03 March 2012

Syair Serba Empat

Syair Serba Empat PDF | Print | E-mail

Syair ini menurut cerita dari mulut ke mulut berasal dari seorang Datu di tanah Banjar (Kalimantan Selatan) bernama DATU SANGGUL di sekitar abad ke - 18 Masehi. Dikutip dari tulisan lama tanpa nama dan tanpa tanggal (tarikh) yang diperkirakan sudah berusia ratusan tahun.


Syair SARABA AMPAT mengisyaratkan kedalaman pengetahuan si-Penyair dengan gaya bahasa daerah menurut zamannya, ditambah pula dengan "raqam" untuk menambah kejelasan terhadap syair tersebut. Sekurang-kurangnya dalam mengacu kepada penelitian dan pengkajian yang lebih mendalam atau kemungkinan sebagai bahan bandingan.

SARABA AMPAT

Allah jadikan saraba ampat
Syariat Thoriqat Hakikat Makrifat
Menjadi satu di dalam khalwat
Rasanya nyaman tiada tersurat

Huruf Allah ampat banyaknya
ALIF `itibar dari pada Zat-Nya
LAM AWAL dan AKHIR sifat dan asma
HA isyarat dari ap`al-Nya

JIBRIL - MIKAIL malaikat mulia
Isyarat sifat JALAL dan JAMAL
IZRAIL - ISRAFIL rupa pasangannya
`Itibar sifat QAHAR dan KAMAL

JABAR - AIL asal katanya
Bahasa Suryani asal mulanya
Kebesaran Allah itu artinya
JALALULLAH bahasa Arabnya

NUR MUHAMMAD bermula nyata
Asal jadi alam semesta
Saumpama api dengan panasnya
Itulah Muhammad dengan Tuhannya.

Api dan banyu tanah dan hawa
Itulah dia alam dunia
Menjadi awak barupa rupa
Tulang sungsum daging dan darah

Manusia lahir ke alam insan
Di alam Ajsam ampat bakawan
Si TUBANIYAH dan TAMBUNIYAH
URIAH lawan Si CAMARIAH

RASA dan AKAL, DAYA dan NAFSU
Didalam raga nyata basatu
AKU meliputi segala liku
Matan hujung rambut ka ujung kuku

TUBUH dan HATI, NYAWA - RAHASIA
Satu yang zhohir amat nyatanya
Tiga yang batin pasti adanya
ALAM SHOGHIR itu sabutnya

MANI-MANIKAM-MADI dan MADZI
Titis manitis jadi manjadi
Si Anak Adam balaksa kati
Hanya tahu Allahu Rabbi

Ka-ampat ampatnya kada tapisah
Datang dan bulik kepada Allah
Asalnya awak dari pada tanah
Asalpun tanah sudah disyarah

Dadalang Simpur barmain wayang
Wayang asalnya si kulit kijang
Agung dan Sarun babun dikancang
Kaler bapasang di atas gadang

Wayang artinya si bayang-bayang
Antara kadap si lawan tarang
Samua majaz harus dipandang
Simpur balalakun hanya saorang

SAMAR, BAGUNG si NALAGARING
Si JAMBULITA suara nyaring
ampat isyarat amatlah panting
Siapa handak mencari haning


Syair ini berbahasa Melayu-Banjar. Kalau memang benar bahwa syair ini adalah dari Datu Sanggul (panggilan untuk seorang Auliya di masa itu dengan sebutan Datu) maka bila dihubungkan dengan kegemaran beliau "menyanggul binatang" (menunggu binatang buruan) sambil bersenandung kecil, yang juga kedudukan beliau yang diberikan sebutan oleh masyarakatnya sebagai seorang Waliullah, maka syair dalam nada-nada Ke-Tuhanan itu cenderung untuk mengakui bahwa syair itu dari beliau. Sepanjang kisah, bila beliau menginginkan binatang buruan untuk makanan anak kampung/desa, beliau cukup "menyanggul" (menunggu) datangnya binatang buruan yang menyerahkan dirinya sebagai korban, sambil bersenandung dengan syair-syair Ke-Tuhanan. Ada sementara catatan bahawa nama asli beliau adalah ABDUL JALIL (Syekh Abdul Jalil)

Arti kata-kata dalam syair:

Khalwat = dzikir/ibadat ditempat yang sepi

Banyu = air

Awak barupa-rupa = tubuh yang bermacam bentuk/rupa

Di Alam Ajsam ampat bakawan = diperut ibu sudah berbentuk manusia dan bersama dengan empat kejadian yang lain

Tubaniah = air ketuban

Tambuniah = Tembuni

Uriyah = ari-ari/uri

Camariah = darah yang mengiringi kelahiran anak

Basatu = bersatu

Segala liku = segala ruang

Matan = dari

Sabutnya = namanya

Balaksa kati = angka yang tak terbatas

Laksa = 10.000

Kati = 100.000

Kada Tapisah = tidak terpisah

Sudah disyarah = sudah dijelaskan

Dadalang Simpur = Dalang yang bernama Simpur

Agung = gong

Sarun = saron

Babun dikancang = genderang dikencangkan talinya

Kaler = kain layar untuk bermain wayang

Gadang = batang pisang

Antara kadap silawan tarang = antara gelap dan terang

Majaz = bayang (arab)

Saurang = sendiri

Balalakun = berbuat sekehendaknya

Samar = Semar

Bagung = Bagong

Nalagaring = Gareng

Jambulita = Petruk

Haning = hening

Jiwa dan Roh

Jiwa dan Roh PDF | Print | E-mail
Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku, masuklah ke dalam syurga-Ku. (Al Fajr :27-30)

Saya sangat terasa dengan ayat ini. Ada kerinduan yang dipanggil oleh Allah dengan mesra. Tapi mungkinkah? Kerana jiwa masih pekat dengan noda dosa, sangatlah sulit untuk membuatnya menjadi cemerlang. Masih sering terngiang di telinga akan pesan Allah dengan firman-Nya :


Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya. (Asy Syams:9-10)

Defenisi Jiwa

Didalam sebuah artikel dijelaskan bahawa jiwa mampu menyimpan semua memori dari semenjak lahir sampai jasad meninggal. Ibarat sebuah server yang besar, mampu menyimpan data yang besar pula. Tidak ada yang luput dari server ini, semua tersimpan dengan baik. Baik itu data kejahatan mahupun data kebaikan. Berbeza dengan memori otak yang sangatlah terbatas. Misalnya kita disuruh untuk menghafal jenis kereta dan warnanya yang kita jumpai sepanjang perjalanan dari rumah sampai ke pejabat. Sudah tentu terbatas sekali yang dapat kita hafalkan. Namun kalau jiwa yang bersih, sangatlah tepat. Jangankan jenis kereta dan warnanya. No. insuran pun terhafal dengan baik bahkan dijalan apa dan pada jam berapa kita menjumpainya.

Data kejahatan membuat jiwa menjadi redup cahayanya atau bahkan padam sama sekali. Sedangkan data kebaikan membuat jiwa menjadi bersinar terang. Dan sinar ini mampu menghalau cahaya gelap.

Dan di akhirat kelak data di server ini akan di tampilkan semua. Didalam DOS kita biasa memetik perintah DIR, maka semua fail akan muncul. Begitu pula dengan jiwa, semua akan ditampilkan sebutir-butirnya dari yang sekecil-kecilnya.

Namun sebenarnya fail kejahatan tidak semuanya akan ditampilkan. Kerana ada fungsi Delete File atau Hidden File. Siapa yang boleh melakukan ini. Ya…pasti pemilik server tentunya. Allah Rabbal Alamin. Dia mengampuni siapa yang di kehendakinya.

Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Az Zumar:53)

Semakin terang cahaya jiwa, semakin dekatlah ia kepada Allah. Dan semakin berat pula godaan iblis. Kerana iblis akan selalu mengirimkan pasukannya silih berganti untuk melalailkan sang jiwa ini. Dan jangan ditanya berapa banyaknya. Semakin bersih jiwa semakin kuat iblis yang dikirimkan.

Iblis menjawab: "Kerana Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus, kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat). (
Al A'raaf:16-17)


Banyak yang salah faham antara JIWA (nafs) dan ROH. Banyak yang menganggapnya sama, padahal sesungguhnya keduanya sangat berbeza.

Yang seperti apakah Jiwa itu? Jiwa adalah badan halus manusia, yang boleh pergi – keluar dari Jasad fizikal, ketika manusia sedang bermimpi, atau ketika hilang kawal (Out of Body Experience) atau PLB – Perjalanan Luar Badan. Jiwa, merupakan tubuh halus manusia. Jiwa memiliki perangkat-perangkat yang menyebabkan manusia dicap sebagai makhluk sosial, makhluk cerdas (Aqal), makhluk spiritual (Qolbu). Jiwa yang menanggung semua akibat perbuatan tubuh fizikal dan tubuh dalam.

Jiwa diciptakan sempurna tanpa cacat. Tidak ada yang terlahir sakit jiwa. Tidak ada bayi cacat. Jiwa adalah putih bersih ketika dilahirkan, lingkungan dan pengalamanlah yang membuatnya tetap putih atau kotor.

Komponen-Komponen Jiwa

Komponen yang dimiliki jiwa: Nafsu (syahwat, emosi), Hasrat (keinginan, ego), Aqal, Qolbu, dll.

Indera Jiwa

Indera Jiwa sering disebut pula sebagai Indera batin. Jiwa juga memiliki indra penglihatan dan pendengaran. Dari situlah syaitan (dan jin) memberikan pengaruhnya ke jiwa, berupa suara-suara dihati kita yang mengajak ke perbuatan negatif.

Qolbu

Qolbu adalah Jantungnya Jiwa. Qolbulah yang menentukan baik-buruknya Jiwa. Gelap-terangnya Jiwa.
Sesungguhnya Ruh itu selalu mengajak Jiwa ke jalan yang lurus, tetapi setan sangat gigih menyeru peralatan Jiwa agar sesat.
[Firman Allah dalam Al-Qur’an: Setan adalah musuh yang nyata]

Suara-suara di Qolbu (hati)
• Suara si jiwa sendiri
• Suara Roh kita
• Suara makhluk lain

Tingkatan Kesedaran Jiwa

Secara garis besar, ada 7 (tujuh) lapisan yang membatasi antara Jiwa dan Roh, yang berhubungan dengan tingkatan kesedaran Jiwa.
Lapisan tersebut hanya boleh ‘terbuka’ dengan melalui sedikit cara. Salah satu caranya adalah dengan ‘serius’ berupaya membersihkan diri, membersihkan Jiwa, membersihkan Qolbu (hati) dengan NIAT mendekatkan diri kepada ALLAH SWT - Sang Khalik. Atau merupakan sebuah anugerah karunia-NYA (given).

Lapisan ini berubah menjadi hijab kalau kotor. Bila pada lapisan 1 yang kotor (hijab) berakibat komunikasi antara Jiwa dengan Ruh terganggu. Muncullah penyakit non-fizik / kejiwaan (nafs) seperti pemarah, kejam, nafsuan, dll).

Nafs Lawwamah, Ammarah-bissu, dan nafs muthmainah.

Terbukanya (bersihnya) masing-2 lapisan tersebut, akan menumbuhkan kesedaran dan kemampuan Jiwa yang lebih tinggi [orang bilang ilmu laduni – ’ngkali].

Kesadaran Ruhiah – Ilahiah

Kesedaran tertinggi dari Jiwa adalah Kesedaran Rohiah. Inilah yang didambakan oleh para pejalan spiritual. Tujuan akhir

Roh

Al-Israa'(17): 85

”Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: ‘Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit’ “.

Roh adalah suci, ciptaan Allah, sehingga dikategorikan sebagai Makhluk. Jadi roh dalam diri jasad manusia bukanlah Allah itu sendiri.

“Maka apabila telah Aku menyempurnakan kejadiannya dan telah meniupkan kedalamnya Roh-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud “ (Al Hijr:29)

Pengertian “roh KU”? Roh milik Allah. Roh ciptaan dan milik Allah, yang ditiup masuk oleh Allah ke dalam Jasad manusia. Bila manusia meninggal maka roh ini akan kembali ke Sang Pencipta.

