أعُوْذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ
Sesungguhnya Aku berniat kerana اللهَ
Tugasan gerak organ-organ tubuh badanKu kepada اللهَ
Daku Niatkan Tasbih anggota-anggota organ tubuhku buat اللهَ.
Ku serahkan seluruh kehidupanku kebergantungan sepenuhnya KepadaMu Ya اللهَ
(الْحَمْدُ لِلَّهِ)Tahmid Dengan Denyutan Nadiku
(لَا إِلٰهَ إِلَّا ٱلله)Tahlil Degupan Jantungku
(اللَّهُ أَكْبَرُ)Takbir Hela Turun Naik Nafasku
اَلْحَمْدُ ِللهِ syukur kepada اللهَ
وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللَّ ... اَللَّهُمَّ صَلِّىْ عَلَىْ سَيِّدِنَامُحَمَّدٍ ALLAH اللهَ
ALLAH اللهَ
Syekh Siti Jenar - Puasa dan Haji, Ihsan, Kisah Nabi Musa dan Khidir
Seterusnya[Next]:- Syekh Siti Jenar – Soal Jawab
Seterusnya[Next]:- Syekh Siti Jenar – Pandangan Murid-Murid tentang ajaran beliau
Seterusnya[Next]:- Syekh Siti Jenar – Pengertian Solat
ALLAH اللهَ ALLAH اللهَ ALLAH اللهَALLAH اللهَ
وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللَّ ... اَللَّهُمَّ صَلِّىْ عَلَىْ سَيِّدِنَامُحَمَّدٍ ALLAH اللهَ
Syekh Siti Jenar - Puasa dan Haji, Ihsan, Kisah Nabi Musa dan Khidir
Syekh Siti Jenar - Puasa dan Haji, Ihsan, Kisah Nabi Musa dan Khidir
Puasa dan Haji Syekh Siti Jenar
“Syahadat, shalat dan puasa itu,
sesuatu yang tidak diinginkan, jadi tidak perlu. Adapun zakat dan naik
haji ke Makah, itu semua omong kosong (palson kabeh). Itu seluruhnya
kedurjanaan budi, penipuan terhadap sesama manusia. Orang-orang dungu
yg menuruti aulia, karena diberi harapan surga di kelak kemudian hari,
itu sesungguhnya keduanya orang yang tidak tahu. Lain halnya dengan
saya, Siti Jenar.”
“Tiada pernah saya menuruti perintah
budi, bersujud-sujud di mesjid mengenakan jubah, pahalanya besok saja,
bila dahi sudah menjadi tebal, kepala berbelulang. Sesungguhnya hal ini
idak masuk akal! Di dunia ini semua manusia adalah sama. Mereka semua
mengalami suka-duka, menderita sakit dan duka nestapa, tiada beda satu
dengan yang lain. Oleh karena itu saya, Siti Jenar, hanya setia pada
satu hal saja, yaitu Gusti Zat Maulana.”
Syekh Siti jenar menyebutkan bahwa
syariat yang diajarkan para wali adalah “omong kosong belaka”, atau
“wes palson kabeh”(sudah tidak ada yang asli). Tentu istilah ini sangat
amat berbeda dengan anggapan orang selama ini, yang menyatakan bahwa
Syekh Siti Jenar menolak syari’at Islam. Yang ditolak adalah reduksi
atas syari’at tersebut. Syekh Siti Jenar menggunakan istilah “iku wes
palson kabeh”, yg artinya “itu sudah dipalsukan atau dibuat palsu
semua.” Tentu ini berbeda pengertiannya dengan kata “iku palsu kabeh”
atau “itu palsu semua.” Jadi yang dikehendaki Syekh Siti Jenar adalah
penekanan bahwa syari’at Islam pada masa Walisanga telah mengalami
perubahan dan pergeseran makna dalam pengertian syari’at itu. Semuanya
hanya menjadi formalitas belaka. Sehingga manfaat melaksanakan syariat
menjadi hilang. Bahkan menjadi mudharat karena pertentangan yang muncul
dari aplikasi formal syariat tsb.
Bagi Syekh Siti Jenar, syariat bukan
hanya pengakuan dan pelaksanaan, namun berupa penyaksian atau
kesaksian. Ini berarti dalam pelaksanaan syariat harus ada unsur
pengalaman spiritual. Nah, bila suatu ibadah telah menjadi palsu, tidak
dapat dipegangi dan hanya untuk membohongi orang lain, maka semuanya
merupakan keburukan di bumi.
Apalagi sudah tidak menjadi sarana bagi
kesejahteraan hidup manusia. Ditambah lagi, justru syariat hanya
menjadi alat legitimasi kekuasaan (seperti sekarang ini juga). Yang
mengajarkan syari’at juga tidak lagi memahami makna dan manfaat
syari’at itu, dan tidak memiliki kemampuan mengajarkan aplikasi
syari’at yg hidup dan berdaya guna. Sehingga syari’at menjadi hampa
makna dan menambah gersangnya kehidupan rohani manusia.
Nah, yg dikritik Syekh Siti Jenar
adalah shalat yg sudah kehilangan makna dan tujuannya itu. Shalat
haruslah merupakan praktek nyata bagi kehidupan. Yakni shalat sebagai
bentuk ibadah yg sesuai dgn bentuk profesi kehidupannya. Orang yg
melakukan profesinya secara benar, karena Allah, maka hakikatnya ia
telah melaksanakan shalat sejati, shalat yg sebenarnya. Orientasi
kepada yang Maha Benar dan selalu berupaya mewujudkan Manunggaling
Kawula Gusti, termasuk dalam karya, karsa-cipta itulah shalat yg
sesungguhnya.
Syekh Siti Jenar - Ihsan
“Itulah yang dianggap Syekh Siti Jenar
Hyang Widi. Ia berbuat baik dan menyembah atas kehendak-NYA. Tekad
lahiriahnya dihapus. Tingkah lakunya mirip dengan pendapat yg ia
lahirkan. Ia berketetapan hati untuk berkiblat dan setia, teguh dalam
pendiriannya, kukuh menyucikan diri dari segala yg kotor, untuk sampai
menemui ajalnya tidak menyembah kepada budi dan cipta. Syekh Siti Jenar
berpendapat dan menggangap dirinya bersifat Muhammad, yaitu sifat rasul
yg sejati, sifat Muhammad yg kudus.”
“Gusti Zat Maulana. Dialah yg luhur dan
sangat sakti, yg berkuasa maha besar, lagipula memiliki dua puluh
sifat, kuasa atas kehendak-NYA. Dialah yg maha kuasa, pangkal mula
segala ilmu, maha mulia, maha indah, maha sempurna, maha kuasa, rupa
warna-NYA tanpa cacat seperti hamba-NYA. Di dalam raga manusia Ia tiada
nampak. Ia sangat sakti menguasai segala yg terjadi dan menjelajahi
seluruh alam semesta, Ngidraloka”.
Dua kutipan di atas adalah aplikasi
dari teologi Ihsan menurut Syekh Siti Jenar, bahwa sifatullah merupakan
sifatun-nafs. Ihsan sebagaimana ditegaskan oleh Nabi dalam salah satu
hadistnya (Sahih Bukhari, I;6), beribadah karena Allah dgn kondisi si
‘Abid dalam keadaan menyaksikan (melihat langsung) langsung adanya si
Ma’bud. Hanya sikap inilah yg akan mampu membentuk kepribadian yg
kokoh-kuat, istiqamah, sabar dan tidak mudah menyerah dalam menyerukan
kebenaran.
Sebab Syekh Siti Jenar merasa, hanya
Sang Wujud yg mendapatkan haq untuk dilayani, bukan selain-NYA.
Sehingga, dgn kata lain, Ihsan dalam aplikasinya atas pernyataan
Rasulullah adalah membumikan sifatullah dan sifatu-Muhammad menjadi
sifat pribadi.
Dengan memiliki sifat Muhammad itulah,
ia akan mampu berdiri kokoh menyerukan ajarannya dan memaklumkan
pengalamannya dalam “menyaksikan langsung” ada-NYA Allah. “Persaksian
langsung” itulah terjadi dalam proses manunggal.
“Hyang Widi, wujud yg tak nampak oleh
mata, mirip dengan ia sendiri, sifat-sifatnya mempunyai wujud, seperti
penampakan raga yg tiada tampak. Warnanya melambangkan keselamatan,
tetapi tanpa cahaya atau teja, halus, lurus terus-menerus,
menggambarkan kenyataan tiada berdusta, ibaratnya kekal tiada bermula,
sifat dahulu yg meniadakan permulaan, karena asal dari diri pribadi.”
Ihsan berasal dari kondisi hati yg
bersih. Dan hati yg bersih adalah pangkal serta cermin seluruh
eksistensi manusia di bumi. Keihsanan melahirkan ketegasan sikap dan
menentang ketundukan membabi-buta kepada makhluk. Ukuran ketundukan
hati adalah Allah atau Sang Pribadi. Oelh karena itu, sesama manusia
dan makhluk saling memiliki kemerdekaan dan kebebasan diri. Dan
kebebasan serta kemerdekaan itu sifatnya pasti membawa kepada kemajuan
dan peradaban manusia, serta tatanan masyarakat yg baik, sebab
diletakkan atas landasan Ke-Ilahian manusia. Penjajahan atas eksistensi
manusia lain hakikatnya adalah bentuk dari ketidaktahuan manusia akan
Hyang Widhi…Allah (seperti Rosul sering sekali mengatakan bahwa
“Sesungguhnya mereka tidak mengerti”).
Karena buta terhadap Allah Yang Maha
Hadir bagi manusia itulah, maka manusia sering membabi-buta merampas
kemanusiaan orang lain. Dan hal ini sangat ditentang oleh Syekh Siti
Jenar. Termasuk upaya sakralisasi kekuasaan Kerajaan Demak dan
Sultannya, bagi Syekh Siti Jenar harus ditentang, sebab akan menjadi
akibat tergerusnya ke-Ilahian ke dalam kedzaliman manusia yang
mengatasnamakan hamba Allah yg shalih dan mengatasnamakan demi
penegakan syari’at Islam.
Pribadi adalah pancara roh, sebagai
tajalli atau pengejawantahan Tuhan. Dan itu hanya terwujud dengan
proses wujudiyah, Manuggaling Kawula-Gusti, sebagai puncak dan
substansi tauhid. Maka manusia merupakan wujud dari sifat dan dzat
Hyang Widi itu sendiri. Dengan manusia yg manunggal itulah maka akan
menjadikan keselamatan yg nyata bukan keselamatan dan ketentraman atau
kesejahteraan yg dibuat oleh rekayasa manusia, berdasarkan ukurannya
sendiri. Namun keselamatan itu adalah efek bagi terejawantah-NYA Allah
melalui kehadiran manusia. Sehingga proses terjadinya keselamatan dan
kesejahteraan manusia berlangsung secara natural (sunnatullah), bukan
karena hasil sublimasi manusia, baik melalui kebijakan ekonomi,
politik, rekayasa sosial dan semacamnya sebagaimana selama ini terjadi.
Maka dapat diketahui bahwa teologi Manuggaling Kawula Gusti adalah
teologi bumi yg lahir dengan sendirinya sebagai sunnatullah. Sehingga
ketika manusia mengaplikasikannya, akan menghasilkan manfaat yg natural
juga dan tentu pelecehan serta perbudakan kemanusiaan tidak akan
terjadi, sifat merasa ingin menguasai, sifat ingin mencari kekuasaan,
memperebutkan sesama manusia tidak akan terjadi. Dan tentu saja
pertentangan antar manusia sebagai akibat perbedaan paham keagamaan,
perbedaan agama dan sejenisnya juga pasti tidak akan terjadi.
