أعُوْذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ
Sesungguhnya Aku berniat kerana اللهَ
Tugasan gerak organ-organ tubuh badanKu kepada اللهَ
Daku Niatkan Tasbih anggota-anggota organ tubuhku buat اللهَ.
Ku serahkan seluruh kehidupanku kebergantungan sepenuhnya KepadaMu Ya اللهَ
(الْحَمْدُ لِلَّهِ)Tahmid Dengan Denyutan Nadiku
(لَا إِلٰهَ إِلَّا ٱلله)Tahlil Degupan Jantungku
(اللَّهُ أَكْبَرُ)Takbir dalam Hela Turun Naik Nafasku
اَلْحَمْدُ ِللهِ syukur kepadaMU YA اللهَ
وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللَّ ... اَللَّهُمَّ صَلِّىْ عَلَىْ سَيِّدِنَامُحَمَّدٍ ALLAH اللهَ
ALLAH اللهَ
Syekh Siti Jenar - Puasa dan Haji, Ihsan, Kisah Nabi Musa dan Khidir
Seterusnya[Next]:- Syekh Siti Jenar – Soal Jawab
ALLAH اللهَ ALLAH اللهَ ALLAH اللهَALLAH اللهَ
وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللَّ ... اَللَّهُمَّ صَلِّىْ عَلَىْ سَيِّدِنَامُحَمَّدٍ ALLAH اللهَ
Syekh Siti Jenar - Puasa dan Haji, Ihsan, Kisah Nabi Musa dan Khidir
Syekh Siti Jenar - Puasa dan Haji, Ihsan, Kisah Nabi Musa dan Khidir
Puasa dan Haji Syekh Siti Jenar
“Syahadat, shalat dan puasa itu,
sesuatu yang tidak diinginkan, jadi tidak perlu. Adapun zakat dan naik
haji ke Makah, itu semua omong kosong (palson kabeh). Itu seluruhnya
kedurjanaan budi, penipuan terhadap sesama manusia. Orang-orang dungu
yg menuruti aulia, karena diberi harapan surga di kelak kemudian hari,
itu sesungguhnya keduanya orang yang tidak tahu. Lain halnya dengan
saya, Siti Jenar.”
“Tiada pernah saya menuruti perintah
budi, bersujud-sujud di mesjid mengenakan jubah, pahalanya besok saja,
bila dahi sudah menjadi tebal, kepala berbelulang. Sesungguhnya hal ini
idak masuk akal! Di dunia ini semua manusia adalah sama. Mereka semua
mengalami suka-duka, menderita sakit dan duka nestapa, tiada beda satu
dengan yang lain. Oleh karena itu saya, Siti Jenar, hanya setia pada
satu hal saja, yaitu Gusti Zat Maulana.”
Syekh Siti jenar menyebutkan bahwa
syariat yang diajarkan para wali adalah “omong kosong belaka”, atau
“wes palson kabeh”(sudah tidak ada yang asli). Tentu istilah ini sangat
amat berbeda dengan anggapan orang selama ini, yang menyatakan bahwa
Syekh Siti Jenar menolak syari’at Islam. Yang ditolak adalah reduksi
atas syari’at tersebut. Syekh Siti Jenar menggunakan istilah “iku wes
palson kabeh”, yg artinya “itu sudah dipalsukan atau dibuat palsu
semua.” Tentu ini berbeda pengertiannya dengan kata “iku palsu kabeh”
atau “itu palsu semua.” Jadi yang dikehendaki Syekh Siti Jenar adalah
penekanan bahwa syari’at Islam pada masa Walisanga telah mengalami
perubahan dan pergeseran makna dalam pengertian syari’at itu. Semuanya
hanya menjadi formalitas belaka. Sehingga manfaat melaksanakan syariat
menjadi hilang. Bahkan menjadi mudharat karena pertentangan yang muncul
dari aplikasi formal syariat tsb.
