perbuatan alam atau
manusianya sebagai tolak titik pandang akan tetapi justru perbuatan
Allah melalui iradah dan quradah-NYA yg bekerja melalui diri manusia,
sebagai khalifah-NYA di alam lahir. Ia juga sampai pada suatu kesadaran
bahwa semua yg nampak ada dan memiliki nama, pada hakikatnya hanya
memiliki satu sumber nama, yakni Dia Yang Wujud dari segala yg maujud.
Sesampainya di Baghdad, ia menumpang di
rumah keluarga besar Ahmad al-Tawalud. Disinilah cakrawala pengetahuan
sufinya diasah tajam. Sebab di keluarga al-Tawalud tersedia banyak
kitab-kitab ma’rifat dari para sufi kenamaan. Semua kitab itu adalah
peninggalan kakek al-Tawalud, Syekh ‘Abdul Mubdi’ al-Baghdadi. Di Irak
ini pula, Syekh Siti Jenar bersentuhan dgn paham Syi’ah Ja’fariyyah, yg
di kenal sebagai madzhab ahl al-bayt.
Syekh Siti Jenar membaca dan
mempelajari dgn Baik tradisi sufi dari al-Thawasinnya al-Hallaj
(858-922), al-Bushtamii (w.874), Kitab al-Shidq-nya al-Kharaj (w.899),
Kitab al-Ta’aruf al-Kalabadzi (w.995), Risalah-nya al-Qusyairi
(w.1074), futuhat al-Makkiyah dan Fushush al-Hikam-nya Ibnu ‘Arabi
(1165-1240), Ihya’ Ulum al-Din dan kitab-kitab tasawuf al-Ghazali
(w.1111), dan al-Jili (w.1428). secara kebetulan periode al-jili
meninggal, Syekh Siti Jenar sudah berusia dua tahun. Sehingga saat itu
pemikiran-permikiran al-Jili, merupakan hal yg masih sangat baru bagi
komunitas Islam Indonesia.
Dan sebenarnya Syekh Siti Jenar-lah yg
pertama kali mengusung gagasan al-Hallaj dan terutama al-Jili ke Jawa.
Sementara itu para wali anggota Dewan Wali menyebarluaskan ajaran Islam
syar’i madzhabi yg ketat. Sebagian memang mengajarkan tasawuf, namun
tasawuf tarekati, yg kebanyakkan beralur pada paham Imam Ghazali.
Sayangnya, Syekh Siti Jenar tidak banyak menuliskan ajaran-ajarannya
karena kesibukannya menyebarkan gagasan melalui lisan ke berbagai
pelosok Tanah Jawa. Dalam catatan sastra suluk Jawa hanya ada 3 kitab
karya Syekh Siti Jenar; Talmisan, Musakhaf (al-Mukasysyaf) dan Balal
Mubarak. Masyarakat yg dibangunnya nanti dikenal sebagai komunitas
Lemah Abang.
Dari sekian banyak kitab sufi yg dibaca
dan dipahaminya, yg paling berkesan pada Syekh Siti Jenar adalah kitab
Haqiqat al-Haqa’iq, al-Manazil al-Alahiyah dan al-Insan al-Kamil fi
Ma’rifat al-Awakhiri wa al-Awamil (Manusia Sempurna dalam Pengetahuan
tenatang sesuatu yg pertama dan terakhir). Ketiga kitab tersebut,
semuanya adalah puncak dari ulama sufi Syekh ‘Abdul Karim al-Jili.
Terutama kitab al-Insan al-Kamil, Syekh
Siti Jenar kelak sekembalinya ke Jawa menyebarkan ajaran dan pandangan
mengenai ilmu sangkan-paran sebagai titik pangkal paham
kemanuggalannya. Konsep-konsep pamor, jumbuh dan manunggal dalam
teologi-sufi Syekh Siti Jenar dipengaruhi oleh paham-paham puncak
mistik al-Hallaj dan al-Jili, disamping itu karena proses pencarian
spiritualnya yg memiliki ujung pemahaman yg mirip dgn secara
praktis/’amali-al-Hallaj; dan secara filosofis mirip dgn al-Jili dan
Ibnu ‘Arabi.