Syekh Siti Jenar – Tafsiran Musa Dan Khidir
“Sesungguhnya, Khidir AS bukanlah sosok
lain yg terpisah sama sekali dari keberadaan manusia rohani. Apa yg
disaksikan sebagai tanah menjorok dgn lautan di sebelah kanan dan kiri
itu bukanlah suatu tempat yg berada di luar diri manusia. Tanah itulah
yg disebut perbatasan (barzakh). Dua lautan itu adalah Lautan Makna
(bahr al-ma’na), perlambang alam tidak kasatmata (‘alam al-ghaib) dan
lautan Jisim (bahr al-ajsam), perlambang alam kasatmata (‘alam
asy-syahadat).”
“Sedangkan kawanan udang adalah
perlambang para pencari Kebenaran yg sudah berenang di perbatasan alam
kasatmata san alam tidak kasatmata. Kawanan udang perlambang para
penempuh jalan rohani (salik) yg benar-benar bertujuan mencari
Kebenaran. Sementara itu, kawanan udang yg berenang di lautan sebelah
kiri, di antara batu-batu, merupakan perlambang para salik yg penuh
diliputi hasrat-hasrat dan pamrih-pamrih duniawi.”
“Sesungguhnya, peristiwa yg dialami
Nabi Musa AS dgn Khidir AS, sebagaimana termaktub di dalam Al-Qur’an
Al-Karim, bukanlah hanya peristiwa sejarah seorang manusia bertemu
manusia lain. Ia adalah peristiwa perjalanan rohani yg berlangsung di
dalam diri Nabi Musa AS sendiri. Sebagaimana yg telah saya jelaskan, yg
disebut dua lautan di dalam Al-Qur’an tidak lain dan tidak bukan adalah
Lautan Makna (bahr al-ma’na) dan Lautan Jisim (bahr al-ajsam). Kedua
lautan itu dipisahkan oleh wilayah perbatasan atau sekat (barzakh).”
“Ikan dan lautan dalam kisah Qur’ani
itu merupakan perlambang dunia kasatmata (‘alam asy-syahadat) yg
berbeda dengan wilayah perbatasan yg berdampingan dgn dunia gaib (‘alam
al-ghaib). Maksudnya, jika saat itu Nabi Musa AS melihat ikan dan
kehidupan yg melingkupi ikan tersebut dari tempatnya berdiri, yaitu di
wilayah perbatasan antara dua lautan, maka Nabi Musa AS akan melihat
sang ikan berenang di dalalm alamnya, yaiu lautan. Jika saat itu Nabi
Musa AS mencermati maka ia akan dapat menyaksikan bahwa sang ikan yg
berenang itu dapat melihat segala sesuatu di dalam lautan, kecuali air
(dilambangkan manusia juga sama). Maknanya, sang ikan hidup di dalam
air dan sekaligus di dalam tubuh ikan ada air, tetapi ia tidak bisa
melihat iar dan tidak sadar jika dirinya hidup di dalam air. Itulah
sebabnya, ikan tidak dapat hidup tanpa air yg meliputi bagian luar dan
bagian dalam tubuhnya. Di mana pun ikan berada, ia akan selalu diliputi
air yg tak bisa dilihatnya.”
“Sementara itu, seandainya sang ikan di
dalam lautan melihat Nabi Musa AS dari tempat hidupnya di dalam air
lautan maka sang ikan akan berkata bahwa Musa AS di dalam dunia-yang
diliputi udara kosong-dapat menyaksikan segala sesuatu, kecuali udara
kosong yg meliputinya itu. Maknanya, Nabi Musa AS hidup di dalam
liputan udara kosong yg ada di luar maupun di dalam tubuhnya, tetapi ia
tidak bisa melihat udara kosong dan tidak sadar jika dirinya hidup di
dalam udara kosong. Itu sebabnya, Nabi Musa AS tidak dapat hidup tanpa
udara kosong yg meliputi bagian luar dan dalam tubuhnya. Di mana pun
Nabi Musa AS berada, ia akan selalu diliputi udara kosong yg tidak bisa
dilihatnya.”
“Sesungguhnya, pemuda (al-fata) yg
mendampingi Nabi Musa AS dan membawakan bekal makanan adalah perlambang
dari terbukanya pintu alam tidak kasatmata. Sesungguhnya, dibalik
keberadaan pemuda (al-fata) itu tersembunyi hakikat sang Pembuka
(al-Fattah). Sebab, hijab gaib yg menyelubungi manusia dari Kebenaran
sejati tidak akan bisa dibuka tanpa kehendak Dia, sang Pembuka
(al-Fattah). Itu sebabnya, saat Nabi Musa AS bertemu dgn Khidir AS,
pemuda (al-fata) itu disebut-sebut lagi karena ia sejatinya merupakan
perlambang keterbukaan hijab ghaib.”
“Adapun bekal makanan yg berupa ikan
adalah perlambang pahala perbuatan baik (al-‘amal ash-shalih) yg hanya
berguna untuk bekal menuju ke Taman Surgawi (al-jannah). Namun, bagi
pencari Kebenaran sejati, pahala perbuatan baik itu justru mempertebal
gumpalan kabut penutup hati (ghain). Itu sebabnya, sang pemuda mengaku
dibuat lupa oleh setan hingga ikan bekalnya masuk ke dalam lautan.”
“Andaikata saat itu Nabi Musa AS
memerintahkan si pemuda untuk mencari bekal yg lain, apalagi sampai
memburu bekal ikan yg telah masuk ke dalam laut, niscaya Nabi Musa AS
dan si pemuda tentu akan masuk ke Lautan Jisim (bahr al-ajsam) kembali.
Dan, jika itu terjadi maka setan berhasil memperdaya Nabi Musa AS.”
“Ternyata, Nabi Musa AS tidak peduli
dgn bekal itu. Ia justru menyatakan bahwa tempat di mana ikan itu
melompat ke lautan adalah tempat yg dicarinya sehingga tersingkaplah
gumpalan kabut ghain dari kesadaran Nabi Musa AS. Saat itulah purnama
rohani zawa’id berkilau dan Nabi Musa AS dapat melihat Khidir AS, hamba
yg dilimpahi rahmat dan kasih sayang (rahmah al-khashshah) yg memancar
dari citra ar-Rahman dan ar-Rahim dan Ilmu Ilahi (ilm ladunni) yg
memancar dari Sang Pengetahuan (al-Alim).”
“Anugerah Ilahi dilimpahkan kepada
Khidir AS karena dia merupakan hamba-NYA yg telah mereguk Air Kehidupan
(ma’ al-hayat) yg memancar dari Sang Hidup (al-Hayy). Itu sebabnya,
barang siapa di antara manusia yg berhasil bertemu Khidir AS di tengah
wilayah perbatasan antara dua lautan, sesungguhnya manusia itu telah
menyaksikan pengejawantahan Sang Hidup (al-Hayy), Sang Penyayang
(ar-Rahim). Dan, sesungguhnya Khidir AS itu tidak lain dan idak bukan
adalah ar-roh al-idhafi, cahaya hijau terang yg tersembunyi di dalam
diri manusia, “Sang Penuntun” anak keturunan Adam AS ke jalan Kebenaran
Sejati. Dialah penuntun dan penunjuk (mursyid) sejati ke jalan
Kebenaran (al-Haqq). Dia sang mursyid adalah pengejawantahan yang Maha
Menunjuki (as –Rasyid).”
“Demikianlah, saat sang salik melihat
Khidir AS sesungguhnya ia telah menyaksikan ar-roh al-idhafi, mursyid
sejati di dalam diri manusia sendiri. Saat ia menyaksikan kawanan udang
di lautan sebelah kanan, sesungguhnya ia telah menyaksikan Lautan Makna
(bahr-al-ma’na) yg merupakan hamparan permukaan Lautan Wujud (bahr
al-wujud). Namun, jika terputus penglihatan batiin (bashirab) itu pada
titik ini, berarti perjalanan menusia itu menuju ke Kebenaran Sejati
masih akan berlanjut.”
Sesungguhnya, perjalanan rohani menuju
Kebenaran Sejati penuh diliputi tanda kebesaran Ilahi yg hanya bisa
diungkapkan dalam bahasa perlambang. Sesungguhnya, masing-masing
menusia akan mengalami pengalaman rohani yg berbeda sesuai pemahamannya
dalam menangkap kebenaran demi kebenaran. Yang jelas, pengalaman yg
akan manusia alami tidak selalu mirip dgn pengalaman yg dialami Nabi
Musa AS.”
“Setelah berada di wilayah perbatasan,
Khidir AS dan Nabi Musa AS digambarkan melanjutkan perjalanan memasuki
Lautan Makna, yaitu alam tidak kasatmata. Mereka kemudian digambarkan
menumpang perahu. Sesungguhnya, perahu yg mereka gunakan untuk
menyeberang itu adalah perlambang dari wahana (syari’ah) yg lazimnya
digunakan oleh kalangan awam untuk mencari ikan, yakni perlambang
perbuatan baik (al ‘amal ash-shalih). Padahal, perjalanan mengarungi
Lautan Makna menuju Kebenaran Sejati adalah perjalanan yg sangat
pribadi menuju Lautan Wujud. Itulah sebabnya, perahu (syari’ah) itu
harus dilubangi agar air dari Lautan Makna masuk ke dalam perahu dan
penumpang perahu mengenal hakikat air yg mengalir dari lubang tersebut.”
“Setelah penumpang perahu mengenal air
yg mengalir dari lubang maka ia akan menjadi sadar bahwa lewat lubang
itulah sesungguhnya ia akan bisa masuk ke dalam Lautan Makna yg
merupakan permukaan Lautan Wujud. Andaikata perahu itu tidak dilubangi,
dan kemudian perahu diteruskan berlayar, maka perahu itu tentu akan
dirampas oleh Sang Maha Raja (malik al-Mulki) sehingga penumpangnya
akan menjadi tawanan. Jika sudah demikian, maka untuk selamanya sang
penumpang perahu tidak bisa melanjutkan perjalanan menuju Dia, Yang
Maha Ada (al-Wujud), yg bersemayam di segenap penjuru hamparan Lautan
Wujud. Penumpang perahu itu mengalami nasib seperti penumpang perahu yg
lain, yakni akan dijadikan hamba sahaya oleh Sang Maha Raja. Bahkan,
jika Sang Maha Raja menyukai hamba sahaya-NYA itu maka ia akan diangkat
sebagai penghuni Taman (jannah) indah yg merupakan pengejawantahan Yang
Maha Indah (al Jamal).”
“Adapun Atas Pernyataan kenapa wahana
(syariah) harus dilubangi dan tidak lagi digunakan dalam perjalanan
menembus alam ghaib manuju Dia? Dapat dijelaskan sebagai berikut.”
“Sebab, wahana adalah kendaraan bagi
manusia yg hidup di alam kasatmata untuk pedoman menuju ke Taman
Surgawi. Sedangkan alam tidak kasatmata adalah alam yg tidak jelas
batas-batasnya. Alam yg tidak bisa dinalar karena segala kekuatan akal
manusia mengikat itu tidak bisa berijtihad untuk menetapkan hukum yg
berlaku di alam gaib. Itu sebabnya, Khidir AS melarang Nabi Musa AS
bertanya sesuatu dgn akalnya dalam perjalanan tersebut. Dan, apa yg
disaksikan Nabi Musa AS terdapat perbuatan yg dilakukan Khidir AS
benar-benar bertentangan dgn hukum suci (syari’at) dan akal sehat yg
berlaku di dunia, yakni melubangi perahu tanpa alasan, membunuh seorang
anak kecil tak bersalah dan menegakkan tembok runtuh tanpa upah.”