Bagi Syekh Siti Jenar, syariat bukan
hanya pengakuan dan pelaksanaan, namun berupa penyaksian atau
kesaksian. Ini berarti dalam pelaksanaan syariat harus ada unsur
pengalaman spiritual. Nah, bila suatu ibadah telah menjadi palsu, tidak
dapat dipegangi dan hanya untuk membohongi orang lain, maka semuanya
merupakan keburukan di bumi.
Apalagi sudah tidak menjadi sarana bagi
kesejahteraan hidup manusia. Ditambah lagi, justru syariat hanya
menjadi alat legitimasi kekuasaan (seperti sekarang ini juga). Yang
mengajarkan syari’at juga tidak lagi memahami makna dan manfaat
syari’at itu, dan tidak memiliki kemampuan mengajarkan aplikasi
syari’at yg hidup dan berdaya guna. Sehingga syari’at menjadi hampa
makna dan menambah gersangnya kehidupan rohani manusia.
Nah, yg dikritik Syekh Siti Jenar
adalah shalat yg sudah kehilangan makna dan tujuannya itu. Shalat
haruslah merupakan praktek nyata bagi kehidupan. Yakni shalat sebagai
bentuk ibadah yg sesuai dgn bentuk profesi kehidupannya. Orang yg
melakukan profesinya secara benar, karena Allah, maka hakikatnya ia
telah melaksanakan shalat sejati, shalat yg sebenarnya. Orientasi
kepada yang Maha Benar dan selalu berupaya mewujudkan Manunggaling
Kawula Gusti, termasuk dalam karya, karsa-cipta itulah shalat yg
sesungguhnya.
Syekh Siti Jenar - Ihsan
“Itulah yang dianggap Syekh Siti Jenar
Hyang Widi. Ia berbuat baik dan menyembah atas kehendak-NYA. Tekad
lahiriahnya dihapus. Tingkah lakunya mirip dengan pendapat yg ia
lahirkan. Ia berketetapan hati untuk berkiblat dan setia, teguh dalam
pendiriannya, kukuh menyucikan diri dari segala yg kotor, untuk sampai
menemui ajalnya tidak menyembah kepada budi dan cipta. Syekh Siti Jenar
berpendapat dan menggangap dirinya bersifat Muhammad, yaitu sifat rasul
yg sejati, sifat Muhammad yg kudus.”
“Gusti Zat Maulana. Dialah yg luhur dan
sangat sakti, yg berkuasa maha besar, lagipula memiliki dua puluh
sifat, kuasa atas kehendak-NYA. Dialah yg maha kuasa, pangkal mula
segala ilmu, maha mulia, maha indah, maha sempurna, maha kuasa, rupa
warna-NYA tanpa cacat seperti hamba-NYA. Di dalam raga manusia Ia tiada
nampak. Ia sangat sakti menguasai segala yg terjadi dan menjelajahi
seluruh alam semesta, Ngidraloka”.
Dua kutipan di atas adalah aplikasi
dari teologi Ihsan menurut Syekh Siti Jenar, bahwa sifatullah merupakan
sifatun-nafs. Ihsan sebagaimana ditegaskan oleh Nabi dalam salah satu
hadistnya (Sahih Bukhari, I;6), beribadah karena Allah dgn kondisi si
‘Abid dalam keadaan menyaksikan (melihat langsung) langsung adanya si
Ma’bud. Hanya sikap inilah yg akan mampu membentuk kepribadian yg
kokoh-kuat, istiqamah, sabar dan tidak mudah menyerah dalam menyerukan
kebenaran.
Sebab Syekh Siti Jenar merasa, hanya
Sang Wujud yg mendapatkan haq untuk dilayani, bukan selain-NYA.
Sehingga, dgn kata lain, Ihsan dalam aplikasinya atas pernyataan
Rasulullah adalah membumikan sifatullah dan sifatu-Muhammad menjadi
sifat pribadi.
