15 December 2019

Definasi Sufism

Definasi Sufism Sufisme (bahasa Arab: تصوف, taṣawwuf‎, bahasa Arab/Parsi: عرفان) ialah sebuah tradisi tasawuf Islam yang merangkumi berbagai-bagai kepercayaan dan amalan. Antaranya ialah aspek esoterik mengenai komunikasi dan dialog langsung antara penganut Islam dengan Allah. Tariqa (mazhab Sufi) boleh mempunyai kaitan dengan Syiah, Sunni, serta arah aliran Islam yang lain, atau dengan satu gabungan tradisi berbilang. Pemikiran Sufi muncul dari Timur Tengah pada abad ke-8, tetapi penganut-penganutnya kini terdapat di seluruh dunia. Sufisme telah menghasilkan sejumlah besar puisi dalam bahasa Arab, Turki, Parsi, Kurd, Urdu, Punjabi, dan Sindhi yang merangkumi karya-karya Jalal al-Din Muhammad Rumi, Abdul Qader Bedil, Bulleh Shah, Amir Khusro, Shah Abdul Latif Bhittai, Sachal Sarmast, dan Sultan Bahu, serta juga banyak tradisi tarian kesalihan (umpamanya pemusingan Sufi), dan muzik seperti Qawwali. Pada masa rasulullah belum dikenal istilah tasawuf, yang dikenal pada waktu itu hanyalah sebutan sahabat nabi. Munculnya istilah tasawuf baru dimulai pada pertengahan abad III Hijriyyah oleh Abu Hasyimal-Kufi (w. 250 H.) dengan meletakkan “al-Sufi” di belakang namanya. Dalam sejarah Islam sebelum timbulnya aliran tasawuf, terlebih dahulu muncul aliran zuhud. Aliran zuhud timbul pada akhir abad I dan permulaan abad II Hijriyyah. Rencana ini memberikan penerangan tentang zuhud yang dilihat dari sisi sejarah mulai dari pertumbuhannya sampai peralihannya ke tasawuf. Etimologi Beberapa etimologi untuk perkataan “Sufi” telah dicadangkan. Pandangan yang lazim adalah bahawa perkataan “Sufi” berasal daripada Suf (صوف), sepatah perkataan bahasa Arab untuk sakhlat yang merujuk kepada mantel sederhana yang dipakai oleh zahid-zahid Islam pada zaman awal. Bagaimanapun, bukan semua ahli sufi memakai mantel atau pakaian yang diperbuat daripada sakhlat. Lagi sebuah teori etimologi menyatakan bahawa kata dasar untuk “Sufi” ialah perkataan bahasa Arab, safa (صفا) yang bermaksud kesucian, dan merujuk kepada penegasan Sufisme terhadap kesucian hati dan jiwa. Sesetengah orang yang lain mengatakan bahawa asal perkataan “Sufi” adalah daripada perkataan “Ashab al-Suffa” (”Teman-teman Serambi”) atau “Ahl al-Suffa” (”Orang-orang Serambi”) yang merupakan sekumpulan penganut Islam pada zaman Nabi Muhammad yang menghabiskan banyak masa di serambi masjid Nabi untuk bersembahyang. Zuhud Zuhud menurut para ahli sejarah tasawuf adalah fase yang mendahului tasawuf. Menurut Harun Nasution, station yang terpenting bagi seorang calon sufi ialah zuhd yaitu keadaan meninggalkan dunia dan hidup kematerian. Sebelum menjadi sufi, seorang calon harus terlebih dahulu menjadi zahid. Sesudah menjadi zahid, barulah ia meningkat menjadi sufi. Dengan demikian tiap sufi ialah zahid, tetapi sebaliknya tidak setiap zahid merupakan sufi[1]. Secara etimologis, zuhud berarti raghaba ‘ansyai’in wa tarakahu, artinya tidak tertarik terhadap sesuatu dan meninggalkannya. Zahada fi al-dunya, berarti mengosongkan diri dari kesenangan dunia untuk ibadah[2]. Berbicara tentang arti zuhud secara terminologis menurut Prof. Dr. Amin Syukur, tidak bisa dilepaskan dari dua hal. Pertama, zuhud sebagai bagian yang tak terpisahkan dari tasawuf. Kedua, zuhud sebagai moral (akhlak) Islam dan gerakan protes[3]. Apabila tasawuf diartikan adanya kesadaran dan komunikasi langsung antara manusia dengan Tuhan sebagai perwujudan ihsan, maka zuhud merupakan suatu station (maqam) menuju tercapainya “perjumpaan” atau ma’rifat kepada-Nya. Dalam posisi ini menurut A. Mukti Ali, zuhud berarti menghindar dari berkehendak terhadap hal – hal yang bersifat duniawi atau ma siwa Allah. Berkaitan dengan ini al-Hakim Hasan menjelaskan bahwa zuhud adalah “berpaling dari dunia dan menghadapkan diri untuk beribadah melatih dan mendidik jiwa, dan memerangi kesenangannya dengan semedi (khalwat), berkelana, puasa, mengurangi makan dan memperbanyak dzikir”[4]. Zuhud disini berupaya menjauhkan diri dari kelezatan dunia dan mengingkari kelezatan itu meskipun halal, dengan jalan berpuasa yang kadang – kadang pelaksanaannya melebihi apa yang ditentukan oleh agama. Semuanya itu dimaksudkan demi meraih keuntungan akhirat dan tercapainya tujuan tasawuf, yakni ridla, bertemu dan ma’rifat Allah swt. Kedua, zuhud sebagai moral (akhlak) Islam, dan gerakan protes yaitu sikap hidup yang seharusnya dilakukan oleh seorang muslim dalam menatap dunia fana ini. Dunia dipandang sebagai sarana ibadah dan untuk meraih keridlaan Allah swt., bukan tujuan tujuan hidup, dan di sadari bahwa mencintai dunia akan membawa sifat – sifat mazmumah (tercela). Keadaan seperti ini telah dicontohkan oleh Nabi dan para sahabatnya[5]. Zuhud disini berarti tidak merasa bangga atas kemewahan dunia yang telah ada ditangan, dan tidak merasa bersedih karena hilangnya kemewahan itu dari tangannya. Bagi Abu Wafa al-Taftazani, zuhud itu bukanlah kependetaan atau terputusnya kehidupan duniawi, akan tetapi merupakan hikmah pemahaman yang membuat seseorang memiliki pandangan khusus terhadap kehidupan duniawi itu. Mereka tetap bekerja dan berusaha, akan tetapi kehidupan duniawi itu tidak menguasai kecenderungan kalbunya dan tidak membuat mereka mengingkari Tuhannya[6]. Lebih lanjut at-Taftazani menjelaskan bahwa zuhud adalah tidak bersyaratkan kemiskinan. Bahkan terkadang seorang itu kaya, tapi disaat yang sama diapun zahid. Ustman bin Affan dan Abdurrahman ibn Auf adalah para hartawan, tapi keduanya adalah para zahid dengan harta yang mereka miliki. Zuhud menurut Nabi serta para sahabatnya, tidak berarti berpaling secara penuh dari hal-hal duniawi. Tetapi berarti sikap moderat atau jalan tengah dalam menghadapi segala sesuatu, sebagaimana diisyaratkan firman – firman Allah yang berikut : ”Dan begitulah Kami jadikan kamu (umat Islam) umat yang adil serta pilihan”[7]. “Dan carilah apa yang dianugerahkan Allah kepadamu dari (kebahagiaan) negeri akhirat dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi”[8]. Sementara dalam hadits disabdakan : “Bekerjalah untuk duniamu seakan kamu akan hidup selamanya, dan bekerjalah untuk akhiratmu seakan kamu akan mati esok hari”[9] Faktor-faktor Zuhud Zuhud merupakan salah satu maqam yang sangat penting dalamtasawuf. Hal ini dapat dilihat dari pendapat ulama tasawuf yang senantiasa mencantumkan zuhud dalam pembahasan tentang maqamat,meskipun dengan sistematika yang berbeda – beda. Al-Ghazali menempatkan zuhud dalam sistematika : al-taubah, al-sabr, al-faqr, al-zuhud, al-tawakkul, al-mahabbah, al-ma’rifah dan al-ridla. Al-Tusi menempatkan zuhud dalamsistematika : al-taubah,al-wara’,al-zuhd, al-faqr,al-shabr,al-ridla,al-tawakkul, dan al-ma’rifah[10]. Sedangkan al-Qusyairi menempatkan zuhud dalam urutan maqam : al-taubah,al-wara’,al-zuhud, al-tawakkul dan al-ridla[11]. Jalan yang harus dilalui seorang sufi tidaklah licin dan dapat ditempuh dengan mudah. Jalan itu sulit,dan untuk pindah dari maqam satu ke maqam yang lain menghendaki usaha yang berat dan waktu yang bukan singkat, kadang – kadang seorang calon sufi harus bertahun – tahun tinggal dalam satu maqam. Para peneliti baik dari kalangan orientalis maupun Islam sendiri saling berbeda pendapat tentang faktor yang mempengaruhi zuhud. Nicholson dan Ignaz Goldziher menganggap zuhud muncul dikarenakan dua faktor utama,yaitu : Islam itu sendiri dan kependetaan Nasrani, sekalipun keduanya berbeda pendapat tentang sejauhmana dampak faktor yang terakhir[12]. Harun Nasution mencatat ada lima pendapat tentang asal – usul zuhud. Pertama, dipengaruhi oleh cara hidup rahib-rahib Kristen. Kedua, dipengaruhi oleh Phytagoras yang megharuskan meninggalkan kehidupan materi dalamrangka membersihkan roh. Ajaran meninggalkan dunia dan berkontemplasi inilah yang mempengaruhi timbulnya zuhud dan sufisme dalam Islam. Ketiga, dipengaruhi oleh ajaran Plotinus yang menyatakan bahwadalam rangka penyucian roh yangtelah kotor,sehingga bisa menyatu dengan Tuhan harus meninggalkan dunia. Keempat, pengaruh Budha dengan faham nirwananya bahwa untukmencapainya orang harus meninggalkan dunia dan memasuki hidup kontemplasi. Kelima, pengaruh ajaran Hindu yang juga mendorong manusia meninggalkan dunia dan mendekatkandiri kepada Tuhan untuk mencapai persatuan Atman dengan Brahman[13] Sementara itu Abu al’ala Afifi mencatat empat pendapat parapeneliti tentang faktor atau asal –usul zuhud. Pertama, berasal dari atau dipengaruhi oleh India dan Persia. Kedua, berasal dari atau dipengaruhi oleh askestisme Nasrani. Ketiga, berasal atau dipengaruhi oleh berbagai sumber yang berbeda- beda kemudian menjelma menjadi satu ajaran. Keempat, berasal dari ajaran Islam. Untukfaktor yang keempat tersebut Afifi memerinci lebih jauh menjadi tiga : Pertama, faktor ajaran Islam sebagaimana terkandung dalam kedua sumbernya, al-Qur’an dan al-Sunnah. Kedua sumber ini mendorong untukhidup wara’[14], taqwa dan zuhud. Kedua, reaksi rohaniah kaum muslimin terhadap sistemsosial politik dan ekonomi di kalangan Islam sendiri,yaitu ketika Islam telah tersebar keberbagai negara yangsudah barang tentu membawa konskuensi – konskuensi tertentu,seperti terbukanya kemungkinan diperolehnya kemakmuran di satu pihak dan terjadinya pertikaian politik interen umat Islam yang menyebabkan perang saudara antara Ali ibn Abi Thalib dengan Mu’awiyah,yang bermula dari al-fitnah al-kubraI yang menimpa khalifahketiga, UstmanibnAffan (35 H/655 M). Dengan adanya fenomena sosial politik seperti itu ada sebagian masyarakat dan ulamanya tidak inginterlibat dalamkemewahan dunia dan mempunyai sikap tidak mau tahu terhadap pergolakan yang ada,mereka mengasingkan diri agar tidak terlibat dalam pertikaian tersebut. Ketiga, reaksi terhadap fiqih dan ilmukalam, sebab keduanya tidak bisa memuaskan dalam pengamalan agama Islam. Menurut at-Taftazani, pendapat Afifi yang terakhir ini perlu ditelitilebih jauh, zuhud bisa dikatakan bukan reaksi terhadap fiqih dan ilmu kalam, karena timbulnya gerakan keilmuan dalamIslam, seperti ilmu fiqih dan ilmukalam dan sebaginya muncul setelah praktek zuhud maupun gerakan zuhud. Pembahasan ilmu kalam secara sistematis timbul setelah lahirnya mu’tazilah kalamiyyah pada permulaan abad II Hijriyyah, lebih akhir lagi ilmu fiqih,yakni setelah tampilnya imam-imam madzhab, sementara zuhud dan gerakannya telah lama tersebar luas didunia Islam[15]. Menurut hemat penulis,zuhud itu meskipun ada kesamaan antara praktek zuhud dengan berbagai ajaran filsafat dan agama sebelum Islam, namun ada atau tidaknya ajaran filsafat maupun agama itu, zuhud tetap ada dalam Islam. Banyak dijumpai ayat al-Qur’an maupun hadits yang bernada merendahkan nilai dunia, sebaliknya banyak dijumpai nash agama yangmemberi motivasi beramal demi memperoleh pahala akhirat dan terselamatkan dari siksa api neraka (QS.Al-hadid :19),(QS.Adl-Dluha : 4),(QS. Al-Nazi’aat : 37 – 40). Peralihan dari Zuhud ke Tasawuf Benih – benih tasawuf sudah ada sejak dalam kehidupan Nabi SAW. Hal ini dapat dilihat dalam perilaku dan peristiwa dalam hidup, ibadah dan pribadi Nabi Muhammad SAW. Sebelum diangkat menjadi Rasul, berhari –hari ia berkhalwat di gua Hira terutama pada bulan Ramadhan. Disana Nabi banyak berdzikir bertafakur dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Pengasingan diri Nabi di gua Hira ini merupakan acuan utama para sufi dalam melakukan khalwat. Sumber lain yang diacu oleh para sufi adalahkehidupan para sahabat Nabi yang berkaitan dengan keteduhan iman, ketaqwaan, kezuhudan dan budi pekerti luhur. Oleh sebab itu setiap orang yang meneliti kehidupan kerohanian dalam Islam tidak dapat mengabaikan kehidupan kerohanian para sahabat yang menumbuhkan kehidupan sufi di abad – abad sesudahnya. Setelah periode sahabat berlalu, muncul pula periode tabiin (sekitar abad ke I dan ke II H). Pada masa itu kondisi sosial-politik sudah mulai berubah darimasa sebelumnya. Konflik –konflik sosial politik yang bermula dari masa Usman bin Affan berkepanjangan sampai masa – masa sesudahnya.Konflik politik tersebut ternyata mempunyai dampak terhadap kehidupan beragama, yakni munculnya kelompok kelompok Bani Umayyah,Syiah, Khawarij, dan Murjiah. Pada masa kekuasaan Bani Umayyah, kehidupan politik berubah total. Dengan sistem pemerintahan monarki, khalifah – khalifah BaniUmayyah secara bebas berbuat kezaliman – kezaliman, terutama terhadap kelompok Syiah, yakni kelompok lawan politiknya yang paling gencar menentangnya.Puncak kekejaman mereka terlihat jelas pada peristiwa terbunuhnya Husein bin Alibin Abi Thalib di Karbala. Kasus pembunuhan itu ternyata