“Namun jika wahana (syari’ah) tidak
lagi bisa dijadikan petunjuk, sebenarnya pedomannya tetaplah sama,
yaitu Kitabullah dan Sunnah Rasul. Tetapi pemahamannya bukan dgn akal
(‘aql) melainkan dgn dzauq, yaitu cita rasa rohani. Inilah yg disebut
cara (thariqah). Di sini, sang salik selain harus berjuang keras juga
harus pasrah kepada kehendak-NYA. Sebab, telah termaktub dalam dalil
araftu rabbi bi rabbi bahwa kita hanya mengenal Dia dgn Dia. Maksudnya
jika Tuhan tidak berkehendak kita mengenal-NYA maka kita pun tidak akan
bisa mengenal-NYA. Dan, kita mengenal-NYA pun maka hanya melalui Dia
(walaupun kita tidak mau tetapi semua telah kehendak-NYA). Itu
sebabnya, di alam tidak kasatmata yg tidak jelas batas dan
tanda-tandanya itu kita tidak dapat berbuat sesuatu kecuali pasrah
seutuhnya dan mengharap limpahan rahmat dan hidayah-NYA.”
“Tentang makna di balik kisah Khidir AS membunuh seorang anak (ghulam) dapat saya jelaskan sebagai berikut.”
“Anak adalah perlambang keakuan kerdil
yg kekanak-kanakan. Kedewasaan rohani seorang yg teguh imannya bisa
runtuh akibat terseret cinta kepada keakuan kerdil yg kekanak-kanakan
tersebut. Itu sebabnya, keakuan kerdil y kekanak-kanakan itu harus
dibunuh agar kedewasaan rohani tidak terganggu.”
“Sesungguhnya, di dalam perjalanan
rohani menuju Kebenaran Sejati selalu terjadi keadaan di mana keakuan
kerdil yg kekank-kanakan (ghulam) dari salik cenderung mengikari
kehambaan dirinya terhadap Cahaya Yang Terpuji (Nur Muhammad) sebagai
akibat ia belum fana ke dalam Sang Rasul (fana fi rasul). Ghulam
cenderung durhaka dan ingkar terhadap kehambaan kepada Sang Rasul. Jika
keakuan yg kerdil dan kekanak-kanakan itu dibunuh maka akan lahir
ghulam yg lebih baik dan lebih diberbakti yg melihat dengan mata batin
bahwa dia sesungguhnya adalah “hamba” dari Sang Rasul, pengejawantahan
Cahaya Yang Terpuji (Nur Muhammad).”
“Sesungguhnya, keakuan kerdil yg
kekanak-kanakan adalah perlambang dari keberadaan nafsu manusia yg
cenderung durhaka dan ingkar terhadap Sumbernya. Sedangkan ghulam yg
baik dan berbakti merupakan perlambang dari keberadaan roh manusia yg
cenderung setia dan berbakti kepada Sumbernya. Dan sesungguhnya,
perbuatan Khidir AS itu adalah perlambang yg sama saat Nabi Ibrahim AS
akan menyembelih Nabi Ismail AS ‘Pembuhunan’ itu adalah perlambang
puncak dari keimanan mereka yg beriman (mu’min).”
“Adapun dinding yg ditinggikan Khidir
AS adalah perlambang Sekat Tertinggi (al barzakh al ‘a’la) yg disebut
juga dgn Hijab Yang Maha Pemurah (hajib ar-Rahman). Dinding itu adalah
pengejawantahan Yang Maha Luhur (al-Jalil). Lantaran itu, dinding
tersebut dinamakan Dinding al-Jalal (al jidar al-Jalal), yg dibawahnya
tersimpan Khazanah Perbendaharaan (Tahta al-Kanz) yg ingin diketahui.”
“Sedangkan dua anak yatim (ghulamaini
yatimaini) pewaris dinding itu adalah perlambang jati diri Nabi Musa
AS, yg keberadaannya terbentuk atas jasad ragwi (al-basyar) dan rohani
(roh). Kegandaan jati diri manusia itu baru tersingkap jika seseorang
sudah berada dalam keadaan tidak memiliki apa-apa (muflis), terkucil
sendiri (mufrad) dan telah berada di dalam waktu tak berwaktu (ibn
al-waqt). Dua anak yatim itu adalah perlambang gambaran Nabi Musa AS
dan bayangannya di depan Cermin Memalukan (al-mir’ah al-haya’I).”
“Adapun gambaran tentang ‘ayah yg
salih’ dari kedua anak yatim, yakni ayah yg mewariskan Khazanah
Perbendaharaan , adalah perlambang diri dari Abu halih, Sang Pembuka
Hikmah (al-hikmah al-futuhiyyah), yakni pengejawantahan Sang Pembuka.
Dengan demikian apa yg telah dialami Nabi Musa AS dalam perjalanan
bersama Khidir AS (QS. Al-Kahfi : 60-82) menurut penafsiran adalah
perjalanan rohani Nabi Musa AS ke dalam dirinya sendiri yg penuh dgn
perlambang (isyarat).”
“Memang Nabi Musa AS lahir hanya satu.
Namun, keberadaan jati dirinya sesungguhnya adalah dua, yaitu pertama
keberadaan sebagai al-basyar ‘anak’ Adam AS yg berasal dari anasir
tanah yg tercipta; dan keberadaannya sebagai roh ‘anak’ Cahaya Yang
Terpuji (Nur Muhammad) yg berasal dari tiupan (nafakhtu) Cahaya di Atas
Cahaya (Nurun ‘ala Nurin). Maksudnya, sebagai al-basyar, keberadaan
jasad ragawi nabi Musa AS berasal dari Yang Mencipta (al-Kha-liq).”
“Sehingga tidak akan pernah terjadi
perseteruan dalam memperebutkan Khazanah Perbendaharaan warisan ayahnya
yg shalih. Sebab, saat keduanya berdiri berhadap-hadapan di depan
Dinding al-jalal (al-jidar al-Jalal) dan mendapati dinding itu runtuh
maka saat itu yg ada hanya satu anak yatim. Maksudnya, saat itu
keberadaan al-basyar ‘anak’ Adam AS akan terserap ke dalam roh ‘anak’
Nur Muhammad. Saat itulah sang anak sadar bahwa ia sejatinya berasal
dari Cahaya di Atas cahaya (Nurun ‘ala Nurin) yg merupakan pancaran
dari Khazanah Perbendaharaan. Sesungguhnya, hal semacam itu tidak bisa
diuraikan dgn kaidah-kaidah nalar manusia karena akan membawa
kesesatan. Jadi, harus dijalani dan dialami sendiri sebagai sebuah
pengalaman pribadi.”
Syekh Siti Jenar – Soal Jawab
Ajaran Syekh Siti Jenar dikenal sebagai
ajaran ilmu kebatinan. Suatu ajaran yang menekankan aspek kejiwaan dari
pada aspek lahiriah yang kasat mata. Intinya ialah konsep tujuan hidup.
Titik akhir dari ajaran Siti Jenar ialah tercapainya manunggaling
kawula-Gusti. Yaitu bersatunya antara roh manusia dengan Dzat Allah.
Paham inilah yang hampir sama dengan ajaran para zuhud, wali dan
orang-orang khowash. Zuhud banyak dijumpai dalam dunia tasawuf. Mereka
merupakan orang-orang atau kelompok yang menjauhkan diri dari kemewahan
dan kesenangan duniawi. Sebab mereka mempunyai tujuan hidup yang lebih
utama, yakni ingin mencapai kesucian jiwa atau roh.
Inti ajaran Syeh Siti Jenar adalah
pencapaian spiritualitas yang tinggi dalam penyatuan antara makhluk
dengan Dzat Pencipta, yang lebih populer disebut sebagai manunggaling
kawula-Gusti. Bagian-bagian dari ajaran itu adalah meliputi penguasaan
hidup, pengetahuan tentang pintu kehidupan, tentang kematian, tempat
kelak sesudah ajal, hidup kekal tak berakhir, dan tentang kedudukan
Yang Mahaluhur. Paham yang hampir senada dengan falsafah Jawa kuno.
Suatu ketika Syeh Siti Jenar
mengajarkan ilmu kepada para murid-muridnya. Syeh Siti Jenar
berkata,”Manusia harus berpegang pada akal, meyakini pula dua puluh
sifat yang dimiliki Allah”. Antara lain yakni; wujud, tak berawal, tak
berakhir, berlainan dengan barang baru, berkuasa, berkehendak,
berpengetahuan, memiliki ilmu secara hakikat dan sebagainya. Para
santri mengajukan pertanyaan- pertanyaan sebagai berikut;
M (murid) ; Apakah wujud dari Tuhan itu dapat dimiliki oleh manusia ?”
S (Syeh Jenar) ; Memang, sifat wujud
itu bisa dimiliki manusia dan itulah inti dari ajaran ini. Selama
manusia mampu menjernihkan kalbunya, maka ia akan mempunyai sifat-sifat
itu. Sifat tersebut pun sudah kumiliki. Kalian bisa melakukannya dengan
mengamalkan apa yang hendak kuajarkan. Allah adalah satu-satunya yang
wajib disembah. Dia tidak tampak dan tidak berbentuk. Tidak terlihat
oleh mata. Sedangkan alam dan segala isinya merupakan cerminan dari
wujud Allah yang tampak. Seseorang bisa meyakini adanya Allah karena ia
melihat pancaran wujudNya melalui jagad raya ini. Allah tidak berawal
dan berakhir, memiliki sifat langgeng, tak mengalami perubahan
sedikitpun. Allah berada di mana-mana, bukan ini dan bukan itu. Dia
berbeda dengan segala wujud barang baru yang ada di dunia.
M ; Wahai Kanjeng Syeh, jelaskan kepada kami tentang hakikat kodrat !”
S ; Kodrat adalah kekuasaan pribadi
Tuhan. Tak ada yang menyamainya. KekuatanNya tanpa sarana. kehadiranNya
berasal dari ketiadaan, luar dan dalam tiada berbeda. Tak dapat
ditafsirkan. Jika engkau menghendaki sesuatu maka pasti kalian
rencanakan matang-matang dan pasti pikirkan berulang-ulang. Itupun
masih sering meleset. Namun Allah tidak demikian, bila menghendaki
sesuatu tak perlu dipersoalkan terlebih dahulu.
M ; Kalau begitu Allah tidak memerlukan sesuatu ?
S ; Benar Allah tidak memerlukan
sesuatu. Karena itu jika kalian hidup tanpa memerlukan sesuatu, tanpa
butuh harta benda, tanpa butuh jabatan, tanpa butuh pujian, maka kalian
akan merasakan hidup yang sesungguhnya. Kalian akan memiliki sifat
Allah tersebut.
M ; Kalau manusia menghindari sesuatu dan merasa tidak memerlukan apapun, apakah akhirnya dapat disamakan dengan Allah ?
S ; Tidak ! walaupun manusia hidup
tanpa bergantung sama sekali kepada duniawi, namun ia tetap berbeda
dengan Allah. Tidak bisa disamakan dengan Tuhan. Allah adalah pencipta
dan kalian adalah yang diciptakan. Allah berdiri sendiri, tanpa
memerlukan bantuan. Hidupnya tanpa roh, tidak merasa sakit dan
kesedihan, Allah muncul sekehendaknya.
M ; Jika Allah berkehendak, maka apakah kehendak seseorang itu karena kemauan Allah ?