Dengan memiliki sifat Muhammad itulah,
ia akan mampu berdiri kokoh menyerukan ajarannya dan memaklumkan
pengalamannya dalam “menyaksikan langsung” ada-NYA Allah. “Persaksian
langsung” itulah terjadi dalam proses manunggal.
“Hyang Widi, wujud yg tak nampak oleh
mata, mirip dengan ia sendiri, sifat-sifatnya mempunyai wujud, seperti
penampakan raga yg tiada tampak. Warnanya melambangkan keselamatan,
tetapi tanpa cahaya atau teja, halus, lurus terus-menerus,
menggambarkan kenyataan tiada berdusta, ibaratnya kekal tiada bermula,
sifat dahulu yg meniadakan permulaan, karena asal dari diri pribadi.”
Ihsan berasal dari kondisi hati yg
bersih. Dan hati yg bersih adalah pangkal serta cermin seluruh
eksistensi manusia di bumi. Keihsanan melahirkan ketegasan sikap dan
menentang ketundukan membabi-buta kepada makhluk. Ukuran ketundukan
hati adalah Allah atau Sang Pribadi. Oelh karena itu, sesama manusia
dan makhluk saling memiliki kemerdekaan dan kebebasan diri. Dan
kebebasan serta kemerdekaan itu sifatnya pasti membawa kepada kemajuan
dan peradaban manusia, serta tatanan masyarakat yg baik, sebab
diletakkan atas landasan Ke-Ilahian manusia. Penjajahan atas eksistensi
manusia lain hakikatnya adalah bentuk dari ketidaktahuan manusia akan
Hyang Widhi…Allah (seperti Rosul sering sekali mengatakan bahwa
“Sesungguhnya mereka tidak mengerti”).
Karena buta terhadap Allah Yang Maha
Hadir bagi manusia itulah, maka manusia sering membabi-buta merampas
kemanusiaan orang lain. Dan hal ini sangat ditentang oleh Syekh Siti
Jenar. Termasuk upaya sakralisasi kekuasaan Kerajaan Demak dan
Sultannya, bagi Syekh Siti Jenar harus ditentang, sebab akan menjadi
akibat tergerusnya ke-Ilahian ke dalam kedzaliman manusia yang
mengatasnamakan hamba Allah yg shalih dan mengatasnamakan demi
penegakan syari’at Islam.
Pribadi adalah pancara roh, sebagai
tajalli atau pengejawantahan Tuhan. Dan itu hanya terwujud dengan
proses wujudiyah, Manuggaling Kawula-Gusti, sebagai puncak dan
substansi tauhid. Maka manusia merupakan wujud dari sifat dan dzat
Hyang Widi itu sendiri. Dengan manusia yg manunggal itulah maka akan
menjadikan keselamatan yg nyata bukan keselamatan dan ketentraman atau
kesejahteraan yg dibuat oleh rekayasa manusia, berdasarkan ukurannya
sendiri. Namun keselamatan itu adalah efek bagi terejawantah-NYA Allah
melalui kehadiran manusia. Sehingga proses terjadinya keselamatan dan
kesejahteraan manusia berlangsung secara natural (sunnatullah), bukan
karena hasil sublimasi manusia, baik melalui kebijakan ekonomi,
politik, rekayasa sosial dan semacamnya sebagaimana selama ini terjadi.
Maka dapat diketahui bahwa teologi Manuggaling Kawula Gusti adalah
teologi bumi yg lahir dengan sendirinya sebagai sunnatullah. Sehingga
ketika manusia mengaplikasikannya, akan menghasilkan manfaat yg natural
juga dan tentu pelecehan serta perbudakan kemanusiaan tidak akan
terjadi, sifat merasa ingin menguasai, sifat ingin mencari kekuasaan,
memperebutkan sesama manusia tidak akan terjadi. Dan tentu saja
pertentangan antar manusia sebagai akibat perbedaan paham keagamaan,
perbedaan agama dan sejenisnya juga pasti tidak akan terjadi.