mempunyai pengaruh yang besar dalam masyarakat Islam ketika itu. Kekejaman Bani Umayyah yang tak henti – hentinya itu membuat sekelompok penduduk Kufah merasa menyesal karena mereka telah mengkhianati Husein dan memberikan dukungan kepada pihak yang melawan Husein. Mereka menyebut kelompoknya itu dengan Tawwabun (kaum Tawabin). Untuk membersihkan diri dari apa yang telah dilakukan, mereka mengisi kehidupan sepenuhnya dengan beribadah. Gerakan kaumTawabin itu dipimpin oleh Mukhtar bin Ubaid as-Saqafi yang terbunuh di Kufah pada tahun 68 H[16]. Disamping gejolak politik yang berkepanjangan, perubahan kondisi sosialpun terjadi.halini mempunyai pengaruh yang besar dalampertumbuhan kehidupan beragama masyarakat Islam. Pada masa Rasulullah SAW dan para sahabat,secara umum kaum muslimin hidup dalam keadaan sederhana.KetikaBaniUmayyah memegang tampuk kekuasaan,hidup mewah mulai meracuni masyarakat, terutama terjadi di kalanganistana.Mu’awiyah bin Abi Sufyan sebagai khalifah tampak semakin jauh dari tradisi kehidupan Nabi SAW serta sahabat utama dan semakin dekat dengan tradisi kehidupan raja – raja Romawi. Kemudian anaknya,Yazid (memerintah 61 H/680 M – 64 H/683M), dikenalsebagai seorang pemabuk. Dalam sejarah, Yazid dikenal sebagai seorang pemabuk. Dalam situasi demikian kaummuslimin yang saleh merasa berkewajiban menyerukan kepada masyarakat untuk hidup zuhud, sederhana, saleh,dan tidak tenggelam dalam buaian hawa nafsu. Diantara para penyeru tersebut ialah Abu Dzar al-Ghiffari. Dia melancarkan kritik tajam kepada Bani Umayyah yang sedang tenggelam dalam kemewahan dan menyerukan agar diterapkan keadilan sosial dalam Islam. Dari perubahan –perubahan kondisi sosial tersebut sebagian masyarakat mulai melihat kembali pada kesederhanaan kehidupan Nabi SAW para sahabatnya. Mereka mulai merenggangkan diri dari kehidupan mewah.Sejak saat itu kehidupan zuhud menyebar luas dikalangan masyarakat. Para pelaku zuhud itu disebut zahid (jamak : zuhhad) atau karena ketekunan mereka beribadah, maka disebut abid (jamak : abidin atau ubbad) atau nasik (jamak : nussak)[17] Zuhud yang tersebar luas pada abad –abad pertama dan kedua Hijriyah terdiri atas berbagai aliran yaitu : Aliran Madinah Sejak masa yang dini,di Madinah telah muncul para zahid.Mereka kuat berpegang teguh kepada al-Qur’an dan al-sunnah, dan mereka menetapkan Rasulullah sebagai panutan kezuhudannya. Diantara mereka dari kalangan sahabat adalah Abu Ubaidah al-jarrah (w.18 H.), Abu Dzar al-Ghiffari (w. 22H.), Salman al-Farisi (w. 32 H.), Abdullah ibn Mas’ud (w. 33 H.), Hudzaifah ibn Yaman (w. 36 H.). Sementara itu dari kalangan tabi’in diantaranya adalah Sa’id ibn al-Musayyad (w. 91 H.) dan Salim ibn Abdullah (w. 106 H.). Aliran Madinah ini lebih cenderung pada pemikiran angkatan pertama kaum muslimin (salaf),dan berpegang teguh pada zuhud serta kerendah hatian Nabi. Selain itu aliran ini tidak begitu terpengaruh perubahan – perubahan sosial yang berlangsung pada masa dinasti Umayyah, dan prinsip – prinsipnya tidak berubah walaupun mendapat tekanan dari Bani Umayyah.dengan begitu, zuhud aliran ini tetap bercorak murni Islam dan konsisten pada ajaran –ajaran Islam. Aliran Bashrah Louis Massignon mengemukakan dalam artikelnya, Tashawwuf, dalam Ensiklopedie de Islam ,bahwa pada abad pertama dan kedua Hijriyah terdapat dua aliran zuhud yang menonjol. Salah satunya di Bashrah dan yang lainnya di Kufah. Menurut Massignon orang – orang Arab yang tinggal di Bashrah berasal dari Banu tamim. Mereka terkenal dengan sikapnya yang kritis dan tidak percaya kecuali pada hal – hal yang riil. Merekapun terkenal menyukai hal- hal logis dalam nahwu, hal – hal nyata dalam puisi dan kritis dalam hal hadits. Mereka adalah penganut aliran ahlus sunnah, tapi cenderung padaaliran – aliran mu’tazilah dan qadariyah. Tokoh mereka dalam zuhud adalah Hasan al-Bashri, Malik ibn Dinar, Fadhl al-Raqqasyi,Rabbah ibn ‘Amru al-qisyi, Shalih al-Murni atau Abdul Wahid ibn Zaid,seorang pendiri kelompok asketis di Abadan[18]. Corak yang menonjol dari para zahid Bashrah ialah zuhud dan rasa takut yang berlebih –lebihan.Dalam halini Ibn Taimiyah berkata : “Para sufi pertama –tama muncul dari Bashrah.Yang pertama mendirikan khanaqah para sufi ialah sebagian teman Abdul Wahid ibn Zaid, salah seorang teman Hasan al-Bashri.para sufi di Bashrah terkenal berlebih –lebihan dalam hal zuhud, ibadah, rasa takut mereka dan lain –lainnya, lebih dari apa yang terjadi di kota – kota lain”[19].Menurut Ibn Taimiyyah hal ini terjadi karena adanya kompetisi antara mereka dengan para zahid Kufah. Aliran Kufah Aliran Kufah menurutLouis Massignon, berasal dariYaman.Aliran ini bercorak idealistis, menyukai hal- hal aneh dalam nahwu, hal-hal image dalam puisi,dan harfiah dalam hal hadits.Dalam aqidah mereka cenderung pada aliran Syi’ah dan Rajaiyyah.dan ini tidak aneh, sebab aliran Syi’ah pertama kali muncul di Kufah. Para tokoh zahid Kufah pada abad pertama Hijriyah ialah ar-Rabi’ ibn Khatsim (w. 67 H.) pada masa pemerintahan Mu’awiyah, Sa’id ibn Jubair (w. 95 H.), Thawus ibn Kisan (w. 106 H.), Sufyan al-Tsauri (w. 161 H.) Aliran Mesir Pada abad – abad pertama dan kedua Hijriyah terdapat suatu aliran zuhud lain, yang dilupakan para orientalis, dan aliran ini tampaknya bercorak salafi seperti halnya aliran Madinah. Aliran tersebut adalah aliran Mesir. Sebagaimana diketahui, sejak penaklukan Islam terhadap Mesir, sejumlah para sahabat telah memasuki kawasan itu,misalnya Amru ibn al-Ash, Abdullah ibn Amru ibn al-Ash yang terkenal kezuhudannya, al-Zubair bin Awwam dan Miqdad ibn al-Aswad. Tokoh – tokoh zahid Mesir pada abad pertama Hijriyah diantaranya adalah Salim ibn ’Atar al-Tajibi. Al-Kindi dalam karyanya, al-wulan wa al-Qydhah meriwayatkan Salim ibn ‘Atar al-Tajibi sebagai orang yang terkenal tekun beribadah dan membaca al-Qur’an serta shalat malam, sebagaimana pribadi – pribadi yang disebut dalam firmanAllah :”Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam”. (QS.al-Dzariyyat, 51:17). Dia pernah menjabat sebagai hakim diMesir,dan meninggal di Dimyath tahun 75 H. Tokoh lainnya adalah Abdurrahman ibn Hujairah (w. 83 H.) menjabat sebagai hakim agung Mesir tahun 69 H. Sementara tokoh zahid yang paling menonjol pada abad II Hijriyyah adalah al-Laits ibn Sa’ad (w. 175 H.).Kezuhudan dan kehidupannya yang sederhana sangat terkenal. Menurut ibn Khallikan, dia seorang zahid yang hartawan dan dermawan, dll[20] Dari uraian tentang zuhud dengan berbagai alirannya, baik dari aliran Madinah, Bashrah, Kufah, Mesir ataupun Khurasan, baik pada abad I dan II Hijriyyah dapat disimpulkan bahwa zuhud pada masa itu mempunyai karakteristik sebagai berikut : Pertama : Zuhud ini berdasarkan ide menjauhi hal – hal duniawi, demi meraih pahala akhirat dan memelihara diri dari adzab neraka. Ide ini berakar dari ajaran –ajaran al-Qur’an dan al-Sunnah yang terkena dampak berbagai kondisi sosial politik yang berkembang dalam masyarakat Islam ketika itu. Kedua : Bercorak praktis, dan para pendirinya tidak menaruh perhatian buat menyusun prinsip – prinsip teoritis zuhud. Zuhud ini mengarah pada tujuan moral. Ketiga : Motivasi zuhud ini ialah rasa takut, yaitu rasa takut yang muncul dari landasan amal keagamaan secara sungguh –sungguh. Sementara pada akhir abad kedua Hijriyyah, ditangan Rabi’ah al-Adawiyyah, muncul motivasi cinta kepada Allah, yang bebas dari rasa takut terhadap adzab-Nya. Keempat : Menjelang akhir abad II Hijriyyah, sebagian zahid khususnya di Khurasan dan pada Rabi’ah al-Adawiyyah ditandai kedalaman membuat analisa, yang bisa dipandang sebagai fase pendahuluan tasawuf atau sebagai cikal bakal para sufi abad ketiga dan keempat Hijriyyah. Al-Taftazani lebih sependapat kalau mereka dinamakan zahid, qari’ dan nasik (bukan sufi). Sedangkan Nicholson memandang bahwa zuhud ini adalah tasawuf yang paling dini. Terkadang Nicholson memberi atribut pada para zahid ini dengan gelar “para sufi angkatan pertama”. Suatu kenyataan sejarah bahwa kelahiran tasawuf bermula dari gerakan zuhud dalam Islam.Istilah tasawuf baru muncul pada pertengahan abad III Hijriyyah oleh Abu Hasyim al-Kufy (w.250 H.) dengan meletakkan al-sufy di belakang namanya. Pada masa ini para sufi telah ramai membicarakan konsep tasawuf yang sebelumnya tidak dikenal.Jika pada akhir abad II ajaran sufi berupa kezuhudan, maka pada abad ketiga ini orang sudah ramai membicarakan tentang lenyap dalam kecintaan (fana fi mahbub), bersatu dalam kecintaan (ittihad fi mahbub), bertemu dengan Tuhan (liqa’) dan menjadi satu dengan Tuhan (‘ain al jama’)[21]. Sejak itulah muncul karya –karya tentang tasawuf oleh para sufi pada masa itu seperti al-muhasibi (w. 243 H.), al-Hakim al-Tirmidzi (w. 285 H.), dan al-Junaidi (w. 297 H.). Oleh karena itu abad II Hijriyyah dapat dikatakan sebagai abad mula tersusunnya ilmu tasawuf. Kesimpulan Zuhud adalah fase yang mendahului tasawuf. Munculnya aliran –aliran zuhud pada abad I dan II H sebagai reaksi terhadap hidup mewah khalifah dan keluarga serta pembesar – pembesar negara sebagai akibat dari kekayaan yang diperoleh setelah Islam meluas ke Syiria, Mesir, Mesopotamia dan Persia. Orang melihat perbedaan besar antara hidup sederhana dari Rasul serta para sahabat. Pada akhir abad ke II Hijriyyah peralihan dari zuhud ke tasawuf sudah mulai tampak. Pada masa ini juga muncul analisis –analisis singkat tentang kesufian. Meskipun demikian,menurut Nicholson,untuk membedakan antara kezuhudan dan kesufian sulit dilakukan karena umumnya para tokoh kerohanian pada masa ini adalah orang – orang zuhud. Oleh sebab itu menurut at-taftazani,mereka lebih layak dinamai zahid daripadasebagai sufi. Bacaan lanjutan Aceh, Abu Bakar, Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawuf, Solo, Ramadhani,1984. Al-Taftazani, Abu al-Wafa, al-Ghanimi, Madkhal ila al-Tasawwuf al-Islamy, Qahirah, Dar al-Tsaqafah , 1979. Sufi dari Zaman ke Zaman, terj.Ahmad Rofi Utsman, Bandung, Pustaka, 1997. Al-Tusi,Nasr al-Sarraj al-Luma’, Mesir,dar al-Kutub al-Hadisah,1960 Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jakarta, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1993 Hasan, Abd-Hakim, al-Tasawuf fi Syi’r al-Arabi,Mesir,al-Anjalu al-Misriyyah,1954 Munawir,Ahmad warson, al-Munawwir : Kamus Arab – Indonesia, PP. al-Munawwir,Yogyakarta, 1984 Nasution, Harun, Prof. Dr., Falsafat dan Mistisme dalam Islam, Jakarta, Bulan Bintang,1995 Nicholson, A. Reynold,The Mistic of Islam, terj. BA, Jakarta, Bumi Aksara,1998 Syukur, Amin,Prof. Dr., Menggugat Tasawuf,Yogyakarta,Pustaka Pelajar, 2002 Zuhud di Abad Modern,Yogyakarta, Pustaka Pelajar,2000 Taimiyah, ibn, al-Shuffiyyah wa al-Fuqoro’, kairo, Mathba’ah al-Manar,1348 H. Nota kaki Prof. Dr. Harun Nasution, Falsafat dan Mistisme dalam Islam, (Jakarta : Bulan Bintang), 1995, hlm. 64 Ahmad Warson Munawir, Al-Munawir : Kamus Arab – Indonesia, PP. Al-Munawiwir, Yogyakarta, 1984, hlm. 626. Prof. Dr. Amin Syukur MA, Zuhud di Abad Modern, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar), 2000, hlm. 1 Abd. Hakim Hasan, al-Tasawuf Fi Syi’r al-Arabi, (Mesir : al-Anjalu al-Misriyyah), 1954, hlm. 42. Lihat juga Prof. D. Amin Syuku MA, Zuhud…, op.cit, hlm. 2 Ibid., hlm. 3 Dr. Abu al-Wafa al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, (Bandung : Pustaka), 1977, hlm. 54 QS. Al-Baqarah, 2:143 QS. Al-Qashash, 28:77 Lihat al-Taftazani, Sufi …, op.cit., hlm. 55 Al-Tusi, Al-Luma’,(Mesir : Dar al-Kutub al-Hadisah), 1960, hlm. 65 Lihat Harun Nasution, falsafat …,op.cit., hlm. 62-63 Dr. Abu al-wafa al-Ghanimi al-Taftazani,Sufi…,op.cit.,hlm. 56-57 Ibid., hlm. 58-59; lihat juga Prof.Dr. Amin Syukur MA,Zuhud…,op.cit.,hlm. 4-5; Bandingkan dengan Reynold A. Nicholson, Mistik Dalam Islam, (Jakarta : Bumi Aksara),1998,hlm. 8-21 Istilah wara’ sering dipakai dalam dunia tasawuf, arti dari istilahtersebut adalah sikap menjaga diri dan membentenginya dari hal-hal yang tidak jelas hukumnya, atau dengan kata lain menjaga diri daribarang yang syubhat. Prof.Dr.Amin Syukur MA, Zuhud…,op.cit., hlm. 5-6;lihat juga al-Taftazani,Sufi…,op.cit.,hlm. 58 dan 250 Dewan Redaksi EndiklopediIslam, Ensiklopedi Islam, (Jakarta.PT.Ichtiar Baru Van Joeve), 1993, hlm.80- 81 Ibid., hlm. 82 Abu al-Wafa al-Ghanimi al-Taftazani, Madkhal ila al-Tasawwuf al-Islamy, (Qahirah al-Tsaqafah),1979,hlm. 72 – 75 Ibn Taimiyyah,al-Shuffiyyah wa al-Fuqara’, (Kairo : Mathba’ah al-Manar), 1348 H.,hlm. 3-4 Abu al-Wafa al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi…,op.cit., hlm. 68-80 Abu BakarAceh,Pengantar Sejarah Sufi dan tasawuf, (Solo : Ramadlani), 1984,hlm.57 © 2008-2019