Syekh Siti Jenar menilai bahwa
ungkapan-ungkapan yg digunakan al-Jili sangat sederhana, lugas, gampang
dipahami namun tetap mendalam. Yg terpenting, memiliki banyak kemiripan
dgn pengalaman rohani yg sudah dilewatkannya, serta yg akan
ditempuhnya. Pada akhirnya nanti, sekembalinya ke Tanah Jawa, pengaruh
ketiga kitab itu akan nampak nyata, dalam berbagai ungkapan mistik,
ajaran serta khotbah-khotbahnya, yg banyak memunculkan
guncangan-guncangan keagamaan dan politik di Jawa.
Syekh Siti Jenar banyak meluangkan
waktu mengikuti dan mendengarkan konser-konser musik sufi yg digelar
diberbagai sama’ khana. Sama’ khana adalah rumah-rumah tempat para sufi
mendengarkan musik spiritual dan membiarkan dirinya hanyut dalam
ekstase (wajd). Sama’ khana mulai bertumbuhan di Baghdad sejak abad
ke-9 (Schimmel; 1986, hlm. 185). Pada masa itu grup musik sufi yg
terkenal adalah al-Qawwal dgn penyanyi sufinya ‘Abdul Warid al-Wajd.
Berbagai pengalaman spiritual
dilaluinya di Baghdad sampai pada tingkatan fawa’id (memancarnya
potensi pemahaman roh karena hijab yg menyelubunginya telah tersingkap.
Dgn ini seseorang akan menjadi berbeda dgn umumnya manusia); dan
lawami’ (mengejawantahnya cahaya rohani akibat tersingkapnya fawa’id),
tajaliyat melalui Roh al-haqq dan zawaid (terlimpahnya cahaya Ilahi ke
dalam kalbu yg membuat seluruh rohaninya tercerahkan). Ia mengalami
berbagai kasyf dan berbagai penyingkapan hijab dari nafsu-nafsunya.
Disinilah Syekh Siti Jenar mendapatkan kenyataan memadukan pengalaman
sufi dari kitab-kitab al-Hallaj, Ibnu ‘Arabi dan al-Jili.
Bahkan setiap kali ia melantunkan
dzikir dikedalaman lubuk hatinya dgn sendirinya ia merasakan denting
dzikir dan menangkap suara dzikir yg berbunyi aneh, Subhani, alhamdu
li, la ilaha illa ana wa ana al-akbar, fa’budni (mahasuci aku, segala
puji untukku, tiada tuhan selain aku, maha besar aku, sembahlah aku).
Walaupun telinganya mendengarkan orang di sekitarnya membaca dzikir
Subhana Allah, al-hamduli Allahi, la ilaha illa Allah, Allahu Akbar,
fa’buduhu, namun suara yg di dengar lubuk hatinya adalah dzikir nafsi,
sebagai cerminan hasil man ‘arafa bafsahu faqad ‘arafa Rabbahu
tersebut. Sampai di sini, Syekh Siti Jenar semakin memahami makna
hadist Rasulullah “al-Insan sirri wa ana sirruhu” (Manusia adalah
Rahasia-Ku dan Aku adalah rahasianya).
Sebenarnya inti ajaran Syekh Siti Jenar
sama dgn ajaran sufi ‘Abdul Qadir al-Jilani (w.1165), Ibnu ‘Arabi
(560/1165-638-1240), Ma’ruf al-Karkhi, dan al-Jili. Hanya saja ketiga
tokoh tsb mengalami nasib yg baik dalam artian, ajarannya tidak
dipolitisasi, sehingga dalam kehidupannya di dunia tidak pernah
mengalami intimidasi dan kekerasan sebagai korban politik dan menemui
akhir hayat secara biasa.