Syekh Siti Jenar – Tafsiran Musa Dan Khidir
“Sesungguhnya, Khidir AS bukanlah sosok
lain yg terpisah sama sekali dari keberadaan manusia rohani. Apa yg
disaksikan sebagai tanah menjorok dgn lautan di sebelah kanan dan kiri
itu bukanlah suatu tempat yg berada di luar diri manusia. Tanah itulah
yg disebut perbatasan (barzakh). Dua lautan itu adalah Lautan Makna
(bahr al-ma’na), perlambang alam tidak kasatmata (‘alam al-ghaib) dan
lautan Jisim (bahr al-ajsam), perlambang alam kasatmata (‘alam
asy-syahadat).”
“Sedangkan kawanan udang adalah
perlambang para pencari Kebenaran yg sudah berenang di perbatasan alam
kasatmata san alam tidak kasatmata. Kawanan udang perlambang para
penempuh jalan rohani (salik) yg benar-benar bertujuan mencari
Kebenaran. Sementara itu, kawanan udang yg berenang di lautan sebelah
kiri, di antara batu-batu, merupakan perlambang para salik yg penuh
diliputi hasrat-hasrat dan pamrih-pamrih duniawi.”
“Sesungguhnya, peristiwa yg dialami
Nabi Musa AS dgn Khidir AS, sebagaimana termaktub di dalam Al-Qur’an
Al-Karim, bukanlah hanya peristiwa sejarah seorang manusia bertemu
manusia lain. Ia adalah peristiwa perjalanan rohani yg berlangsung di
dalam diri Nabi Musa AS sendiri. Sebagaimana yg telah saya jelaskan, yg
disebut dua lautan di dalam Al-Qur’an tidak lain dan tidak bukan adalah
Lautan Makna (bahr al-ma’na) dan Lautan Jisim (bahr al-ajsam). Kedua
lautan itu dipisahkan oleh wilayah perbatasan atau sekat (barzakh).”
“Ikan dan lautan dalam kisah Qur’ani
itu merupakan perlambang dunia kasatmata (‘alam asy-syahadat) yg
berbeda dengan wilayah perbatasan yg berdampingan dgn dunia gaib (‘alam
al-ghaib). Maksudnya, jika saat itu Nabi Musa AS melihat ikan dan
kehidupan yg melingkupi ikan tersebut dari tempatnya berdiri, yaitu di
wilayah perbatasan antara dua lautan, maka Nabi Musa AS akan melihat
sang ikan berenang di dalalm alamnya, yaiu lautan. Jika saat itu Nabi
Musa AS mencermati maka ia akan dapat menyaksikan bahwa sang ikan yg
berenang itu dapat melihat segala sesuatu di dalam lautan, kecuali air
(dilambangkan manusia juga sama). Maknanya, sang ikan hidup di dalam
air dan sekaligus di dalam tubuh ikan ada air, tetapi ia tidak bisa
melihat iar dan tidak sadar jika dirinya hidup di dalam air. Itulah
sebabnya, ikan tidak dapat hidup tanpa air yg meliputi bagian luar dan
bagian dalam tubuhnya. Di mana pun ikan berada, ia akan selalu diliputi
air yg tak bisa dilihatnya.”
“Sementara itu, seandainya sang ikan di
dalam lautan melihat Nabi Musa AS dari tempat hidupnya di dalam air
lautan maka sang ikan akan berkata bahwa Musa AS di dalam dunia-yang
diliputi udara kosong-dapat menyaksikan segala sesuatu, kecuali udara
kosong yg meliputinya itu. Maknanya, Nabi Musa AS hidup di dalam
liputan udara kosong yg ada di luar maupun di dalam tubuhnya, tetapi ia
tidak bisa melihat udara kosong dan tidak sadar jika dirinya hidup di
dalam udara kosong. Itu sebabnya, Nabi Musa AS tidak dapat hidup tanpa
udara kosong yg meliputi bagian luar dan dalam tubuhnya. Di mana pun
Nabi Musa AS berada, ia akan selalu diliputi udara kosong yg tidak bisa
dilihatnya.”