“akan tetapi di dalam diri manusia ada bashirah (yang tahu)"(QS 75:14).

Kata bashirah ini disebut sebagai yang tahu atas segala gerak manusia yang sekalipun sangat rahsia. Ia biasa menyebut diri (wujud)-nya adalah "Aku".

Tidak ada yang namanya Roh (Roh) jahat, ataupun lainnya. Sesungguhnya Roh itu selalu mengajak jiwa ke jalan yang lurus, tetapi syaitan sangat gigih menyeru segala yang dimiliki jiwa agar sesat.

[Firman ALLAH dalam Al-Qur’an: Syaitan adalah musuh yang nyata]

Kemana Tubuh Fizikal, Eterik, Jiwa dan ROH Pergi Ketika Meninggal Dunia?

Kembalinya Roh

ROH, yang saya tidak tahu sedikitpun tentangnya, akan terus kembali kepada Sang Pencipta.

Kembalinya Tubuh Fisik

Tubuh Fizikal yang tersusun dari metarial duniawi akan kembali menjadi bahan-bahan tanah. Tidak ada lagi kesedaran yang tersisa. Tak ada lagi cerita.

Tubuh Jiwa, kemana perginya?

Kemana perginya sangat tergantung dengan Keyakinan dan Laku Amal-Ibadah yang dilakoninya selama hidup didunia. Ketika kita memuja (membuka hati kepada) mahluk lain bukan kepada Allah SWT, kita mempersembahkan tenaga kita kepada sesama mahluk, baik manusia ataupun mahluk lain walau mereka berada di dimensi yang lebih tinggi, maka secara langsung kita membatasi diri kita sendiri dan potensi spiritual kita. Setiap saat kita membuka hati kita untuk hal/mahluk lain selain untuk berhubungan langsung dengan Allah SWT, maka kita tersesat dari tujuan hidup yang sebenarnya.

Orang yang menghambakan diri, menggadaikan diri kepada selain Allah Yang Maha Esa, akan ditarik janji gadainya. Orang yang mencari petapaan di gunung abc, akan ditagih jiwanya sebagai balasan kekayaan metarial yang didapatnya selama hidup oleh penunggu gunung abc. Orang atheis, kafir yang tidak percaya adanya Allah SWT, apalagi suka berbuat zalim, Jiwanya gelap matanya buta dan telinganya tuli. Tidak boleh melihat dan mendengar apa-apa. Jiwanya akan menunggu dalam dimensi kegelapan, hingga sangkakala berbunyi.

Orang yang beriman, yang berserah diri, yang suci, Yang mati sahid, Jiwanya akan langsung terbang, entah menuju dan menunggu dilangit yang mana. Tingginya langit yang boleh disambangi, tingginya syurga yang akan didiami, berbanding lurus dengan Kemurnian Tauhid yang diyakini dan dijalani.

Dengan demikian terserah kepada diri kita masing-masing. Apakah kita tega mengotori jiwa kita atau justru membersihkannya?

Perkara yang menghalang Makrifatullah

Perkara yang menghalang Makrifatullah PDF | Print | E-mail

Ada beberapa perkara yang menghalangi seseorang mengenal Allah, diantaranya :

1. Bersandar kepada panca Indra (2:55, 4:153).

(2:55) Dan (ingatlah), ketika kamu berkata: "Hai Musa, kami tidak akan beriman kepadamu sebelum kami melihat Allah dengan terang [50], kerana itu kamu disambar halilintar, sedang kamu menyaksikannya [51]".


[50] Maksudnya: melihat Allah dengan mata kepala.

[51] Kerana permintaan yang semacam ini menunjukkan keingkaran dan ketakaburan mereka, sebab itu mereka disambar halilintar sebagai azab dari Tuhan.

(4:153) Ahli Kitab meminta kepadamu agar kamu menurunkan kepada mereka sebuah Kitab dari langit. Maka sesungguhnya mereka telah meminta kepada Musa yang lebih besar dari itu. Mereka berkata : "Perlihatkanlah Allah kepada kami dengan nyata". Maka mereka disambar petir karena kezalimannya, dan mereka menyembah anak sapi [374], sesudah datang kepada mereka bukti-bukti yang nyata, lalu Kami maafkan (mereka) dari yang demikian. Dan telah Kami berikan kepada Musa keterangan yang nyata.

[374] Anak sapi itu dibuat mereka dari emas untuk disembah.
Mereka tidak beriman kepada Allah dengan dalil tidak melihat Allah, padahal banyak hal yang tidak boleh mereka lihat tetapi mereka meyakini akan keberadaannya seperti; gaya graviti bumi, arus listrik, akal fikiran, dan sebagainya.

2. Kesombongan (7:146).

(7:146) Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan dirinya di muka bumi tanpa alasan yang benar dari tanda-tanda kekuasaan-Ku. Mereka jika melihat tiap-tiap ayat(Ku) [569], mereka tidak beriman kepadanya. Dan jika mereka melihat jalan yang membawa kepada petunjuk, mereka tidak mahu menempuhnya, tetapi jika mereka melihat jalan kesesatan, mereka terus memenempuhnya. Yang demikian itu adalah kerana mereka mendustakan ayat-ayat Kami dan mereka selalu lalai dari padanya.
[569] Yang dimaksud dengan ayat-ayat di sini ialah: ayat-ayat Taurat, tanda-tanda kebesaran dan kekuasaan Allah.

Kesombongan menghalangi mereka untuk mengenal Allah, walaupun telah diperlihatkan kepada mereka ayat-ayat Allah tetapi mereka tetap mengingkari sehingga datang azab Allah.
3. Lengah (21:1-3).

(21:1) Telah dekat kepada manusia hari menghisab segala amalan mereka, sedang mereka berada dalam kelalaian lagi berpaling (daripadanya).

(21:2) Tidak datang kepada mereka suatu ayat Al Qur'an pun yang baru (di-turunkan) dari Tuhan mereka, melainkan mereka mendengarnya, sedang mereka bermain-main,

(21:3) (lagi) hati mereka dalam keadaan lalai. Dan mereka yang zalim itu merahasiakan pembicaraan mereka: "Orang ini tidak lain hanyalah seorang manusia (jua) seperti kamu, maka apakah kamu menerima sihir itu [952], padahal kamu menyaksikannya?"

[952] Yang mereka maksud dengan sihir di sini ialah ayat-ayat Al Qur'an.

4. Bodoh (2:118).

(2:118) Dan orang-orang yang tidak mengetahui berkata: "Mengapa Allah tidak (langsung) berbicara dengan kami atau datang tanda-tanda kekuasaan-Nya kepada kami?" Demikian pula orang-orang yang sebelum mereka telah mengatakan seperti ucapan mereka itu; hati mereka serupa. Sesungguhnya Kami telah menjelaskan tanda-tanda kekuasaan Kami kepada kaum yang yakin.

5. Ragu-ragu (6:109 - 110).

(6:109) Mereka bersumpah dengan nama Allah dengan segala kesungguhan, bahawa sungguh jika datang kepada mereka sesuatu mu'jizat, pastilah mereka beriman kepada-Nya. Katakanlah: "Sesungguhnya mu'jizat-mu'jizat itu hanya berada di sisi Allah". Dan apakah yang memberitahukan kepadamu bahawa apabila mu'jizat datang mereka tidak akan beriman [497].

[497] Maksudnya: orang-orang musyrikin bersumpah bahawa kalau datang mu'jizat, mereka akan beriman, karena itu orang-orang muslimin berharap kepada Nabi agar Allah menurunkan mu'jizat yang dimaksud. Allah menolak pengharapan kaum mu'minin dengan ayat ini.

(6:110) Dan (begitu pula) Kami memalingkan hati dan penglihatan mereka seperti mereka belum pernah beriman kepadanya (Al Quraan) pada permulaannya, dan Kami biarkan mereka bergelimang dalam kesesatannya yang sangat.

6. Taqlid (5:104, 43:23).

(5:104) Apabila dikatakan kepada mereka: "Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasul". Mereka menjawab: "Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya". Dan apakah mereka itu akan mengikuti nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk ?.

(43:23) Dan demikianlah, Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang pemberi peringatanpun dalam suatu negeri, melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata: "Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka".

Mudah-mudahan kita semua menyadari dan terhindar dari sifat-sifat yang dapat menghalangi kita dalam mengenal Allah, amiin.

Memahami "Manunggaling Kawula Gusti"

Memahami "Manunggaling Kawula Gusti" PDF | Print | E-mail

Berikut saya nukilkan sebagian dari artikel Kejawen yang berjudul : Menggapai Wahyu Dyatmiko karya Ki Sondang Mandali untuk menambah pengetahuan kita.


Dalam ajaran Kejawen ada istilah “Manunggaling Kawula Gusti”. Hal ini sering diertikan bahawa menyatunya manusia (kawula) dengan Tuhan (Gusti). Anggapan bahawa Gusti sebagai personifikasi Tuhan kurang tepat. Gusti (Pangeran, Ingsun) yang dimaksud adalah personifikasi dari Dzat Urip (Kesejatian Hidup), derivate (emanasi, pancaran, tajalli) Tuhan.

Hal ini boleh dilihat dari “Wirid 8 Pangkat Kejawen”:

Wejangan panetepan santosaning pangandel, yaiku bubuka-ning kawruh manunggaling kawula-gusti sing amangsit pikukuh anngone bisa angandel (yakin) menawa urip pribadi kayektene rinasuk dening dzate Pangeran (Dzat Urip, Sejating Urip). Pangeran iku ya jumenenge urip kita pribadi sing sejati. Roroning atunggal, sing sinebut ya sing anebut. Dene pangertene utusan iku cahya kita pribadi, karana cahya kita iku dadi panengeraning Pageran. Dununge mangkene : “Sayekti temen kabeh tumeka marang sira utusaning Pangeran metu saka awakira, mungguh utusan iku nyembadani barang saciptanira, yen angandel yekti antuk sih pangapuraning Pangeran”. Menawa bisa nampa pituduh sing mangkene diarah awas ing panggalih, ya urip kita pribadi iki jumenenging nugraha lan kanugrahan. Nugraha iku gusti, kanugrahan iku kawula. Tunggaal tanpa wangenan ana ing badan kita pribadi.

Terjemahannya :

Ajaran pemantapan keyakinan, iiaitu pembukanya kawruh (ilmu) “Manunggaling Kawula Gusti” yang memberikan wangsit (petunjuk) keteguhan untuk yakin bahawa hidup kita peribadi sesungguhnya dirasuki zatnya Tuhan (zat Urip, Sejatining Urip). Tuhan itu bertahtanya pada hidup kita yang sejati. Dwitunggal (roroning atunggal) yang disebut dan yang menyebut. Sedangkan pengertian utusan itu cahaya hidup kita peribadi, kerana cahaya hidup kita itu menjadi pertanda adanya Tuhan. Maksudnya : “Sesungguhnya nyata semua datang kepada kamu utusan Tuhan (memancar) keluar dari dirimu sendiri. Sebenarnya utusan itu mencukupi semua yang kamu inginkan, kalau percaya pasti mendapat pengampunan dari Tuhan”. Bila bias menerima petunjuk yang seperti ini supaya awas dan hati-hati, ya hidup kita ini bertahtanya nugraha dan anugerah. Nugraha itu gusti (tuhan) sedang anugerah itu kawula (abdi). Bersatu tanpa batas pemisah dalam badan kita sendiri.

******


Jadi menurut pemahaman saya peribadi, bahawa yang dimaksud dengan kawula itu adalah jiwa kita dan yang dimaksud dengan Gusti itu adalah Roh kita. Mengenai pengertian jiwa dan roh boleh dibaca pada artikel yang saya posting sebelumnya yaitu : Jiwa dan Roh

Lalu bagaimana jiwa dan roh bisa menyatu? Hal ini perlu pemahaman yang mendalam. Kerana sewaktu meninggal Ro langsung kembali kepada Allah, sedangkan jiwa mempertanggung-jawabkan perbuatannya.