Sejarah Sufi

Sejarah Sufi Banyak sekali kajian sejarah mengenai Tasawuf atau Sufi. Ada sejumlah pendekatan yang dilakukan untuk menganalisa lintasan sejarah Tasawuf atau Thariqat Tasawuf, antara lain: 1. Kajian terhadap teks-teks Al-Qur’an dan Sunnah Nabi yang berkaitan dengan dimensi Sufistik. 2. Kajian terhadap profil para tokoh Sufi dengan pemikiran, pandangan, tindakan dan karya-karyanya. 3. Kajian falsafah dibalik ungkapan Sufistiknya. 4. Kajian praktik Sufistik dan Thariqatnya dari masa ke masa. 5. Kisah-kisah Sufi. Sebagaimana diketahui Islam lahir dibawa oleh Rasulullah Muhammad saw. dengan doktrin-doktrin keagamaan,bersifat lahiriyah mahupun batiniyah. Kedua doktrin tersebut bermuara pada satu titik, yang disebut dengan Titik Tauhid. Iaitu mengEsakan Allah swt. baik dalam keyakinan mahupun amaliyah ummat manusia. Oleh sebab itu, kelak akan muncul sejumlah istilah atau terminologi dalam ilmu-ilmu Islam sebagai pendekatan lain dari pemahaman amaliyah Islam itu sendiri. Unsur-unsur Tauhid (teologi) dalam tradisi sejarah Islam, lebih banyak pendapat ketika Rasulullah Muhammad saw, berada di Makkah, baru ketika hijrah ke Madinah sejumlah doktrin tentang amaliyah yang kelak disebut dengan doktrin Syari’at diturunkan. Lebih jauh tentang kajian sejarah berpendapat doktrin keagamaan antara masa Makkah dan Madinah ini, boleh dilihat dari beberapa kitab tentang Asbabun Nuzul, iaitu kajian tentang sebab-sebab turunnya ayat Al-Qur’an, dan Asbabul Wurud, berkait dengan sebab-sebab munculnya hadits Nabi saw. Sementara itu, fungsi-fungsi hadits Nabi antara lain menjelaskan praktik Al-Qur’an, — dan kerananya kedudukan Hadits juga setara dengan Wahyu – lebih banyak memberikan petunjuk yang bersifat sejarah, iaitu kepentingan-kepentingan zaman saat itu, walaupun, kedua sumber agama itu tetap bersifat universal dan sejarah. Apalagi ketika, sumber-sumber tersebut dibuat telah seputar dunia esoteris, maka fungsi-fungsi sejarah hanya sebagai pelengkap belaka, selebihnya justru elemen-elemen fundamental akan muncul sebagai landasan pandangannya. Seluruh ummat Islam pada masa Rasulullah saw, baik ketika di Makkah mahupun di Madinah, sama sekali tidak memunculkan potensi-potensi konflik, apalagi muncul suatu kontradiksi , baik dari segi pemahaman keagamaan mahupun ritual keagamaan, bahkan dalam praktik kehidupan sehari-hari. Hal demikian kerana ummat Islam terikat suatu kesepakatan terhadap kedua sumber utama praktik ibadah mereka, sementara Rasul Muhammad saw, menjadi rujukan utama setiap masalah, sekaligus menjadi hakim atas semua persoalan yang muncul. Tetapi perbezaan mulai muncul, terutama dalam soal pandangan yang bersifat publik, iaitu mengenai Khilafah paska Rasulullah saw, sepeninggal beliau. Perbezaan pandangan ini memuncak ketika masa Khalifah Utsman bin Affan – ra, dan Ali bin Abi Thalib – semoga Allah memuliakan wajahnya –. Kelak perbezaan ini turut mewarnai munculnya paksi-paksi dalam praktik Islam, dan turut memberikan warna terhadap sejarah perkembangan Tasawuf itu sendiri, yang beriringan dengan dinamika sejarah Teologi dan mazhab-mazhab fiqih. Istilah-istilah yang menjadi terminologi dalam Tasawuf, juga tidak pernah terekam, secara akademis dalam sejarah masa Islam awal. Bahkan di zaman Nabi kata Sufi, kata Syari’at, Hakikat, atau pun Thariqat, tidak dimunculkan sebagai istilah tersendiri dalam praktik keagamaan. Semata, kerana para Sahabat dan Tabi’in, adalah sekaligus para pelaku Syari’at, Thariqat dan Hakikat, dalam hariannya. Hanya satu setengah abad kemudian, istilah-istilah itu muncul dengan terminologi tersendiri, dalam kerangka memudahkan praktik ke-Islaman yang sebenarnya. Untuk melihat sejarah Tasawuf, definisi seputar Tasawuf dari para pelaku serta tokoh-tokohnya sangat membantu alur sejarah itu hingga dewasa ini. Pada zaman Nabi saw. kita mengenal istilah yang sangat komprehensif mengenai dunia esoteris, yang disebut dengan Al-Ihsan. Dalam riwayat Al-Bukhari, disebutkan oleh Rasulullah saw, dalam sabdanya: “Hendaknya engkau menyembah kepada Allah seaakan-akan engkau melihatNya, maka apabila engkau tidak melihatNya sesungguhnya Dia melihatmu.” (H.r. Bukhari) Istilah Al-Ihsan tersebut, dalam praktiknya, memunculkan tradisi agung dalam Islam, iaitu amaliyah batin yang kekal membangunkan suatu akademi esoteris yang luar biasa. “Seakan-akan melihat Allah dan Allah melihatnya,” adalah puncak dari prestasi moral seorang hamba Allah disaat sang hamba berhubungan denganNya. Proses-proses berhubungan itulah yang kemudian diatur dalam praktik Tasawuf. Kerana dalam setiap tradisi Thariqat Tasawuf yang memiliki sanad sampai kepada Rasulullah saw. – kelak disebut dengan Thariqat Mu’tabarah – menunjukkan bahawa tradisi Sufistik sudah berlangsung sejak zaman Rasulullah saw. Hanya saja tradisi tersebut tidak terpublikasi secara massif mengingat dunia esoteris adalah dunia spesifik, dimana tidak semua khalayak menerimanya. Doktrin-doktrin Zikir dan pelaksanaannya yang dilakukan melalui Baiat pada Rasulullah saw. menggambarkan hubungan-hubungan saikologi antara Rasul saw. ketika itu dengan sahabat dan Allah swt. Di lain pihak, tradisi akademi Tasawuf nantinya melahirkan produk-produk penafsiran esoterik atau metafisik, terhadap khazanah Al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Selain Al-Qur’an secara khusus punya penekanan terhadap soal-soal Tasawuf, ternyata seluruh kandungan Al-Qu’ran juga mengandung dimensi batin yang sangat unik. Jadi tidak ada alasan sama sekali untuk menolak Tasawuf, hanya kerana beralasan bahawa Tasawuf tidak ada dalam Al-Qur’an. Padahal seluruh kandungan Al-Qur’an tersebut mengandung dua hal: zahir dan batin, syari’at dan hakikat. Prof. Dr. Said Aqiel Siradj mencatat bahawa istilah Tasawuf, kebanyakan rujukan menyebutkan muncul dari Ma’rif al-Karkhy (w. 200). Namun Said Aqil cenderung berpihak pada Abu Abdillah (Abu Musa) Jabir bin Hayyan bin Abdillah al-Kufi al-Azdy (w. 161 H.) salah satu murid dari Ja’far ash-Shadiq yang terkenal dengan temuannya, Aljabar. Jabir bin Hayyan inilah yag pertama kali mendapat gelar sebagai Sufi, kerana sebagai seorang ilmuwan matematik dan kimia, Jabir justru memasuki dunia Sufi dengan segala penemuannya. Kesadaran Jabir bin Hayyan memasuki dunia Sufi bermula dari aksioma Dhomir (kata ganti): Ana (aku, orang pertama), Huwa (dia, orang ketiga) dan Anta (kamu, orang kedua). Ketiga kata ganti tersebut boleh melekat pada satu orang, semisal Ahmad. Ketika ia menyebut dirinya pasti menggunakan kata ganti Ana, jika ia tidak ada ditempat maka ia disebut dengan Dia, sementara ketika ia ada di hadapan Anda, maka Anda menyebutnya Anta. Lalau kemana larinya Ana, Anta, Huwa, setelah Ahmad meninggal dunia? Jabir menyimpulkan bahawa semua dlomir yang yang disandang itu kembali kepada Yang berhak mempunyai Ana, Anta dan Huwa, iaitu Allah swt. Baru pada abad ketiga hijriyah dinamika tasawuf baru pada taraf Tasawuf Sunni (akhlaqy). Baru kemudian menurut Said Aqil, berkembang Tasawuf Falsafi sebagaimana digaungkan oleh Abu Yazid al-Bistamy (w.261H.), disusul Abu Mansur Al-Hallaj (w.309) masing-masing dengan teori Al-fana’ dan Anal Haq. Dua abad berikutnya muncullah as-Suhrawardi al-Maqtul dengan pandangan Isyraqynya, disusul Muhammad bin Abu Bakr Ibrahim bin Abi Ya’kub Ishak al-Aththar (w. 621 H), memperkenalkan teori Al-Ittihad. Hampir boleh diskatakan bahawa puncak prestasi dari Tasawuf falsafy itu pada Ibnu Araby. Abdurrahman as-Sulamy (W. 412 H) dalam kitabnya Thabaqatus Shufiyah, membagi generasi Sufi menjadi lima masa hingga peridodenya. Kitab Thabaqatus Shufiyah tersebut sangat berperan besar dalam menyatukan visi besar kaum Shui, mengingat ucapan-ucapan para tokoh Shufi dikutip di sana, bahkan dengan sejumlah landasan Al-Qur’an dan as-Sunnah. Sebelumnya Ulama dan Sufi besar ini menulis buku yang cukup bagus pula, Tarikhus Shufiyah. Sebelumnya para Ulama Shufi juga menulis, walaupun tidak sekomprehensif As-Sulamy, beberapa kitab tentang sejarah dan biografi para Sufi. Antara lain: Thabaqatun Nusaak, karya Abu Sa’id Ibnul A’raby (W. 341 H) yang sering dibuat rujukan utama oleh Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliya’. Akhbarush-Shufiyah waz-Zuhad, tulisan Muhammad bin Dawud bin Sulaiman, yang populer dengan Abu Bakr an-Naysabury (W. 342 H.) Tarikhush-Shufiyah , karya Ahmad bin Muhammad bin Zakaria an-Nasawy az-Zahid (W. 396 H). As-Sulamy dalam Thabaqat, merinci sejumlah nama besar dari seluruh masa itu, dengan lima generasi. Generasi ini menurut As-Sulamy adalah generasi terbaik, yang meletakkan dasar-dasar utama Sufi, dan masuk dalam katergori sabda Rasulullah saw: “Sebaik-baik ummat manusia adalah generasi abadku, kemudian generasi abad yang berikutnya, lalu generasi abad berikutnya…” (H.r. Bukhari) Generasi inilah yang juga pernah diprediksi oleh Rasulullah saw, dalam sabdanya: “Ummatku senantiasa ada empat puluh orang, berperilaku dengan budi pekeri Ibrahim Al-Khalil Alaihissalam, manakala ada suatu perkara datang, mereka diserahi.” Generasi pertama sampai generasi kelima, berjumlah 100 tokoh Sufi, masing-masing generasi terdiri 20 tokoh: Generasi pertama : Al-Fudhail bin ‘Iyadh; Dzun Nuun al-Mishry; Ibrahim bin Adham; Bisyr Al-Hafy; Sary as-Saqathy; Al-Harits al-Muhasiby; Syaqiq al-Balkhy; Abu Yazid al-Bisthamy; Abu Sulaiman ad-Darany; Ma’ruf Al-Karkhy; Hatim al-Asham; Ahmad bin Abil Hawary; Ahmad bin Hadhrawiyah; Yahya bin Mu’adz ar-Razy; Abu Hafsh an-Naysabury; Hamdun al-Qashshar; Manshur bin Ammar; Ahmad bin Ashim al-Anthaky; Abdullah bin Khubaiq al-Anthaky dan Abu Turab an-Nakhsyaby. Generasi Kedua : Abul Qasim al-Junaid; Abul Husayn an-Nuury; Abu Utsman al-Hiry an-Naysabury; Abu Abdullah ibnul Jalla’; Ruwaim bin Ahmad al-Baghdady; Yusuf bin ibnul Husain ar-Razy; Syah al-Kirmany; Samnun bin Hamzah al-Muhibb; Amr bin Utsman al-Makky; Sahl bin Abdullah at-Tustary; Muhammad bin Fadhl al-Balkhy; Muhammad bin Ali at-Turmudzy; Abu Bakr al-Warraq; Abu Sa’id al-Kharraz; Ali bin Sahl al-Asbahany; Abul Abbas bin Masruq ath-Thusy; Abu Abdullah al-Maghriby; Abu Ali az-Juzajany; Muhammad dan Ahmad, keduanya putra Abul Ward; Abu Abdullah As-Sijzy. Generasi Ketiga : Abu Muhammad al-Jurairy; Abul Abbas bin Atha’ al-Adamy; Mahfud bin Mahmud an-Naisabury; Thahir al-Muqaddasy; Abu Amr ad-Dimasyqy; Abu Bakr bin Hamid At-Turmudzy; Abu Ishaq Ibrahim al-Khawash; Abdullah bin Muhammad al-Kharraz ar-Razy; Bunan bin Muhammad al-Jamal; Abu Hamzah al-Baghdady al-Bazzaz; Abul Husayn al-Warraq an-Naisabury; Abu Bakr Al-Wasithy; Al-Husayn bin Mashur al-Hallaj; Abul Husayn bin as-Shaigh ad-Dainury; Mumsyadz ad-Dinawary; Ibrahim al-Qashshar; Khairun Nasaj; Abu Hamzah al-Khurasany; Abu Abdullah ash-Shubaihy; Abu Ja’far bin Sinan. Generasi Keempat : Abu Bakr asy-Syibly; Abu Muhammad al-Murtaisy; Abu Ali ar-Rudzbary; Abu Ali Ats-Tsaqafy; Abdullah bin Muhammad bin Manazil; Abul Khair al-Aqtha’ at-Tinaty; Abu Bakr al-Kattany; Abu Ya’qub an-Nahrajury; Abul Hasan al-Muzayyin; Abu Ali ibnul Katib; Abul Husayn bin Banan; Abu Bakr bin Thohir al-Abhury; Mudzaffar al-Qurmisainy; Abu Bakr bin Yazdaniyar; Abu Ishaq Ibrahim ibnul Maulid; Abu Abdullah bin Salim al-Bashry; Muhammad bin Alyan an-Nasawy; Abu Bakr bin Abi Sa’dan. Generasi Kelima : Abu Sa’id ibnul A’raby; Abu Amr az-Zujajy; Ja’far bin Muhammad al-Khuldy; Abul Abbas al-Qasim as-Sayyary; Abu Bakr Muhammad bin Dawud ad-Duqqy; Abu Muhammad Abdullah bin Muhammad asy-Sya’’any; Abu Amr Ismail bin Nujaid; Abul Hasan Ali bin Ahmad Al-Busyanjy; Abu Abdullah Muhammad bin Khafif; Bundar ibnul Husayn as-Syirazy; Abu Bakr ath-Thimistany; Abul Abbas Ahmad bin Muhammad ad-Dainury; Abu Utsman Said bin Salam al-Maghriby; Abul Qasim Ibrahim bin Muhammad an-Nashruabadzy; Abul Hasan Ali bin Ibrahim al-Hushry; Abu Abdullah at-Targhundy; Abu Abdullah ar-Rudzbary; Abul Hasan Ali bin Bundar ash-Shairafy; Abu Bakr Muhammad bin Ahmad asy-Syabahy; Abu Bakr Muhammad bin Ahmad al-Farra’; Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Muqry’ dan Abul Qasim Ja’far bin Ahmad al-Muqri’; Abu Muhammad Abdullah bin Muhammad ar-Rasy; Abu Abdullah Muhammad bin Abdul Khaliq ad-Dinawary. Setelah masa As-Sulamy muncul beberapa Sufi seperti Abul Qasim al-Qusyairy, disusul prestasi puncak pada Abu Hamid Al-Ghazali ( yang bergelar Hujjatul Islam), kemudian Syeikh Abdul Qadir al-Jilany, Ibul Araby, dan Sultanul Auliya Syeikh Abul Hasan- Asyadzily. Dari seluruh tokoh sufi di atas, melahirkan banyak mazhab Tasawuf yang kelak muncul dalam cara-cara Thariqat. Semula arti Thariqat itu sendiri adalah metode atau sistem. Berikutnya Thariqat melibatkan komunitas sufistik yang tergabung dalam cara tersebut, sehingga menjadi semacam organisasi spiritual Islam. Related posts