“Sesungguhnya, pemuda (al-fata) yg
mendampingi Nabi Musa AS dan membawakan bekal makanan adalah perlambang
dari terbukanya pintu alam tidak kasatmata. Sesungguhnya, dibalik
keberadaan pemuda (al-fata) itu tersembunyi hakikat sang Pembuka
(al-Fattah). Sebab, hijab gaib yg menyelubungi manusia dari Kebenaran
sejati tidak akan bisa dibuka tanpa kehendak Dia, sang Pembuka
(al-Fattah). Itu sebabnya, saat Nabi Musa AS bertemu dgn Khidir AS,
pemuda (al-fata) itu disebut-sebut lagi karena ia sejatinya merupakan
perlambang keterbukaan hijab ghaib.”
“Adapun bekal makanan yg berupa ikan
adalah perlambang pahala perbuatan baik (al-‘amal ash-shalih) yg hanya
berguna untuk bekal menuju ke Taman Surgawi (al-jannah). Namun, bagi
pencari Kebenaran sejati, pahala perbuatan baik itu justru mempertebal
gumpalan kabut penutup hati (ghain). Itu sebabnya, sang pemuda mengaku
dibuat lupa oleh setan hingga ikan bekalnya masuk ke dalam lautan.”
“Andaikata saat itu Nabi Musa AS
memerintahkan si pemuda untuk mencari bekal yg lain, apalagi sampai
memburu bekal ikan yg telah masuk ke dalam laut, niscaya Nabi Musa AS
dan si pemuda tentu akan masuk ke Lautan Jisim (bahr al-ajsam) kembali.
Dan, jika itu terjadi maka setan berhasil memperdaya Nabi Musa AS.”
“Ternyata, Nabi Musa AS tidak peduli
dgn bekal itu. Ia justru menyatakan bahwa tempat di mana ikan itu
melompat ke lautan adalah tempat yg dicarinya sehingga tersingkaplah
gumpalan kabut ghain dari kesadaran Nabi Musa AS. Saat itulah purnama
rohani zawa’id berkilau dan Nabi Musa AS dapat melihat Khidir AS, hamba
yg dilimpahi rahmat dan kasih sayang (rahmah al-khashshah) yg memancar
dari citra ar-Rahman dan ar-Rahim dan Ilmu Ilahi (ilm ladunni) yg
memancar dari Sang Pengetahuan (al-Alim).”
“Anugerah Ilahi dilimpahkan kepada
Khidir AS karena dia merupakan hamba-NYA yg telah mereguk Air Kehidupan
(ma’ al-hayat) yg memancar dari Sang Hidup (al-Hayy). Itu sebabnya,
barang siapa di antara manusia yg berhasil bertemu Khidir AS di tengah
wilayah perbatasan antara dua lautan, sesungguhnya manusia itu telah
menyaksikan pengejawantahan Sang Hidup (al-Hayy), Sang Penyayang
(ar-Rahim). Dan, sesungguhnya Khidir AS itu tidak lain dan idak bukan
adalah ar-roh al-idhafi, cahaya hijau terang yg tersembunyi di dalam
diri manusia, “Sang Penuntun” anak keturunan Adam AS ke jalan Kebenaran
Sejati. Dialah penuntun dan penunjuk (mursyid) sejati ke jalan
Kebenaran (al-Haqq). Dia sang mursyid adalah pengejawantahan yang Maha
Menunjuki (as –Rasyid).”