Ingsun, Allah dan Kemanunggalan (Syekh Siti Jenar)
SATU
“Sabda sukma, adhep idhep Allah, kang anembah Allah, kang sinembah
Allah, kang murba amisesa.”
Pernyataan Syekh Siti Jenar diatas
secara garis besarnya adalah: “Pernyataan roh yg bertemu-hadapan dgn
Allah, yg menyembah Allah, yg disembah Allah, yg meliputi segala
sesuatu.”
Ini adalah salah satu sumber
pengetahuan ajaran Syekh Siti Jenar yg maksudnya adalah sukma (roh di
kedalaman jiwa) sebagai pusat kalam (pembicaraan dan ajaran). Hal itu
diakibatkan karena di kedalaman roh batin manusia tersedia cermin yg
disebut mir’ah al-haya’ (cermin yg memalukan). Bagi orang yg sudah bisa
mengendalikan hawa nafsunya serta mencapai fana’ cermin tersebut akan
muncul, yg menampakkan kediriannya dengan segala perbuatan tercelanya.
Jika ini telah terbuka maka tirai-tirai Rohani juga akan tersingkap,
sehingga kesejatian dirinya beradu-adu (adhep idhep), “aku ini kau,
tapi kau aku”.
Maka jadilah dia yg menyembah sekaligus
yg disembah, sehingga dirinya sebagai kawula-Gusti memiliki wewenang
murba amisesa, memberi keputusan apapun tentang dirinya, menyatu iradah
dan kodrat kawula-Gusti.
DUA
“Hidup itu bersifat baru dan dilengkapi
dengan pancaindera. Pancaindera ini merupakan barang pinjaman, yg jika
sudah diminta oleh yg empunya, akan menjadi tanah dan membusuk, hancur
lebur bersifat najis. Oleh karena itu pancaindera tidak dapat dipakai
sebagai pedoman hidup. Demikian pula budi, pikiran, angan-angan dan
kesadaran, berasal dari pancaindera, tidak dapat dipakai sebagai
pegangan hidup. Akal dapat menjadi gila, sedih, bingung, lupa tidur dan
seringkali tidak jujur. Akal itu pula yg siang malam mengajak dengki,
bahkan merusak kebahagiaan orang lain. Dengki dapat pula menuju
perbuatan jahat, menimbulkan kesombongan, untuk akhirnya jatuh dalam
lembah kenistaan, sehingga menodai nama dan citranya. Kalau sudah
sampai sedemikian jauhnya, baru orang menyesalkan perbuatannya.”
Menurut Syekh Siti Jenar, baik
pancaindera maupun perangkat akal tidak dapat dijadikan pegangan dan
pedoman hidup. Sebab semua itu bersifat baru, bukan azali. Satu-satunya
yg bisa dijadikan gondhelan dan gandhulan hanyalah Zat Wajibul
Maulanan, Zat Yang Maha Melindungi. Pancaindera adalah pintu nafsu dan
akal adalah pintu bagi ego. Semuanya harus ditundukkan di bawah Zat
Yang Wajib memimpin.
Karena hanya Dialah yg menunjukkan
semua budi baik. Jadi pancaindera harus dibimbing oleh budi dan budi
dipimpin oleh Sang Penguasa Budi atau Yang Maha Budi. Sedangkan Yang
Maha Budi itu tidak terikat dalam jeratan dan jebakan nama tertentu.
Sebab nama bukanlah hakikat. Nama itu bisa Allah, Hyang Widi, Hyang
Manon, Sang Wajibul Maulana dan sebagainya. Semua itu produk akal,
sehingga nama tidak perlu disembah. Jebakan nama dalam syari’at justru
malah merendahkan nama-NYA.
