25 November 2019

Sifat 20



Sifat 20
Bermula Mu’alim hamba [Buya Abdul Karim bin Muhammad Nur – Kerinci Indonesia menyusun sebuah kitab yang menjadi pegangan seluruh murid beliau yang ditulis menggunakan huruf jawi (Arab Melayu), mudah-mudahan Allah meredhai dan mengizinkan hamba mengutarakannya dalam forum ini tanpa melanggar adab.
Bismillahirrahmanirrahiim…
Adapun Mubadi ilmu tauhid itu sepuluh perkara:
1. Nama ilmu ini yaitu ilmu Tauhid, ilmu Kalam, ilmu Sifat, ilmu Ussuluddin, ilmu ‘Aqidul Iman
2. Tempat ambilannya : yaitu diterbitkan daripada Qur’an dan Hadits
3. Kandungannya yaitu mengandung pengetahuan dari hal membahas ketetapan pegangan kepercayaan kepada Tuhan dan kepada rasul-rasulNya, daripada beberapa simpulan atau ikatan kepercayaan dengan segala dalil-dalil supaya diperoleh I’tikad yang yakin (kepercayaan yang putus/Jazam sekira-kira menaikkan perasaan/Zauk untuk beramal menurut bagaimana kepercayaan itu.
4. Tempat bahasannya atau Maudu’nya kepada empat tempat:
Pada Zat Allah Ta’ala dari segi sifat-sifat yang wajib padanya, sifat-sifat yang mustahil padaNya dan sifat-sifat yang harus padaNya.
Pada zat rasul-rasul dari segi sifat-sifat yang wajib padanya, sifat-sifat yang mustahil padanya dan sifat-sifat yang harus padanya
Pada segala kejadian dari segi jirim dan jisim dan aradh sekira-kira keadaannya itu jadi petunjuknya dan dalil bagi wujud yang menjadikan dia
Pada segala pegangan dan kepercayaan dengan kenyataan yang didengar daripada perkhabaran rasul-rasul Allah seperti hal-hal surga dan neraka dan hari kiamat
5. Faedah ilmu ini yaitu dapat mengenal Tuhan dan percaya akan rasul dan mendapat kebahagian hidup didunia dan hidup di akhirat yang kekal.
6. Nisbah ilmu ini dengan lain-lain ilmu, yaitu ilmu ini ialah ilmu yang terbangsa kepada agama islam dan yang paling utama sekali dalam agama islam.
7. Orang yang menghantarkan ilmu ini atau mengeluarkannya yaitu, yang pertama mereka yang menghantarkan titisan ilmu tauhid dengan mendirikan dalilnya untuk menolak perkataan meraka yang menyalahi ialah dari pada ulama-ulama yang mashur yaitu Imam Abu Al hasan Al Asy’ari dan Imam Abu Mansur At Maturidi tetapi mereka pertama yang menerima ilmu tauhid daripada Allah Ta’ala ialah nabi Adam alaihissalam, dan yang akhir sekali Nabi Muhammad SAW.
8. Hukumnya, yaitu fardhu ‘ain bagi tiap-tiap orang yang mukallaf laki-laki atau perempuan mengetahui sifat-sifat yang wajib, yang mustahil dan yang harus pada Allah Ta’ala dengan jalan Ijmal atau ringkasan begitu juga bagi rasul-rasul Allah dan dengan jalan tafsil atau uraian
9. Kelebihannya yaitu semulia-mulia dan setinggi-tinggi ilmu daripada ilmu yang lain-lain, karena menurut haditsnya nabi: Inallahata’ala lam yafrid syai’an afdola minattauhid wasshalati walaukana syai’an afdola mintu laf tarodohu ‘ala malaikatihi minhum raakitu wa minhum sajidu, artinya, Tuhan tidak memfardukan sesuatu yang terlebih afdhol daripada mengEsakan Tuhan. Jika ada sesuatu terlebih afdhol daripadanya niscaya tetaplah telah difardhukan kepada malaikatnya padahal setengah daripada malaikatnya itu ada yang ruku’ selamanya dan setengah ada yang sujud selamanya dan juga ilmu tauhid ini jadi asal bagi segala ilmu yang lain yang wajib diketahui dan lagi karena mulia , yaitu Zat Tuhan dan rasul dan dari itu maka jadilah maudu’nya semulia-mulia ilmu dalam agama islam.
10. Kesudahan ilmu ini yaitu dapat membedakan antara I’tikad dan kepercayaan syah dengan yang batil dan dapat pula membedakan antara yang menjadikan dengan yang dijadikan atau antara yang Qadim dengan yang muhadasNya