Asal usul gerakan Sufi

Asal usul gerakan Sufi PDF | Print | E-mail

Sesunggunya gerakan sufi itu merupakan pola hidup zuhud terhadap dunia. Zuhud ertinya menghindari hidup berfoya-foya dan bergaya hidup mewah. Dengan hidup zuhud diharapkan seorang hamba menjadi tekun menjalankan ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah. Pola hidup zuhud ini dilakukan oleh sejumlah ulama sebagai reaksi terhadap kehidupan mewah dan tiada beragama dari sebagian umat Islam di zaman itu, terutama kumpulan berada. Hidup mewah umat Islam pada saat itu kerana dipengaruhi oleh kejayaan empayar politik Islam yang berhasil menguasai daerah-daerah subur dan kaya sejak abad pertama hijriyah.


Para ulama menerapkan pola hidup zuhud terhadap dunia dengan maksud menggunakan kehidupan yang benar-benar Islam, sebagimana yang dilakukan oleh Rasulullah saw dan umat Islam pada awal abad pertama hijriyah.

Ketika Islam berjaya dan Rasulullah saw telah wafat, begitu juga satu persatu para sahabat dan khulafaur rasyidin pergi meninggalkan mereka, ada gejala kecenderungan hidup berfoya-foya, yang mana hidup berfoya-foya itu dinilai oleh ulama sebagai penyimpangan dari ajaran islam. Oleh kerana itu, sebagian ulama berpendapat bahawa gerakan sufi sesungguhnya adalah gerakan pengembalian islam secara asli.

Munculnya gerakan sufisme juga dipicu oleh kehidupan beragama yang terlalu formal dan mengabaikan aspek batiniah. Sepeninggal Rasulullah saw seluruh jazirah Arab telah menyatakan tunduk kepada pemerintahan Madinah. Tidak terlalu lama kemudian, daerah kekuasaan politik (empayar) islam berkembang dengan cepat, meluas sampai meliputi daerah yang terbentang dari sungai Nil di bagian barat dan sungai Oxus di timur.

Ketika itu umat islam di Madinah benar-benar berjaya luar biasa. Berjaya di bidang politik dan pertahanan ternyata membawa berbagai akibat yang sangat luas. Salah satunya adalah sistem hukum sebagai salah satu alat untuk pengatur masyarakat. Aturan hukum yang kemudian dikenal dengan istilah fiqh. Lama-kelamaan istilah figh kemudian menjadi sentral dalam pemikiran agama. Dengan begitu, seringkali agama dikaitkan sebagai fiqh. Kerana yang demikian itu, maka pandangan terhadap keislaman seseorang hanya diukur bersadarkan kepatuhannya terhadap aturan fiqh.

Padahal, istilah fiqh mengandung makna asli pemahaman mendalam. Identik juga dengan syari`ah, yang secara bahasa bererti jalan menuju sumber air. Pada mulanya istilah syari`ah digunakan dalam Al-Qur`an untuk menunjuk pada suatu konsep yang luas mencakup kebenaran spiritual sufi (hakikat), kebenaran akal pada filosofi dan teologi, serta kebenaran hukum (fiqh).

Selain hal tersebut, negara yang dibentuk oleh pemerintah islam di Madinah sangat memerlukan fiqh (hukum) kerana seringkali terancam oleh berbagai tindak pembunuhan dan kekacauan. Negara tidak saja memerlukan ketertiban dan keamanan, tetapi juga kepastian hukum. Dalam keadaan seperti ini, kesalihan seseorang dalam beragama diukur berdasarkan kepatuhan terhadap hukum (fiqh). Konsep yang berkembang seperti ini perlahan-lahan membawa seseorang memahami agama sebatas aspek lahiriah saja (tinglah laku saja). Kemudian mengabaikan hal-hal yang berkenaan dengan batiniah (spiritual). Keadaan yang demikian inilah oleh golongan zuhud dianggap sebagai pengamalan agama sebatas pada formalitas saja, pengamalan agama yang hanya mengutamakan segi tingkah laku dan lahiriah.

Orang-orang yang cenderung kepada ilmu fiqh yang berpusat pada masalah-masalah fiqiyah menyebut dirinya sebagai faham keagamaan (fiqh) dan jalan yang benar (syari`ah). Sedangkan orang-orang zuhud yang berorientasi pada pengamalaman spiritual juga mengatakan bahawa dirinya sebagai pengetahuan (ma`rifah) dan jalan menuju kebahagiaan (tariqah).

PERKEMBANGAN FAHAMAN SUFI DARI WAKTU KE WAKTU


Sesungguhnya faham sufi (sufisme) itu berkembang dari waktu ke waktu mengikuti keadaan zaman. Sejak zaman Rasulullah saw hinnga sekarang, banyak diwarnai dengan keragaman. Adapun keragaman tersebut muncul dalam beberapa tahapan perkembangan.

Sebagian ulama berpendapat, ayat-ayat Al-Qur`an yang turun di Mekkah -masa Makkiyah- sudah menekankan betapa pentingnya spiritual, dalam kaitannya tentang orientasi kenabian dan tentang wahyu. Dikisahkan pengalaman spiritual kenabian yang dilalui Rasulullah saw (dikenal dengan Isra` Mi`raj), misalnya :

"Demi bintang ketika terbenam. kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru. dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat. yang mempunyai akal yang cerdas; dan (Jibril itu) menampakkan diri dengan rupa yang asli. sedang dia berada di ufuk yang tinggi. Kemudian dia mendekat, lalu bertambah dekat lagi. maka jadilah dia dekat (pada Muhammad sejarak) dua ujung busur panah atau lebih dekat (lagi). Lalu dia menyampaikan kepada hambaNya (Muhammad) apa yang telah Allah wahyukan. Hatinya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya. Maka apakah kaum (musyrik Mekah) hendak membantahnya tentang apa yang telah dilihatnya?" (QS. An Najm 1-12)

"Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (QS. Al Isra` 1)

Sebagian ulama filosof mengatakan, bahawa pengalaman isra` mi`raj Nabi lebih kepada pengalaman spiritual. Para yang mendapat cerita tentang isra` mi`raj langsung menerima dan mereka tidak bertanya mengenai pengalaman-pengalaman tersebut. Ada sejumlah alasan mengapa demikian, kerana mereka dilatih untuk suatu tujuan moral atas dasar keagamaan. Lagi pula aktiviti mereka telah membuat mereka cnederung untuk tidak bertanya-tanya tentang rahsia metafisik itu. Kedua, mereka menganggap bahawa pengalaman-pengalaman spiritual Nabi saw tersebut merupakan ciri khas seorang rasul atau utusan Tuhan. Sedangkan kewajiban mereka hanya mengimani dan melaksanakan apa yang diyakininya itu.

Dalam masa ini, Rasulullah saw menanamkan kepada umatnya -walaupun pada tingkatan yang berbeza- suatu keyakinan tentang ketuhanan, keesaanNya, kemahakuasaanNya, serta perasaan mendalam pada pertanggungjawapan dihadapan pengadilan Tuhan menyangkut perilaku selama di dunia.

Ajaran Rasulullah ini mendapat sambutan yang mendalam oleh para sahabat, terutama yang sangat dikenal adalah Abu Dzar Al Ghiffari. Dimana sepeninggal Rasulullah, Abu Dzar merupakan tokoh penting yang dikenal keshalihannya dimata penduduk Madinah. Keshalihan Abu Dzar inilah yang kemudian menjadi tunjak bagi perkembangan zuhud (sufi) dua abad pertama Hijriyah.

Pada perkembangan berikutnya, keshalihan beragama secara spiritual ini muncul dalam bentuk kehidupan zuhud. Kemunculan kehidupan zuhud dipengaruhi oleh kondisi umat islam disaat itu yang tenggelam dalam menikmati kemewahan duniawi. Kemewahan duniawi itu dipengaruhi oleh keberhasilan pemerintahan islam dalam mengembangkan politik dan militer hingga ke seluruh jazirah Arabia.

Menurut sebahagian ulama, kehidupan zuhud semata-mata merupakan reaksi terhadap kehidupan sikular dan sikap penguasa Dinasti Umayyah yang dianggap kurang beragama. Ertinya, Dinasti Umyyah telah meninggalkan keshalihan dan kesederhanaan hidup sebagaimana yang pernah dicontohkan oleh Rasulullah saw dan para sahabat empat.

Dua abad sesudah hijriyah, kemudian bermunculan tokoh-tokoh (ulama) zuhud mengembangkan konsep spiritual (batiniah) dalam beribadah disamping konsep syariat. Lalu muncullah istilah sufisme (gerakan sufi) sebagai protes terhadap kehidupan umat islam yang dianggap kurang beragama kerana tenggelam dalam kemewahan duniawi. Diantara dari para ulama zuhud itu, salah satu yang sangat terkenal adalah Hasan al-Bashri. Pengaruh konsep ajarannya demikian kuat selama berabad-abad.

Setelah itu, tradisi hidup sufi dikenal sebagai cara tertentu. Pada masa itu konsep ulama zuhud yang sangat populer adalah pemahaman tentang tawakkal (berserah diri kepada Tuhan). Kemudian berubah menjadi dokrin-dokrin yang sangat mencolok. Mereka menempuh jalan sufi dengan menyerahkan diri secara totalitas kepada Allah.

Dari sini kemudian muncul ulama-ulama sufi besar seperti Malik bin Dinar, Ibrahim bin Adham, Rabi`ah al Adhawiyah dan masih banyak lagi.

Kencenderungan pengaruh ajaran sufi pada saat itu misalnya dapat dijumpai dalam cerita tentang bagaimana Malik bin Dinar mencari nafkah (rezeki).

Malik bin Dinar memilih hanya memiliki sebidang tanah. Dimana, sebidang tanah itu dia mengusahakan kehidupan tanpa menggantungkan dirinya kepada orang lain. Sementara Wasi` lebih menyukai menjadi orang yang jika makan tidak peduli dari mana dia akan memperoleh makanan lagi nanti.

Ciri khas gerakan pada masa itu hanyalah pada zuhud dan rajin beribadah yang bertujuan untuk membersihkan jiwa secara lahir bathin. Belum ada teori-teori khusus yang menonjol.

Baru pada abad ketiga hijriyah, muncul ulama-ulama besar dalam tradisi sufi, diantaranya ialah Al Muhasibi, Dzun Nun Al Misri, Abu Yazid al Bistami, Junaid Al Baghdadi dan Abu Manshur al Halajj.

Ulama-ulama sufi tersebut menggunakan kebiasaan (tradisi) berpikir yang berkembang pada masa itu. Dzun Nun Al Misri memiliki konsep sufi yang dikenal "al ma`rifah" (pengetahuan). Abu Yazid al Bistami merumuskan konsep yang disebutnya "Al Ittihad (penyatuan hamba dengan Tuhan). Adapun Abu Manshur al Hallaj yang dikenal dengan Al Hallaj merumuskan konsep yang disebut "Al Hulul" "(Tuhan mengambil tempat dalam diri seseorang).

Sesungguhnya konsep-konsep tersebut semula tidak dikenal dalam islam. Konsep tersebut hanyalah pengaruh dari beberapa tradisi pemikiran yang ada. Namun dengan konsep tersebut, para sufi meyakini memperoleh pengetahuan tidak dengan alat indrawi atau akal sebagaimana yang ditempuh oleh para filsuf dan teolog, melainkan dengan hati dan perasaan.

Konflik Antara Tradisi Sufi dan Tradisi Fiqh


Pada perkembangan berikutnya, konsep sufisme tersebut kemudian menimbulkan konflik tajam antara tradisi fiqh dengan tradisi sufisme. Para elit birokrat dan ulama-ulama (fiqh) melarang ajaran sufi kerana dianggap sebagai bukan ajaran agama islam. Pemikiran dan ajaran "Ittihad" dan "hulul" menjadi sasaran kritik. Dianggap sebagai ajaran sesat oleh ulama-ulama yang cenderung kepada tradisi fiqh. Bahkan konflik tersebut pada penghujungnya meminta korban nyawa Al Halajj. Kita tahu bahawa Al Halajj dianggap telah menyimpang dari ajaran islam (fiqh) kemudian dihukum oleh penguasa Baghdad pada tahun 922 Hijriyah. Hal itu kerana pernyataan Al Halajj sendiri "Ana al-haq" (Aku adalah Tuhan). Inilah yang semakin memancing emosional ulama dan penguasa sehingga Al Halajj berikut konsep ajarannya harus dimusnahkan.