TIGA
“Apakah tidak tahu bahwa penampilan
bentuk daging, urat, tulang, sunsum, bisa rusak dan bagaimana cara Anda
memperbaikinya? Biarpun bersembahyang seribu kali setiap harinya
akhirnya mati juga. Meskipun badan Anda, Anda tutupi akhirnya menjadi
debu juga. Tetapi jika penampilan bentuknya seperti Tuhan, Apakah para
Wali dapat membawa Pulang dagingnya, saya rasa tidak dapat. Alam
semesta ini baru. Tuhan tidak akan membentuk dunia ini dua kali dan
juga tidak akan membuat tatanan batu, dalilnya layabtakiru hilamuhdil
yg artinya tidak membuat sesuatu wujud lagi tentang terjadinya alam
semesta sesudah dia membuat dunia.”
Dari pernyataan itu nampak Syekh Siti
Jenar memandang alam makrokosmos sama dengan mikrokosmos (manusia).
Kedua hal tersebut merupakan barang baru ciptaan Tuhan yg sama-sama
akan mengalami kerusakan atau tidak kekal.
Pada sisi lain, pernyataan Syekh Siti
Jenar tsb mempunyai muatan makna pernyataan sufistik, “Barangsiapa
mengenal dirinya, maka ia pasti mengenal Tuhannya.” Sebab bagi Syekh
Siti Jenar manusia yg utuh dalam jiwa raganya merupakan wadag bagi
penyanda, termasuk penyanda alam semesta. Itulah sebabnya pengelolaan
alam semesta menjadi tanggungjawab manusia.
Maka mikrokosmos manusia, tidak lain adalah Blueprint dan gambaran adanya jagat besar termasuk semesta.
Baginya Manusia terdiri dari jiwa dan
raga yg intinya ialah jiwa sebagai penjelmaan dzat Tuhan (Sang
Pribadi). Sedangkan raga adalah bentuk luar dari jiwa yg dilengkapi
pancaindera, berbagai organ tubuh seperti daging, otot, darah dan
tulang. Semua aspek keragaan atau ketubuhan adalah barang pinjaman yg
suatu saat setelah manusia terlepas dari pengalaman kematian di dunia
ini, akan kembali berubah menjadi tanah. Sedangkan rohnya yg menjadi
tajalli Ilahi, manunggal ke dalam keabadian dengan Allah.
EMPAT
“Segala sesuatu yg terjadi di alam
semesta ini pada hakikatnya adalah af’al (perbuatan) Allah. Berbagai
hal yg dinilai baik maupun buruk pada hakikatnya adalah dari Allah
juga. Jadi keliru dan sesat pandangan yg mengatakan bahwa yg baik dari
Allah dan yg buruk dari selain Allah.” “…Af’al Allah harus dipahami
dari dalam dan dari luar diri. Saat manusia menggoreskan pena misalnya,
di situ lah terjadi perpaduan dua kemampuan kodrati yg dipancarkan oleh
Allah kepada makhluk-NYA, yakni kemampuan kodrati gerak pena. Di
situlah berlaku dalil “Wa Allahu khalaqakum wa ma ta’malun
(Qs.Ash-Shaffat:96)”, yg maknanya Allah yg menciptakan engkau dan
segala apa yg engkau perbuat. Di sini terkandung makna mubasyarah.
Perbuatan yg terlahir dari itu disebut al-tawallud. Misalnya saya
melempar batu. Batu yg terlempar dari tangan saya itu adalah
berdasarkan kemampuan kodrati gerak tangan saya. Di situ berlaku dalil
“Wa ma ramaita idz ramaita walakinna Allaha rama (Qs.Al-Anfal:17)”,
maksudnya bukanlah engkau yg melempar, melainkan Allah jua yg melempar
ketika engkau melempar. Namun pada hakikatnya antara mubasyarah dan
al-tawallud hakikatnya satu, yakni af’al Allah sehingga berlaku dalil
la haula wa la quwwata illa bi Allahi al-‘aliyi al-‘adzimi. Rosulullah
bersabda “La tataharraku dzarratun illa bi idzni Allahi”, yg maksudnya
tidak akan bergerak satu dzarah pun melainkan atas idzin Allah.”