Salah Faham Terhadap Dunia Sufi

Salah Faham Terhadap Dunia Sufi Sementara kaum yang anti Tarekat Sufi merasa telah bercermin dengan benar, padahal mereka tidak mengetahui jika cermin yang digunakan itu adalah cermin yang buram, retak, dan cara bercermin yang keliru. Ketika mereka menuding orang lain, sesusungguhnya mereka sedang menuding diri sendiri. Kata-kata yang muncul dari para Sufi sesungguhnya harus difahami menurut kesimpulan Bathiniyah dari kandung Al-Qur’an dan Sunnah. Misalnya ketika seseorang mempraktikkan Ihsan, “Seakan-akan engkau melihat Allah, dan jika tidak melihatNya, Allah melihatmu” pastilah menimbulkan pantulan cahaya Ubudiyah yang agung dengan sesuai dengan kondisi psikholohis rohani masing-masinghamba Allah. Pantulan cahaya Ilahi inilah yang tidak boleh difahami oleh orang yang tidak pernah mengalami perjalaan rohani keimanan dan keihsanan. Mukasyafah atau keterbukaan Rahsia Ilahi adalah Hak Allah yang diberikan kepada yang dikehendakiNya. “Allah berbuat sebagaimana yang dikehendakiNya.” Termasuk menghendaki hambaNya untuk mengetahui yang ghaib, Rahsia takdir, dan Rahsia alam semesta raya, baik yang fizik maupun yang metafizik. Diantara Rahsia yang dianugerahkan oleh Allah kepada para Sufi adalah mengenal Rahsia huruf hijaiyah dalam Al-Qur’an. Sebab, hakikat huruf-huruf itu adalah Asma’ Allah, dipastikan memiliki hubungan korelatif dan apresiatif secara berkuasa dengan kehidupan hamba, alam semesta bumi langit seisinya, dan alam akhirat, bahkan Asma’, Sifat, Af’al dan DzatNya. Mereka menuduh bahawa kaum Sufi menjauhi Qur’an dan Hadits, lalu mendahulukan mukasyafah. Ini tuduhan yang salah benar, kerana seluruh aspek Mukasyafah sesungguhnya merupakan penafsiran dari Al-Qur’an dan Sunnah itu sendiri. Setiap Mukasyafah harus ditimbang dengan Qur’an dan Sunnah, hal demikian sangat popular di kalangan Sufi. Kerana itu dalam dunia Sufi, sangat dibezakan mana yang bisikan Jin, Syaitan, Malaikat, Ilham, dan yang langsung dari Allah. Ibnu Abbas ra, sendiri telah menegaskan bahawa dirinya diberi Ilmu oleh Allah Ta’ala, sebahagian boleh disebarkan (umum), dan sebahagian bila disebarkan justeru ia akan dikafirkan dan dibunuh oleh banyak orang. Ertinya, aspek Mukasyafah sangatlah individual, dan memang tidak boleh diungkapkan kecuali pada ahlinya atau orang tertentu yang relevan dengan manfaat dunia akhiratnya. Mengenai Wihadatul Wujud, Hulul, Al-Faidl (ilmuniasi), sesungguhnya justeru tidak ada dalam dunia Sufi. Yang ada adalah Widatus Syuhud. Orang yang pertama kali mengatakan Wahdiatul Wujud adalah Ibnu Taymiyah yang memang anti dengan pengalaman Dunia Sufi. Ia menuduh Sufi itu Wahdiatul Wujud, sebuah tundingan yang jauh dari pengalaman rohani Sufistik. Kerana Wahdiatul Wujud sering diertikan dengan panteisme, sedang konsep Sufi tentang penyatuan hamba dan Allah jauh dari panteisme. Penyatuan itu bersifat rohani dan musyahadah (penyaksian mata hati, mata ruh dan mata Rahsia batin. Bukan wujud fizik. Hal demikian pun diurai secara lembut melalui kaedah-kaedah Sufi agar tidak menyimpang dari Tauhid, sebagaimana dijelaskan secara rinci oleh Ibnu Athaillah as-Sakandary dalam kitab Al-Hikam. Kalau kita membaca Al-Qur’an dengan pandangan kulitnya, formula dan penafsiran ayat belaka, maka kita pun ketika memahami wacana Sufi juga akan terjebak sedemikian rupa. Kerana itu dalam tradisi Sufi harus ada Mursyid Kamil Mukammil yang membimbing, agar mereka tidak terkena ghurur (tipudaya) dalam menempuh perjalanan menuju kepada Allah. Tidak begitu mudah orang memahami pandangan Ibnu Araby, Abu Yazid al-Bisthamy, Junaid al-Baghdady, Bisyr Al-Hafy, Syeikh Abdul Qadir al-Jilany, Abdul Karim al-Jily, Al-Hallaj, maupun Abul Hasan asy-Syadzily. Bagaimana anda boleh memahami erti tenggelam di lautan, sementara anda belum pernah tenggelam, dan hanya mendengarkan kisah tentang orang tenggelam saja? Tiba-tiba anda sudah merasa tenggelam? Mengenai akidah Sufi tentang Rasulullah, tentang para Wali, tentang Fir’aun dan Iblis, Syurga dan neraka, bahkan pengalaman-pengalaman para Sufi akan kita jawab secara bersambung di edisi berikutnya. Tuduhan terhadap Dunia Wali Mereka menuduh kaum Sufi, dengan suatu tundingan keliru. Diantara tundingan mereka yang kontra pada dunia Sufi, tentang Kewalian antara lain: 1. Sufi dituduh mengutamakan Wali daripada Nabi. 2. Para Wali dianggap sama dengan Allah dalam setiap sifatNya, bermula dari salah paham mereka mempersepsi tentang ragam dunia Wali dengan tugas-tugas rohani masing-masing, seakan-akan tugas itu menyamai tugas Allah. 3. Para Wali seperti memiliki dewan, majlis, berkumpul di gua Hira untuk menunggu takdir. Tiga tundingan itulah yang membuat orang salah paham terhadap dunia Sufi. JAWAPAN Ummat Islam sepakat adanya para Auliya’ atau kekasih-kekasih Allah. Bahkan mereka yang kontra terhadap dunia Tasawuf pun memiliki definisi khusus, menurut penafsiran rasmi mengenai para Wali ini, yang tentu saja berbeza jauh antara langit dan bumi dengan pemahaman kaum sufi. 1. Kaum Sufi tidak pernah menempatkan darjat para Wali lebih unggul dibanding para Nabi dan Rasul. Para Auliya adalah sebagai pewaris dan pemegang amanah Risalah setelah Nabi Muhammad SAW wafat. Sebagai Khalifah dan sekaligus juga sebagai pewaris Nubuwwah. Jika, muncul ungkapan-ungkapan kehebatan para Auliya dalam kitab-kitab Tasawuf, sama sekali tidak ada satu pun kata atau isyarat yang menunjukkan keunggulan maqam Auliya’ dibanding maqam Anbiya dan Rasul. Semata hanya ingin memperkenalkan jika para Auliya’ diberi karomah (hal-hal yang di luar nalar akal rasional) oleh Allah swt, apalagi para Anbiya dan Mursalin. 2. Para Sufi yang diangkat darjatnya oleh Allah meraih maqam Kewalian atas KehendakNya, diberi anugerah, fadlal dan rahmatNya, menurut kehendakNya. Kesalahpamahan mereka yang kontra terhadap dunia Wali semacam ini bersumber pada fenomena karomah, fenomena hikmah-hikmah terdalam yang tidak boleh dipahami oleh mereka, kerana hanya merujuk pada teks Qur’an dan Hadits tanpa mengenal hakikat kedalaman dibalik ayat-ayat Al-Qur’an dan Sunnah itu. Apakah anda tega menyalahkan Syeikh Abdul Qadir al-Jilany, Abul Hasan Asy-Syadzily, Hujjatul Islam al-Ghazaly, Ibnu Araby. Al-Bisthamy, Asy-Syibly, Junaid al-Bahgdady, para Imam Mazhab, yang sangat terkenal sebagai para Auliya’ Allah, dan sama sekali mereka jauh dari persepsi anda tentang kewalian itu? Padahal mereka adalah para penjaga Al-Qur’an dan as-Sunnah, para pelestari tradisi Syariat, Tarekat dan hakikat Risalah Nabi besar Muhammad SAW. Jadi jika ada Istilah Abdal sebagaimana juga pernah disebut oleh Nabi Muhammad SAW, tentu saja, tidak gampang memahami tugas-tugas para Wali itu. Sedangkan siapa pun dalam menjelajah dunia rohani, metafizika, dunia hakikat sentiasa justeru akan diolah (tersesat) sepanjang perjalanannya tidak dibimbing oleh Wali yang Mursyid, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an: “Siapa yang sesat (jalan menuju kepada Allah) maka ia tidak akan pernah menemukan Wali yang Mursyid”. Kriteria Wali Mursyid tentu tidak sesederhana yang mereka pahami. Kata Iman dan Taqwa saja, sangat berlapis-lapis kedalamannya, dan beragam pula wilayah implementasinya dalam dunia jiwa para hamba Allah. Apakah sebegitu mudah orang mengaku menjadi Wali Allah, hanya kerana merasa beriman dan merasa bertaqwa dan bahkan mengaku merasa dirinya beramal soleh? Sedangkan tahap agar hamba Allah boleh bebas dari rasa takut dan gelisah saja sulitnya bukan main. Gelisah terhadap cubaan dunia dan cubaan akhirat, takut terhadap fitnah dunia dan siksa akhirat, pun manusia akan sulit membebaskan psikhologinya. Padahal para Wali itu tidak pernah takut dan tidak pernah susah, sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an. Inilah yang dipresentasikan dunia Tasawuf sebagai tradisi ilmu-ilmu Islam bidang hakikat, yang juga boleh difahami manaka melalui pendekatan hakikat pula, dengan logika bathiniyah yang suci. Sebab wilayah hakikat bukanlah wilayah rasional ujian, juga bukan wilayah inderawi. Itu pun harus dalam bimbingan mereka yang telah meraih kesempurnaan hakikat sebagai Insan Kamil. Kerana itu Ibnu Araby, membagi komuniti para auliya’ menurut komuniti kebajikan yang disebut dalam berbagai ayat Al-Qur’an, semisal, komuniti Sholihun, Muhsinun, Shobirun, Syakirun, Dzakirun, Mujahidun, Muttaqun, ‘Aminun, Mukhlishin, Mukhlashin, ‘Abidun, dan ratusan komuniti Sholeh disana yang tentu saja, merupakan kelayakan moral yang begitu dalam. Jika Allah menyebutkan suatu kelompok moral, dengan menggunakan istilah tertentu, pasti memilki Rahsia tertentu pula. Kata Robb, beza dengan kata Ilah, beza lagi dengan penyebutan yang menggunakan Sifat dan Asma’ sepetri Al-Khaliq, Al-Bari’, al-Mushowwir, misalnya. Munculnya istilah Ghauts, Quthub, Abdal, Nuqaba’, Nujaba’, tentu memiliki dasar-dasar yang tersirat dalam Al-Qur’an dan Sunnah, dan tugas-tugas amanah kewaliyan mereka tentu Allah sendiri Yang Maha Tahu, yang dengan KemahakuasaanNya, dan Irodah MutlakNya, memberikan wewenang dan tugas khusus. Dan semua tugas itu juga dalam rangka meneruskan amanah Rasul SAW. 3. Soal adanya dewan para Wali, sesungguhnya juga tidak boleh disamakan sebagaimana kita memahami majlis sosial politik, dengan dewan pimpinan tertentu itu, dengan cara pemilihan ketua dewan atau ketua organisasi. Bahawa dalam dunia Kewalian ada hirarki struktur secara rohani, pasti sangat berbeza hirarki strukturalnya dengan dunia sosial manusiaw. Kalau suatu saat memang ada tugas bermajlis di gua Hira’, itu bukan suatu tugas yang boleh dinilai sebagaimana berkumpulnya sebuah majlis PBB atau lainnya. Namun, kerana tugas kasuistis, menyangkut perkara moralitas ummat manusia di dunia, bahkan yang hidup maupun yang sudah mati, yang begitu tampak jelas dalam Alam Mukasyafah mereka, melalui Nur Ilahi. Tetapi wajar jika anda mempersoalkan, adanya kelompok tertentu yang mengaku dewan para wali, lalu membuat pertemuan alam ghaib, lalu mereka merasa sebagai para wali, padahal tidak lebih dari sebuah tipudaya alam Jin dan Iblis, boleh saja demikian. Kerana Iblis dan Syaitan pun punya kelompok tandingan Wali yang disebut dalam Al-Qur’an “Auliya’ as-Syayathin”. Atau para Wali Syaitan, yang seringkali menggunakan jubah agama. Mereka berjubah, tapi penuh dengan kebusukan, ketakaburan, riya’ dan ‘ujub, hubbud dunya (cinta dunia), penghamba nafsu dan takut mati. Namun alangkah piciknya kita kalau memahami dunia Wali dari sekadar gelombang sosial ummat atau dari fenomena keagamaan (khususnya di bidang bathiniyah), lalu anda membuat kesimpulan gradual, kesimpulan salah kaprah, sebagaimana para orientalis dan pengamat Sufi yang lebih banyak salah kaprahnya dalam memaknai istilah dan terminologi Sufi itu sendiri. Wallahul Muwaffiq ila Aqwamith Thoriq, wallahu A’lam bish-Showab. Related posts

Orang Sufi anti Syurga dan Tidak Takut Neraka?

Orang Sufi anti Syurga dan Tidak Takut Neraka? Diantara tuduhan yang dilontarkan kepada kaum Sufi, bahawa dalam tasawuf, seorang Sufi itu tidak mau syurga dan tidak takut neraka. Padahal Rasulullah pernah berharap syurga dan dihindarkan dari neraka. Rasulullah masih demikian, kenapa kaum Sufi enggan dengan syurga dan tidak takut neraka? Tuduhan dan pertanyaan berikutnya seputar syurga dan neraka, bahawa kaum Sufi dalam tujuannya untuk beribadah hanya kepada Allah, tidak menuju syurga dan tidak menghindar dari neraka, dianggap sebagai akidah yang salah. Padahal dalam ayat Al-Qur’an disebutkan, “Makan dan minumlah (di syurga) dengan nikmat yang disebabkan oleh amal yang telah kamu kerjakan di hari-hari yang lampau….” (al-Haaqqah, 24) . Jadi kaum Sufi pandangannya bertentangan dengan ayat tersebut. JAWAPAN Dalam Al-Qur’an dan Hadits soal syurga dan neraka disebut berkali-kali dalam berbagai ayat dan surah. Tentu saja, sebagai janji dan peringatan Allah swt. Namun memahami ayat tersebut atau pun hadits Nabi saw, harus dilihat dari berbagai sudut pandang, tidak sekadar ayat atau teks hadits saja. Contoh soal rasa takut. Dalam Al-Qur’an disebut beberapa kali bentuk takut itu. Ada yang menggunakan kata Taqwa, ada yang menggunakan kata Khauf dan ada pula Khasyyah, dan berbagai bentuk kata yang ditampilkan Allah Ta’ala yang memiliki hubungan erat dengan bentuk takut itu sendiri, sesuai dengan kapasitas hamba dengan Allah Ta’ala. Makna takut dengan penyebutan yang berbeza-beza itu pasti memiliki dimensi yang berbeza pula, khususnya dalam responsi psikhologi keimanan yang berbeza-beza antara satu dengan yang lainnya, berkaitan dengan getaran dan darjat keimanan seseorang. Begitu juga kata Jannah dan Naar, syurga dan neraka. Penekanan-penekanan kata Naar dalam Al-Qur’an juga memiliki struktur hubungan yang berbeza. Naar disebutkan untuk orang kafir, memiliki tekanan berbeza dengan orang munafik, orang fasik, dan orang beriman yang ahli maksiat. Itu bererti berhubungan dengan kata Naar, yang disandarkan pada macam-macam ruang neraka: Ada Neraka Jahim, Neraka Jahanam, Neraka Sa’ir, Neraka Saqar, Neraka Abadi, dan penyebutan kata Naar yang tidak disandarkan pada sifat neraka tertentu. Jika Naar kita maknakan secara umum, justeru menjadi zalim, kerana faktanya tidak demikian. Hal yang sama jika para Sufi memahami Naar dari segi hakikatnya neraka, juga tidak boleh disalahkan. Apalagi jika seseorang memahami neraka itu sebagai api yang berkobar. Kalimat Naar tanpa disandari oleh Azab, juga berbeza dengan Neraka yang ansickh belaka. Misalnya kalimat dalam ayat di surah Al-Baqarah, “Wattaqun Naar al-llaty waquduhannaasu wal-Hijarah” dengan ayat yang sering kita baca, “Waqinaa ‘adzaban-Naar,” memiliki dimensi berbeza. Ayat pertama, menunjukkan betapa pada umumnya manusia, kerana didahului dengan panggilan Ilahi ”Wahai manusia”. Maka Allah langsung membuat ancaman serius dengan menyebutkan kata Naar. Tetapi pada doa seorang beriman, “Lindungi kami dari siksa neraka,” maknanya sangat berbeza. Kerana yang terakhir ini berhubungan dengan kelayakan keimanan hamba kepada Allah, bahawa yang ditakuti adalah Azabnya neraka, bukan apinya. Sebab api tanpa azab, jelas tidak panas, seperti api yang membakar Ibrahim as. Oleh sebab itu, jika seorang Sufi menegaskan keikhlasan ubudiyahnya hanya kepada Allah, memang demikian perintah dan kehendak Allah. Bahawa seorang mukmin menyembah Allah dengan harapan syurga dan ingin dijauhkan neraka, dengan perpekstifnya sendiri, tentu kelayakan keikhlasannya di bawah yang pertama. Dalam berbagai ayat mengenai Ikhlas, sebagai Roh amal, disebutkan agar kita hanya menyembah Lillahi Ta’ala. Tetapi kalau punya harapan lain selain Allah termasuk di sana harapan syurga dan neraka, sebagai bentuk kenikmatan fizik dan siksa fizik, itu juga diterima oleh Allah. Namun, kelayakannya adalah bentuk responsi mukmin pada syurga dan neraka paling rendah. Semua mengenal bagaimana Allah membangun contoh dan perumpamaan, baik untuk menjelaskan dirinya, syurga mahupun neraka. Kaum Sufi memilih perumpamaan paling hakiki, kerana perumpamaan neraka yang paling rendah sudah dilampauinya. Sebagaimana kualiti moral seorang pekerja di tempat kerja juga berbeza-beza, walau pun teknik dan cara kerjanya sama. Orang yang bekerja hanya mencari wang dan untung, tidak boleh mencaci dan mengecam orang yang bekerja dengan mencintai pekerjaan dan mencintai ketuanya tersebut. Walau pun cara bekerjanya sama, namun kualiti moral dan jadual kerjanya yang berbeza. Bagi seorang ketua yang bijaksana, pasti ia lebih mencintai pekerja yang didasari oleh motivasi cinta yang luhur pada pekerjaan, perusahaan dan mencintai dirinya, dibandingkan dengan para pekerja yang hanya mencari untung belaka, sehingga mereka bekerja tanpa roh dan spirit yang luhur. Kerana itu syurga pun demikian. Persepsi syurga bagi kaum Sufi memiliki kelayakan rohani dan spiritual yang berbeza dengan persepsi syurga kaum awam biasa. Hal yang sama persepsi mengenai bidadari. Bagi kaum Sufi bidadari yang digambarkan oleh Al-Qur’an dan Sunnah, adalah Tajalli (penampakan) sifat-sfat dan Asma Kemahaindahan Ilahi, yang tentu saja berbeza dengan kaum awam yang dipersepsi sebagai kenikmatan biologi seksual haiwan. Syurga bagi kaum Sufi adalah Ma’rifatullah dengan darjat kema’rifatan yang berbeza-beza. Kerana nikmat tertinggi di syurga adalah Ma’rifat Dzatullah. Jadi kalimat Rabi’ah Adawiyah tentang ibadah tanpa keinginan syurga adalah syurga fizik dengan kenikmatan fizik yang selama ini kita persepsikan. Dan hal demikian memang boleh menjadi penghalang (hijab) antara hamba dengan Allah dalam proses kema’rifatan. Bahkan Allah pun membagi-bagi syurga dengan simbol berbeza-beza, ada Jannatul Ma’wa, Jannatul Khuldi, Jannatun Na’im, Jannatul Firdaus, yang tentu saja menunjukkan kelayakan yang bersifat lahiriyah mahupun bathiniyah. Bagi orang beriman yang masih bergelimang dengan nafsunya, maka persepsi tentang nikmat syurga, adalah pantulan nafsu haiwaninya dan syahwatnya, lalu persepsi kesenangan duniawi ingin dikorelasikan dengan rasa nikmat syurgawi yang ideal dengan syahwatiyah. Rabi’ah Adawiyah dan para Sufi lainnya ingin membersihkan jiwa dan hatinya dari segala bentuk dan motivasi selain Allah yang boleh menghambat perjalanan menuju kepada Allah. Dengan bahasa seni yang indah dan tajam, mereka hanya menginginkan Allah, bukan menginginkan makhluk Allah. Amaliyah di dunia sebagi visa syurga hanyalah untuk menentukan kelayakan syurgawnya, bukan sebagai kunci masuk syurganya. Kerana hanya Fadhal dan RahmatNya saja yang menyebabkan kita masuk syurga. “kerana Fadhal dan Rahmat itulah kamu sekalian bergembira…” Demikian dalam Al-Qur’an. Bukan gembira kerana syurgaNya. Syurga dan neraka adalah makhluk Allah. Apakah seseorang boleh wushul (sampai kepada) Allah, manakala perjalanannya dari makhluk menuju makhluk? Apakah itu tidak lebih dari sapi atau khimar yang menjalankan roda gilingan, yang berputar-putar terus menerus tanpa tujuan? Nah anda boleh merenungkan sendiri, betapa tundingan-tundingan mereka yang anti tasawuf soal persepsi syurga dan neraka ini, boleh terbantahkan dengan sendirinya, tanpa harus berdebat lebih panjang. Hanya mereka yang tolol dan bodoh saja, jika ada ucapan seperti ini dikecam habis, “Tuhanku, hanya engkau tujuanku, dan hanya ridloMulah yang kucari. Limpahkan Cinta dan Ma’rifatMu kepadaku…” Ucapan yang menjadi munajat para Sufi. Lalu mereka mengecam ucapan ini, sebagai bentuk anti syurga dan tak takut neraka? Related posts