“Demikianlah, saat sang salik melihat
Khidir AS sesungguhnya ia telah menyaksikan ar-roh al-idhafi, mursyid
sejati di dalam diri manusia sendiri. Saat ia menyaksikan kawanan udang
di lautan sebelah kanan, sesungguhnya ia telah menyaksikan Lautan Makna
(bahr-al-ma’na) yg merupakan hamparan permukaan Lautan Wujud (bahr
al-wujud). Namun, jika terputus penglihatan batiin (bashirab) itu pada
titik ini, berarti perjalanan menusia itu menuju ke Kebenaran Sejati
masih akan berlanjut.”
Sesungguhnya, perjalanan rohani menuju
Kebenaran Sejati penuh diliputi tanda kebesaran Ilahi yg hanya bisa
diungkapkan dalam bahasa perlambang. Sesungguhnya, masing-masing
menusia akan mengalami pengalaman rohani yg berbeda sesuai pemahamannya
dalam menangkap kebenaran demi kebenaran. Yang jelas, pengalaman yg
akan manusia alami tidak selalu mirip dgn pengalaman yg dialami Nabi
Musa AS.”
“Setelah berada di wilayah perbatasan,
Khidir AS dan Nabi Musa AS digambarkan melanjutkan perjalanan memasuki
Lautan Makna, yaitu alam tidak kasatmata. Mereka kemudian digambarkan
menumpang perahu. Sesungguhnya, perahu yg mereka gunakan untuk
menyeberang itu adalah perlambang dari wahana (syari’ah) yg lazimnya
digunakan oleh kalangan awam untuk mencari ikan, yakni perlambang
perbuatan baik (al ‘amal ash-shalih). Padahal, perjalanan mengarungi
Lautan Makna menuju Kebenaran Sejati adalah perjalanan yg sangat
pribadi menuju Lautan Wujud. Itulah sebabnya, perahu (syari’ah) itu
harus dilubangi agar air dari Lautan Makna masuk ke dalam perahu dan
penumpang perahu mengenal hakikat air yg mengalir dari lubang tersebut.”
“Setelah penumpang perahu mengenal air
yg mengalir dari lubang maka ia akan menjadi sadar bahwa lewat lubang
itulah sesungguhnya ia akan bisa masuk ke dalam Lautan Makna yg
merupakan permukaan Lautan Wujud. Andaikata perahu itu tidak dilubangi,
dan kemudian perahu diteruskan berlayar, maka perahu itu tentu akan
dirampas oleh Sang Maha Raja (malik al-Mulki) sehingga penumpangnya
akan menjadi tawanan. Jika sudah demikian, maka untuk selamanya sang
penumpang perahu tidak bisa melanjutkan perjalanan menuju Dia, Yang
Maha Ada (al-Wujud), yg bersemayam di segenap penjuru hamparan Lautan
Wujud. Penumpang perahu itu mengalami nasib seperti penumpang perahu yg
lain, yakni akan dijadikan hamba sahaya oleh Sang Maha Raja. Bahkan,
jika Sang Maha Raja menyukai hamba sahaya-NYA itu maka ia akan diangkat
sebagai penghuni Taman (jannah) indah yg merupakan pengejawantahan Yang
Maha Indah (al Jamal).”
“Adapun Atas Pernyataan kenapa wahana
(syariah) harus dilubangi dan tidak lagi digunakan dalam perjalanan
menembus alam ghaib manuju Dia? Dapat dijelaskan sebagai berikut.”
“Sebab, wahana adalah kendaraan bagi
manusia yg hidup di alam kasatmata untuk pedoman menuju ke Taman
Surgawi. Sedangkan alam tidak kasatmata adalah alam yg tidak jelas
batas-batasnya. Alam yg tidak bisa dinalar karena segala kekuatan akal
manusia mengikat itu tidak bisa berijtihad untuk menetapkan hukum yg
berlaku di alam gaib. Itu sebabnya, Khidir AS melarang Nabi Musa AS
bertanya sesuatu dgn akalnya dalam perjalanan tersebut. Dan, apa yg
disaksikan Nabi Musa AS terdapat perbuatan yg dilakukan Khidir AS
benar-benar bertentangan dgn hukum suci (syari’at) dan akal sehat yg
berlaku di dunia, yakni melubangi perahu tanpa alasan, membunuh seorang
anak kecil tak bersalah dan menegakkan tembok runtuh tanpa upah.”