Ilmu Tauhid
Adapun pendahuluan masuk pada menjalankan ilmu tauhid itu berhimpun atas tiga perkara:
1. Khawas yang lima yaitu, Pendengar, Penglihat, Pencium, Perasa lidah dan Penjabat
2. Khabar Mutawatir, yaitu khabar yang turun menurun. Adapun khabar mutawatir itu dua bahagi:
a. Khabar Mutawatir yang datang daripada lidah orang banyak
b. Khabar Mutawatir yang datang daripada lidah rasul-rasul
3. Kandungannya yaitu mengandung pengetahuan dari hal membahas ketetapan pegangan kepercayaan kepada Tuhan dan kepada rasul-rasulNya, daripada beberapa simpulan atau ikatan kepercayaan dengan segala dalil-dalil supaya diperoleh I’tikad yang yakin (kepercayaan yang putus/Jazam sekira-kira menaikkan perasaan/Zauk untuk beramal menurut bagaimana kepercayaan itu.

Aqal
Adapun ‘Aqal itu dua bahagi :
1. ‘Aqal Nazori, yaitu aqal yang berkehendak kepada fikir dan keterangan.
2. ‘Aqal Doruri, yaitu aqal yang tiada berkehendak kepada fikir dan keterangan.
Adapun Hukum ‘Aqal itu tiga bahagi:
1. Wajib ‘Aqal, yaitu barang yang tiada diterima oleh aqal akan tiadanya maka wajib adanya (Zat, Sifat dan Af’al Allah)
2. Mustahil ‘Aqal, yaitu barang yang tiada diterima oleh aqal akan adanya maka mustahil adanya (Segala kebalikan daripada sifat yang wajib, sekutu)
3. Harus ‘Aqal, yaitu barang yang diterima oleh akal akan adanya atau tiadanya (Alam dan segala isinya yang baharu/diciptakan)
Mumkinun (Baharu Alam)
Adapun yang wajib bagi ‘Alam mengandung empat perkara:
1. Jirim, yaitu barang yang beku bersamaan luar dan dalam seperti, batu, kayu, besi dan tembaga
2. Jisim, yaitu barang yang hidup memakai nyawa tiada bersamaan luar dalam seperti manusia dan binatang
3. Jauhar Farad, barang yang tiada boleh dibelah-belah atau dibagi-bagi seperti asap, abu dan kuman yang halus-halus
4. Jauhar Latief, yaitu Jisim yang halus seperti ruh, malaikat, jin, syaiton dan nur
Wajib bagi Jirim, Jisim, Jauhar Farad dan Jauhar Latief bersifat dengan empat sifat:
1. Tempat, maka wajib baginya memakai tempat seperti kiri atau kanan, atas atau bawah, hadapan atau belakang
2. Jihat, maka wajib baginya memakai jihat seperti utara atau selatan, barat atau timur, jauh atau dekat
3. Berhimpun atau bercerai
4. Memakai ‘arad, yaitu gerak atau diam, besar atau kecil, panjang atau pendek dan memakai rasa seperti manis atau masam, masam atau tawar dan memakai warna-warna seperti hitam atau putih, merah atau hijau dan memakai bau-bauan seperti harum atau busuk
Hukum Adat Thobi’at
Adapun yang wajib bagi hukum adat Thobi’at yang dilakukan didalam dunia ini sahaja, seperti makan, apabila makan maka wajib kenyang sekedar yang dimakan begitu juga api apabila bersentuh dengan kayu yang kering maka wajib terbakar, dan pada benda yang tajam yang apabila dipotongkan maka wajib putus atau luka.
Dan begitu juga pada air apabila diminum maka wajib hilang dahaga sekedar yang diminum. Adapun yang mustahil pada adat Thobi’at itu tiada sekali-kali seperti makan tiada kenyang, minum tiada hilang dahaga, dipotong dengan benda yang tajam tiada putus atau luka dan dimasukkan didalam api tiada terbakar. Akan tetapi yang mustahil pada adat itu sudah berlaku pada nabi Ibrahim as di dalam api tiada terbakar dan pada nabi Isma’il as dipotong dengan pisau yang tajam diada putus atau luka .
Adapun yang mustahil pada adat itu jika berlaku pada rasul-rasul dinamakan Mu’jizat, jika berlaku pada nabi-nabi dinamakan Irhas, jika pada wali-wali dinamakan Karamah, dan jika pada orang yang ta’at dinamakan Ma’unah dan jika berlaku pada orang kafir atau orang fasik yaitu ada empat macam:
1. dinamakan Istidraj pada Johirnya bagus dan hakikat menyalahi
2. dinamakan Kahanah yaitu pada tukang tenung
3. dinamakan Sa’uzah yaitu pada tukang sulap mata
4. dinamakan Sihir yaitu pada tukang sihir
Mohon ampunan dan RedhaMu yaa Allah,…
Itulah yang telah terdahulu banyak hamba ungkapkan (terlanjur) di topik-topik yang ada dalam BSC ini, untuk selanjutnya hamba, Insya Allah, akan memohon izin dahulu kepada Mu’alim hamba, sebab ada beberapa huraian penting yang hamba wajib meminta izin dahulu pada beliau, diantaranya: Hukum Syara’, Hakikat Makrifat beserta huraian dalil bagi Sifat-Sifat yang wajib bagi ‘aqal tentang keTuhanan:
-Sifat Nafsiyah
-Sifat Salbiyah
-Sifat Ma’ani
-Sifat Ma’nawiyah
lalu dibahagi menjadi dua bahagi:
-Sifat Istighna (28 Aqa’id)
-Sifat Iftikhor (22 Aqa’id)
yang menghasilkan faham hakikat nafi mengandung isbat, isbat mengandung nafi (50 Aqa’id), lalu berlanjut pada huraian Sifat-sifat bagi Rasul, ditambah empat perkara rukun iman (18 Aqa’id), menghasilkan penjelasan aqa’idul iman yang 5 (lima jenis), aqa’idul iman 50, aqa’idul iman 60, aqa’idul iman 64, aqa’idul iman 66 dan aqa’idul iman 68.
Baharulah disimpulkan menjadi 4 rukun Syahadat dan adab-adabnya, serta menjelaskan penjelasan zikir, serta makna asma ALLAH
InsyaAllah….