Kitab Usul At-Tahqiq

Kitab Usul At-Tahqiq Ini Kitab ” Syarah Usul Al-Tahqiq ” Pada bicara Usuluddin diterjemahkan dia dengan bahasa Melayu oleh setengah daripada Al-Ulama’ as-sohlihin dan tiada hamba dapat akan ketentuan namanya dengan nas, tetapi telah dikhbarkan hamba oleh “Ba’dha saqata” bahawa yang menterjemahkan Kitab ini daripada ahli negeri Patthani. “Bismillah hirrahmanirrahim” Dengan tolong Allah Ta’ala ku mulai Kitab ini. Ia lah Tuhan Yang Maha Pemurah didalam negeri dunia ini pada mengurniakan rezeki hambaNya zahir dan batin, Jin dan Manusia, Binatang dan Malaikat, Islam dan kafir dan lagi amat sangat mengasihi akan segala hambaNya yang beriman Jin dan Manusia didalam negeri akhirat kemudian. ” Segala puji-pujian itu milik bagi Allah Ta’ala, Tuhan seru oleh sekelian alam “ ” Dan kebajikan akhirat itu tertentu bagi segala orang yang takut mereka itu akan Allah Ta’ala “ ” Dan Rahmat Allah Ta’ala dan Salam Allah Ta’ala lagi tetap Ia atas Nabi Muhammad iaitu penghulu segala Rasul “ ” Dan atas segala keluarganya dan segala sahabatnya yang baik lagi suci mereka itu daripada salah “ Dan adapun kemudian daripada itu, maka inilah suatu Risalah Usul Tahqiq; ertinya Persuruhan yang melengkapi ia atas pohon Agama. Berkata Ulama “Awalluddin Ma’rifatullah” Ertinya: ‘Pertama-tama ugama itu “Mengenal Allah”.. Maka adalah makna ‘Ma’rifat’ ertinya “Mengenal” itu ; Ertinya: “Simpulan yang putus; yakni pegangan yang teguh, yang berbetulan ia dengan yang sebenar daripada dalil.” Maka adalah dalil itu 2 perkara:- Pertama-dalil Naqli namanya iaitu firman Allah Ta’ala dan Hadis Rasulullah. Kedua -dalil ‘Aqli namanya iaitu menyatakan ia akan keadaan Allah Ta’ala itu. ‘Itiqad atau Pegangan Yang Salah : 1. Jikalau ada seseorang ‘itiqadnya putus tetapi tiada berbetulan ia yang benar, maka BUKAN ia bernama ‘Ma’rifat’ ,maka adalah namanya itu seperti itiqad Falsafah; – yang mengatakan alam ini Qadim (Sedia atau jadi dengan sendirinya). 2. ‘Itiqad Qadariah – Qudrat hamba yang baharu ini boleh memberi bekas. 3. ‘Itiqad Nasrani – Mengatakan Nabi Allah Isa a.s itu anak Allah Ta’ala. Dan berbagai-bagai lagi ‘itiqad yang tiada berbetulan bagi yang benar. 4. Jikalau ada seseorang itu ‘itiqadnya putus lagi berbetulan bagi yang benar tetapi TIADA padanya dalil Naqli dan dalil Aqli (akal) maka BUKAN ia dikatakan ‘Ma’rifat’ , sebaliknya itu ‘Taklid’ namanya, ertinya mengikut-ikut perkataan orang sahaja. ‘Itiqad Yang Benar : Yang dikatakan ‘Ma’rifat’ ialah seseorang itu ‘itiqadnya putus berbetulan yang benar dan ADA padanya 2 dalil iaitu Firman Allah Ta’ala (Al-Quran) dan Hadis Rasulullah saw. Asal makna ‘MAKRIFAT’ itu – ialah “Membezakan antara yang Qadim dengan Muhadas” Yang Qadim itu :- Zat Allah Ta’ala, Sifat-sifatNya, Efeil-Nya (Perbuatan) dan Asma’ (Sempurna Nama atau Kata-kata Allah Ta’ala), yang terkandung pada Kalimah Syahadah Tauhid yakni Kalimah pengakuan mengEsakan Allah Ta’ala iaitu : ” AS HADU AL LAA ILAHA ILLALLAH ” Ertinya: ” Aku ketahuilah bahawasanya Tiada Tuhan Melainkan Allah; itulah Tuhan “ Rukun Syahadah itu terbahagi kepada 4 perkara : 1. Mengisbatkan ada Zat Allah Ta’ala. 2. Mengisbatkan ada Sifat (Kelakuan) Allah Ta’ala. 3. Mengisbatkan ada Efeil (Perbuatan) Allah Ta’ala iaitu mengadakan segala “Mumkin” (alam dunia) atau tidak mengadakan segala “Mumkinat” itu. 4. Mengisbatkan ada Asma’ Allah – (Sempurna Nama atau Kata-kata bagi Zat) iaitu segala 25 para Rasul itu dari Nabi Allah Adam hingga Nabi Muhammad saw. adalah Kata-kata bagi Zat Allah Ta’ala. – membenarkan segala Perkataan, Perbuatan, Kelakuan dan segala diamnya tiada menyalahi akan Rasul Allah. Fardhu Syahadah terbahagi kepada 2 perkara : 1. Melafazkan Dua Kalimah Syahadah itu dengan lidah pada sekali seumur hidupnya. 2. Menyungguhkan maknanya didalam hati sentiasa selama hidupnya; harus jangan berkata putusan selagi ia berakal. Itulah pertama-tama Fardhu daripada segala fardhu ‘Ain; dahulunya daripada segala ibadat seperti sembahyang lima waktu, puasa bulan Ramadhan, Zakat dan Mengerjakan Haji ke Baitullah dan merupakan SYARAT pada MENGESAHKAN segala ibadah dan jikalau tiada mengetahuinya makna Dua Kalimah Syahadah itu, maka belum lagi dikatakan SAH amal ibadat yang lain itu. Hendaklah kita bersungguh-sungguh memahamkan makna Dua Kalimah Syahadah itu dan untuk memahaminya perlulah terlebih dahulu mengetahui segala Sifat yang WAJIB bagi Allah Ta’ala dan para Rasul-Nya serta segala Sifat yang MUSTAHIL pada keduanya dan segala yang HARUS pada keduanya itu. Oleh yang sedemikian wajiblah segala orang yang akhil baligh, laki-laki dan perempuan, merdeka atau hamba sahaya dan sebagainya mengenal segala Sifat yang wajib, yang mustahil dan yang harus pada Allah Ta’ala serta segala Rasul Allah itu sebagaimana sabda Nabi saw.: ‘ Awaluddin Ma’rifatullah ‘; Ertinya : ” Pertama-tama Agama itu mengenal Allah .” Yakni mengenal segala yang wajib, yang mustahil dan yang harus bagi Zat dan Sifat Allah Ta’ala. Bukannya mengenal kepada diri Zat Allah dan ketentuan daerahNya dan tempatNya dan rupaNya, mustahil demikian itu dan adalah ditegah oleh Allah Ta’ala seperti firmanNya dalam Al-Quran Surah ‘Ali Imran ayat ke 30 ; Ertinya: “..telah dipertakuti Allah akan kamu pada mendapatkan kepada ZatNya itu..” Dan firmanNya dalam Surah Al-An’aam, ayat ke 103 ; Ertinya: “..Tiada mendapat akan Dia segala penglihatannya dan DiaNya yang boleh mendapat akan segala penglihatanNya. “ Dan sabda Nabi saw: Ertinya: “..Maha Suci Tuhanku, tiadalah ku kenal Tuhanku akan sebenar-benar pengenal kami akan Tuhan ku..” Dan kata Saidina Abu Bakar; Ertinya: “..Lemah pendapat daripada yang mendapat akan yang didapat, itulah pendapat.” Kata setengah Ulama’; Ertinya: ” Tiap-tiap barang yang tersangka-sangka ia dengan segala sangka kamu itu dan kamu dapat akan dia dengan segala akal kamu itu, maka ia itu baharu jua seperti kamu.” Maka nyatalah segala pengetahuan orang yang sesat itu yang menyangka-nyangka ia pada ‘itiqadnya Allah Ta’ala itu bertempat atau berupa atau boleh menyamakan Dia dengan sesuatu disangkakannya benar-benar DIRINYA itulah ALLAH TA’ALA. Maka ‘itiqad ilmu orang itu salah; yang lemah, besar menjadi kafir.(Na’uzubillah..) Maka hendaklah engkau fahamkan ia akan makna Kalimah Syahadah ini baik-baik dengan dalil Naqli iaitu dalil Al-Quran dan Hadis serta dalil Aqli’ iaitu akal yang nurani pada mengambil nazar yang sahih pada menilik kejadian 7 petala langit dan 7 petala bumi. Siapa yang menjadikan dianya itu ? Bolehkah ia jadi dengan sendiri atau adakah ada orang lain yang boleh menjadikan dia atau tidak boleh menjadikan dia ? Demikian juga tilik pula oleh mu pada kejadian diri kita ini seperti firman Allah Ta’ala : Ertinya :”Katakanlah ya, Muhammad (kepada mereka) : ‘ Tilik oleh kamu semuanya apa-apa yang ada didalam tujuh petala langit dan bumi “. Maka adalah yang nyata kepada segala orang yang berakal itu tanda bekas Qudrat dan Iradat Allah Ta’ala jua yang nyata; yakni bekas tanda Kuasa Allah dan KehendakNya juga yang nyata. Bukan langit dan bumi sahaja yang Allah Ta’ala suruh tilik, bahkan pada diri kita ini pun disuruh tilik sebagaimana firmanNya dalam Al-Quran : Ertinya: ” Pada diri kamu itu, mengapakah tiada kamu tilik..? “ Yakni pada kejadian diri kamu ini mengapakah maka tiada kamu membicarakan. Dan lagi firman Allah Ta’ala : Ertinya: ” Lagi akan Kami perlihatkan akan segala tanda Kami taraf alam ini dan pada diri mereka itu hingga nyatalah bagi mereka itu bahawasanya Allah itu ADA (Ujud) sebenarnya “. Dan lagi firman-Nya : Ertinya: ” Maka hendaklah dibicarakan oleh manusia itu daripada apa ia dijadikan itu; iaitu ia dijadikan daripada air yang terpancar keluar daripada antara sulbi bapanya dan antara tara’ib ibunya”. Bukannya keluar itu daripada sulbi dan tara’ib yang (tanyir) ia keduanya itu iaitu Qudrat Allah Ta’ala dan Iradat juga kerana keduanya didalam perintah Qudart dan Iradat Allah Ta’ala. Maka adalah Qudrat Allah itu suatu SifatNya yang ‘Maudud’ dengan dia mengadakan mumkin; daripada tidak ada kepada adanya dan daripada adanya kepada tidak ada. Dan Iradat Allah itu suatu SifatNya yang maudud dengan dia menentukan mumkin dengan setengah barang yang harus atau mumkin itu. Bukan semuanya yang harus itu ditentukan oleh Iradat itu seperti gerak dan diam; ada dengan tiada; panjang dengan pendek; besar dengan kecil; tebal dengan nipis; atas dengan bawah; kiri dengan kanan; hadapan dengan belakang dan lainnya. Maka semuanya itu harus balik bagi ‘semumkin’ ini tetapi mustahil boleh berhimpun dua yang berlawanan kepada ‘semumkin’ ini kerana yang ditentukan oleh Iradat Allah itu suatu daripada keduanya bukan keduanya. Demikian juga Firman Allah : Ertinya: “Maka tidakkah dilihat oleh kamu yakni tidakkah kamu lihat dan kamu bicarakan akan air mani yang kamu tempuhkan ke dalam rahim perempuan itu, kamukah menjadikan akan dia itu atau Kamikah yang menjadikan anak itu ?” Dan Firman-Nya : Ertinya: “Maka tiadakah kamu lihat akan benih yang kamu tanam itu, adakah kamu menumbuhkan akan dia atau Kamikah menumbuhkan akan dia ?” Dan lagi Firman-Nya : Ertinya: ” Mengapa tiada menilik, membicarakan akan mereka itu kepada unta itu betapa dijadikan Allah akan dia dan tiada ditilik mereka itu kepada segala langit yang tujuh betapa ditinggikan akan dia dan tiadakah ditilik mereka itu kepada gunung, betapakah didirikan akan dia dan tiadakah ditilik mereka itu kepada bumi, betapakah dihamparkan akan dia. Maka ingatkan olehmu (ya, Muhammad) hanya sesungguhnya engkau itu mengingatkan saja tiada boleh kuasa engkau itu dengan mengerasi atas mereka itu. “ Kata Syeikh Ibrahim Al-Qani didalam Kitabnya yang bernama : Ertinya: ” Tilik olehmu kepada dirimu yakni bicarakan olehmu dahulu kepada kejadian dirimu kerana dirimu itu yang terlebih hampir tempat menilik.” Perintah Allah Ta’ala darpada yan lainnya kemudian daripada sudah menilik kepada kejadian dirimu itu, maka berpindahlah engkau bagi menilik alam yang tinggi iaitu segala langit. Kemudian maka berpindahlah engkau bagi menilik alam yang indah itu. Ertinya: “Engkau dapatlah dengan menilik sekelian itu akan perbuatan tukang yang indah-indah perbuatannya tetapi dengan dialah berdiri tanda tidaknya dahulu dan baharu adanya ini.” Ertinya: ” Dan tiap-tiap barang yang harus itu baharu adanya daripada dahulu, niscaya mustahil atasnya itu sedia sekali-kali.” Kerana itulah Hadis Nabi saw: Ertinya: ” Fikirkan oleh kamu pada segala yang dijadikan Allah Ta’ala dan jangan kamu fikirkan pada diri Zat Allah Ta’ala “. Inilah kata Imam Sanusi…. Ertinya: ” Bermula perbuatan itu baharu dan ia itulah bekas menunjukkan ia atas 4 nama :- i) Zat yang Hidup. ii) Zat yang Tahu iii) Zat yang Kuasa. iv) Zat yang Berkehendak. Ertinya: ” Dan nama itu menunjukkan ia atas segala sifat; dan iaitu Hidup – dan jikalau tiada ZatNya itu Hidup, tiadalah bersifat Yang Hidup. Jikalau tiada ZatNya itu bersifat dengan Tahu, tiadalah bernama Zat Yang Tahu dan; Kuasa, jikalau tiada ZatNya itu bersifat dengan Kuasa, tiadalah bernama Zat Yang Kuasa dan; Mengkehendaki, jikalau tiada ZatNya bersifat dengan Mengkehendaki niscaya tiadalah bernama Zat Yang Mengkehendaki.” Ertinya: ” Dan segala sifat itu menunjukkan ia atas ZatNya kerana tiada berdiri segala sifat itu dengan sendirinya “. Maka nyatalah dengan firman Allah Ta’ala dan Hadis Rasulullah s.a.w. kata segala ulama’ yang besar-besar itu bahawasanya Allah Ta’ala itulah menjadikan alam ini. Maka wajiblah kita ketahui akan wajib lagi nyata Ujud Zat Allah Ta’ala itu dan wajib Zat itu ersifat Qidam, ertinya Sedia adanya; Baqa’ ertinya Kekal adanya Zat Allah Ta’ala; dan Mukhalafah tuhulilhawadis ertinya Menyalahi ada Zat Allah Ta’ala itu bagi segala yang baharu ini; Wahdaniah ertinya Esa Zat Allah Ta’ala itu ertinya ‘Tiada menduai bagi ZatNya dan Tiada yang menduai SifatNya dan Tiada yang menduai bagi PerbuatanNya. (Ketahui olehmu) hai segala orang yang belajar maka dengan kata kita serta ‘itiqadkan Nabi Muhammad itu Persuruh Allah wajib padanya siddiq, ertinya benar. Terkandunglah Iman kita aka segala malaikat dan Iman kita akan segala Nabi dan Iman kita akan segala Rasul dan akan segala Kitab yang diturunkan Allah kepada setengah Rasul itu iaitu 104 Kitab dan Iman kita kepada Hari yang kemudian iaitu Hari Qiamat. Maka terkandunglah sekelian yang tersebut itu semuanya pada kata kita: “MUHAMMAD RASULLAH”, ertinya Muhammad itu Persuruh Allah Ta’ala, kerana Nabi Muhammad itu membenarkan ia akan sekelian itu. Maka nyatalah yang terkandung pada kata kita: ‘Muhammad itu Persuruh Allah Ta’ala ‘. Dan 18 Simpulan Iman kita dan ; 4 daripada yang wajib dan; 4 daripada yang mustahil lawan yang wajib itu menjadi ; 8 dan; 2 harus menjadi; 10 dan; 4 – Iman kita akan segala Malaikat dan segala Rasul dan akan segala Kitab dan akan segala Hari Qiamat, menjadi; 14 dan; 4 segala lawannya menjadi; 18 (Lapan Belas). Maka 18 ini dengan 50 dahulu pada kata; ” LA ILLAHA ILLALLAH “, itu menjadi 68 Simpulan Iman kita. Maka terkandunglah pula sekelian itu pada kata ; ” LA ILLAHA ILLALLAH , MUHAMMAD RASULULLAH “ Ertinya: “Tiada Tuhan Melainkan Allah”,” Nabi Muhammad itu Persuruh Allah “ Maka tatkala sudah kita ketahui dan faham kita akan sekelian itu maka sempurnalah, sahlah kita kata ; “Asy-hadu al-La illa haillallah Wa-asy haduan-na Muhammaddar-Rasulullah” Ertinya: “Aku ketahuilah akan bahawasanya Tiada Tuhan yang disembah dengan sebenar-benar sembah, Melainkan Allah dan Aku ketahui akan bahawasanya Nabi Muhammad Rasulullah itu Persuruh Allah.” Dan jikalau belum kita ketahui maknanya sekeliannya itu adalah perkataan kita itu berdusta juga adanya belum lagi ada pada kita Ma’rifat, ertinya ‘ Mengenal ‘. Maksiat lagi taklid juga, ertinya mengikut-ikut kata orang jua. Seperti Sabda Nabi s.a.w : Ertinya: ” Apabila kamu ketahuilah terang seperti matahari nyatanya, maka naik saksilah kamu.” Yakni tiada lagi syak dan tiada zan dan tiada waham, semata-mata yakinlah kamu. Maka daripada Nabi diambil qias oleh segala Ahli Sufi r.a pada bicara Zikirullah itu hendaklah dilihat nyata cahayanya terang didalam hati seperti cahaya matahari atau cahya bulan atau seperti emas atau seperti perak yang baru tiada karatan lagi; yakni tiada syak dan tiada zan dan tiada waham ertinya tiada {kuras}dan sangka lagi didalam hati. Nyata tersurat didalam hati itu yakni tetap teguhlah yakinnya dan pengenalannya akan imannya pada ” La illaha illallah, Muhammad Rasulullah ” itu yakni tasdiqnya akan dia didalam hatinya teguhlah dan tetaplah tiada berubah-ubah lagi kehendaknya itu. Telah diketahuilah serta fahamlah ia akan sekelian itu didalam hatinya. Bukannya ada tersurat, yang tersuratnya didalam hatinya daging sekepal yang bernama jantung itu ada Kalimat Allah atau Muhammad didalam jantung ia seperti ambilan orang salah. ** WALLAHHU ALAM ** RUJUKAN : DARIPADA KITAB USUL TAHQIQ Related posts