S ; Untuk sampai pada jawaban itu, kita
harus membedakan seseorang mana. Manusia itu dibedakan menjadi beberapa
tingkatan. Ada yang awam, ada yang khowash. Orang awam hanya beribadah
secara syariat, tanpa dapat memelihara kalbu, maka ia masih jauh bisa
berhubungan dengan Allah. Sedangkan orang-orang khowash, termasuk para
nabi, rasul, dan waliyullah, mereka beribadah secara utuh. Bahkan
sampai pula pada tingkatan hakikat. Kalau kalbunya sudah bersih dari
duniawi dan menyatu dengan cahaya Ilahi, maka kehendak dan kemauannya
itu berasal dari Allah. Perbuatannya adalah perbuatan Allah. Maka
jangan heran jika ada orang yang diberi karomah sehingga segala
ucapannya menjadi bertuah.
M ; Kalau begitu, ibadahnya orang yang sudah khowash itu merupakan kehendak Allah ?
S ; Benar ! mereka mempunyai kejernihan
akal budi. Memiliki kebersihan jiwa dan ilmu. Shalat lima waktu dan
berzikir merupakan kehendak yang sangat dalam. Bukan kehendak nafsunya,
namun kehendak Allah. Semangatnya sedemikian besar. Mereka shalat tidak
mengharapkan pahala, tetapi merupakan suatu kewajiban (diri) dan
pengabdian. Badan haluslah yang mendorong untuk menjalankan.
M ; Banyak orang melakukan shalat tetapi tidak menyentuh kepada Yang Disembah. Ini bagaimana ?
S ; Memang banyak orang yang secara
lahiriah tampak khusuk shalatnya. Bibirnya sibuk mengucapkan zikir dan
doa-doa, namun hatinya ramai oleh urusan duniawi mereka. Islam yang
demikian ini ibarat kelapa, mereka hanya makan serabutnya. Padahal yang
paling nikmat adalah buah/daging kelapa dan air kelapanya. Mereka
sembahyang lima waktu sebatas lahiriah saja. Tidak berpengaruh sama
sekali kepada akal budinya. Padahal sembahyang itu diharapkan dapat
mencegah keji dan munkar namun mereka tak mampu melakukannya dalam
kehidupan sehari-hari. Kalaupun hakikat shalatnya itu membekas pada
budinya itupun hanya sedikit. Buat apa sembahyang lima kali jika
perangainya buruk ? masih suka mencuri dan berbohong. Untuk apa bibir
lelah berzikir menyebut asma Allah, jika masih berwatak suka
mengingkari asma. Kadang-kadang pula mereka berharap pahala. Shalatnya
saja belum tentu dihargai oleh Allah, tetapi buru-buru meminta
balasan,…..aneh!
M ; Wahai Syeh, ada hadits Rasulullah
yang menyebutkan bahwa amal hamba yang pertama kali diperhitungkan
adalah sembahyang. Jika sembahyangnya baik, maka semua dianggap baik.
Ini bagaimana ?
S ; Itu perlu ditafsirkan. Tidak boleh
dipahami secara dangkal makna dari hadits tersebut. Hadits itu
mengandung logika sebagai berikut; Orang yang tekun mengerjakan
sembahyang dengan sempurna, maka perilaku, budi pekerti dan kalbunya
juga harus terpengaruh menjadi baik. Sebab sembahyang yang dilakukan
dengan jiwa yang bersih akan berpengaruh pula bagi cabang kehidupan
lainnya. Lebih lanjut Syeh Siti Jenar mengatakan; sebaliknya hadits itu
tidak berlaku bagi orang yang tekun mengerjakan sembahyang tetapi
hatinya masih kotor, tersimpan keinginan-keinginan nafsu misalnya ingin
dipuji orang lain, terdapat ujub dan sombong, serta budinya menyimpang
dan menabrak tatanan yang dilarang.
M ; Apakah ada tuntunan mengenai pakaian seseorang yang sedang melakukan sembahyang ?
S ; Sesungguhnya aku (Syeh Siti Jenar)
tidak sependapat jika ada orang yang mengenakan pakaian gamis dan
meniru-niru pakaian orang Arab dalam melakukan shalat. Jika selesai
shalat, jubah atau gamis itu dilepaskan. Sedangkan shalat orang
tersebut tidaklah menyentuh hatinya. Meskipun berlama-lama merunduk di
masjid, namun masih mencintai duniawi. Sembahyang yang pakaiannya
kedombrangan, merunduk di masjid berlama-lama sampai lupa anak istri.
Sedangkan ia masih menyintai duniawi dan mengumbar nafsu manusiawinya.
Bahkan dalam kehidupan sehari-hari, ia seringkali menyusahkan orang
lain. Maka orang yang demikian itu tidak terpengaruh oleh sembahyang
yang dilakukan. Biasanya tipe orang seperti itu sibuk menghitung
pahala. Dia sangat keliru dan bodoh. Pahala yang masih jauh tetapi
diperhitungkan. Sungguh, sedikit pun tak akan dapat dicapainya.
M ; Dzat Yang Luhur dan Sejati itu sesungguhnya siapa, wahai Syekh ?
S ; Gusti Allah. Gusti Allah adalah
Dzat yang tinggi dan terhormat. Ia memiliki dua puluh sifat, semua
timbul atas kehendakNya. Ia mampu mencurahkan ilmu kebesaran,
kasampurnan, kebaikan, keramahan, kekebalan dalam segala bentuk,
memerintah umat. Dapat muncul di segala tempat dan sakti sekali. Aku
(Syekh Siti Jenar) merasa wajib dan menuruti kehendakNya. Sebagaimana
ajaran jabariyah, dengan kesungguhan dan konsekuen, selalu kuat
cita-citanya, kokoh tak tergoyahkan terhadap sesuatu yang tidak suci,
berpegang teguh kepadaNya selama hidup, tak akan menyembah terhadap
ciptaanNya, baik dalam wujud maupun dalam pengertian.
M ; Mengapa Kanjeng Syekh dianggap oleh para wali sebagai wali murtad ?
S ; Karena ajaranku tidak mudah dipahami orang awam.
M ; Bagaimana ajaran Kanjeng Syeh yang dianggap sesat ?
S ; Aku adalah penjelmaan dari Dzat
Luhur, yang memiliki semangat, sakti, dan kekal akan kematian. Dengan
hilangnya dunia Gusti Allah telah memberi kekuasaan kepadaku dapat
manunggal denganNya, dapat langgeng mengembara melebihi kecepatan
peluru. Bukannya akal, bukannya nyawa, bukan penghidupan yang tanpa
penjelasan dari mana asalnya dan kemana tujuannya.
M ; Apa hubungannya antara kanjeng Syeh Siti Jenar dengan Allah, yang kau sebut sebagai Dzat sejati ?
S ; Dzat yang sejati menguasai wujud
penampilanku. Karena kehendakNya maka wajarlah jika aku tidak mendapat
kesulitan. Aku bisa berkelana ke mana-mana. Tidak merasa haus dan
lelah, tanpa sakit dan lapar, karena ilmu kelepasan diri, tanpa suatu
daya kekuatan. Semua itu disebabkan jiwaku tiada bandingannya. Secara
lahiriah memang tidak berbuat sesuatu, tetapi tiba-tiba sudah berada di
tempat lain. Gusti Kang Murbeng Dumadi (Allah) yang kuikuti, kutaati
siang malam, yang kuturut segala perintahNya. Tiada menyembah Tuhan
lain, kecuali setia terhadap suara hati nuraniku. Allah Mahasuci.
M ; Wahai Syeh jelaskan apa yang di maksud bahwa Allah itu Maha Suci?
S ; Allah Mahasuci itu hanyalah sebatas
istilah saja. Merupakan nama saja. Sebenarnya hal itu dapat disamakan
dengan bentuk penampilanku. Jika kalian melihatku, maka tampak dari
luar sebagai warangka (kerangka), sedangkan di dalamnya adalah kerisnya
(intinya) Hyang Agung, yang tak ada bedanya dengan kerangka. Tuhan itu
wujud yang tidak dapat dilihat dengan mata, tetapi dilambangkan seperti
bintang yang bersinar cemerlang. Sifat-sifatNya berwujud samar-samar
bila dilihat, warnanya indah sekali seperti cahaya.
M ; Di manakah Tuhan berada ? kami membayangkan Dia ada di langit ke 7 dan bersemayam di atas singgasana layaknya raja.
S ; Siti Jenar mendadak tertawa.
Setelah tertawanya reda, ia berkata, “Itu salah besar, itu kebodohan.
Sesungguhnya Tuhan tidak berada di langit ketujuh dan tidak bertahta di
singgasana atau arsy (Kursi). Bila kalian membayangkan demikian, maka
hati kalian sudah musyrik. Berdosa besar. Karena kalian menyamakan Dia
dengan raja atau dengan penguasa.
M ; Kami jadi bingung, Kanjeng Syekh, lantas Tuhan itu ada di mana ?
S ; Kalau kalian bertanya demikian, maka jawabnya mudah. Gusti Allah itu tidak kemana-mana, tetapi ada di mana-mana.
M ; Kami semakin tak mengerti. Bisakah Kanjeng Syeh memberi penjelasan yang lebih gamblang ?
S ; Gusti Allah itu berada pada dzat
yang tempatnya tidak jauh. Dia bersemayam di dalam tubuh kita. Tetapi
hanya orang yang khowash, orang yang terpilih dapat melihat. Tentunya
dengan mata batin. Hanya mereka yang dapat merasakannya.
M ; Apakah Allah itu berupa roh atau sukma ?
S ; Bukan roh dan bukan sukma. Allah
adalah wujud yang tak dapat dilihat oleh mata, tetapi dilambangkan
seperti bintang-bintang bersinar cemerlang. Sudah kukatakan tadi,
warnanya indah sekali. Ia memiliki dua puluh sifat seperti; sifat ada,
tak berawal, tak berakhir, berbeda dengan barang-barang yang baru,
hidup sendiri dan tidak memerlukan bantuan dari sesuatu, berkuasa,
berkehendak, mendengar, melihat, berilmu, hidup dan berbicara. Sifat
Gusti Allah yang duapuluh itu terkumpul menjadi satu wujud mutlak yang
disebut dengan Dzat. Sifat duapuluh itu juga menjelma pada diriku.
Karena itu aku yakin tidak akan mengalami sakit dan sehat, punya budi
kebenaran, kesempurnaan, kebaikan dan keramahan. Roh ku memiliki sifat
duapuluh itu, sedangkan ragaku yang lahiriah memiliki sifat nur
Muhammad.
M ; Wahai Syekh, bukankah Muhammad SAW
itu seorang nabi. Apakah Syekh mengaku sebagai Nabi ? Sedangkan
dikatakan bahwa setelah nabi Muhammad, di dunia ini tidak ada kenabian
lagi ?
S ; Jangan salah menafsirkan
kata-kataku. Jika salah, maka kau akan sesat dan timbul fitnah. Tentu
saja memfitnah diriku. Begini, bahwa rohku adalah roh Ilahi. Karena aku
pun memiliki sifat duapuluh. Sedangkan badan wadag ku, jasadku ini,
adalah jasad Muhammad. Dari segi lahiriah Muhammad adalah manusia.
Namun manusia Muhammad berbeda dengan orang kebanyakan. Muhammad
memiliki jasad yang kudus, yang suci. Aku dan dia sama-sama merasakan
kehidupan, merasakan manfaat panca indera. Dan panca indra itu hanyalah
meminjam. Jika sudah diminta kembali oleh Pemiliknya akan berubah
menjadi tanah yang busuk, berbau, hancur dan najis. Nabi atau wali,
jika sesudah kematian jasadnya menjadi tak bermanfaat. Bahkan berbau,
kotor, najis, busuk dan hancur. Warangka jika sudah ditinggalkan
kerisnya maka tiada guna.
M ; Jika seseorang sudah mati, berarti selesai sudah kehidupannya ?
S ; Siapa bilang begitu ? Tidak !
meskipun jasadnya mati, tetapi sebenarnya ia tidaklah mati. Karena itu,
kalian semua harus mengerti bahwa dunia ini sesungguhnya bukanlah
kehidupan. Buktinya ada mati. Di dunia ini, kehidupan disebut kematian.