“Namun jika wahana (syari’ah) tidak
lagi bisa dijadikan petunjuk, sebenarnya pedomannya tetaplah sama,
yaitu Kitabullah dan Sunnah Rasul. Tetapi pemahamannya bukan dgn akal
(‘aql) melainkan dgn dzauq, yaitu cita rasa rohani. Inilah yg disebut
cara (thariqah). Di sini, sang salik selain harus berjuang keras juga
harus pasrah kepada kehendak-NYA. Sebab, telah termaktub dalam dalil
araftu rabbi bi rabbi bahwa kita hanya mengenal Dia dgn Dia. Maksudnya
jika Tuhan tidak berkehendak kita mengenal-NYA maka kita pun tidak akan
bisa mengenal-NYA. Dan, kita mengenal-NYA pun maka hanya melalui Dia
(walaupun kita tidak mau tetapi semua telah kehendak-NYA). Itu
sebabnya, di alam tidak kasatmata yg tidak jelas batas dan
tanda-tandanya itu kita tidak dapat berbuat sesuatu kecuali pasrah
seutuhnya dan mengharap limpahan rahmat dan hidayah-NYA.”
“Tentang makna di balik kisah Khidir AS membunuh seorang anak (ghulam) dapat saya jelaskan sebagai berikut.”
“Anak adalah perlambang keakuan kerdil
yg kekanak-kanakan. Kedewasaan rohani seorang yg teguh imannya bisa
runtuh akibat terseret cinta kepada keakuan kerdil yg kekanak-kanakan
tersebut. Itu sebabnya, keakuan kerdil y kekanak-kanakan itu harus
dibunuh agar kedewasaan rohani tidak terganggu.”
“Sesungguhnya, di dalam perjalanan
rohani menuju Kebenaran Sejati selalu terjadi keadaan di mana keakuan
kerdil yg kekank-kanakan (ghulam) dari salik cenderung mengikari
kehambaan dirinya terhadap Cahaya Yang Terpuji (Nur Muhammad) sebagai
akibat ia belum fana ke dalam Sang Rasul (fana fi rasul). Ghulam
cenderung durhaka dan ingkar terhadap kehambaan kepada Sang Rasul. Jika
keakuan yg kerdil dan kekanak-kanakan itu dibunuh maka akan lahir
ghulam yg lebih baik dan lebih diberbakti yg melihat dengan mata batin
bahwa dia sesungguhnya adalah “hamba” dari Sang Rasul, pengejawantahan
Cahaya Yang Terpuji (Nur Muhammad).”
“Sesungguhnya, keakuan kerdil yg
kekanak-kanakan adalah perlambang dari keberadaan nafsu manusia yg
cenderung durhaka dan ingkar terhadap Sumbernya. Sedangkan ghulam yg
baik dan berbakti merupakan perlambang dari keberadaan roh manusia yg
cenderung setia dan berbakti kepada Sumbernya. Dan sesungguhnya,
perbuatan Khidir AS itu adalah perlambang yg sama saat Nabi Ibrahim AS
akan menyembelih Nabi Ismail AS ‘Pembuhunan’ itu adalah perlambang
puncak dari keimanan mereka yg beriman (mu’min).”
“Adapun dinding yg ditinggikan Khidir
AS adalah perlambang Sekat Tertinggi (al barzakh al ‘a’la) yg disebut
juga dgn Hijab Yang Maha Pemurah (hajib ar-Rahman). Dinding itu adalah
pengejawantahan Yang Maha Luhur (al-Jalil). Lantaran itu, dinding
tersebut dinamakan Dinding al-Jalal (al jidar al-Jalal), yg dibawahnya
tersimpan Khazanah Perbendaharaan (Tahta al-Kanz) yg ingin diketahui.”