Kata Pengantar

Kata Pengantar Limpahan Cahaya Keagungan Nya semoga selalu menghiasi setiap nafas kita dalam keluhuran dan kesejukan, Limpahan Puji atas Nya, Yang Maha Berhak atas segala pujian, Limpahan Puji atas Nya, Yang Maha Tunggal Mencipta dan Mengawali Kesempurnaan dan keindahan, Limpahan Puji atas Nya Yang Maha Tunggal dalam Keluhuran dan keabadian. Shalawat dan Salam terindah semoga selalu tercurah pada semulia mulia Makhluk Nya, pemimpin segenap Utusan Nya, Sayyidina Muhammad saw beserta keluarga serta sahabat beliau dan penerus hingga akhir zaman, Telah banyak permintaan dari rekan rekan muslimin yang masih mempertanyakan masalah Bid’ah, Maulid, Tahlil, Ziarah Kubur, Tabarruk, Istighatsah dll, sungguh telah keruh berjuta sanubari sebab kalimat kalimat pendek ini, terputus jutaan hubungan silaturahmi, dan terbit ratusan buku dan tanya jawab bahkan permusuhan dan perpecahan yang sering berakhir dengan pertumpahan darah. Saudara saudaraku yang kumuliakan, sungguh saya sangat risau melihat keadaan muslimin yang terus semakin jauh dari kebenaran, padahal masalah ini singkat dan jelas, tak perlu lagi dipertanyakan dan dipermasalahkan. Oleh sebab itu dalam buku yang singkat ini saya berusaha memberi pemahaman dan menuliskan sekelumit pembahasan mengenai hal hal itu dengan dalil nash yang tsiqah dan shahih menurut para Imam dan Muhaddits kita. Saya berharap dengan buku ini Allah swt menyatukan pemahaman yang tercerai berai, silaturahmi yang terputus, dan berpadunya muslimin pada sanad guru yang jelas kepada sang Nabi saw, dengan kebenaran sebagai rujukannya dan jauh dari kejahilan syariah yang kini semakin menjadi, Juga dalam buku ini dicantumkan beberapa artikel website kita, doa doa, sanad dan tanya jawab. Para pembaca yang budiman, marilah kita jelang kebangkitan sunnah, sambutlah kebangkitan ummat untuk beridolakan Nabi Muhammad saw, sebaik baik idola yang dipilihkan Allah swt bagi kita. Wabillahittaufiq, (Munzir Almusawa) Related posts

Ucapan untuk para pembaca

Petikan Surat Syeikh Abdul Qadir al-Jilani Sahabat-sahabatku yang dikasihi. Hati kamu adalah seumpama cermin yang berkilat. Kamu mesti membersihkannya daripada debu dan kekotoran yang menutupinya. Cermin hati kamu itu telah ditakdirkan untuk memancarkan cahaya rahsia-rahsia Ilahi.Bila cahaya dari “Allah adalah cahaya bagi semua langit dan bumi…” mula menyinari ruang hati kamu, lampu hati kamu akan menyala. Lampu hati itu “berada di dalam kaca, kaca itu sifatnya seumpama bintang berkilau-kilauan terang benderang…” Kemudian kepada hati itu anak panah penemuan-penemuan suci akan hinggap. Anak panah kilat akan mengeluarkan daripada awan petir maksud “bukan dari timur atau barat, dinyalakan dari pohon zaitun yang diberkati…” dan memancarkan cahaya ke atas pokok penemuan, sangat tulen, sangat lutsinar sehingga ia “memancarkan cahaya walaupun tidak disentuh oleh api”. Kemudian lampu makrifat (hikmah kebijaksanaan) akan menyala sendiri. Mana mungkin ia tidak menyala sedangkan cahaya rahsia llahi menyinarinya? Sekiranya cahaya rahsia Ilahi bersinar ke atasnya, langit malam kepada rahsia-rahsia akan menjadi terang oleh ribuan bintang-bintang “…dan berpandukan bintang-bintang (kamu) temui jalan (kamu)…”. Bukanlah bintang yang memandu kita tetapi cahaya Ilahi. Lantaran Allah menghiaskan langit rendah dengan keindahan bintang-bintang”. Sekiranya lampu rahsia-rahsia Ilahi dinyalakan di dalam diri batin kamu yang lain akan datang secara sekaligus atau beransur-ansur. Sebahagiannya kamu telah ketahui sebahagian yang lain akan kami beritahu di sini. Baca, dengar, cuba fahamkan. Langit ketidaksedaran (kelalaian) yang gelap akan dinyalakan oleh kehadiran Ilahi dan kedamaian serta keindahan bulan purnama yang akan naik dari ufuk langit memancarkan “cahaya di atas cahaya” berterusan meninggi di langit, melepasi peringkat yang ditentukan sebagaimana yang Allah telah tentukan bagi kerajaan-Nya, sehingga ia bersinar penuh kemuliaan di tengah-tengah langit, menghambat kegelapan kelalaian. “(Aku bersumpah) demi malam apabila ia senyap sepi…dengan cuaca pagi yang cemerlang…” malam ketidaksedaran kamu akan melihat terangnya hari siang. Kemudian kamu akan menghirup air wangi kenangan dan “bertaubat di awal pagi” terhadap ketidaksedaran (kelalaian) dan menyesali umur kamu yang dihabiskan di dalam lena. Kamu akan mendengar nyanyian burung bulbul di pagi hari dan kamu akan mendengarnya berkata: Mereka tidur sedikit sahaja di malam hari dan pada awal pagi mereka memohon keampunan Allah dan Allah bimbingkan kepada cahaya-Nya sesiapa yang Dia kehendaki. Kemudian kamu akan melihat di ufuk langit peraturan Ilahi akan matahari ilmu batin mula terbit. Ia adalah matahari kamu sendiri, Lantaran kamu adalah “yang Allah beri petunjuk” dan kamu “berada pada jalan yang benar” dan bukan “mereka yang Dia tinggalkan di dalam kesesatan”. Dan kamu akan memahami rahsia: Tidak diizinkan matahari mengejar bulan dan tidak pula malam mendahului siang. Tiap sesuatu berjalan pada landasan (masing-masing).Akhirnya ikatan akan terurai selaras dengan “perumpamaan yang Allah adakan untuk insan dan Allah mengetahui tiap sesuatu”, dan tabir-tabir akan terangkat dan kulit akan pecah, mendedahkan yang seni di bawah pada yang kasar. Kebenaran akan membuka tutupan mukanya. Semua ini akan bermula bila cermin hati kamu dipersucikan. Cahaya rahsia-rahsia Ilahi akan memancar Padanya jika kamu berhajat dan bermohon kepada-Nya, daripada-Nya, dengan-Nya. Related posts

Penyucian

….. Penyucian Insan Sempurna….. 18: PENYUCIAN INSAN SEMPURNA, YANG TELAH MENGASINGKAN DIRINYA DAN MEMBEBASKAN DIRINYA DARIPADA SEGALA URUSAN DUNIA. Tujuan penyucian itu ada dua jenis: Pertama untuk membolehkannya masuk kepada alam sifat-sifat Ilahi dan kedua untuk mencapai makam Zat. Penyucian untuk memasuki alam sifat-sifat Ilahi memerlukan pelajaran yang membimbing seseorang di dalam proses penyucian cermin hati daripada gambaran haiwan manusia dengan cara rayuan, ucapan atau memikirkan dan mendoakan pada nama-nama Ilahi. Ucapan itu menjadi kunci, perkataan rahsia yang membuka hati. Hanya bila mata itu terbuka baharulah boleh dia melihat sifat-sifat Allah yang sebenar. Kemudian mata itu melihat gambaran kemurahan Allah, nikmat, rahmat dan kebaikan-Nya di atas cermin hati yang murni itu. Nabi s.a.w bersabda, “Mukmin adalah cermin bagi samanya mukmin”. Juga sabda baginda, “Orang berilmu membuat gambaran sementara orang arif menggilap”. Juga sabda baginda, “Orang berilmu membuat gambaran sementara orang arif menggilap cermin hati yang menangkap kebenaran.” Bila cermin hati sudah dicuci sepenuhnya dengan digilap terus menerus secara menzikirkan nama-nama Allah, seseorang itu mendapat jalan kepada pengetahuan dan sifat Ilahi. Penyaksian terhadap pemandangan ini hanya mungkin berlaku di dalam hati. Penyucian yang bertujuan mencapai Zat Ilahi adalah melalui terus menerus mentafakurkan kalimah tauhid. Ada tiga nama keesaan, tiga yang akhir daripada dua belas nama-nama Ilahi. Nama-nama tersebut ialah: LA ILAHA ILLA LLAH : Tiada yang ada kecuali Allah ALLAH : Nama khusus bagi Tuhan HU : Allah yang bersifat melampaui sesuatu HAQ : Yang sebenarnya (Hakikat) HAYYUN : Hidup Ilahi yang kekal abadi QAYYUM : Berdiri dengan sendiri yang segala kewujudan bergantung kepada-Nya QAHHAR : Yang Maha Memaksa, meliputi segala sesuatu WAHHAB : Pemberi tanpa batas WAHID : Yang Esa AHAD : Esa SAMAD : Sumber kepada segala sesuatu Nama-nama ini mestilah diseru bukan dengan lidah biasa tetapi dengan lidah rahsia bagi hati. Hanya dengan itu mata hati melihat cahaya keesaan. Bila cahaya suci Zat menjadi nyata semua nilai-nilai kebendaan lenyap, semua menjadi tiada apa-apa. Ini adalah suasana menghabiskan sepenuhnya segala perkara, kekosongan yang melampaui semua kekosongan. Kenyataan cahaya Ilahi memadamkan semua cahaya: “Tiap-tiap sesuatu akan binasa kecuali Zat-Nya”. (Surah Qasas, ayat 88). “Allah hapuskan apa yang Dia kehendaki dan Dia tetapkan apa yang Dia kehendaki, kerana pada sisi-Nya ibu kitab”. (Surah ar-Ra’d, ayat 39). Bila semuanya lenyap apa yang tinggal selamanya adalah roh suci. Ia melihat dengan cahaya Allah. Ia melihat-Nya, Dia melihatnya. Di sana tiada gambaran, tiada persamaan di dalam melihat-Nya: “Tiada sesuatu yang serupa dengan-Nya. Dia mendengar dan melihat”. (Surah asy-Syura, ayat 11). Apa yang ada hanyalah cahaya murni yang mutlak. Tidak ada apa untuk diketahui lebih dari itu. Itu adalah alam fana diri. Tiada lagi fikiran untuk memberi khabar berita. Tiada lagi sesiapa melainkan Allah yang memberi khabar berita. Nabi s.a.w bersabda, “Ada ketika aku sangat hampir dengan Allah, tiada siapa, malaikat yang hampir atau nabi yang diutus, boleh masuk antara aku dengan-Nya”. Ini adalah suasana pemisahan di mana seseorang itu telah membuang semua perkara kecuali Zat Allah. Itu adalah suasana keesaan. Allah memerintahkan melalui Rasul-Nya, “Pisahkan diri kamu dari segala perkara dan carilah keesaan”. Pemisahan itu bergerak daripada semua yang keduniaan kepada kekosongan dan ketiadaan. Hanya dengan itu kamu memperolehi sifat-sifat Ilahi. Itulah yang dimaksudkan oleh Nabi s.a.w apabila bersabda, “Sucikan diri kamu, benamkan diri kamu dalam sifat-sifat yang suci (sifat Ilahi)”. Related posts