Coba rasakan ! Aku mengajarkan kepada kalian untuk tidak menyintai
dunia ini dan tidak terpesona terhadap keindahannya. Carilah kebenaran
dan kebahagiaan sejati demi kehidupan mendatang, kehidupan setelah
kematian. Kalian akan berarti jika telah menemui kematian dan hidup
sesudah itu. Engkau harus memilih hidup yang tak bisa mati. Dan hidup
yang tak bisa mati itu hanya kalian rasakan setelah nyawa terlepas dari
badan. Kehidupan itu akan dapat dirasakan dengan tanpa gangguan seperti
sekarang ini. Ketahuilah, hidup yang sesungguhnya adalah setelah nyawa
lenyap dari badan.
M ; Agar dapat meraih kehidupan dalam
kemuliaan sejati kelak, dalam kehidupan di dunia ini dibutuhkan
kebenaran dan kebahagian sejati. Bagaimanakah cara mendapatkannya
Kanjeng Syekh ?
S ; Jiwa manusia adalah suara hati
nurani. suara hati nurani merupakan ungkapan Dzat Allah yang harus
ditaati perintahnya. Maka ikutilah hati nuranimu.
M ; Bagaimana caranya meyakinkan bahwa suatu bisikan adalah suara hati nurani yang sesungguhnya ?
S ; Kalian harus cermat, karena hati
nurani berbeda dengan akal budi, jiwa itu milik Allah, sedangkan akal
milik manusia. Akal bersifat manusiawi, karena itu kadang-kadang akal
tak mampu menemukan keajaiban Allah. Kehendak, angan-angan, ingatan,
merupakan suatu akal yang tak kebal atas kegilaan. Suatu ketika akal
bisa menjadi bingung sehingga membuat seseorang lupa diri. Akal
seringkali tidak jujur. Siang malam membuat kepalsuan demi memakmurkan
kepentingan pribadi.
M ; Bukankah manusia menjadi lebih mulia jika dibandingkan dengan makhluk lainnya, karena manusia diberi akal oleh Allah ?
S ; Ya, itulah yang membedakan. Tapi
jangan lupa bahwa akal seringkali tidak jujur. Sering bersifat dengki,
suka memaksa, melanggar aturan, jahat, suka disanjung-sanjung, sombong,
yang ahirnya membuat manusia justru tidak berharga samasekali. Lebih
hina dari makhluk lainnya.
M ; Jadi kita harus menggunakan akal sesuai dengan jiwa atau kehendak Allah ?
S ; Ya, benar. Jika seseorang mampu
mengendalikan akalnya dengan ajaran Allah, dengan kebenaran, dan dengan
jiwa yang bersih, maka ia bermanfaat. Menjadikan diri lebih mulia.
M ; Apa yang menghalangi seseorang sehingga gagal dalam dalam menempuh manunggaling kawula-Gusti ?
S ; Jangan mementingkan kehidupan
duniawi. Sebab kehidupan duniawi yang kalian jalani penuh kotoran. Akal
kalian mudah tercemar dengan kotoran sifat dan mudah dikuasai oleh
nafsu, sehingga menghalangi kalian untuk bisa menuju pada tahap
manunggaling kawula-Gusti.
M ; Di dunia ini ada yang cantik, tampan dan gagah. Bagaimana kedudukan orang-orang tersebut jika kelak telah terlepas rohnya ?
S ; Kalian jangan menyintai dan
mengagumi bentuk yang cantik, tampan atau gagah. Sebab sebenarnya badan
wadag (jasad) laksana sangkar yang mengurung jiwa. Badan wadag
merupakan beban yang memberatkan dan menyakitkan roh kalian.
M ; Wahai Syekh, benarkah sesudah kematian ada surga neraka ?
S ; Para wali memang mengajarkan
demikian. Inilah ajaran yang justru menurutku menyesatkan karena
terlalu dangkal. Para wali hanya mengajarkan “serabut” atau kulitnya,
tidak sampai pada isinya; tidak sampai pada hakikat yang sebenarnya.
Para wali mengajarkan bahwa surga dan neraka hanya dijumpai kelak
setelah kiamat. Adanya di akherat. Dan orang-orang awam menelan
mentah-mentah keterangan itu. Siksa kubur hanya dijumpai dan dirasakan
badan wadag ketika di tanam di kuburan. Para wali memang bertujuan
baik, tetapi diputus sampai di situ. Mereka enggan menjelaskan lebih
dalam dan lebih sampai pada makna yang hakiki.
M ; Kalau menurut Syekh bagaimana ?
S ; Begini, untuk menemui dan merasakan
surga dan neraka maka seseorang tidak harus menunggu sampai mati atau
sampai datangnya kiamat. Di dunia ini saja kita sudah dapat merasakan
surga dan siksa neraka. Karena sesungguhnya surga dan neraka itu berada
di dalam jiwa kalian. Berada di dalam jiwa setiap manusia yang
bernafas. Jika jiwa manusia telah bersih dari gangguan hawa nafsu dan
dapat menyatu dengan Gusti Allah, maka di dunia ini ia akan merasakan
suatu kenikmatan surga. Jika budi kalian, misalnya menolong orang
lemah, lalu hati menjadi ikhlas dan puas, maka itulah yang disebut
surga. Sedangkan neraka, perwujudannya adalah jika hawa nafsu telah
menguasai diri seseorang. Kemudian jiwanya meronta dan merasa bersalah.
Maka dia tentu tersiksa. Ia tidak bisa tidur, gelisah pikirannya, sedih
dan bermacam-macam rasa tak enak. Itulah yang dinamakan neraka.
M ; Jadi surga dan neraka di akherat tidak berlaku ? maksud kami tidak ada ?
S ; Surga dan neraka di hari kiamat, di
akherat kelak, sudah diterangkan dalam Al Quran. Itu perkara gaib dan
erat kaitannya dengan iman. Kalian harus meyakininya.
M ; Untuk apa meyakini ? bukankah jika
di dunia berbudi baik dan beriman kepada Allah sudah merasakan surga.
Sedangkan surga dan neraka di akhirat hanyalah bersifat menakut-nakuti
manusia agar tidak berbuat buruk ?
S ; Pendapatmu memang cerdas dan
kritis. Namun kalian tidak usah mempertanyakan, apakah kelak di akhirat
ada surga dan neraka. Itu urusan Gusti Allah. Kalian harus meyakini.
Karena meyakini hari akhir merupakan rukun iman. Sekali lagi, untuk
mendapatkan surga pun kalian tak perlu menunggu datangnya hari akhir.
Meskipun seseorang sembahyang seribu kali setiap hari, toh akhirnya
mati juga. Walaupun badanmu kau tutupi dengan kain surban dan jubah,
namun akhirnya menjadi debu juga. Maka jiwalah yang paling penting.
Jika keadaan jiwa seperti Tuhan, maka surga akan didapatkannya.
Kenikmatan luar biasa akan dirasakan.
M ; Wahai Syeh, sesungguhnya yang
menjadi pikiranku adalah sebelum ada dunia ini, apakah sudah ada dunia
lainnya. Atau setelah kiamat, apakah Tuhan membuat dunia baru lagi
seperti sekarang ?
S ; Sebelum dunia ada, apakah ada dunia
lain, itu hanya Allah yang tahu. Tetapi sekarang kita berada di dunia
ini menempati ruang dan waktu. Dunia ini asalnya adalah baru. Kemudian
mengalami kerusakan dan kelak akhirnya menjadi hancur. Lenyap tak
berharga. Setelah kiamat, apakah Tuhan membuat dunia baru untuk
keduakalinya ? Tidak !
M ; Wahai Syekh, kalau begitu dunia erat kaitannya dengan raga kita, sedangkan jiwa erat kaitannya dengan alam akhirat ?
S ; Benar, dunia itu erat kaitannya
dengan raga. Raga mempunyai sifat seperti alam semesta, yang semula
baru kemudian rusak. Sedangkan jiwa tidak akan mengenal kerusakan
karena jiwa merupakan penjelmaan Dzat Allah. Ketahuilah bahwa raga
adalah barang pinjaman yang suatu saat akan diminta oleh Pemiliknya.
Ketahuilah wahai murid-muridku. Raga ini sesungguhnya sangkar yang
membelenggu dan menyulitkan jiwa. Agar jiwa menjadi bebas, maka suatu
saat kelak, kalian akan kuajarai bagaimana cara melepas jiwa dari raga.
Ilmu melepas jiwa artinya bahwa kematian adalah titik awal kehidupan
yang sebenarnya. Jika seseorang raganya mati, maka jiwanya menjadi
merdeka, bebas dan tidak terkungkung lagi. Sebab raga berhubungan erat
dengan alam semesta. Sedangkan jiwa berhubungan erat dengan Dzat Tuhan.
selamanya jiwa tak akan bisa mati atau rusak.
M ; Apakah yang dimaksud jalan kehidupan, wahai Syekh ?
S ; Jalan kehidupan adalah jalan menuju
kepada hidup yang sebenar-benarnya, setelah engkau mengalami kematian.
Jika seorang bayi lahir, maka bukanlah awal kehidupan, namun merupakan
awal “kehidupan palsu” seperti yang kalian rasakan saat ini. Inilah
yang sesungguhnya kematian sejati.
M ; Jika demikian badan ini tidak bisa merasakan kehidupan yang sebenar-benarnya ?
S ; Ya, tidak bisa. Kehidupan sejati
tidak dapat dirasakan oleh raga, karena jika raga mati akan tetapi
dapat dirasakan oleh jiwa. Membusuk menjadi tanah.
M ; Bagaimana jika sekarang ini
seseorang berbuat dosa. Apakah jiwanya ikut bertanggungjawab. Sedangkan
yang melakukan dosanya adalah raga.
S ; Tetap ikut bertanggungjawab, karena
jiwa yang menyatu ke dalam raga tidak bisa mencegah hawa nafsunya serta
akal yang suka berbuat buruk.
M ; Maaf saya belum paham Syekh.
S ; Ketahuilah, setiap orang yang lahir
di dunia ini maka jiwanya menyatu dengan akal. Selain akal dalam diri
manusia juga ada hawa nafsu. Ketika seseorang berbuat buruk, berarti
raganya didorong dan dipengaruhi oleh hawa nafsu dan akalnya. Akal dan
nafsu memang suka berbuat buruk. Apabila jiwa mencegah (melalui hati
nurani), maka raga tidak akan berbuat buruk. Akan tetapi jika jiwa
membiarkannya, maka raga tetap melakukannya. Karena itu bagaimanapun
juga jiwalah yang akan mempertanggungjawabkan perbuatan baik dan buruk
raganya.
M ; Tadi Syekh mengatakan jiwa adalah penjelmaan dzat Tuhan. Mengapa kadang-kadang jiwa mau mencegah dan kadang membiarkannya ?
S ; Perlu kalian semua ingat, bahwa di
dalam raga ini terdapat nafsu-nafsu. Jika nafsu kuat menguasai, maka
jiwa menjadi terbelenggu. Karena itulah mengapa aku katakan bahwa
kehidupan sekarang ini adalah kematian. Sedangkan setelah ajal
merupakan awal kehidupan. Sesudah kematian maka seseorang akan mencapai
kebebasan jiwanya.
Ajaran Syekh Siti Jenar memang agak
beda dengan ajaran para wali sanga. Siti Jenar mengajarkan bahwa Tuhan
adalah Zat yang mendasari adanya manusia, hewan, tumbuhan dan segala
yang ada. Keberadaan segala di dunia ini tergantung pada adanya Zat.