Pasca tragedi Al Halajj, maka para ulama fiqh menjaga jarak dengan ulama sufi. Ulama fiqh menilai bahawa ulama sufi semakin liar, baik dalam ajaran mahupun dalam amalan ibadahnya.

Oleh kerana antara keduanya berkonflik dan menjaga jarak, maka muncullah ulama-ulama yang berusaha menjadi penengah dan mendamaikan dua aliran keilmuan itu. Ada nama-nama besar yang menciptakan karya tulis dengan tujuan mencari titik temu antara kedua aliran itu. Di antaranya ialah al Sarrajj menulis kitab "Al Luma`", al Kalabadzi dengan kitabnya "al-Ta`arruf li Madzab Ahl Al Tashawwuf", dan Imam Qusyairy dengan kitabnya "al-Risalah fi ilm al-Tashawwuf".

Bersamaan dengan itu, muncul konsep tentang perjalanan sufi dalam mencapai tingkat ma`rifatullah. Konsep itu kemudian dikenal dengan istilah "maqamat" dan "ahwal".

Halaqah dan Tradisi Pembacaan Zikir


Konsep ajaran maqamat dan ahwal mendapat sambutan dari golongan sufi. Perlahan-lahan terbentuklah suatu kelompok atau organisasi. Kelompok tersebut sebagai media pertemuan dalam rangka majlis ilmu. Didalamnya terdapat perbincangan yang membicarakan tentang bentuk-bentuk ibadat, bentuk latihan spiritual yang disebut halaqah. Kemudian berkembang lagi dengan adanya acara tradisi pembacaan zikir. Ketika itu pembacaan zikir dilakukan dimana saja, termasuk di surau atau di masjid.

Tradisi pembacaan zikir dan halaqah kemudian menjadi tersusun. Lalu muncullah bentuk tariqah (jalan spiritual sufi). Semakin lama kelompok ini semakin sempurna sehingga ulama sufi yang dijadikan sebagai guru dinobatkan menjadi pemimpin. Kelompok mereka pun diberi nama. Anggota-anggotanya dibai`at. Bahkan merumuskan zikir dan silsilah yang diyakini sampai kepada sahabat Nabi saw. Sufi yang semula hanya sebagai amalan orang perseorangan (individual) kini berkembang menjadi sebuah organisasi. Pergerakan sufi yang sangat pesat, sehingga menurut tarikh, sejak abad 12 masehi, islam didominasi oleh tarikat, yang sangat berperanan dalam kehidupan sosial dan politik.

Kemudian muncullah ulama besar yang bernama Abu Hamid Al Ghazali yang sangat dikenal dengan sebutan Imam Ghazali. Dimana, Imam Ghazali menyusun kitab tasawuf yang sangat terkenal yaitu Ihya Ulumudin. Imam Ghazali sangat besar sumbangannya terhadap perkembangan sufi di dunia.

Sepeninggal Imam Ghazali, lalu tampil seorang ulama besar bernama Abdul Qadir Al Jailani. Ia dikenal sebagai pendiri tarikat Qadariah dan mulai menyebarkan ajarannya di wilayah Baghdad. Disusul Tarikat Maulawiyah yang dipimpin oleh Jalal al-Din al-Rumi. Sementara Syekh Bahaudin Naqsabandy mendirikan tarikat Naqsabandiyah.

Demikianlah sekilas sejarah perkembangan gerakan sufi. Hal ini perlu diketahui bagi orang yang hendak menempuh jalan sufi. Sebab sangat berbahaya jika seseorang memiliki pengetahuan yang dangkal tentang tasawuf atau tentang ilmu syariat, tetapi tiba-tiba taklik dan ikut melakukan riyadah tarikat. Dikhawatirkan ia tidak pernah tahu, apakah tarikat itu menyimpang (penuh dengan bid`ah) atau benar-benar berjalan di atas Al Qur`an dan As Sunnah.

The Debate with Ibn Taymiyya

The Debate with Ibn Taymiyya PDF | Print | E-mail

Ibn Ata'illah Al-Iskandari adviced Ibn Taimiyyah on Ibnu Arabi & Sufism

*The Debate with Ibn Taymiyya*

One of the great sufi imams who was also known as a muhaddith, preacher, and Maliki jurist, Abu al-Fadl Ibn `Ata Allah al-Iskandari (d. 709) is the author of al-Hikam (Aphorisms), Miftah al-falah (The key to success), al-Qasd al-mujarrad fi ma`rifat al-ism al-mufrad (The pure goal concerning knowledge of the Unique Name), Taj al-`arus al-hawi li tadhhib al-nufus (The bride's crown containing the discipline of souls), `Unwan al-tawfiq fi adab al-tariq (The sign of success concerning the discipline of the path), the biographical al-Lata'if fi manaqib Abi al-`Abbas al-Mursi wa shaykhihi Abi al-Hasan (The subtle blessings in the saintly lives of Abu al-`Abbas al-Mursi and his master Abu al-Hasan al-Shadhili), and others. He was Abu al-`Abbas al-Mursi's (d. 686) student and the second successor of the Sufi founder, Imam Abu al-Hasan al-Shadhili.

Ibn `Ata' Allah was one of those who confronted Ibn Taymiyya for his excesses in attacking those of the Sufis with whom he disagreed. He never refers to Ibn Taymiyya by name in his works, but it is clearly of him that he speaks when he says, in his Lata'if, that Allah has put the Sufis to the test through what he terms "the scholars of external learning."1 In the pages below are the first English translation of a historical account which took place between the two.


*Text of the Debate*

From Usul al-Wusulby Muhammad Zaki Ibrahim Ibn Kathir, Ibn al-Athir, and other authors of biographical dictionaries and biographies have transmitted to us this authentic historical debate.2 It gives an idea of the ethics of debate among the people of learning. It documents the controversy between a pivotal personality in tasawwuf, Shaykh Ahmad Ibn Ata' Allah al-Iskandari, and an equally important person of the so-called "Salafi" movement, Shaykh Ahmad Ibn `Abd al-Halim Ibn Taymiyya during the Mamluke era in Egypt under the reign of the Sultan Muhammad Ibn Qalawun (al-Malik al-Nasir).

The Testimony of Ibn Taymiyya to Ibn `Ata' Allah: Shaykh Ibn Taymiyya had been imprisoned in Alexandria. When the Sultan pardoned him, he came back to Cairo. At the time of the evening prayer he went to al-Azhar mosque where salat al-maghrib was being led by Shaykh Ahmad Ibn `Ata Allah al-Iskandari. Following the prayer, Ibn `Ata' Allah was surprised to discover that Ibn Taymiyya had been praying behind him. Greeting him with a smile, the Sufi shaykh cordially welcomed Ibn Taymiyya's arrival to Cairo, saying: "as-Salamu alaykum". Then Ibn `Ata' Allah started to talk with the learned visitor.
Ibn `Ata' Allah: "Ordinarily, I pray the evening prayer in the Mosque of Imam Husayn and the night prayer here. But look how the Divine plan works itself out! Allah has ordained that I should be the first one to greet you (after your return to Cairo). Tell me, O faqih, do you blame me for what happened?

Ibn Taymiyya: "I know you intended me no harm, but our differences of opinion still stand. In any case, whoever has harmed me in any way, from this day on I hereby exonerate and free him from any blame in the matter."

Ibn `Ata' Allah: "What is it you know about me, Shaykh Ibn Taymiyya?"
Ibn Taymiyya: "I know you to be a man of scrupulous piety, abundant learning, integrity and truthfulness in speech. I bear witness that I have seen no one like you either in Egypt or Syria who loves Allah more nor who is more self-effacing in Him nor who is more obedient in carrying out what He has commanded and in refraining from what He has forbidden. Nevertheless, we have our differences. What do you know about me? Are you claiming that I am misguided when I deny the validity of calling on anyone save Allah for aid (istighatha)?"

Ibn `Ata' Allah: "Surely, my dear colleague, you know that istighatha or calling for help is the same as tawassul or seeking a means and asking for intercession (shafa`a); and that the Messenger, on him be peace, is the one whose help is sought since he is our means and he the one whose intercession we seek."

Ibn Taymiyya: "In this matter, I follow what the Prophet's Sunna has laid down in the Shari`a. For it has been transmitted in a sound hadith: "I have been granted the power of intercession."3 I have also collected the sayings on the Qur'anic verse: "It may be that thy Lord will raise thee (O Prophet) to a praised estate" (17:79) to the effect that the "praised estate" is intercession. Moreover, when the mother of the Commander of the Faithful `Ali died, the Prophet prayed to Allah at her grave and said:O Allah who lives and never dies, who quickens and puts to death, forgive the sins of my mother Fatima bint Asad, make wide the place wherein she enters through the intercession of me, Thy Prophet, and the Prophets who came before me. For Thou art the most merciful of those capable of having mercy.4

This is the intercession that belongs to the Prophet, on him be peace. As for seeking the help of someone other than Allah, it smacks of idolatry; for the Prophet commanded his cousin `Abd Allah ibn `Abbas not to ask of anyone to help him other than Allah."5
Ibn `Ata' Allah: May Allah cause you to prosper, O faqih! As for the advice which the Prophet -- on him be peace -- gave to his cousin Ibn Abbas, he wanted him to draw near to Allah not through his familial relationship to the Prophet but through his knowledge. With regard to your understanding of istighatha as being seeking the aid of someone other than Allah which is idolatry, I ask you: Is there any Muslim possessed of real faith and believing in Allah and His Prophet who thinks there is someone other than Allah who has autonomous power over events and who is able to carry out what He has willed with regard to them? Is there any true believer who believes that there is someone who can reward him for his good deeds and punish him for his bad ones other than Allah?

Besides this, we must consider that there are expressions which should not be taken just in their literal sense. This is not because of fear of associating a partner with Allah and in order to block the means to idolatry. For whoever seeks help from the Prophet only seeks his power of intercession with Allah as when you yourself say: "This food satisfies my appetite." Does the food itself satisfy your appetite? Or is it the case that it is Allah who satisfies your appetite through the food?

As for your statement that Allah has forbidden Muslims to call upon anyone other than Himself in seeking help, have you actually seen any Muslim calling on someone other than Allah? The verse you cite from the Qur'an was revealed concerning the idolaters and those who used to call on their false gods and ignore Allah. Whereas, the only way Muslims seek the help of the Prophet is in the sense of tawassul or seeking a means, by virtue of the privilege he has received from Allah (bi haqqihi `inda Allah), and tashaffu` or seeking intercession, by virtue of the power of intercession which Allah has bestowed on him.
As for your pronouncement that istighatha or seeking help is forbidden in the Shari`a because it can lead to idolatry, if this is the case, then we ought also to prohibit grapes because they are means to making wine, and to castrate unmarried men because not to do so leaves in the world a means to commit fornication and adultery."

At the latter comment both the shaykhs laughed.

Ibn `Ata Allah continued: "I am acquainted with the all-inclusiveness and foresight of the legal school founded by your Shaykh, Imam Ahmad, and know the comprehensiveness of your own legal theory and about its principle of blocking the means to evil (sadd al-dhara'i`) as well as the sense of moral obligation a man of your proficiency in Islamic jurisprudence and integrity must feel. But I realize also that your knowledge of language demands that you search out the hidden meanings of words which are often shrouded behind their obvious senses. As for the Sufis, meaning for them is like a spirit, and the words themselves are like its body. You must penetrate deeply into what is behind the verbal body in order to seize the deeper reality of the word's spirit.

Now you have found a basis in your ruling against Ibn `Arabi in the Fusus al-hikam, the text of which has been tampered with by his opponents not only with things he did not say, but with statements he could not even have intended saying (given the character of his Islam). When Shaykh al-Islam al-`Izz ibn `Abd al-Salam understood what Shaykh Ibn `Arabi had actually said and analyzed, grasped and comprehended the real meaning of his symbolic utterances, he asked Allah's pardon for his former opinion about the Shaykh and acknowledged that Muhyiddin ibn `Arabi was an Imam of Islam.6

As for the statement of al-Shadhili against Ibn Arabi, you should know that Abu al-Hasan al-Shadhili is not the person who said it but one of the students of the Shadhiliyya.