“Sedangkan dua anak yatim (ghulamaini
yatimaini) pewaris dinding itu adalah perlambang jati diri Nabi Musa
AS, yg keberadaannya terbentuk atas jasad ragwi (al-basyar) dan rohani
(roh). Kegandaan jati diri manusia itu baru tersingkap jika seseorang
sudah berada dalam keadaan tidak memiliki apa-apa (muflis), terkucil
sendiri (mufrad) dan telah berada di dalam waktu tak berwaktu (ibn
al-waqt). Dua anak yatim itu adalah perlambang gambaran Nabi Musa AS
dan bayangannya di depan Cermin Memalukan (al-mir’ah al-haya’I).”
“Adapun gambaran tentang ‘ayah yg
salih’ dari kedua anak yatim, yakni ayah yg mewariskan Khazanah
Perbendaharaan , adalah perlambang diri dari Abu halih, Sang Pembuka
Hikmah (al-hikmah al-futuhiyyah), yakni pengejawantahan Sang Pembuka.
Dengan demikian apa yg telah dialami Nabi Musa AS dalam perjalanan
bersama Khidir AS (QS. Al-Kahfi : 60-82) menurut penafsiran adalah
perjalanan rohani Nabi Musa AS ke dalam dirinya sendiri yg penuh dgn
perlambang (isyarat).”
“Memang Nabi Musa AS lahir hanya satu.
Namun, keberadaan jati dirinya sesungguhnya adalah dua, yaitu pertama
keberadaan sebagai al-basyar ‘anak’ Adam AS yg berasal dari anasir
tanah yg tercipta; dan keberadaannya sebagai roh ‘anak’ Cahaya Yang
Terpuji (Nur Muhammad) yg berasal dari tiupan (nafakhtu) Cahaya di Atas
Cahaya (Nurun ‘ala Nurin). Maksudnya, sebagai al-basyar, keberadaan
jasad ragawi nabi Musa AS berasal dari Yang Mencipta (al-Kha-liq).”
“Sehingga tidak akan pernah terjadi
perseteruan dalam memperebutkan Khazanah Perbendaharaan warisan ayahnya
yg shalih. Sebab, saat keduanya berdiri berhadap-hadapan di depan
Dinding al-jalal (al-jidar al-Jalal) dan mendapati dinding itu runtuh
maka saat itu yg ada hanya satu anak yatim. Maksudnya, saat itu
keberadaan al-basyar ‘anak’ Adam AS akan terserap ke dalam roh ‘anak’
Nur Muhammad. Saat itulah sang anak sadar bahwa ia sejatinya berasal
dari Cahaya di Atas cahaya (Nurun ‘ala Nurin) yg merupakan pancaran
dari Khazanah Perbendaharaan. Sesungguhnya, hal semacam itu tidak bisa
diuraikan dgn kaidah-kaidah nalar manusia karena akan membawa
kesesatan. Jadi, harus dijalani dan dialami sendiri sebagai sebuah
pengalaman pribadi.”
Seterusnya[Next]:- Syekh Siti Jenar – Soal Jawab
اَللَّهُمَّ صَلِّىْ عَلَىْ سَيِّدِنَامُحَمَّدٍ
والله أعلم بالـصـواب
Moga Bermanfaat.
Moga Bermanfaat.
...........................................................................................................
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Subhanallah 100X سبحان الله
Alhamdulillah 100X الحمد لله
LA ILAHA ILLALLAH 100X لا إله إلا الله
Allāhu akbar 100X الله أكبر
Alhamdulillah syukur kepada ALLAH
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Subhanallah 100X سبحان الله
Alhamdulillah 100X الحمد لله
LA ILAHA ILLALLAH 100X لا إله إلا الله
Allāhu akbar 100X الله أكبر
Alhamdulillah syukur kepada ALLAH
No comments:
Post a Comment