Tanpa ada Zat Yang Mahakuasa, maka mustahil sesuatu yang wujud itu ada.
Ajaran ini tidak pernah disampaikan
oleh para Wali Sanga. Mereka menyadari bahwa umatnya masih terlalu awam
terhadap Islam, sehingga memberi materi yang ringan dan praktis saja.
Syekh Siti Jenar – Pandangan Murid-Murid tentang ajaran beliau
Pengeran Panggong
“….Saya mencari ilmu sejati yang
berhubungan langsung dengan asal dan tujuan hidup, dan itu saya
pelajari melalui tanajjul tarki. Menurut saya , untuk mengharapkan
hidayah hanyalah bias didapat dengan kesejatian ilmu. Demi kesentausaan
hati menggapai gejolak jiwa, saya tidak ingin terjebak dalam syariat.”
“Jika saya terjebak dalam syariat, maka
seperti burung sudah bergerak, akan tetapi mendapatkan pikiran yang
salah. Karena perbuatan salah dalam syariat adalah pada kesalahpahaman
dalam memahami larangan. Bagi saya kesejatian ilmu itulah yang
seharusnya dicari dan disesuaikan dengan ilmu kehidupan. Kebanyakan
manusia itu, jika sudah sampai pada janji maka hatinya menjadi
khawatir, wataknya selalu was-was…senantiasa takut gagal….Alam dibawah
kolong langit, diatas hamparan bumi dan semua isi didalamnya hanyalah
ciptaan Yang Esa, tidak ada keraguan. Lahir batin harus bulat, mantap
berpegang pada tekad.” (Serat Suluk Malang Sumirang, Pupuh 1-2).
“Yang membuat kita paham akan diri
kita, Pertama tahu akan datang ajal, karena itu tahu jalan
kemuliaannya, Kedua, tahu darimana asalnya ada kita ini sesungguhnya,
berasal dari tidak ada. Kehendak-Nya pasti jadi, dan kejadian itu
sendiri menjadi misal. Wujud mustahil pertandanya sebagai cermin yang
bersih merata keseluruh alam. Yang pasti dzatnya kosong, sekali dan
tidak ada lagi. Dan janganlah menyombongkan diri, bersikaplah menerima
jika belum berhasil. Semua itu kehendak Sang Maha Pencipta. Sebagai
makhluk ciptaan, manusia didunia ini hanya satu repotnya. Yaitu tidak
berwenang berkehendak, dan hanya pasrah kepada kehendak Allah.”
“Segala yang tercipta terdiri dari
jasad dan sukma, serta badan dan nyawa. Itulah sarana utama, yakni
cahaya, roh, dan jasad. Yang tidak tahu dua hal itu akan sangat
menyesal. Hanya satu ilmunya, melampaui Sang Utusan. Namun bagi yang
ilmunya masih dangkal akan mustahil mencapai kebenaran, dan manunggal
dengan Allah. Dalam hidup ini, ia tidak bisa mengaku diri sebagai
Allah, Sukma Yang Maha Hidup. Kufur jika menyebut diri sebagai Allah.
Kufur juga jika menyamakan hidupnya dengan Hidup Sang Sukma, karena
sukmaitu adalah Allah.” [Serat Suluk Malang Sumirang, Pupuh 2].
” Waktu shalat merupakan pilihan waktu
yang sesungguhnya berangkat dari ilmu yang hebat. Mengertikah Anda,
mengapa shalat dzuhur empat raka’at? Itu disebabkan kita manusia
diciptakan dengan dua kaki dan dua tangan. Sedang shalat ‘Ashar empat
raka’at juga, adalah kejadian bersatunya dada dengan Telaga al-Kautsar
dengan punggung kanan dan kiri. Shalat Maghrib itu tiga raka’at, karena
kita memiliki dua lubang hidung dan satu lubang mulut. Adapun shalat
‘Isya’ enjadi empat raka’at karena adanya dua telinga dan dua buah
mata. Adapun shalat Subuh, mengapa dua raka’at adalah perlambang dari
kejadian badan dan roh kehidupan. Sedangkan shalat tarawih adalah
sunnah muakkad yang tidak boleh ditinggalkan dua raka’atnya oleh yang
melakukan, men-jadi perlambang tumbuhnya alis kanan dan kiri.”
“Adapun waktu yang lima, bahwa
masing-masing berbeda-beda yang memilikinya. Shalat Subuh, yang
memiliki adalah Nabi Adam. Ketika diturunkan dari surga mulia, berpisah
dengan istrinya Hawa menjadi sedih karena tidak ada kawan. Lalu ada
wahyu dari melalui malaikat Jibril yang mengemban perintah Tuhan kepada
Nabi Adam, “Terimalah cobaan Tuhan, shalat Subuhlah dua raka’at”. Maka
Nabi Adampun siap melaksanakannya. Ketika Nabi Adam melaksanakan shalat
Subuh pada pagi harinya, ketika salam. Telah mendapati istrinya berada
dibelakangnya, sambil menjawab salam. Shalat Dzuhur dimaksudkan ketika
Kanjeng Nabi Ibrahim pada zaman kuno mendapatkan cobaan besar,
dimasukkan ke dalam api hendak dihukum bakar. Ketika itu Nabi Ibrahim
mendapat wahyu ilahi, disuruh untuk melaksanakan shalat Dzuhur empat
raka’at. Nabi Ibrahim melaksanakan shalat, api padam seketika. Adapun
shalat Ashar, dimaksudkan ketika Nabi Yunus sedang naik perahu dimakan
ikan besar. Nabi Yunus merasakan kesusahan ketika berada di dalam perut
ikan. Waktu itu terdapat wahyu Ilahi, Nabi Yunus diperintahkan
melaksanakan shalat Ashar empat raka’at. Nabi Yunus segera
melaksanakan, dan ikan itu tidak mematikannya. Malah ikan itu mati,
kemudian Nabi Yunus keluar dari perut ikan. Sedangkan shalat Maghrib
pada zaman kuno yang memulainya adalah Nabi Nuh. Ketika musibah banjir
bandang sejagat, Nabi Nuh bertaubat merasa bersalah. Dia diterima
taubatnya disuruh mengerjakan shalat. Kemudian Nabi Nuh melaksanakan
shalat Maghrib tiga raka’at, maka banjirpun surut seketika. Shalat
‘Isya sesungguhnya Nabi Isa yang memulainya. Ketika kalah perang
melawan Raja Harkiyah (Juga disebut Raja Herodes, atasan Gubernur
Pontius Pilatus) semua kaumnya bingung tidak tahu utara, selatan,
barat, timur dan tengah. Nabi Isa merasa susah, dan tidak lama kemudian
datang malaikat Jibril membawa wahyu dengan uluk salam. Nabi Isa
diperintahkan melaksanakan shalat ‘Isya. Nabi Isa menyanggupinya, dan
semua kaumnya mengikutinya, dan malaikat Jibril berkata, “Aku yang
membalaskan kepada Pendeta Balhum.” [Serat Suluk Malang Sumirang, Pupuh
2].
“Menurut pemahaman saya, sesuai
petunjuk Syekh Siti Jenar dahulu, anasir itu ada empat yang berupa
anasir batin dan ansir lahir. Pertama, anasir Gusti. Perlu dipahami
dengan baik dzat, sifat, asma dan af’al (perbuatan) kedudukannya dalam
rasa. Dzat maksudnya adalah bahwa diri manusia dan apapun yang kemerlap
di dunia ini tidak ada yang memiliki kecuali Tuhan Yang Maha Tinggi,
yang besar atau yang kecil adalah milik Allah semua. Ia tidak memiliki
hidupnya sendiri. Hanya Allah yang Hidup, yang Tunggal. Adapun sifat
sesungguhnya segala wujud yang kelihatan yang besar atau kecil, seisi
bumi dan langit tidak ada yang memiliki hanya Allah Tuhan Yang Maha
Agung. Adapun asma sesungguhnya, nama semua ciptaan seluruh isi bumi
adalah milik Tuhan Allah Yang Maha Lebih Yang Maha Memiliki Nama.
Sedangkan artinya af’al adalah seluruh gerak dan perbuatan yang
kelihatan dari seluruh makhluk isi bumi ini adalah tidak lain dari
perbuatan Allah Yang Maha Tinggi, demikian maksud anasir Gusti.”
“Anasir roh, ada empat perinciannya
yang berwujud ilmu yang dinamai cahaya persaksian (nur syuhud).
Maksudnya adalah sebagai berikut : pertama, yang disebut wujud
sesungguhnya adalah hidup sejati atau amnusia sejati seperti
pertempuran yang masih perawan itulah yang dimaksud badarullah yang
sebenarnya. Kedua, yang disebut ilmu adalah pengetahuan batin yang
menjadi nur atau cahaya kehidupan atau roh idhafi, cahaya terang
menyilaukan seperti bintang kejora. Ketiga, yang dimaksud syuhud adalah
kehendak batin kejora. Ketiga, yang dimaksud syuhud adalah kehendak
batin tatkala memusatkan perhatian terutama ketika mengucapkan takbir.
Demikianlah penjelasan tentang anasir roh, percayalah kepada
kecenderungan hati.”
“Anasir manusia maksudnya hendaklah
dipahami bahwa manusia itu terdiri dari bumi, api, angin dan air. Bumi
itu menjadi jasad, api menjadi cahaya yang bersinar, angin menjadi
napas keluar masuk, air, menjadi darah. Keempatnya bergerak tarik
menarik secara ghaib. Demikianlah penjelasan saya tentang anasir.
[Serat Suluk Malang Sumirang, Pupuh 3].
Syekh Amongraga
”Syekh Amongraga adalah salah seorang
pewaris ajaran Syekh Siti Jenar pada masa Sultan Agung Hanyokusumo
(1645). Mengenai rincian kehidupan dan ajaran Syekh Amongraga dapat
dibaca di serat Centini”.
Syekh Amongraga mewasiatkan berbagai inti ajaran yang meliputi (Primbon Sabda Sasmaya; hlm. 24):
1. Rahayu ing Budhi (selamat akhlak dan moral).
2. Mencegah dan berlebihnya makanan.
3. Sedikit tidur.
4. Sabar dan tawakal dalam hati.
5. Menerima segala kehendak dan takdir Tuhan.
6. Selalu mensyukuri takdir Tuhan.
7. Mengasihi fakir dan miskin.
8. Menolong orang yang kesusahan.
9. Memberi makan kepada orang yang lapar.
10. Memberi pakaian kepada orang yang telanjang.
11. Memberikan payung kepada orang yang kehujanan.
12. Memberikan tudung kepada orang yang kepanasan.
13. Memberikan minum kepada orang yang haus.
14. Memberikan tongkat penunjuk kepada orang yang buta.
15. Menunjukkan jalan kepada orang yang tersesat.
16. Menyadarkan orang yang lupa.
17. Membenarkan ilmu dan laku orang yang salah.
18. Mengasihi dan memuliakan tamu.
19. Memberikan maaf kepada kesalahan dan dosa sanak-kandung, saudara, dan semua manusia.
20. Jangan merasa benar, jangan merasa
pintar dalam segala hal, jangan merasa memiliki, merasalah bahwa semua
itu hanya titipan dari Tuhan yang membuat bumi dan langit, jadi manusia
itu hanyalah sudarma (memanfaatkan dengan baik dengan tujuan dan cara
yang baik pula) saja. Pakailah budi, syukur, sabar, menerima, dan rela.
Ajaran Syekh Amongraga itu sebenarnya meliputi semua tindakan manusia
di dalam menyelami kehidupan di bumi ini, yang disebut Syekh Siti Jenar
sebagai alam kematian. Dalam memahami 20 ajaran tersebut, hendaknya
jangan terjebak dalam segi kontekstualnya saja, namun hendaknya
diselami dengan segenap nalar dan rasa batin.