Furthermore, in making this statement that student was talking about some of the followers of Shadhili. Thus, his words were taken in a fashion he himself never intended.
"What do you think about the Commander of the Faithful, Sayyidina `Ali ibn Abi Talib, may Allah be pleased with him?"

Ibn Taymiyya: In the hadith the Prophet, on him be peace, said: "I am the city of knowledge and `Ali is its door."7 Sayyidina `Ali is the one mujahid who never went out to battle except to return victoriously. What scholar or jurist who came after him struggled for the sake of Allah using tongue, pen and sword at the same time? He was a most accomplished Companion of the Prophet -- may Allah honor his countenance. His words are a radiant lamp which have illumined me during the entire course of my life after the Qur'an and Sunna. Ah! one who is ever short of provision and long in his journeying.

Ibn `Ata' Allah: Now, did Imam `Ali ask anyone to take his side in a faction? For this faction has claimed that the Angel Gabriel made a mistake and delivered the revelation to Muhammad -- on him be peace instead of `Ali! Or did he ask them to claim that Allah had become incarnate in his body and the Imam had become divine? Or did he not fight and slay them
and give a fatwa (legal opinion) that they should be killed wherever they were found?
Ibn Taymiyya: "On the basis of this very fatwa, I went out to fight them in the mountains of Syria for more than ten years.
Ibn `Ata' Allah: And Imam Ahmad -- may Allah be pleased with him -- questioned the actions of some of his followers who were in the habit of going on patrols, breaking open casks of wine (in the shops of their Christian vendors or wherever they find them), spilling their contents on the floor, beating up singing girls, and confronting people in the street. All of this they did in the name of enjoining good and prohibiting what is forbidden. However, the Imam had not given any fatwa that they should censure or rebuke all those people. Consequently, these followers of his were flogged, thrown into jail, and paraded mounted on assback facing the tail.

Now, is Imam Ahmad himself responsible for the bad behavior which the worst and most vicious Hanbalis continue to perpetrate right down to our own day, in the name of enjoining good and prohibiting what is forbidden?

All this is to say that Shaykh Muhyiddin Ibn `Arabi is innocent with respect to what those of his followers do who absolve people of legal and moral obligations set down by the religion and from committing deeds that are prohibited. Do you not see this?
Ibn Taymiyya: "But where do they stand with respect to Allah? Among you Sufis are those who assert that when the Prophet -- on him be peace -- gave glad tidings to the poor and said that they would enter paradise before the rich, the poor fell into ecstasy and began to tear their garments into pieces; that at that moment the Angel Gabriel descended from heaven and said to the Prophet that Allah had sought his rightful portion from among these torn garments; and that the Angel Jibril carried one of them and hung it on Allah's throne. For this reason, they claim, Sufis wear patchworked garments and call themselves fuqara' or the "poor"!

Ibn `Ata' Allah: "Not all Sufis wear patchworked vests and clothing. Here I am before you: what do you disapprove of in my appearance?"

Ibn Taymiyya: "You are from the men of Shari`a and teach in al-Azhar."

Ibn `Ata' Allah: "al-Ghazali was equally an Imam both in Shari`a and tasawwuf. He treated legal rulings, the Sunna, and the Shari'a with the spirit of the Sufi. And by applying this method he was able to revive the religious sciences. We know that tasawwuf recognizes that what is sullied has no part in religion and that cleanliness has the character of faith. The true and sincere sufi must cultivate in his heart the faith recognized by the Ahl al-Sunna.

Two centuries ago the very phenomena of pseudo-Sufis appeared which you yourself criticize and reject. There were persons who sought to diminish the performance of worship and religious obligations, lighten fasting and belittle the five daily prayers. They ran wild into the vast arenas of sloth and heedlessness, claiming that they had been liberated from the shackles of the slavery of divine worship. Not satisfied with their own vile deeds until they have claimed intimations of the most extravagent realities and mystical states just as Imam al-Qushayri himself described in his well-known Risala, which he directed against them. He also set down in detail what constituted the true path to Allah, which consists in taking a firm hold upon the Qur'an and the Sunna. The Imams of tasawwuf desire to arrive at the true reality not only by means of rational evidences thought up by the human mind which are capable of being false as well as true, but by means of purifying the heart and purging the ego through a course of spiritual exercises. They cast aside concerns for the life of this world inasmuch as the true servant of Allah does not busy himself with anything else except love of Allah and His Prophet. This is a high order of business and one which makes a servant pious and healthy and prosperous. It is an occupation that reforms those things that corrupt the human creature, such as love of money and ambition for personal standing in society. However, it is an order of business which is constituted by nothing less than spiritual warfare for the sake of Allah.

My learned friend, interpreting texts according to their literal meanings can sometimes land a person in error. Literalism is what has caused your judgments about Ibn `Arabi who is one of the Imams of our faith known for his scrupulous piety. You have understood what he wrote in a superficial fashion; whereas sufis are masters of literary figures which intimate much deeper meanings, hyperbolic language that indicates heightened spiritual awareness and words which convey secrets concerning the realm of the unseen."
Ibn Taymiyya: "This argument is against you, not in your favor. For when Imam al-Qushayri saw his followers deviating from the path to Allah he took steps to improve them. What do the sufi shaykhs in our day do? I only ask that Sufis follow the path of the Sunna of these great and pious ancestors of our faith (Salaf): the ascetics (zuhhad) among the Companions, the generation which suceeded them, and the generation that followed in their footsteps to their best! Whoever acts in this way I esteem him highly and consider him to be an Imam of the religion. As for unwarranted innovation and the insertion of the ideas of idolaters such as the Greek philosophers and the Indian Buddhists, or like the idea that man can incarnate Allah (hulul) or attain unity with Him (ittihad), or the theory that all existence is one in being (wahdat al-wujud) and other such things to which your Shaykh summons people: this is clearly godlessness and unbelief."

Ibn `Ata' Allah: "Ibn `Arabi was one of the greatest of the jurists who followed the school of Dawud al-Zahiri after Ibn Hazm al-Andalusi, who is close to your methodology in Islamic law, O Hanbalis! But although Ibn `Arabi was a Zahiri (i.e. a literalist in matters of Islamic law), the method he applied to understand ultimate reality (al-haqiqa) was to search out the hidden, spiritual meaning (tariq al-batin), that is, to purify the inward self (tathir al-batin).8 However, not all followers of the hidden are alike. In order that you not err or forget, repeat your reading of Ibn `Arabi with fresh understanding of his symbols and inspirations. You will find him to be very much like al-Qushayri. He has taken his path in tasawwuf under the umbrella of the Qur'an and Sunna just like the Proof of Islam, Shaykh al-Ghazali, who carried on debates about doctrinal differences in matters of creed and issues of worship but considered them occupations lacking in real value and benefit. He invited people to see that the love of Allah is the way of a proper servant of Allah with respect to faith.

Do you have anything to object to in this, O faqih? Or do you love the disputations of Islamic jurists? Imam Malik, may Allah be pleased with him, exercised extreme caution about such wrangling in matters of creed and used to say: "Whenever a man enters into arguing about issues of creed it diminishes his faith." Similarly al-Ghazali said: The quickest means of drawing near to Allah is through the heart, not the body. I do not mean by heart this fleshy thing palpable to seeing, hearing, sight and touch. Rather, I have in mind the inner most secret of Allah himself the Exalted and Great which is imperceptible to sight or touch. Indeed, the Ahl al-Sunna are the very ones who named the Sufi shaykh al-Ghazali: "the Proof of Islam,"9 and there is no-one to gainsay his opinions even if one of the scholars has been excessive in praising his book when he said: "The Ihya' `ulum al-din was almost a Qur'an."10

The carrying out of religious obligation (taklif) in the view of Ibn `Arabi and Ibn al-Farid is a worship whose mihrab, or prayer-niche indicating the orientation of prayer, is its inward aspect, not merely its external ritual. For what is the good of you standing and sitting in prayer if your heart is preoccupied with something other than Allah. Allah praises people when He says in the Qur'an: "Those who are humble in their prayer" (23:2) and He blames peoples when He says: "Those who are heedless in their prayer" (107:5). This is what Ibn `Arabi means when he says: "Worship is the mihrab of the heart, that is, the inward aspect of prayer not the outward."

The Muslim is unable to arrive at the knowledge of certitude (`ilm al-yaqin) nor at certitude itself (`ayn al-yaqin) of which the Qur'an speaks unless he evacuates his heart from whatever distracts it in the way of wordly cravings and center himself on inward contemplation. Then the outpourings of Divine reality will fill his heart, and from there will spring his sustenance. The real sufi is not the one who derives his sustenace from asking and begging people for alms. The only one who is sincere is he who rouses his heart and spirit to self-obliteration in Allah by obedience to Allah. Perhaps Ibn `Arabi caused the jurists to rise up against him because of his contempt of their preoccupation with arguing and wrangling about credal matters, actual legal cases, and hypothetical legal situations, since he saw how much it distracted them from purifying the heart. He named them "the jurists of women's menses." May Allah grant you refuge from being among them! Have you read Ibn `Arabi's statement that: "Whoever builds his faith exclusively on demonstrative proofs and deductive arguments, builds a faith on which it is impossible to rely. For he is affected by the negativities of constant objections. Certainty (al-yaqin) does not derive from the evidences of the mind but pours out from the depths of the heart." Have you ever read talk as pure and sweet as this?"

Ibn Taymiyya: "You have spoken well if only your master were as you say, for he would then be as far as possible from unbelief. But what he has said cannot sustain the meanings that you have given in my view."11

Footnote for the above text.

1. Ibn `Ata Allah, Lata'if al-minan fi manaqib Abi al-`Abbas.on the margins of Sha`rani's Lata'if al-minan wa al-akhlaq (Cairo, 1357) 2:17-18.
2. See Ibn al-`Imad, Shadharat al-dhahab (1350/1931) 6:20f.; al- Zirikly, al-A`lam (1405/1984) 1:221; Ibn Hajar, al-Durar al-kamina (1348/1929) 1:148-273; Al-Maqrizi, Kitab al-suluk (1934-1958) 2:40-94; Ibn Kathir, al-Bidaya wa al-nihaya (1351/1932) 14:45; Subki, Tabaqat al-shafi`iyya (1324/1906) 5:177f. and 9:23f.; Suyuti, Husn al-muhadara fi akhbar misr wa al-qahira (1299/) 1:301; al-Dawadari, al-Durr al-fakhir fi sirat al-malik al-Nasir (1960) p. 200f.; al-Yafi`i, Mir'at al-janan (1337/1918) 4:246; Sha`rani, al-Tabaqat al-kubra (1355/1936) 2:19f.; al-Nabahani, Jami` karamat al-awliya' (1381/1962) 2:25f.
3. Bukhari and Muslim, hadith of Jabir: "I have been given five things which no prophet was given before me..."
4. al-Tabarani relates it in al-Kabir. Ibn Hibban and al-Hakim declare it sound. Ibn Abi Shayba on the authority of Jabir relates a similar narrative. Similar also is what Ibn `Abd Al-Barr on the authority of Ibn `Abbas and Abu Nu`aym in his Hilya on the authority of Anas Ibn Malik relate, as al-Hafiz al-Suyuti mentioned in the Jami` al-Kabir. Haythami says in Majma` al-zawa'id: "Tabarani's chain contains Rawh ibn Salah who has some weakness but Ibn Hibban and al-Hakim declared him trustworthy. The rest of its sub-narrators are the men of sound hadith." This Fatima is `Ali's mother, who raised the Prophet.
5. Hadith: "O young man... if you have need to ask, ask of Allah. If you must seek help, seek help from Allah..." (ya ghulam ala u`allimuka...): Tirmidhi (#2516 hasan sahih); Bayhaqi in Asma' wa al-sifat p. 75-76 and Shu`ab al-iman 2:27-28 (#1074-1075) and 7:203 (#10000); Ahmad 1:307; Tabarani; Ibn Hibban; Abu Dawud; al-Hakim; Nawawi included it in his 40 Hadiths (#19) but Ibn al-Jawzi placed it among the forgeries.
6. See al-`Izz ibn `Abd al-Salam al-Maqdisi's Zabad khulasat al-tasawwuf (The quintessence of self-purification) (Tanta: al-matba`a al-yusufiyya). Published under the title Hall al-rumuz wa-mafatih al-kunuz (The explanation of symbols and the keys to treasures) (Cairo: al-maktab al-fanni li al-nashr, 1961). Note that this is a different author than Shaykh al-Islam al-`Izz ibn `Abd al-Salam al-Sulami.
7. From the Reliance of the Traveller p. 954-957: "(`Ali Qari:) The Hadith "I am the city of knowledge and `Ali is its gate" was mentioned by Tirmidhi... [who] said it was unacknowledgeable. Bukhari also said this, and said that it was without legitimate claim to authenticity. Ibn Ma`in said that it was a baseless lie, as did Abu Hatim and Yahya ibn Sa`id. Ibn Jawzi recorded it in his book of Hadith forgeries, and was confirmed by Dhahabi, and others in this. Ibn Daqiq al-`Eid said, "This Hadith is not confirmed by scholars, and is held by some to be spurious." Daraqutni stated that it was uncorroborated. Ibn Hajar `Asqalani was asked about it and answered that it was well authenticated (hasan), not rigorously authenticated (sahih), as Hakim had said, but not a forgery (mawdu`), as Ibn Jawzi had said. This was mentioned by Suyuti. The Hadith master (hafiz) Abu Sa`id `Ala'i said, "The truth is that the Hadith is well authenticated (hasan), in view of its multiple means of transmission, being neither rigorously authenticated (sahih) nor weak (da`if), much less a forgery" (Risala al-mawdu`at, 26)."