Eksistensi manusia yg manunggal ini
akan nampak lebih jelas peranannya, dimana manusia tidak lain adalah
ke-Esa-an dalam af’al Allah. Tentu ke-Esa-an bukan sekedar af’al, sebab
af’al digerakkan oleh dzat. Sehingga af’al yg menyatu menunjukkan
adanya ke-Esa-an dzat, kemana af’al itu dipancarkan.
LIMA
“Di dunia ini kita merupakan
mayat-mayat yg cepat juga akan menjadi busuk dan bercampur tanah.
Ketahuilah juga apa yg dinamakan kawula-Gusti tidak berkaitan dgn
seorang manusia biasa seperti yg lain-lain. Kawula dan Gusti itu sudah
ada dalam diriku, siang dan malam tidak dapat memisahkan diriku dari
mereka. Tetapi hanya untuk saat ini nama kawula-Gusti itu berlaku,
yakni selama saya mati. Nanti, kalau saya sudah hidup lagi, Gusti dan
kawula lenyap, yg tinggal hanya hidupku sendiri, ketentraman langgeng
dalam ADA sendiri. Bila kau belum menyadari kebenaran kata-kataku maka
dgn tepat dapat dikatakan, bahwa kau masih terbenam dalam masa
kematian. Di sini memang terdapat banyak hiburan aneka warna. Lebih
banyak lagi hal-hal yg menimbulkan hawa nafsu. Tetapi kau tidak
melihat, bahwa itu hanya akibat pancaindera. Itu hanya impian yg sama
sekali tidak mengandung kebenaran dan sebentar lagi akan cepat lenyap.
Gilalah orang yg terikat padanya. Saya tidak merasa tertarik, tak sudi
tersesat dalam kerajaan kematian. Satu-satunya yg kuusahakan, ialah
kembali kepada kehidupan.”
Syekh Siti Jenar menyatakan dgn tegas
bahwa dirinya sebagai Tuhan, ia memiliki hidup dan Ada dalam dirinya
sendiri, serta menjadi Pangeran bagi seluruh isi dunia. Sehingga
didapatkan konsistensi antara keyakinan hati, pengalaman keagamaan, dan
sikap perilaku dzahirnya. Juga ditekankan satu hal yg selalu tampil
dalam setiap ajaran Syekh Siti Jenar. Yakni pendapat bahwa manusia
selama masih berada di dunia ini sebetulnya mati, baru sesudah ia
dibebaskan dari dunia ini, akan dialami kehidupan sejati. Kehidupan ini
sebenarnya kematian ketika manusia dilahirkan. Badan hanya sesosok
mayat karena ditakdirkan untuk sirna. (bandingkan dengan Zoetmulder;
364). Dunia ini adalah alam kubur, dimana roh suci terjerat badan wadag
yg dipenuhi oleh berbagai goda-nikmat yg menguburkan kebenaran sejati
dan berusaha menguburkan kesadaran Ingsun Sejati.
Semoga yg ini bermanfaat dalam
kepasrahan yg tidak bisa dipikir dgn Akal tapi dengan Hati yang sulit
mengungkapkan rasa Cinta itu secara Tulus….
Walaupun rasa Cinta itu sulit diungkapkan dgn bahasa kita yg sangat terbatas ini…..amin….amin.
ALLAH اللهَ ALLAH اللهَ ALLAH اللهَALLAH اللهَ
Sunan Gunung Jati - Syekh Siti Jenar
اَللَّهُمَّ صَلِّىْ عَلَىْ سَيِّدِنَامُحَمَّدٍ
والله أعلم بالـصـواب
Moga Bermanfaat.
Moga Bermanfaat.
...........................................................................
No comments:
Post a Comment