Syari’at Palsu Para Wali Menurut Ki Cantula
“Menurut ajaran guruku Syekh Siti
Jenar, di dunia ini alam kematian. Oleh karena itu, dunia yang sunyi
ini tidak ada Hyang Agung serta malaikat. Akan tetapi bila saya besok
sudah ada di alam kehidupan saya akan berjumpa dan kadang kala saya
menjadi Allah. Nah, di situ saya akan bersembahyang.”
“Jika sekarang saya disuruh sholat di
mesjid saya tidak mau, meskipun saya bukan orang kafir. Boleh jadi saya
orang terlantar akan Pangeran Tuhan. Kalau santri gundul, tidak tahunya
yang ada di sini atau di sana. Ia berpengangan kandhilullah, mabuk akan
Allah, buta lagi tuli.”
“Lain halnya dengan saya, murid Syekh
Siti Jenar. Saya tidak menghiraukan ujar para Wali, yang mengkukuhkan
Syari’at palsu, yang merugikan diri sendiri. Nah, Syekh Dumba,
pikirkanlah semua yang saya katakan ini. Dalam dadamu ada Al-Qur’an.
Sesuai atau tidak yang saya tuturkan itu, kanda pasti tahu.” [Serat
Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh V Pangkur, 8-18]
Ki Bisono
Ki Bisana menyanggupi kemudian menjawab pertanyaan dari Sultan Demak:
“Pertanyaan pertama : Pertanyaan, bahwa
Allah menciptakan alam semesta itu adalah kebohongan belaka. Sebab alam
semesta itu barang baru, sedang Allah tidak membuat barang yang
berwujud menurut dalil : layatikbiyu hilamuhdil, artinya tiada
berkehendak menciptakan barang yang berwujud. Adapun terjadinya alam
semesta ini ibaratnya : drikumahiyati : artinya menemukan keadaan. Alam
semesta ini : la awali. Artinya tiada berawal. Panjang sekali kiranya
kalau hamba menguraikan bahwa alam semesta ini merupakan barang baru,
berdasarkan yang ditulis dalam Kuran.”
“Pertanyaan yang kedua : Paduka
bertanya di mana rumah Hyang Widi. Hal itu bukan merupakan hal yang
sulit, sebab Allah sejiwa dengan semua zat. Zat wajibul wujud itulah
tempat tinggalnya, seumpamanya Zat tanahlah rumahnya. Hal ini panjang
sekali kalau hamba terangkan. Oleh karena itu hamba cukupkan sekian
saja uraian hamba.”
“Selanjutnya pertanyaan ketiga :
berkurangnya nyawa siang malam, sampai habis ke manakah perginya nyawa
itu. Nah, itu sangat mudah untuk menjawabnya. Sebab nyawa tidak dapat
berkurang, maka nyawa itu bagaikan jasad , berupa gundukan, dapat aus,
rusak dimakan anai-anai. Hal inipun akan panjang sekali untuk hamba
uraikan. Meskipun hamba orang sudra asal desa, akan tetapi tata bahasa
kawi hamba mengetahui juga, baik bahasa biasa maupun yang dapat
dinyanyikan. Lagu tembang sansekerta pun hamba dapat menyanyikan juga
dengan menguraikan arti kalimatnya, sekaligus hamba bukan seorang empu
atau pujangga, melainkan seorang yang hanya tahu sedikit tentang ilmu.”
“Itu semua disebabkan karena hamba
berguru kepada Syekh Siti Jenar, di Krendhasawa, tekun mempelajari
kesusasteraan dan menuruti perintah guru yang bijaksana. Semua murid
Syekh Siti Jenar menjadi orang yang cakap, berkat kemampuan mereka
untuk menerima ajaran guru mereka sepenuh hati.”
“Adapun pertanyaan yang keempat :
paduka bertanya bagaimanakah rupa Yang Maha Suci itu. Kitab Ulumuddin
sudah memberitahukan : walahu lahir insan, wabatinul insani
baitu-baytullahu (Arab asli : wa Allahu dzahir al-insan, wabathin,
al-insanu baytullahu), artinya lahiriah manusia itulah rupa Hyang Widi.
Batiniah manusia itulah rumah Hyang Widi. Banyak sekali yang tertulis
dalam Kitab Ulumuddin, sehingga apabila hamba sampaikan kepada paduka,
Kanjeng Pangeran Tembayat tentu bingung, karena paduka tidak dapat
menerima, bahkan mungkin paduka mengira bahwa hamba seorang majenun.
Demikianlah wejangan Syekh Siti Jenar yang telah hamba terima.”
“Guru hamba menguraikan asal-usul
manusia dengan jelas, mudah diterima oleh para siswa, sehingga mereka
tidak menjadi bingung. Diwejang pula tentang ilmu yang utama, yang
menjelaskan tentang dan kegunaan budi dalam alam kematian di dunia ini
sampai alam kehidupan di Akhirat. Uraiannya jelas dapat dilihat dengan
mata dan dibuktikan dengan nyata.”
“Dalam memberikan pelajaran, guru hamba
Syekh Siti Jenar, tiada memakai tirai selubung, tiada pula memakai
lambang-lambang. Semua penjelasan diberikan secara terbuka, apa adanya
dan tanpa mengharapkan apa-apa sedikitpun. Dengan demikian musnah
segala tipu muslihat, kepalsuan dan segala perbuatan yang dipergunakan
untuk melakukan kejahatan. Hal ini berbeda dengan apa yang dilakukan
para guru lainnya. Mereka mengajarkan ilmunya secara diam-diam dan
berbisik-bisik, seolah-olah menjual sesuatu yang gaib, disertai dengan
harapan untuk memperoleh sesuatu yang menguntungkan untuk dirinya.”
“Hamba sudah berulang kali berguru
serta diwejang oleh para wali mu’min, diberitahu akan adanya Muhammad
sebagai Rosulullah serta Allah sebagai Pangeran hamba. Ajaran yang
dituntunkan menuntun serta membuat hamba menjadi bingung dan menurut
pendapat hamba ajaran mereka sukar dipahami, merawak-rambang tiada
patokan yang dapat dijadikan dasar atau pegangan. Ilmu Arab menjadi
ilmu Budha, tetapi karena tidak sesuai kemudian mereka mengambil dasar
dan pegangan Kanjeng Nabi. Mereka mematikan raga, merantau kemana-mana
sambil menyiarkan agama. Padahal ilmu Arab itu tiada kenal bertapa,
kecuali berpuasa pada bulan Romadan, yang dilakukan dengan mencegah
makan, tiada berharap apapun.”
“Jadi jelas kalau para wali itu masih
manganut agama Budha, buktinya mereka masih sering ketempat-tempat
sunyi, gua-gua, hutan-hutan, gunung-gunung atau tepi samudera dengan
mengheningkan cipta, sebagai laku demi terciptanya keinginan mereka
agar dapat bertemu dengan Hyang Sukma. Itulah buktinya bahwa mereka
masih dikuasai setan ijajil. Menurut cerita Arab Ambiya, tiada orang
yang dapat mencegah sandang pangan serta tiada untuk kuasa berjaga
mencegah tidur kecuali orang Budha yang mensucikan dirinya dengan jalan
demikian. Nah, silahkan memikirkan apa yang hamba katakan, sebagai
jawaban atas empat pertanyaan paduka.”[Serat Syaikh Siti Jenar Ki
Sasrawijaya, Pupuh V Pangkur, 22-45].
Ki Lonthang Semarang
“Kalau menurut wejangan guru saya,
orang sembahyang itu siang malam tiada putusnya ia lakukan. Hai Bonang
ketahuilah keluarnya napasku menjadi puji. Maksudnya napasku menjadi
shalat. Karena tutur penglihatan dan pendengaran disuruh melepaskan
dari angan-angan, jadi kalau kamu shalat masih mengiaskan kelanggengan
dalam alam kematian ini, maka sesungguhnyalah kamu ini orang kafir.”
“Jika kamu bijaksana mengatur
tindakanmu, tanpa guna orang menyembah Rabbu’l ‘alamien, Tuhan sekalian
alam, sebab di dunia ini tidak ada Hyang Agung. Karena orang melekat
pada bangkai, meskipun dicat dilapisi emas, akhirnya membusuk juga,
hancur lebur bercampur dengan tanah. Bagaimana saya dapat bersolek?”
“Menurut wejangan Syekh Siti Jenar,
orang sembahyang tidak memperoleh apa-apa, baik di sana, maupun di
sini. Nyatanya kalau ia sakit, ia menjadi bingung. Jika tidur seperti
budak, disembarang tempat. Jika ia miskin, mohon agar menjadi kaya
tidak dikabulkan. Apalagi bila ia sakaratul maut, matanya membelalak
tiada kerohan. Karena ia segan meninggalkan dunia ini. Demikianlah
wejangan guru saya yang bijaksana.”
“Umumnya santri dungu, hanya berdzikir
dalam keadaan kosong dari kenyataan yang sesungguhnya, membayangkan
adanya rupa Zat u’llahu, kemudian ada rupa dan inilah yang ia anggap
Hyang Widi.”
“Apakah ini bukan barang sesat?
Buktinya kalau ia memohon untuk menjadi orang kaya tidak diluluskan.
Sekalipun demikian saya disuruh meluhurkan Dzat’llahu yang rupanya ia
lihat waktu ia berdzikir, mengikuti syara’ sebagai syari’at, jika
Jum’at ke mesjid berlenggang mengangguk-angguk, memuji Pangeran yang
sunyi senyap, bukan yang di sana, bukan yang di sini.”
“Saya disuruh makbudullah, meluhurkan
Tuhan itu, serta akan ditipu diangkat menjadi Wali, berkeliling menjual
tutur, sambil mencari nasi gurih dengan lauknya ayam betina berbulu
putih yang dimasak bumbu rujak pada selamatan meluhurkan Rasulullah. Ia
makan sangat lahap, meskipun lagaknya seperti orang yang tidak suka
makan. Hal itulah gambaran raja penipu!”
“Bonang, jangan berbuat yang demikian.
Ketahuilah dunia ini alam kematian, sedang akhirat alam kehidupan yang
langgeng tiada mengenal waktu. Barang siapa senang pada alam kematian
ini, ia terjerat goda, terlekat pada surga dan neraka, menemui panas,
sedih, haus, dan lapar”. [Serat Syaikh Siti Jenar, Ki Sastrawijaya,
Pupuh XI Pangkur, 9-20].
“Tiada usah merasa enggan menerima
petuahku yang tiga buah jumlahnya. Pertama janganlah hendaknya kamu
menjalankan penipuan yang keterlaluan, agar supaya kamu tidak
ditertawakan orang di kelak kemudian hari. Yang kedua, jangan kamu
merusak barang-barang peninggalan purba, misalnya : lontar naskah
sastra yang indah-indah, tulisan dan gambar-gambar pada batu candhi.
Demikian pula kayu dan batu yang merupakan peninggalan kebudayaan zaman
dulu, jangan kamu hancur-leburkan. Ketahuilah bagi suku Jawa
sifat-sifat Hindu-Budha tidak dapat dihapus. Yang ketiga, jika kamu
setuju, mesjid ini sebaiknya kamu buang saja musnahkan dengan api. Saya
berbelas kasihan kepada keturunanmu, sebab tidak urung mereka menuruti
kamu, mabuk do’a, tersesat mabuk-tobat, berangan-angan lam yakunil.”
“…orang menyembah nama yang tiada
wujudnya, harus dicegah. Maka dari itu jangan kamu terus-teruskan,
sebab itu palsu.” [Serat Syaikh Siti Jenar, Ki Sastrawijaya, Pupuh XI
Pangkur, 25-36].