8. This is a key equivalence in Ibn `Ata Allah's Hikam, for example #205: "Sometimes lights come upon you and find the heart stuffed with forms of created things, so they go back from whence they descended." Ibn `Ata' Allah, Sufi Aphorisms (Kitab al-hikam), trans. Victor Danner (Leiden: E.J. Brill, 1984) p. 53.
9. As illustrated by Salah al-Din al-Safadi for Ghazali's entry in his biographical dictionary: "Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Ahmad, the Proof of Islam, the Ornament of the Faith, Abu Hamid al-Tusi..." al-Safadi, al-Wafi bi al-wafayat 1:274.
10. Ironically, a similar kind of praise on Ibn `Ata' Allah's own book al-Hikam is related on the authority of the great shaykh Mawlay al-`Arabi al-Darqawi by Ibn `Ajiba in Iqaz al-himam (p. 3-4): "I heard the jurist al-Bannani say: "The Hikam of Ibn `Ata' is almost a revelation (wahy). Were it permitted to recite the daily prayer without the Qur'an, the words of the Hikam would be allowed." He meant by this that there is nothing in the Hikam except what proceeds from the Qur'an and points back to it again, and Allah knows best.
11. In Muhammad Zaki Ibrahim, Usul al-wusul (Cairo: 1404/ 1984) 299-310.
"Reproduced with permission from Shaykh M. Hisham Kabbani's
The Repudiation of "Salafi" Innovations (Kazi, 1996) p. 367-379.
Blessings and Peace on the Prophet, his Family, and his Companions

Dialog Ibn Athaillah dan Ibn Taymiyah (Malay)

Dialog Ibn Athaillah dan Ibn Taymiyah (Malay) PDF | Print | E-mail

Asy-Syeikh Ibn Athaillah merupakan seorang ahli sufi, ahli hadith, ahli fiqh Mazhab Maliki dan seorang khalifah Tariqat Syazilliyah. Antara karyanya yang termasyhur ialah kitab Hikam.
Satu ketika Syeikh Ibn Taymiah telah diampunkan sultan lalu dibebaskan. Sebaik sahaja dibebaskan, beliau dari Iskandariah terus kembali ke Kaherah lalu solat Maghrib di Masjid Al Azhar.

Kebetulan yang mengimamkan solat ialah Syeikh Ibn Athaillah. Nampaknya Ibn Taimiah tidak ada masalah untuk berimamkan seorang ahli sufi. Kalau benarlah Ibn Taimiyah membid’ahkan pegangan dan fahaman tariqat, mengapa mudah saja beliau menjadi makmum kepada Ibn Athaillah?
Selesai solat Ibn Athaillah terpandang Ibn Taymiyah di belakangnya lalu menegurnya. Merekapun bersembang bertukar-tukar fikiran. Berikut adalah antara dialog mereka:

IBN ATHAILLAH:
Biasanya aku solat di masjid Imam Hussein dan solat Isya’ di sini, tapi lihatlah bagaimana ketentuan Allah berlaku. Allah mentakdirkan akulah orang pertama yang menyambut engkau (selepas dibebaskan dari penjara dan datang ke mari). Ceritakanlah kepadaku wahai faqih, apakah engkau menyalahkan aku atas apa yang telah terjadi?

IBN TAYMIYAH:
Aku tahu, engkau tidak berniat buruk terhadapku, tapi perbezaan pandangan antara kita tetap ada. Mulai hari ini, dalam masalah apapun aku tidak mempersalahkan dan membebaskan daripada kesalahan, sesiapapun yang melakukan keburukan terhadapku.
(Ini menunjukkan betapa tingginya budi Ibn Taymiyah)

IBN ATHAILLAH:
Apa yang engkau tahu tentang aku wahai Syeikh Ibn Taymiyah?

IBN TAYMIYAH:
Aku tahu engkau adalah seorang yang soleh, berpengetahuan luas, dan sentiasa berkata yang benar dan tulus. Aku bersumpah tidak ada orang selain engkau, baik di Mesir mahupun di Syria yang lebih mencintai Allah ataupun mampu meniadakan diri di (hadapan) Allah atau lebih patuh atas perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Namun kita tetap mempunyai pandangan yang berbeza.
(Walaupun mereka berbeza pandangan dalam aspek-aspek tertentu, namun Ibn Taymiyah sangat menghormati Ibn Athaillah bahkan mengakui kredibilitinya. Keadaan ini jauh berbeza dengan fahaman dan perilaku sebahagian orang hari ini yang mendakwa peminat Ibn Taymiyah. Semua tulisan dalam kurungan adalah penjelasan Alexanderwathern)
Apa yang engkau tahu tentang aku?
Apakah engkau atau aku sesat- dalam menolak kebenaran meminta bantuan seseorang untuk memohon pertolongan Allah (dalam kes istighatsah)?

IBN ATHAILLAH:
Tentu saja sahabatku engkau tahu bahawa istighatsah atau memohon pertolongan sama dengan tawasul atau mengambil wasilah (pengantara) dan meminta syafaat, dan sesungguhnya Rasulullah saw adalah seorang yang kita harapkan bantuannya kerana bagindalah pengantara kita dan syafaatnyalah yang kita harapkan.

IBN TAYMIYAH:
Dalam hal ini aku berpegang kepada sunnah Rasul yang ditetapkan dalam syariat.
Dalam hadith yang berbunyi: “Aku telah dianugerahkan kekuatan syafaat.” Dalam ayat al Quran juga dinyatakan: "Mudah-mudahan Allah akan menaikkan kamu (wahai Nabi) ke tempat yang terpuji.” (Q.S Al Isra : 79).
Yang dimaksud dengan tempat terpuji adalah syafaat. Lebih jauh lagi, saat ibu kepada Khalifah Ali ra meninggal dunia, Rasulullah berdoa kepada Allah di kuburnya:
"Ya Allah Yang Maha Hidup dan Tak Pernah Mati, Yang Menghidupkan dan Mematikan, ampuni dosa-dosa ibuku (ibu saudaraku) Fatimah binti Asad, lapangkanlah kubur yang akan dimasukinya dengan syafaatku, utusanMu, dan para nabi sebelumku. Karena Engkaulah Yang Maha Pengasih dan Maha Pengampun".

Inilah syafaat yang dimiliki Rasulullah saw.
Sementara mencari pertolongan daripada selain Allah, merupakan suatu bentuk kemusyrikan. Rasulullah saw sendiri melarang sepupunya, Abdullah bin Abbas, memohon pertolongan daripada selain Allah.

IBN ATHAILLAH:
Semoga Allah mengurniakan engkau kejayaan, wahai faqih! Maksud daripada teguran Rasulullah saw kepada sepupunya Ibn Abbas, adalah agar dia (Ibn Abbas) mendekatkan diri kepada Allah bukan (dengan jalan) melalui kekerabatannya dengan rasul melainkan dengan ilmu pengetahuan.
(Sangat jelas maksud teguran Rasulullah kepada Ibn Abbas tersebut. Nyatalah selama ini Ibn Taimiyah tersalah faham)


Sedangkan mengenai pemahaman engkau tentang istighasah sebagai mencari bantuan kepada selain Allah- yang termasuk perbuatan musyrik, aku ingin bertanya kepada engkau:


Adakah muslim yang beriman kepada Allah dan rasul-Nya yang berpendapat -ada selain Allah yang memiliki kekuasaaan atas segala kejadian dan mampu menjalankan apa yang telah ditetapkan-Nya berkenaan dengan dirinya sendiri?
(Jawapannya… tentulah tidak ada. Apa yang berlaku semuanya dengan kekuasaan Allah. Allah berkuasa, makhluk langsung tak ada apa-apa).


Adakah mukmin sejati yang meyakini, ada yang dapat memberikan pahala atas kebaikan dan menghukum atas perbuatan buruk, selain daripada Allah?
(Jawapannya, tidak ada juga)


Di samping itu, seharusnya kita sedar bahawa ada berbagai ekspresi yang tak dapat dimaknai sebatas harfiah belaka. Ini bukan saja dikhuatirkan akan membawa kepada kemusyrikan, tapi juga untuk mencegah kemusyrikan.
Sebab, siapapun yang meminta pertolongan Rasul bererti mengharapkan anugerah syafaat yang dimiliknya daripada Allah, sebagaimana jika engkau mengatakan: "Makanan ini memuaskan seleraku".
Apakah itu bermaksud makanan itu sendiri yang memuaskan selera engkau? Ataupun Allahlah yang memberikan kepuasan melalui makanan?


(Meminta bantuan kepada seseorang itu tidak semestinya bermaksud kita menduakan Allah, tidak semestinya menjadikan kita syirik. Samalah seperti seorang suami berkata kepada isterinya, “Sayang, tolong gorengkan ayam untuk abang.” Adakah ini bermaksud isterinya yang berkuasa mutlak menjadikan ayam itu digoreng? Tentu tidak. Yang berkuasa mutlak hanyalah Allah, si isteri sebagai pengantara sahaja, sebagai tukang proses sahaja)

Sedangkan kenyataan engkau bahawa Allah melarang orang Islam untuk mendatangi seseorang selain daripada Diri-Nya untuk mendapat pertolongan, pernahkah anda melihat seorang muslim memohon pertolongan kepada selain Allah?


Ayat Al Quran yang engkau rujuk (sebenarnya) berkenaan dengan kaum musyrikin, dan mereka yang memohon kepada dewa, dan berpaling daripada Allah (tidak ada kena –mengena pun dengan kes tersebut). Sedangkan satu-satunya jalan bagi kaum muslim yang meminta pertolongan rasul adalah dalam rangka bertawasul atau mengambil pengantara, atas keutamaan (hak) rasul yang diterimanya daripada Allah (bihaqqihi inda Allah) dan tashaffu atau memohon bantuan dengan syafaat yang telah Allah anugerahkan kepada rasul-Nya.

Sementara itu, jika engkau berpendapat bahawa istighasah atau memohon pertolongan itu dilarang syariat kerana mengarah kepada kemusyrikan, maka kita seharusnya mengharamkan anggur kerana dapat dijadikan (mengarah kepada terhasilnya) minuman keras, dan mengembiri lelaki yang tidak menikah untuk mencegah zina (kerana ia mengarah kepada terhasilnya zina).

*Kedua-dua syeikh tertawa atas ulasan terakhir ini.