Hadrat Ilahi

17. Hadrat Ilahi Tuhan melampaui segala sesuatu. Tidak ada satu pun perbuatan manusia yang memberi kesan kepada Tuhan. Tidak ada kebaktian manusia yang sampai kepada Tuhan. Tidak ada doa dan rayuan manusia yang boleh masuk ke dalam majlis keesaan Tuhan. Jadi, dalam menyembah Allah s.w.t adakah manusia hanyalah sebuah robot yang berdiri, rukuk dan sujud? Adakah dalam melakukan kebaktian kepada Allah s.w.t manusia hanyalah sebuah jentera yang bergerak? Apakah kerana Allah s.w.t melampaui segala sesuatu maka tidak ada sebarang cara perhubungan hamba dengan-Nya? Seorang lelaki bekerja mencari batu-batu permata di dalam gua. Satu hari, ketika dia sedang asyik mengumpulkan batu-batu permata, tiba-tiba muncul seekor ular besar di hadapannya. Dia ketakutan dan lari sekuat-kuat tenaganya. Sejak kejadian itu setiap kali dia melihat kepada gua dia akan ‘ternampak’ ular besar. Kehadiran ular besar menguasai hatinya. Dua orang lelaki bersahabat baik dan saling berkasih sayang. Suatu hari, salah seorang daripada mereka meninggal dunia. Sahabat yang masih hidup itu sering mengunjungi anak sahabatnya yang telah meninggal itu. Lelaki itu ‘melihat’ kehadiran sahabatnya pada si anak itu. Dalam sebuah negeri ada seorang perempuan pelacur yang sangat cantik, menawan, memberahikan dan mempesonakan sebarang lelaki yang memandang kepadanya. Tidak ada lelaki yang dapat menahan keinginannya apabila melihat perempuan tersebut. Setiap hari perempuan itu akan menunggu pelanggannya dengan mempamerkan wajahnya di jendela rumahnya. Lelaki yang melintasi rumahnya pasti akan berhenti apabila melihat kepadanya. Perempuan itu tidak pernah kecewa menarik lelaki kepadanya. Pada suatu hari lalu seorang lelaki salih dihadapan rumahnya. Lelaki salih itu adalah seorang ahli ibadat yang tidak pernah berbuat maksiat. Secara tidak sengaja lelaki salih itu terpandang kepada perempuan tadi. Seperti besi di tarik oleh besi berani kaki lelaki salih itu berjalan ke arah rumah perempuan tersebut dan masuk ke dalamnya. Perempuan itu bersedia melayaninya. Lelaki salih itu pun sudah ada keinginan terhadap perempuan cantik itu. Tetapi sebaik sahaja lelaki salih itu menyentuh perempuan itu, tangan lelaki salih itu tiba-tiba menggeletar. Tubuhnya menggigil dan mukanya pucat. Perempuan itu berasa hairan lalu menanyakan keadaan tersebut. Salih itu memberitahu perempuan itu bahawa Tuhan Melihat perbuatannya dan Mendengar perkataannya. Dia sangat takutkan Tuhan. Penyaksiannya terhadap Tuhan itulah yang menjadikan sekalian tubuhnya menggigil dan mukanya pucat. Kehadiran Tuhan menguasai hatinya. Al-Quran menceritakan tentang peristiwa yang di alami oleh Nabi Yusuf a.s. Dan sebenarnya perempuan itu telah berleinginan sangat kepadanya, dan Yusuf pula (mungkin timbul) keinginannya kepada perempuan itu; kalaulah tidak ia menyedari kenyataan Tuhannya (tentang kejinya perbuatan zina itu). Demikianlah (takdir Kami) untuk menjauhkan dari Yusuf perkara-perkara yang tidak baik dan perbuatan keji, kerana sesungguhnya ia dari hamba-hamba Kami yang ikhlas (dibersihkan dari segala dosa). ( Ayat 24 : Surah Yusuf ) Pada saat yang genting itu Nabi Yusuf a.s menyaksikan kehadiran Tuhannya. Kehadiran Tuhan yang dialami oleh hati itu diistilahkan sebagai Hadrat Ilahi. Hamba-hamba yang ikhlas dengan Allah s.w.t, yang telah dipersucikan, dikurniakan makam ihsan, iaitu menyaksikan Hadrat Tuhan atau merasai kehadiran-Nya. Rasulullah s.a.w bersabda yang bermaksud: “Sembahlah Tuhanmu seolah-olah kamu melihat-Nya. Sekalipun kamu tidak melihat-Nya, ketahuilah Dia melihat kamu”. Hamba-hamba yang ikhlas dan dipersucikan menyembah Allah s.w.t dalam keadaan hati mereka merasai kehadiran Allah s.w.t. Suasana hati yang demikian dikatakan hati menyaksikan Hadrat Ilahi. Itulah ihsan. Banyak ayat-ayat al-Quran yang menceritakan tentang Hadrat Tuhan. Tuhan berfirman: Allah jualah nur bagi semua langit dan bumi ( Ayat 35 : Surah an-Nur ) Ke mana sahaja kamu menghadap muka kamu di sana ada Wajah Allah. Sesungguhnya Allah itu Maha Luas, Maha Mengetahui. ( Ayat 115 : Surah al-Baqarah ) Kemudian Dia bersemayam di atas Arasy. ( Ayat 4 : Surah al-Hadiid ) Dan Dia beserta kamu walau di mana kamu berada. Dan Allah melihat apa yang kamu kerjakan. ( Ayat 4 : Surah al-Hadiid ) Bukan kamu yang membunuh mereka tetapi Allah yang membunuh mereka. Dan bukan kamu yang melempar tatkala kamu melempar, tetapi Allah yang melempar. (Ayat 17 : Surah al-Anfaal) Kalimah yang sering diucapkan: “Laahau laa walaakuuwataillah billah”- tiada daya dan upaya melainkan beserta Allah” adalah peringatan kepada Hadrat Ilahi: Hadrat-Nya Mendengar; Hadrat-Nya Melihat; Hadrat-Nya beserta makhluk-Nya; Hadrat-Nya menerangi langit dan bumi; Hadrat-Nya menghadap kepada hamba yang menyembah-Nya; Hadrat-Nya bersemayam di atas Arasy dan lain-lain. Tidak ada satu keadaan, ruang atau zaman yang makhluk boleh terlepas daripada Hadrat-Nya yang menguasai sekalian makhluk: “Laahau laa walaakuuwataillah billah” walau siapa sekalipun makhluk itu. Carilah satu tempat yang paling tersembunyi yang tidak dapat dilihat oleh-Nya, jika kamu boleh melepasi Hadrat-Nya. Lakukan satu perbuatan yang tidak memerlukan daya dan upaya yang dari-Nya, jika kamu boleh bebas daripada Hadrat-Nya. Tidak mungkin, sekali-kali tidak mungkin, kerana Hadrat Allah s.w.t meliputi sekalian alam, meliputi segala sesuatu, membatasi segala kejadian. Dia yang telah menciptakan semua langit dan bumi dalam enam masa; kemudian itu Dia bersemayam di Arasy. Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar daripadanya; dan apa yang diturunkan dari langit serta apa yang naik padanya. Dan Dia tetap bersama-sama kamu di mana sahaja kamu berada, dan Allah Maha Melihat apa sahaja yang kamu kerjakan. Kepunyaan-Nya segala kekuasaan di semua langit dan bumi; dan kepada Allah akan kembali segala urusan. ( Ayat 4 & 5 : Surah al-Hadiid ) Tidak ada satu suasana pun yang terlepas daripada kehadiran atau Hadrat Tuhan, tetapi jarang sekali penghayatan terhadap yang demikian menguasai hati nurani manusia, walaupun mereka mempunyai pengetahuan mengenainya. Manusia mengetahui bahawa Tuhan Melihat dan Mendengar tetapi mereka tidak malu melakukan maksiat di hadapan Hadrat Tuhan Yang Melihat dan Mendengar. Manusia tahu Hadrat Tuhan sentiasa bersama-nya, tetapi masih lagi takut apabila mereka berada di tempat sunyi sendirian. Akal fikiran yang melahirkan pengetahuan tidak mampu berhubung dengan suasana Hadrat Ilahi. Hatilah yang berhubung dengan Hadrat Allah s.w.t kerana hati yang boleh diisi dengan iman. Semakin kuat iman semakin kuat suasana Hadrat Ilahi menguasai hati. Apabila sampai kepada satu peringkat, hati menjadi sebati dengan suasana Hadrat Ilahi. Lahirlah rasa malu dan gerun kepada Tuhan kerana dia merasai kehadiran Tuhan Melihat perbuatannya dan Mendengar perkataannya dan bisikan hatinya. Suasana Hadrat Ilahi yang dirasakan atau dialami berbeza dari seorang manusia dengan manusia yang lain dan juga pada satu tempat dengan tempat yang lain. Tuhan sendiri menentukan tempat-tempat yang kehadiran-Nya boleh dirasakan lebih kuat daripada tempat-tempat yang lain. Di atas muka bumi ini tempat yang ditentukan oleh Tuhan sebagai tempat yang paling kuat menerima Hadrat-Nya adalah di Baitullah, Tanah Haram Makkah. Orang yang sudah menziarahi semua tempat di atas muka bumi akan mendapati tidak ada tempat untuk merasai kehadiran Allah s.w.t melebihi apa yang dirasakan pada sisi Kaabatullah. Selain Makkah tempat-tempat yang boleh dirasakan kehadiran Tuhan yang kuat adalah Madinah, Baitul Maqdis, Madyan, Bukit Thursina dan Baitulehem. Rasa kehadiran Tuhan pada tempat-tempat yang lain berlebih kurang menurut kadar yang ditentukan oleh Allah s.w.t dan bergantung kepada hati seseorang insan. Oleh kerana pada sisi Kaabah insan dapat merasakan kehadiran Tuhan secara maksima, maka Kaabah menjadi Kiblat manusia menyembah Allah s.w.t. Walaupun kehadiran Tuhan di sana begitu kuat namun Tuhan bukan berada dalam Kaabah dan bukanlah Kaabah itu Tuhan. Apabila berdiri pada sembahyang menghadap kepada Kaabah bukan bermakna Kaabah yang disembah atau Kaabah dijadikan misal Tuhan. Dada menghadap Kaabah tetapi hati menghadap Allah s.w.t, Tuhan kepada manusia, hati manusia dan Kaabah. Walau di mana pun berdiri menghadap Kaabah hati menghayati suasana Hadrat Ilahi yang sekuat di Kaabah. Mengapa Tuhan memilih Kaabah untuk menyatakan Hadrat-Nya yang paling kuat di atas muka bumi? Tuhan berbuat menurut kehendak-Nya, tidak tertakluk kepada hujah manusia. Muslim tunduk menyerah kepada kehendak Tuhan. Tuhan memerintahkan supaya menjadikan Kaabah sebagai Kiblat. Muslim menerima perintah Tuhan itu dengan patuh dan ikhlas melaksanakannya. Menolak sembahyang atau menolak Kaabah sebagai Kiblat membuatkan seseorang itu menjadi kufur. Pada Alam Langit-langit pula tempat yang paling kuat menerima Hadrat Tuhan adalah Baitul Makmur. Kedudukan Baitullah kepada manusia sama dengan kedudukan Baitul Makmur kepada malaikat. Seramai tujuh puluh ribu malaikat memasuki Baitul Makmur setiap hari. Sekali memasuki mereka tidak keluar lagi sampai ke hari kiamat. Pada sekalian alam atau semua kejadian Tuhan, tempat yang paling kuat menerima Hadrat Tuhan berada di Arasy, iaitu tempat Nabi Muhammad s.a.w menerima perintah sembahyang lima waktu sehari semalam. Hanya Nabi Muhammad s.a.w seorang sahaja yang pernah sampai di sana. Jibrail a.s tidak sampai ke tempat tersebut. Terdapat perbezaan kekuatan suasana Hadrat pada tempat-tempat yang diberkati Allah s.w.t. Kaabah diistilahkan sebagai Rumah Allah, Baitul Makmur pula Rumah Yang Aman Sentosa dan Arasy adalah Takhta Kerajaan. Bolehlah diibaratkan Kaabatullah sebagai Negeri Hadrat, Baitul Makmur sebagai Istana Hadrat dan Arasy sebagai Takhta Hadrat (ibarat ini hanyalah perbandingan sekadar untuk kefahaman). Nabi Muhammad s.a.w memulakan perjalanan baginda s.a.w daripada Baitullah. Baginda s.a.w Mikraj ke Baitul Makmur dan kemudian diangkat ke Arasy, tempat perjalanan yang paling tinggi. Pada Baitullah Rasulullah s.a.w menerima kedatangan Jibrail a.s. Dalam suasana Baitullah manusia menerima suasana Hadrat dalam keadaan manusia dihijab oleh cahaya malaikat. Keadaan ini perlu kerana manusia umum tidak dapat bertahan menerima suasana Hadrat tanpa hijab malaikat. Pada Baitul Makmur pula makhluk dihijab dari suasana Hadrat oleh cahaya Arasy. Pada Arasy pula Hadrat tidak terhijab, sebaliknya Hadrat itu sendiri yang menjadi hijab, melindungi makhluk daripada kehebatan Keagungan Allah s.w.t. Di Arasy, dalam suasana tidak terhijab daripada Hadrat Tuhan, Nabi Muhammad s.a.w menerima firman Tuhan tanpa perantaraan. Walaupun tanpa perantaraan Nabi Muhammad s.a.w mendengar Kalam Tuhan di sebalik hijab, iaitu Hijab Hadrat atau hijab ketuhanan, bukan hijab cahaya malaikat atau yang lain. Dan tidaklah terdapat seorang manusia pun yang Allah berkata-kata dengannya, kecuali dengan wahyu atau dari belakang hijab atau dikirim-Nya utusan, lalu dia mewahyukan dengan izin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia adalah Maha Tinggi, Maha Bijaksana. (Ayat 51 : Surah asy- Syura ) Nabi Musa a.s telah mendengar perkataan Tuhan dari sebalik hijab tanpa Allah s.w.t memperlihatkan Diri-Nya. Oleh kerana terlalu asyik mendengar Kalam Tuhan, Nabi Musa a.s teringin untuk melihat-Nya. Dan tatkala Musa datang di waktu (yang) Kami (tentukan itu) dan Tuhannya Berkata-kata dengannya, berkatalah dia: “Hai Tuhanku! Tunjukkanlah Diri-Mu kepadaku supaya aku lihat Engkau. ( Ayat 143 : Surah al-A’raaf ) Permintaan Nabi Musa a.s itu dijawab oleh Tuhan: Dia berfirman: “Sekali-kali engkau tidak akan dapat melihat Aku, tetapi lihatlah kepada gunung itu, jika ia tetap pada tempatnya maka engkau akan melihat Daku!” Tatkala Tuhannya mentajallikan kepada gunung maka hancurlah ia dan tersungkurlah Musa pengsan. Setelah dia sedar berkatalah dia: “Maha Suci Engkau, dan aku adalah yang pertama sekali beriman”. (Ayat 143 : Surah al-A’raaf ) Jika Kalam Tuhan didengar disebalik hijab, melihat Tuhan juga di sebalik hijab, iaitu melihat Hadrat-Nya, merasakan kehadiran-Nya dengan iman, dengan penuh keyakinan. Nabi Musa a.s mendengar perkataan Tuhan di Gunung Thursina dan meminta untuk melihat-Nya. Nabi Muhammad s.a.w mendengar perkataan Tuhan di Arasy, tetapi Nabi Muhammad s.a.w tidak meminta untuk melihat-Nya. Setelah kembali ke Makkah baginda s.a.w ditanya oleh Abu Zarr adakah baginda s.a.w telah melihat Allah s.w.t? Baginda s.a.w menjawab: “Semuanya cahaya, bagaimana aku dapat melihat-Nya”. Hijab ketuhanan yang meliputi makhluk menyebabkan tidak mungkin makhluk melihat-Nya secara terang-terangan sebelum berlaku kiamat. Manusia dapat mengalami Hadrat Ilahi kerana Dia memperkenalkan Diri-Nya melalui sifat-sifat-Nya, melalui nilai-nilai yang ada dengan manusia sendiri. Dan pada diri kamu apakah tidak kamu perhatikan? ( Ayat 21 : Surah adz-Dzaariyaat) Nilai-nilai yang ada dengan manusia mengajar kepada manusia mengenai aspek tasybih Tuhan. Bakat yang ada dengan manusia membolehkan manusia berhubung dengan Tuhan. Manusia mempunyai bakat yang istimewa ini kerana manusia ada perkaitan dengan roh. (Ingatlah) tatkala Tuhan engkau berfirman kepada malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menciptakan manusia daripada tanah. Maka apabila Aku sempurnakan kejadiannya dan Aku tiupkan kepadanya daripada Roh-Ku hendaklah kamu meniarap kepadanya dalam keadaan sujud”. ( Ayat 71 & 72 : Surah Saad ) Maha Luhur darjat-Nya, Yang Empunya Arasy. Dia turunkan roh dari urusan-Nya kepada barangsiapa yang Dia kehendaki daripada hamba-hamba-Nya untuk memberi peringatan tentang hari pertemuan. ( Ayat 15 : Surah al-Mu’min ) Seterusnya Allah s.w.t berfirman: Dan demikianlah Kami wahyukan kepada engkau satu roh dari urusan Kami. Padahal tidaklah engkau tahu apa itu Kitab dan apa itu iman. Tetapi Kami jadikan ia nur yang Kami beri petunjuk dengan ia barangsiapa yang kami kehendaki daripada hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya engkau akan memimpin kepada jalan yang lurus. (Iaitu) jalan Allah, yang kepunyaan-Nya apa yang ada di semua langit dan apa yang ada di bumi. Ketahuilah! Kepada Allah akan sampai segala urusan. ( Ayat 52 & 53 : Surah asy-Syura ) Dan mereka bertanya kepada engkau tentang Roh. Katakanlah: “Roh itu adalah urusan Tuhanku, dan kamu tidak diberi ilmu melainkan sedikit”. ( Ayat 85 : Surah Bani Israil ) Hati nurani atau rohani manusia ada perkaitan dengan roh yang termasuk dalam kategori urusan Allah s.w.t. Roh urusan Allah s.w.t menjadi nur yang memberi petunjuk kepada manusia. Hati nurani yang diterangi oleh nur ini akan terpimpin kepada jalan Allah s.w.t. Roh urusan Allah s.w.t itulah memungkinkan segala urusan sampai ke Hadrat-Nya. Amalan, doa, rayuan dan apa sahaja yang manusia lakukan sampai kepada Allah s.w.t kerana roh urusan Allah s.w.t. Bagaimana semua itu terjadi tidak dapat diterangkan kerana manusia diberi sedikit sahaja ilmu mengenai roh urusan Allah s.w.t itu. Dengan ilmu yang sedikit itulah manusia mencuba menggerakkan kefahaman mengenainya. Tuhan mengajar manusia melalui nilai-nilai yang ada pada diri manusia sendiri. Manusia wujud, hidup, mendengar, melihat, berkata-kata, berkehendak dan berpengetahuan. Melalui nilai-nilai tersebut Tuhan mengatakan Dia Wujud, Hidup, Mendengar, Melihat, Berkata-kata, Berkehendak dan Berilmu. Oleh kerana manusia memiliki unsur seni yang diistilahkan sebagai roh, maka Allah s.w.t menggunakan istilah roh juga agar mudah manusia memahami tentang roh urusan Tuhan. Tetapi manusia jangan lupa apa yang dinisbahkan kepada Tuhan melampaui segala sesuatu, melampaui bahasa dan pengetahuan, melampaui penyifatan dan ibarat dan tidak ada sesuatu yang serupa dengan apa yang dinisbahkan kepada-Nya. Tuhan bukakan ilmu mengenai ini sedikit sahaja, hanya sekadar mencukupi untuk membuat manusia beriman mengenainya. Roh manusia yang ada perkaitan dengan tiupan Roh Allah s.w.t adalah sesuatu yang sangat unik dan istimewa. Adam a.s yang diciptakan daripada tanah berkeadaan seperti mayat sehinggalah beliau a.s menerima tiupan Roh Allah s.w.t. Kesan daripada tiupan Roh Allah s.w.t dinamakan Roh Insan yang padanya terkumpul segala bakat-bakat yang diperlukan oleh manusia, seperti bakat-bakat mendengar, melihat dan lain-lain. Tiupan Roh Allah s.w.t menjadikan manusia hidup dan mempunyai daya dan upaya. Tiupan Roh Allah s.w.t juga melahirkan nafsu dan akal yang berguna bagi mengarahkan perjalanan kehidupan dan penggunaan bakat-bakat yang ada dengan manusia. Apabila keupayaan untuk hidup, bakat-bakat, nafsu dan akal berkumpul dan bersatu dengan jasad jadilah ia seorang manusia yang cukup sifat dan sempurna kejadiannya. Ia menjadi makhluk yang berjasad dan berhati nurani atau dikatakan juga manusia yang memiliki aspek zahir dan aspek batin. Aspek zahir manusia umpama mayat dan aspek batinnya umpama malaikat. Ketika Adam a.s berada di dalam syurga aspek zahirnya tidak menyerlah, kurang pengaruhnya. Pada tahap itu kedudukan Adam a.s sama dengan malaikat. Setelah Adam a.s dihantar ke dunia aspek zahirnya berada di dalam suasana yang sesuai dengannya. Aspek zahir menjadi kuat dan cuba mempengaruhi aspek batin agar tunduk kepada keinginannya. Manusia pada aspek mayat tidak lagi menumpang aspek malaikat, malah ia cuba menggunakan aspek malaikat untuk memenuhi kepentingan dan keperluannya. Mungkin juga kerana ia menyedari yang ia akan kembali menjadi mayat, sedangkan aspek malaikat akan terus hidup, maka apa sahaja yang dia ingini mesti diperolehi sekarang, jangan bertangguh-tangguh lagi. Bakat-bakat manusia seperti mendengar dan melihat dimiliki oleh kedua-dua aspek manusia iaitu zahir dan batin. Oleh kerana pengaruh zahir lebih kuat maka bakat aspek batin tidak mampu digunakan oleh manusia. Hijab zahiriah terlalu kuat sehingga manusia tidak mampu menyaksikan perkara-perkara ghaib, apa lagi hal-hal ketuhanan. Manusia seperti ini tidak dapat merasakan kehadiran Tuhan. Apabila terhijab daripada kehadiran Tuhan, amal ibadat yang dilakukan tidak memberi kesan dan tidak mampu melindungi manusia daripada terjerumus ke dalam kejahatan. Manusia dapat mengalami suasana Hadrat Tuhan (kehadiran Tuhan) apabila bakat-bakat rohnya berfungsi. Roh manusia sangat istimewa. Roh yang Tuhan kurniakan kepada manusia menyebabkan manusia boleh mengenal Tuhan apabila Tuhan mengajar mereka mengenali-Nya melalui bakat-bakat dan nilai-nilai yang ada dengan mereka sendiri. Keajaiban yang dimiliki oleh roh menyebabkan ada manusia yang salah mengerti tentang roh mereka. Mereka beranggapan roh itulah Tuhan, penjelmaan Tuhan atau Tuhan adalah batin (nyawa) kepada roh. Diri, roh dan Tuhan dikatakan yang sama. Fahaman ini adalah sesat dan kufur. Tuhan mengajar manusia mengenali-Nya melalui nilai-nilai yang ada dengan manusia bukan untuk menyesatkan manusia dengan akal dan khayalan mereka. Manusia mempunyai sifat melihat. Tuhan mengatakan Dia Melihat. Penglihatan manusia dan juga penglihatan roh bukanlah Penglihatan Tuhan. Ke dua-duanya tidak sama dan tidak serupa. Penglihatan manusia dan juga penglihatan roh adalah ciptaan Tuhan. Tuhan boleh menciptakan penglihatan untuk manusia dan roh kerana Dia memiliki Penglihatan. Oleh kerana Dia yang memiliki Penglihatan maka Dia tahu bagaimana mahu menciptakan penglihatan. Tuhan berpengetahuan dalam menciptakan penglihatan untuk makhluk-Nya. Jika Tuhan tidak memiliki Penglihatan maka Tuhan menciptakan penglihatan makhluk dalam kejahilan. Keadaan ini adalah mustahil bagi Tuhan. Tuhan Maha Tahu tentang apa yang diciptakan-Nya kerana setiap nilai dan bakat yang diciptakan-Nya dimiliki-Nya sendiri secara Mutlak. Nilai Mutlak yang dimiliki oleh Tuhan menyebabkan Dia boleh mengadakan nilai-nilai tersebut yang tidak Mutlak. Oleh kerana itu tiada hujah bagi manusia mengatakan Tuhan tidak melihat perbuatan mereka kerana Tuhan memiliki Penglihatan Mutlak. Penglihatan Mutlak menyaksikan apa sahaja yang dipandang oleh penglihatan yang tidak Mutlak. Tidak mungkin penglihatan yang tidak Mutlak memandang tanpa penyaksian Penglihatan Mutlak. Tuhan juga memiliki Roh Mutlak, lantaran itu Dia boleh mengadakan roh yang tidak Mutlak untuk manusia. Pendengaran, Penglihatan dan lain-lain adalah bakat Roh Mutlak. Roh tidak Mutlak juga memiliki bakat-bakat mendengar, melihat dan lain-lain. Keadaan yang demikian menyebabkan orang sufi sering mengatakan insan diciptakan dengan bayangan ar-Rahman. Ungkapan yang demikian melahirkan kefahaman yang insan adalah bayangan Tuhan. Sebenarnya bakat manusia tidak boleh dihubungkan dengan bakat Tuhan seperti menghubungkan bayang dengan yang empunya bayang. Wujud manusia dan sifat manusia tidak bertembung dengan Wujud Tuhan dan sifat Tuhan. Roh manusia bukanlah Roh Tuhan. Roh menggambarkan bakat-bakat yang banyak berkumpul dalam kesatuan. Bakat-bakat mendengar, melihat, berkata-kata, berkehendak, berkuasa, berpengetahuan dan hidup adalah bakat yang satu iaitu roh. Apabila disebut roh ia meliputi semua bakat dan nilai. Apabila Bakat-bakat yang demikian dilihat pada suasana ketuhanan, maka suasana tersebut dinamakan Kudrat. Istilah Roh Tuhan adalah satu bentuk pengajaran Tuhan kepada manusia melalui nilai yang ada dengan manusia sendiri, supaya mudah manusia memperolehi kefahaman. Orang yang menyamakan rohnya dengan Roh Tuhan dan menyamakan dirinya dengan Tuhan wajiblah bertaubat sebelum nyawa sampai di halkum. Yakinlah hamba tetap hamba dan Tuhan tetap Tuhan, tidak ada kamil berkamil, satu bersatu, sama menyama. Bertaubatlah daripada iktikad yang salah! Suasana Hadrat yang di alami oleh hati nurani dikenali sebagai hakikat atau hal ketuhanan. Hakikat dialami dalam dua keadaan. Dalam keadaan yang pertama orang yang mengalaminya tidak sedarkan kewujudan dirinya dan dalam keadaan yang ke dua pula pengalaman hakikat tidak mencabut kesedaran dan kehambaannya. Misalnya, dalam satu pengalaman hakikat, orang yang hilang kesedaran mengucapkan: “Ana al-haq! (Akulah Tuhan)”, tetapi orang yang menetap dalam kesedaran dan kehambaan yang mengalami hakikat yang sama mengucapkan: “Hua al-Haq! (Dia jualah Tuhan)”. Jenis pertama merasakan dia menjadi Tuhan. Jenis ke dua mengenali apa yang dimaksudkan sebagai Tuhan. Yang pertama hilang kesedaran diri lalu mengaku menjadi Tuhan. Yang ke dua pula mengenali Tuhan sebagai Tuhan dan hamba sebagai hamba. Jenis pertama dikurung oleh bayang dan mendapati sukar untuk melepasi peringkat itu. Jenis ke dua menetap di atas kenyataan yang benar dan lebih mudah untuk sampai kepada Kebenaran Hakiki. Allah s.w.t mempunyai satu Hadrat bernama ar-Rahman. Orang yang hilang kesedaran masuk kepada bayangan ar-Rahman lalu merasakan dirinya adalah ar-Rahman. Dia merasakan dirinya sangat pemurah, mahu mengabulkan apa sahaja yang orang minta. Tetapi ‘ar-Rahman’-nya hanyalah bayangan. Oleh itu apa yang boleh diberinya juga adalah bayangan iaitu pengharapan dan angan-angan. Orang yang menemui Hadrat ar-Rahman dalam kesedaran mengalami hal yang berbeza. Dia tidak diganggu oleh bayangan. Dia mengalami suasana kesucian yang Maha Suci, kebesaran yang Maha Besar, keagungan yang Maha Agung. Pada ketika itu dia merasakan setiap zarah kewujudannya sama seperti debu tepung. Apabila berhadapan dengan Tuhan ar-Rahman dia merasakan setiap zarah kewujudannya relai seumpama debu tepung ditiup angin kencang. Bila dia keluar daripada pengalaman tersebut dia mendapat pengertian tentang keagungan Tuhan ar-Rahman. Dia mengerti keadaan hancurnya Gunung Thursina tatkala Tuhan hadapkan keagungan-Nya ke sana. Dia mengerti maksud perkataan Jibrail a.s: “Jika aku melangkah satu langkah lagi cahaya keagungan Allah s.w.t akan membakar daku”. Dia mengerti maksud perkataan Rasulullah s.a.w: “Cahaya di mana-mana, bagaimana aku boleh melihat-Nya”. Orang yang menetap dalam kehambaan mengalami hakikat dan memperolehi makrifat melalui pengalaman, bukan sekadar melalui ilmu. Ketika merasakan zarah kewujudannya tertanggal satu-satu dia mengenal Tuhan yang boleh dikenal. Setelah zarah-zarah kewujudannya ‘diterbangkan angin kencang’ dan ‘hilang’, dia mengenali Tuhan yang melampaui segala pengenalan. Lalu dia mendapat pengertian bahawa yang benar-benar kenal Tuhan adalah Tuhan sendiri. Hanya Dia yang mengenali Diri-Nya. Kami mengenali-Nya melalui-Nya, sekadar yang Dia izinkan kami mengenali-Nya. Pengalaman hakikat cara demikian menggabungkan tahu dengan tidak tahu, faham dengan tidak faham dan kenal dengan tidak kenal. Perkara yang sering menimbulkan kekeliruan orang ramai adalah persoalan Qadak dan Qadar. Qadak dan Qadar berhubung dengan Ilmu Tuhan atau suasana Pentadbiran Tuhan. Ada orang yang Tuhan izinkan ‘masuk’ ke dalam suasana Ilmu-Nya. Apa yang ditemui pada Hadrat Ilmu Tuhan adalah hakikat-hakikat yang menguasai perjalanan alam. Hakikat atau urusan Tuhan yang berhubung dengan manusia dinamakan Hakikat Insan. Urusan Tuhan yang berhubung dengan alam dinamakan Hakikat Alam. Urusan yang mencakupi segala perkara dinamakan hakikat kepada hakikat-hakikat atau hakikat yang menyeluruh. Pengalaman hakikat-hakikat pada Hadrat Ilmu Tuhan membawa seseorang kepada jalan yang menggabungkan dua jalan iaitu jalan nabi dan jalan asma’. Jalan nabi adalah syariat iaitu mematuhi peraturan yang telah ditetapkan oleh Tuhan dan mengabdikan diri kepada-Nya. Tidak Aku jadikan jin dan manusia melainkan untuk mengabdikan diri kepadaKu. ( Ayat 56 : Surah adz-Dzaariyaat ) Jalan asma’ adalah menyaksikan Rububiah (ketuhanan) pada setiap masa dan dalam semua suasana. Sesungguhnya aku bertawakal kepada Allah, Tuhanku dan Tuhan kamu. Tidak ada satu pun yang melata melainkan Dia jualah yang memegang ubun-ubunnya. Sesungguhnya Tuhanku adalah di atas jalan yang lurus. ( Ayat 56 : Surah Hud ) Bukan kamu yang membunuh mereka tetapi Allah jualah yang membunuh mereka. Dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar tetapi Allah jualah yang melempar. ( Ayat 17 : Surah al-Anfaal ) Jalan syariat memperbaiki amal dan jalan asma’ atau jalan hakikat adalah menyaksikan Hadrat Ilahi dalam segala perkara dan pada semua suasana. Bila dua jalan berpadu lahirlah amal zahir dan amal batin yang sesuai dengan peraturan dan kehendak Allah s.w.t, mengambil Qadak dan Qadar melalui nilai-nilai yang ada dengan manusia, berusaha dan beramal, dan pada masa yang sama beriman dan bertawakal kepada Tuhan yang memegang perjalanan segala urusan. Tidak ada sesuatu yang bebas daripada hakikat ketuhanan yang menguasainya Related posts