Sunan Panggung – Khutbah
“Banyak orang yang gemar dengan
ksejatian, tapi karena belum pernah berguru maka semua itu dipahami
dalam konteks dualitas. Yang satu dianggap wjud lain. Sesungguhnya
orang yng melihat sepeti ini akan kecewa. Apalagi yang ditemui akan
menjadi hilang. Walaupun dia berkeliling mencari, ia tidak akan
menemukan yang dicari. Padahal yang dicari, sesungguhnya telah ditimang
dan dipegang, bahkan sampai keberatan membawanya. Dan karena belum tahu
kesejatiannya, ciptanya tanpa guru menyepelekan tulisan dan kesejatian
Tuhan.”
“Walaupun dituturkan sampai capai,
ditunjukkan jalannya, sesungguhnya dia tidak memahaminya karena ia
hanya sibuk menghitung dosa besar dan kecil yg diketahuinya. Tentang
hal kufur kafir yang ditolaknya itu, bukti bahwa ia adalah orang yang
masih mentah pengetahuannya. Walaupun tidak pernah lupa sembahyang,
puasanya dapat dibangga-banggakan tanpa sela, tapi ia terjebak menaati
yang sudah ditentukan Tuhan.
Sembah puji dan puasa yang ditekuni,
membuat orang justru lupa akan sangkan paran (asal dan tujuan). Karena
itu, ia lebih konsentrasi melihat dosa besar-kecil yang dikhawatirkan,
dan ajaran kufur kafir yang dijauhi justru membuat bingung sikapnya.
Tidak ada dulu dinulu. Tidak merasa, tidak menyentuh. Tidak saling
mendekati, sehingga buta orang itu. Takdir dianggap tidak akan terjadi,
salah-salah menganggap ada dualisme antara Maha Pencipta dan Maha
Memelihara.
Jika aku punya pemikiran yang demikian,
lebih baik aku mati saja ketika masih bayi. Tidak terhitung tidak
berfikir, banyak orang yang merasa menggeluti tata lafal, mengkaji
sembahyang dan berletih-letih berpuasa. Semua itu dianggap akan mampu
mengantarkan. Padahal salah-salah menjadikan celaka dan bahkan banyak
yang menjadi berhala.”
“Pemikiran saya sejak kecil, Islam
tidak dengan sembahyang, Islam tidak dengan pakaian, Islam tidak dengan
waktu, Islam tidak dengan baju dan Islam tidak dengan bertapa. Dalam
pemikiran saya, yang dimaksud Islam tidak karena menolak atau menerima
yang halal atau haram.
Adapun yang dimaksud orang Islam itu,
mulia wisesa jati, kemuliaan selamat sempurna sampai tempat tinggalnya
besok. Seperti bulu selembar atau tepung segelintir, hangus tak
tersisa. Kehidupan di dunia seperti itu keberadaannya.”
“Manusia, sebelum tahu makna Alif, akan
menjadi berantakan….Alif menjadi panutan sebab uintuk semua huruf, alif
adalah yang pertama. Alif itu badan idlafi sebagai anugerah. Dua-duanya
bukan Allah. Alif merupakan takdir, sedangkan yang tidak bersatu
namanya alif-lapat. Sebelum itu jagat ciptaan-Nya sudah ada. Lalu alif
menjadi gantinya, yang memiliki wujud tunggal. Ya, tunggal rasa,
tunggal wujud. Ketunggalan ini harus dijaga betul sebab tidak ada yang
mengaku tingkahnya. ALif wujud adalah Yang Agung. Ia menjadi wujud
mutlak yang merupakan kesejatian rasa. Jenisnya ada lima, yaitu alif
mata, wajah, niat jati, iman, syari’at.”
“Allah itu penjabarannya adalah dzat
Yang Maha Mulia dan Maha Suci. Allah itu sebenarnya tidak ada lain,
karena kamu itu Allah. Dan Allah semua yang ada ini, lahir batin kamu
ini semua tulisan merupakan ganti dari alif, Allah itulah adanya.”
“Alif penjabarannya adalah permulaan
pada penglihatan, melihat yang benar-benar melihat. Adapun melihat Dzat
itu, merupakan cermin ketunggalan sejati menurun kepada kesejatianmu.
Cahaya yang keluar, kepada otak keberadaan kita di dunia ini merupakan
cahaya yang terang benderang, itu memiliki seratus dua puluh tujuh
kejadian. Menjadi penglihatan dan pendengaran, napas yang tunggal,
napas kehidupan yang dinamakan Panji. Panji bayangan dzat yang mewujud
pada kebanyakkan imam. Semua menyebut dzikir sejati, laa ilaaha
illallah.” [Serat Suluk Malang Sumirang, Pupuh 4].
Sunan Geseng - Kematian
“Banyak orang yang salah menemui
ajalnya. Mereka tersesat tidak menentu arahnya, pancaindera masih tetap
siap, segala kesenangan sudah ditahan, napas sudah tergulung dan
angan-angan sudah diikhlaskan, tetapi ketika lepas tirta nirmayanya
belum mau. Maka ia menemukan yang serba indah.”
“Dan ia dianggap manusia yang luar
biasa. Padahal sesungguhnya ia adalah orang yang tenggelam dalam
angan-angan yang menyesatkan dan tidak nyata. Budi dan daya hidupnya
tidak mau mati, ia masih senang di dunia ini dengan segala sesuatu yang
hidup, masih senang ia akan rasa dan pikirannya. Baginya hidup di dunia
ini nikmat, itulah pendapat manusia yang masih terpikat akan
keduniawian, pendapat gelandangan yang pergi ke mana-mana tidak menentu
dan tidak tahu bahwa besok ia akan hidup yang tiada kenal mati.
Sesungguhnyalah dunia ini neraka.”
“Maka pendapat Kyai Siti Jenar betul,
saya setuju dan tuan benar-benar seorang mukmin yang berpendapat tepat
dan seyogyanya tuan jadi cermin, suri tauladan bagi orang-orang lain.
Tarkumasiwalahu (Arab asli : tarku ma siwa Allahu), di dunia ini hamba
campur dengan kholiqbta, hambanya di surga, khaliknya di neraka agung.”
[Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh VIII Dandanggula, 29-31]
Shalat (tarek dan Daim)
Syekh Siti Jenar mengajarkan dua macam
bentuk shalat, yang disebut shalat tarek dan shalat daim. Shalat tarek
adalah shalat thariqah, diatas sedikit dari syari’at. Shalat tarek
diperuntukkan bagi orang yang belum mampu untuk sampai pada tingkatan
Manunggaling Kawula Gusti, sedang shalat daim merupakan shalat yang
tiada putus sebagai efek dari kemanunggalannya. Sehingga shalat daim
merupakan hasil dari pengalaman batin atau pengalaman spiritual. Ketika
seseorang belum sanggup melakukan hal itu, karena masih adanya hijab
batin, maka yang harus dilakukan adalah shalat tarek. Shalat tarek
masih terbatas dengan adanya lima waktu shalat, sedang shalat daim
adalah shalat yang tiada putus sepanjang hayat, teraplikasi dalam
keseluruhan tindakan keseharian ( penambahan, mungkin efeknya adalah
berbentuk suci hati, suci ucap, suci pikiran ); pemaduan hati, nalar,
dan tindakan ragawi.
Kata “tarek” berasal dari kata Arab
“tarki” atau “tarakki” yang memiliki arti pemisahan. Namun maksud lebih
mendalam adalah terpisahnya jiwa dari dunia, yang disusul dengan
tanazzul (manjing)-nya al-Illahiyah dalam jiwa. Shalat tarek yang
dimaksud di sini adalah shalat yang dilakukan untuk dapat melepaskan
diri dari alam kematian dunia, menuju kemanunggalan. Sehingga menurut
Syekh Siti Jenar, shalat yang hanya sekedar melaksanakan perintah
syari’at adalah tindakan kebohongan, dan merupakan kedurjanaan budi.
Pengambilan shalat tarek ini berasal
dari Kitab Wedha Mantra bab 221; Shalat Tarek Limang Wektu. (Sang
Indrajit: 1979, hlm. 63-66).
Keterangan bagi yang mengamalkan ilmu shalat tarek lima waktu ini.
(Semua hal yang berkaitan dengan shalat
tarek ini diterjemahkan dengan apa adanya dari Kitab Wedha Mantra.
Makna terjemahan yang bertanda kutip hanyalah arti untuk memudahkan
pemahaman. Adapun maksud dan substansi yang ada dalam kalimat-kalimat
asli dalam bahasa Jawa-Kawi, lebih mendalam dan luas dari pemahaman dan
terjemahan diatas.(penulisnya wanti-wanti banget). Pelaksanaan shalat
tarek bisa saja diamalkan bersamaan dengan shalat syari’at sebagaimana
biasa, bisa juga dilaksanakan secara terpisah. Hanya saja terdapat
perbedaan dalam hal wudlunya. Jika dalam shalat syari’at, anggota wudhu
yang harus dibasuh adalah wajah, tangan, sebagian kepala, dan kaki,
sementara dalam shalat tarek adalah di samping tempat-tempat tersebut,
harus juga membasuh seluruh rambut, tempat-tempat pelipatan anggota
tubuh, pusar, dada, jari manis, telinga, jidat, ubun-ubun, serta pusar
tumbuhnya rambut (Jawa; unyeng-unyengan). Walhasil wudlu untuk shalat
tarek sama halnya dengan mandi besar (junub/jinabat).
Bahwa kematian orang yang menerapkan
ilmu ini masih terhenti pada keduniaan, akan tetapi sudah mendapatkan
balasan surga sendiri. Maka paling tidak ujaran-ujaran shalat tarek ini
hendaknya dihafalkan, jangan sampai tidak, agar memperoleh kesempurnaan
kematian.
Bagi yang akan membuktikan, siapa saja
yang sudah melaksanakan ilmu ini, dapat saja dibuktikan. Ketika
kematian jasadnya didudukkan di daratan (di atas tanah), di kain kafan
serta diberi kain lurub (penutup) serta selalu ditunggu, kalau sudah
mendapatkan dan sampai tujuh hari, bisa dibuka, niscaya tidak akan
membusuk, (bahkan kalau iradah dan qudrahnya sudah menyatu dengan
Gusti), jasad dalam kafan tersebut sudah sirna. Kalau dikubur dengan
posisi didudukkan, maka setelah mendapat tujuh hari bisa digali
kuburnya, niscaya jasadnya sudah sirna, dan yang dikatakan bahwa sudah
menjadi manusia sempurna. Maka karena itu, orang yang menerapkan ilmu
ini, sudah menjadi manusia sejati.
Sedangkan tentang ilmu ini, bukanlah
manusia yang mengajarkan, cara mendapatkannya adalah hasil dari
laku-prihatin, berada di dalam khalwat (meditasi, mengheningkan cipta,
menyatu karsa dengan Tuhan sebagaimana diajarkan Syekh Siti Jenar).
Tentang anjuran untuk pembuktian di
atas, sebenarnya tidak diperlukan, sebab yang terpenting adalah
penerapan pada diri kita masing-masing. Justru pembuktian paling
efektif adalah jika kita sudah mengaplikasikan ilmu tersebut. Apalagi
pembuktian seperti itu jika dilaksanakan akan memancing kehebohan,
sebagaimana terjadi dalam kasus kematian Syekh Siti Jenar serta para
muridnya.
ALLAH اللهَ ALLAH اللهَ ALLAH اللهَALLAH اللهَ
اَللَّهُمَّ صَلِّىْ عَلَىْ سَيِّدِنَامُحَمَّدٍ
والله أعلم بالـصـواب
Moga Bermanfaat.
Moga Bermanfaat.
...........................................................................
No comments:
Post a Comment