Aku kenal betul dengan segala inklusifitas dan gambaran mengenai sekolah fiqh yang didirikan oleh syeikh engkau, Imam Ahmad (pengasas Mazhab Hanbali), dan aku tahu betapa luasnya teori fiqih serta mendalamnya "prinsip-prinsip agar terhindar daripada godaan syaitan" yang engkau miliki, sebagaimana juga tanggung jawab moral yang engkau pikul selaku seorang ahli fiqh.

Namun aku juga menyedari bahawa engkau dituntut menyelidik di sebalik kata-kata untuk menemukan makna yang seringkali terselubung di sebalik kondisi harfiahnya.


Bagi sufi, makna laksana ruh, sementara kata-kata adalah jasadnya. Engkau kena menembus ke dalam jasad fizik ini untuk meraih hakikat yang mendalam. Kini engkau telah memperoleh dasar bagi pernyataan engkau terhadap karya Ibn Arabi (seorang tokoh sufi besar yang sering dikaitkan oleh musuh-musuhnya, dan orang-orang jahil di kemudian hari dengan Wahdatul Wujud, padahal beliau sendiri tidak pernah menyebut istilah tersebut), Fususul Hikam. Naskhah tersebut telah disabotaj oleh musuhnya, bukan saja dengan kata-kata yang tak pernah diucapkannya, juga kenyatan-kenyataan yang tidak (pernah) dimaksudkannya. (Lebih malang lagi, banyak pula orang-orang jahil hari ini yang mempercayai segala sabotaj musuh-musuh Ibn Arabi tersebut secara taqlid buta)

Ketika Syeikhul Islam Al Izz ibn Abdul Salam memahami apa yang sebenarnya yang diucapkan dan dianalisis oleh Ibn Arabi, menangkap dan mengerti makna sebenarnya di sebalik ungkapan simboliknya, dia segera memohon ampun kepada Allah swt atas pendapatnya sebelum itu dan meletakkan Muhyiddin Ibn Arabi sebagai Imam Islam.
(Sebelum itu Izz Abdul juga bersikap seperti Ibn Taymiyah, menentang Ibn Arabi dan karyanya. Biasalah, kebanyakan manusia memusuhi apa yang dia tidak tahu, apa yang dia belum tahu kerana tidak cukup maklumat, atau tersalah faham, atau memang jahil, atau berlagak pandai, atau taqlid buta dengan buku atau tokoh yang diminatinya, atau ingin menjadi hero segera, atau disalahfahamkan oleh orang lain dan sebagainya. Jelas dalam hal ini Ibn Taymiyah tidak membuat kajian mendalam terlebih dahulu sebelum mengeluarkan fatwa/ pendapatnya tentang Ibn Arabi serta karya-karyanya)

Sedangkan mengenai kenyataan al Syazili yang menjatuhkan (kredibiliti) Ibn Arabi, engkau kena tahu, ucapan tersebut tidak keluar daripada mulutnya melainkan daripada salah seorang murid Syadziliyah.
Lebih jauh lagi, kenyataan itu dikeluarkan ketika para murid membicarakan (perilaku) sebahagian (daripada) pengikut Syadziliyah.
Dengan itu, kenyataan itu diambil dalam konteks yang tak pernah dimaksudkan oleh sang pembicaranya sendiri.
(Sebelum itu Ibn Taimiyah mengukuhkan penolakannya terhadap Ibn Arabi melalui kenyataan yang kononnya dibuat oleh Imam asy Syazili. Rupa-rupanya Ibn Taymiyah menerima maklumat yang salah. Beberapa kali Ibn Taimiyah membuat keputusan tanpa kajian yang mendalam dalam banyak hal. Kelemahannya inilah antara penyebab dia dipenjarakan)


"Apa pendapat engkau mengenai khalifah Saidina Ali bin Abi Talib?"

IBN TAYMIYAH:
Dalam salah satu hadithnya, Rasulullah saw bersabda:
"Aku adalah kota ilmu dan Ali adalah pintunya".
Sayyidina Ali adalah merupakan seorang mujahid yang tak pernah keluar dari pertempuran kecuali dengan membawa kemenangan. Siapa lagi ulama atau fuqaha sesudahnya yang mampu berjuang demi Allah menggunakan lidah, pena dan pedang sekaligus? (Tapi Ibn Taymiyah sendiri seorang tokoh yang berjuang melalui lidah, pena dan pedang sekaligus). Dialah sahabat rasul yang paling sempurna-semoga Allah membalas kebaikannya. Ucapannya bagaikan cahaya lampu yang menerangi sepanjang hidupku selepas al Quran dan sunnah. Duhai! Seseorang yang meski sedikit perbekalannya namun panjang perjuangannya.

IBN ATHAILLAH:
Sekarang, apakah Imam Ali ra meminta agar orang-orang berpihak padanya dalam suatu paksi?
Sementara paksi ini mendakwa bahawa malaikat Jibril melakukan kesalahan dengan menyampaikan wahyu kepada Muhammad saw, bukannya kepada Ali!
Atau pernahkah dia ( Ali) meminta mereka untuk menyatakan bahawa Allah menitis ke dalam tubuhnya dan sang imam menjadi Tuhan?
Ataupun dia tidak menentang dan membanteras mereka dengan memberikan fatwa (ketentuan hukum) bahawa mereka harus dibunuh di manapun mereka ditemui?
(Ini bicara tentang kelompok Syiah yang ekstrem)

IBN TAYMIYAH:
Berdasarkan fatwa inilah saya memerangi mereka di pegunungan Syria selama lebih daripada 10 tahun. (Melalui jawapan ini jelas Ibn Taymiyah bersetuju dengan apa yang diperkatakan oleh Ibn Athaillah).

IBN ATHAILLAH:
Dan Imam Ahmad- semoga Allah meredhainya-mempersoalkan perbuatan sebahagian pengikutnya yang berpatroli, memecahkan tong-tong anggur (di kedai-kedai menjual arak), menumpahkan isinya ke lantai, memukul gadis para penyanyi, dan menyerang masyarakat di jalan.
Meskipun sang Imam tidak memberikan fatwa bahawa mereka harus mengecam dan mengherdik orang-orang tersebut. Konsekuensinya para pengikutnya ini dicambuk, dilempar ke penjara dan diarak di punggung keldai dengan menghadap ekornya (duduk secara terbalik).
Apakah Imam Ahmad bertanggung jawab atas perbuatan buruk yang kini kembali dilakukan pengikut Hanbali, dengan alasan melarang benda atau hal-hal yang diharamkan?


(Kesalahan pengikut tidak semestinya dipertanggungjawabkan kepada pemimpin. Ini kerana ada pengikut yang berfahaman dan bertindak di luar daripada fahaman dan tindakan pemimpin.
Apabila kita menegur kesalahan para Syiah yang ekstrem ini, mereka membalas dengan mendakwa kita menentang Saidina Ali dan ahlul bait.
Apabila kita menegur kesalahan tariqat-tariqat sufi yang sesat, mereka membalas dengan mendakwa kita menentang Al Ghazali dan Ibn Arabi.
Apabila kita menegur kesalahan para Salafi yang ekstrem hari ini iaitu kaum Wahabi, mereka membalas dengan mendakwa kita menentang Ibn Taymiyah dan menolak kitab Tauhid Syeikh Muhammad bin Abdul Wahhab.
Begitulah antara kaedah psikologi puak-puak yang rosak ini untuk menegakkan benang basah dan meneruskan hidupnya fahaman mereka)

Dengan itu, Syeikh Muhyidin Ibn Arabi tidak bersalah atas pelanggaran yang dilakukan oleh para pengikutnya yang melepaskan diri daripada ketentuan hukum dan moral yang telah ditetapkan agama serta melakukan pebuatan yang dilarang agama.
Apakah anda tidak memahami hal ini?

IBN TAYMIYAH:
(Ibn Taimiyah tidak menjawab soalan tersebut kerana apa yang diperkatakan oleh Ibn Athaillah memang benar, dan Ibn Taymiyah memahaminya)
Tapi bagaimana pendirian mereka di hadapan Allah? Di antara kalian para sufi, ada yang menegaskan bahawa ketika Rasulullah saw memberitakan khabar gembira pada kaum miskin bahwa mereka akan masuk syurga sebelum kaum kaya, selanjutnya kaum miskin tersebut tenggelam dalam ledakan kegembiraan dan mulai merobek-robek jubah mereka; saat itu malaikat Jibril turun dari syurga dan mewahyukan kepada rasul bahawa Allah akan memilih di antara jubah-jubah yang robek itu; selanjutnya malaikat Jibril mengangkat satu daripada jubah dan menggantungkannya di singgahsana Allah. Berdasarkan ini, kaum sufi mengenakan jubah kasar dan menyebut dirinya fuqara atau kaum "faqir".

IBN ATHAILLAH:
Tidak semua sufi memakai jubah dan pakaian kasar. Lihatlah apa yang aku pakai (sekarang), apakah engkau tidak bersetuju dengan penampilanku? (Ketika itu Ibn Athaillah memakai pakaian yang cantik. Ini menolak dakwaan bahawa semua ahli sufi berpakaian buruk dan selekeh pada setiap masa)

IBN TAYMIYAH:
Tapi engkau adalah ulama syariat dan mengajar di Al Ahzar.

IBN ATHAILLAH:
Al Ghazali adalah seorang imam syariat mahupun tasawuf. Dia mengamalkan fiqh, sunnah, dan syariat dengan semangat seorang sufi. Dan dengan cara ini, dia mampu menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama. Kita tahu bahawa dalam tasawuf, noda tidak memiliki tempat dalam agama dan bahawa kesucian merupakan ciri daripada kebenaran. Sufi yang tulus dan sejati kena menyuburkan hatinya dengan kebenaran yang ditanamkan ahli sunnah.

Dua abad yang lalu muncul fenomena sufi palsu yang engkau sendiri telah mengecam dan menolaknya, di mana sebahagian orang mengurangi kewajiban beribadah dan peraturan keagamaan, melonggarkan berpuasa dan melecehkan pengamalan solat wajib lima kali sehari. Ditunggangi kemalasan dan ketidakpedulian, mereka mendakwa telah bebas daripada belenggu kewajiban beribadah. Begitu dahsyatnya tindakan mereka hinggakan Imam Qusyairi sendiri mengeluarkan kecaman dalam bukunya ar Risalah ( Risalah al- Qusyairiyah ).


(Para sufi palsu inilah yang sepatutnya ditentang oleh Ibn Taymiyah, dan memang beliau ada usaha ke arah itu. Tapi yang menjadi masalahnya ialah Ibn Taymiyah sendiri tidak ada “basic” yang kukuh dalam tasauf kesufian menyebabkan beliau kadang-kadang termenentang dunia sufi yang benar. Niatnya baik, tetapi ilmunya tidak memadai.
Contohnya seorang pemilik kebun mengupah seorang budak memetik buah rambutan di kebunnya dengan pesanan, “Jangan kait buah yang masih hijau.” Tapi budak ini memetik semua buah yang tidak berwarna hijau termasuklah yang baru ada kekuningan sikit-sikit. Rugilah tuan kebun kerana buah yang kuning sikit-sikit itu sepatutnya ditunggu kemarah-merahan barulah sesuai dipetik untuk dipasarkan. Tindakan budak itu sedemikian kerana “basic”nya tentang fahaman warna buah masak tidak mencukupi. Niatnya baik tapi hasilnya…)

Di sini, ia juga menerangkan secara rinci jalan yang benar menuju Allah, yakni berpegang teguh pada Al Quran dan Sunnah. Imam tasawuf juga berkeinginan mengantarkan manusia pada kebenaran sejati, yang tidak hanya diperoleh melalui bukti rasional yang dapat diterima akal manusia yang dapat membezakan yang benar dan salah, melainkan juga melalui penyucian hati dan pelenyapan ego yang dapat dicapai dengan mengamalkan amalan spiritual.

Kelompok di atas selanjutnya tersingkir lantaran sebagai hamba Allah sejati, seseorang tidak akan menyibukkan diriya kecuali demi kecintaannya kepada Allah dan rasul-Nya. Inilah posisi mulia yang menyebabkan seorang menjadi hamba yang soleh, sihat dan sentosa. Inilah jalan untuk membersihkan manusia daripada hal-hal yang dapat menodai manusia, seperti cinta akan harta, matlamat akan kedudukan tertentu. Meskipun demikian, kita harus berusaha di jalan Allah agar memperolehi ketenteraman beribadah.


Sahabatku yang bijaksana, menterjemahkan naskhah secara harfiah kadang-kadang menyebabkan kekeliruan. Pentafsiran harfiahlah yang mendasari penilaian engkau terhadap Ibn Arabi, salah seorang imam kami yang terkenal akan kesolehannya. Engkau tentunya faham bahwa Ibn Arabi menulis dengan gaya simbolik; sedangkan para sufi adalah pakar-pakar dalam menggunakan bahasa simbolik yang mengandung makna lebih dalam dan gaya hiperbola yang menunjukkan tingginya kepekaan spiritual serta kata-kata yang menghantarkan rahsia mengenai fenomena yang tak nampak.


(Biasanya manusia yang tidak dilatih dengan jalan tasauf tidak dapat memahami kata-kata dan istilah para sufi. Bahasa sufi sangat tinggi, penuh simbolik dan membawa maksud yang berlainan sama sekali dengan bahasa harian manusia.
Ibn Taymiyah tidak menerima tarbiyyah melalui jalan kesufian, maka banyak perkara yang tidak difahaminya tentang dunia sufi. Inilah yang menyebabkan beliau kadang-kadang termenentang perkara-perkara yang benar.
Samalah keadaannya seperti seorang ahli sains yang ingin menyampuk perbicaraan antara dua orang Sasterawan Negara. Ahli sains tadi biasanya pasti akan tersalah faham dengan apa yang diperkatakan.
Samalah seperti seperti seorang rakyat Negara China yang belajar Bahasa Melayu di sana, kemudian datang ke Malaysia. Di Malaysia dia menyaksikan latihan silat sebuah perguruan. Kemudian apabila pulang, dia menulis sebuah artikel menunjukkan bahawa bangsa Melayu sendiri sudah banyak yang tidak menguasai bahasa ibunda mereka. Sebenarnya dia yang salah faham.
Apabila ahli-ahli silat buat gerakan ke atas lawan, mereka namakan “buah”. Orang China tadi mengkritik penggunaan perkatan “buah’ kerana mengikut ilmu Bahasa Melayunya, “buah” ialah untuk buah-buahan, bukannya untuk gerakan memukul, menjatuhkan dan mengunci.
Begitu juga apabila ahli silat diminta menyerang maka disebut “masuk”. Dalam artikelnya, orang China itu menulis- sepatutnya perkataan “masuk” hendaklah digantikan dengan “serang”.
Kesimpulannya, dia menghukum orang-orang Melayu tadi melakukan kesalahan bahasa.
Begitulah yang terjadi kepada Ibn Taymiyah. Tapi yang peliknya, kesilapan Ibn Taymiyah ini masih diteruskan pula oleh puak-puak yang mengaku mencontohinya pada hari ini)


IBN TAYMIYAH:
Argumentasi tersebut sepatutnya ditujukan kepada engkau. Kerana saat Imam al-Qusyairi melihat (ada antara) pengikutnya melencong daripada jalan Allah, dia dengan segera mengambil langkah untuk membendong mereka.
Sementara, apa yang dilakukan oleh para syeikh sufi sekarang? Aku meminta para sufi untuk mengikuti jalur sunnah dari para leluhur kami (salafi) yang soleh dan terkemuka: para sahabat yang zuhud, generasi sebelum mereka dan generasi sesudahnya yang mengikuti langkah mereka.

Siapapun yang menempuh jalan ini, saya berikan penghargaan setinggi-tingginya dan menempatkan sebagai imam agama. Namun bagi mereka yang melakukan pembaharuan yang tidak berdasar dan menyisipkan gagasan kemusyrikan seperti falsafah Yunani dan pengikut Buddha, atau yang beranggapan bahwa manusia menempati Allah (hulul) atau bersatu dengan-Nya (ittihad), atau teori yang menyatakan bahwa seluruh penampakan adalah satu adanya/kesatuan wujud (wahdatul wujud) ataupun hal-hal lain yang diperintahkan syeikh anda: semuanya jelas perilaku atheis dan kafir.

IBN ATHAILLAH:
Ibn Arabi adalah salah seorang ulama terhebat yang mengenyam pendidikan di Dawud al Zahiri seperti Ibn Hazm al Andalusi, seorang yang fahamannya selaras dengan metodologi anda tentang hukum Islam, wahai penganut Hanbali! Tetapi meskipun Ibn Arabi seorang Zahiri (menterjemahkan hukum Islam secara lahiriah), metod yang diterapkannya untuk memahami hakikat adalah dengan menyelidik apa yang tersembunyi, mencari makna spiritual (thariq al bathin), untuk mensucikan bathin (thathhir al bathin).

Meskipun demikian tidak seluruh pengikut mengertikan sama apa-apa yang tersembunyi. Agar engkau tidak keliru atau lupa, ulangilah bacaan engkau mengenai Ibn Arabi dengan pemahaman baru akan simbol-simbol dan gagasannya (maksudnya, Ibn Taymiyah kenalah ulang semula penyelidikannya tentang karya-karya Ibn Arabi menggunakan perkara-perkara baru yang baru difahaminya ketika ini, kerana hasilnya nanti pasti berbeza dengan keputusan yang lalu). Engkau akan menemukannya sangat mirip dengan al-Qusyairi. Dia telah menempuh jalan tasawuf di bawah payung al-Quran dan sunnah, sama seperti Hujjatul Islam Al Ghazali, yang mengusung perdebatan mengenai perbezaan mendasar mengenai iman dan isu-isu ibadah namun menilai usaha ini kurang menguntungkan dan berfaedah.

Ia mengajak orang untuk memahami bahawa mencintai Allah adalah cara yang patut ditempuh seorang hamba Allah berdasarkan keyakinan. Adakah engkau setuju wahai faqih? Atau engkau lebih suka melihat perselisihan di antara para ulama? Imam Malik ra. telah mengingatkan mengenai perselisihan semacam ini dan memberikan nasihat: “Setiap kali seseorang berdebat mengenai iman, maka kepercayaannya akan berkurang.”

Sejalan dengan ucapan itu, Al Ghazali berpendapat, cara terpantas untuk mendekatkan diri kepada Allah adalah melalui hati, bukan jasad. Bukan bermaksud hati dalam bentuk fizik yang dapat melihat, mendengar atau merasakan secara gamblang. Melainkan, dengan menyimpan dalam benak, rahsia terdalam dari Allah Yang Maha Agung dan Besar, yang tidak dapat dilihat atau diraba.

Sesungguhnya ahli sunnahlah yang menobatkan syeikh sufi, Imam Al-Ghazali, sebagai Hujjatul Islam, dan tak seorangpun yang menyangkal pandangannya bahkan seorang ilmuan secara berlebihan berpendapat bahwa Ihya Ulumuddin nyaris setara dengan Al Quran (ilmuan tersebut fanatik dengan Imam Ghazali).


Dalam pandangan Ibn Arabi dan Ibn Al Farid, taklif atau kepatuhan beragama laksana ibadah yang mihrab atau sejadahnya menandai aspek batin, bukan semata-mata ritual lahiriah saja. Kerana apalah ertinya duduk berdiri anda dalam solat sementara hati anda dikuasai selain Allah.
Allah memuji hambaNya dalam Al Quran:
"(Yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam sholatnya";
dan Ia mengutuk dalam firmanNya:
"(Yaitu) orang-orang yang lalai dalam sholatnya".
Inilah yang dimaksudkan oleh Ibn Arabi saat mengatakan: "Ibadah bagaikan mihrab bagi hati, yakni aspek batin, bukan lahirnya".

Seorang muslim takkan mampu mencapai keyakinan mengenai isi Al Quran, baik dengan ilmu atau pembuktian itu sendiri, hinggalah ia membersihkan hatinya dari segala yang dapat mengalihkan dan berusaha untuk khusyuk. Dengan demikian Allah akan mencurahkan ilmu ke dalam hatinya, dan dari sana akan muncul semangatnya. Sufi sejati tak mencukupi dirinya dengan meminta sedekah.

Seseorang yang tulus adalah ia yang menyuburkan diri di (hadapan) Allah dengan mematuhi-Nya. Barangkali yang menyebabkan (sebahagian) ahli fiqh mengecam Ibn Arabi adalah karena kritik beliau terhdap keasyikan mereka dalam berargumentasi dan berdebat seputar masalah iman, hukum masalah-masalah yang terjadi (aktual) dan masalah-masalah yang baru dihipotesakan (dibayangkan padahal ia belum terjadi).
(Ini memang berlaku. Ada ahli fiqh yang bersungguh-sungguh fakir dan cari penyesaian masalah-masalah yang tak perlu difikir.
Contohnya, seorang lelaki solat berjemaah. Ketika solat dia mengikat tali kudanya di ibu jarinya. Sedang solat tiba-tiba kudanya buang air besar. Apakah batal solatnya kerana najis kuda itu tertanggung melalui tali yang diikat di kakinya?
Inikan namanya “tak ada masalah cari masalah”? Padahal masa memikirkan hal ini lebih baik dibuat mempelajari bidang-bidang lain yang belum kita kuasai terutamanya tasauf.
Ada pula orang yang habiskan masa berfikir dan mencari penyelesaian dalam hal ini- Air mani dikumpul-kumpul dan cukup dua kolah. Bolehkah dibuat mengambil wudhuk?
Kalau suami isteri berjimak tiba-tiba melekat selama 48 jam, tak boleh dipisahkan. Macam mana cara hendak mandi wajib, ambil wudhuk dan solat sepanjang tempoh itu?
Ada pula yang berfikir- macam manalah agaknya kalau satu hari nanti orang Melayu akan anggap bid’ah hasanah kepada perempuan yang menjadi imam solat Jumaat kepada lelaki di dalam gereja? Ini lagi menghairankan!
Bukan tidak boleh sama-sekali memikirkan hal-hal ini, tapi ikutlah keutamaan. Banyak lagi bidang yang kiat belum kuasai.
Inilah sebenarnya yang ditentang oleh ahli-ahli tasauf ke atas sebahagian ahli-ahli fiqh)

(Ibnu Arabi dan para sufi tidak menolak ilmu fiqh dan ahli-ahlinya sebagaimana dakwaan musuh-musuh mereka yang masih ada hinggalah ke hari ini, tetapi menentang keekstreman sesetengah ahli fiqh yang hanyut dalam dunia fiqh mereka hinggakan usaha mereka dalam agama menjadi sempit lagi amat terbatas. Seorang Muslim sepatutnya menjalani kehidupan dengan seimbang walaupun mereka ada pengkhususan dalam bidang tertentu. Apatah lagi banyak juga ahli fiqh yang langsung tidak ambil pusing soal-soal tasauf yang melibatkan penggunaaan hati, sampaikan mereka beranggapan bahawa amal-amal lahiriah tunduk bangkit itu sajalah yang membawa kejayaan dalam agama. Padahal Tuhan lebih memandang soal hati. Inilah yang dimaksudkan)

Ibn Arabi mengkritik begitu kerana dia melihat betapa sering hal tersebut dapat mengalihkan mereka dari kejernihan hati. Ia menjuluki mereka sebagai "ahli fiqih basa-basi wanita". Semoga Allah mengeluarkan engkau kerana telah menjadi salah satu dari mereka!
Pernahkan engkau membaca pernyataan Ibn Arabi bahawa:
"Siapa saja yang membangun keyakinannya semata-mata berdasarkan bukti-bukti yang tampak dan argumen deduktif, maka ia membangun keyakinan dengan dasar yang tak bisa diandalkan. Karena ia akan selalu dipengaruhi oleh sangahan-sangahan balik yang konstan. Keyakinan bukan berasal daripada alasan logik melainkan tercurah dari lubuk hati."
Adakah pernyataan yang seindah ini?

IBN TAYMIYAH:
Engkau telah berbicara dengan baik, andaikanlah guru engkau sama seperti yang engkau katakan, maka dia sangat jauh dari kafir. Tapi menurutku apa yang telah ia ucapkan tidak mendukung pandangan yang telah anda kemukakan.