MA’RIFAT
Adapun hakikat Ma’rifat itu berhimpun atas tiga perkara:
1. ‘Itikad Jazam, yaitu ‘Itikad yang putus tiada syak, dzon dan waham
2. Muwafikulilhaq, yaitu Muafakat dengan yang sebenarnya mengikut Al Qur’an dan Hadits
3. Mu’addalil yaitu beserta dalil
Adapun Dalil itu dua bahagi:
1. Dalil naqal (naqli), yaitu Al Qur’an dan Hadits.
2. Dalil aqal (aqli), yaitu aqal kita
Adapun dalil wujud Allah Ta’ala pada orang awam yaitu Baharu alam seperti firman Allah Ta’ala dalam Al Qur’an : Allahu khaliqu kullu syai’in, artinya: Allah Ta’ala yang menjadikan tiap-tiap sesuatu
Adapun Hakikat Ma’rifat orang yang Khawas :
1. ‘Itikat jazam, tiada syak, dzon dan waham
2. Muwafakat ilmunya, aqalnya dan hatinya dengan jalan Ilham Ilahi
3. Dalil pada dirinya, seperti firman Allah Ta’ala dalam Al Qur’an: wa fii amfusikum afala tubsiruun, artinya: pada diri kamu tiadakah kamu lihat, dan juga Hadits Rasullullah, Man arofa nafsahu faqod arofa Robbahu, artinya barang siapa mengenal dirinya bahwasanya mengenal Tuhannya.
Adapun Hakikat Ma’rifat orang yang Khawasul khawas:
1. I’tikad jazam, tiada sak, dzon dan waham
2. Muwafakat Ilmunya, aqalnya dan hatinya dengan jalan kasaf Ilahi terkaya ia daripada dalil yakni tiada berkehendak lagi kepada dalil (Aqal dhoruri) terus ia ma’rifat kepada Allah Ta’ala.
~~~~~~~ oOo ~~~~~~~
Adapun Ma’rifat itu tiga martabat:
1. Ilmul yaqin, yaitu segala Ulama
2. ‘Ainul yaqin, yaitu segala Aulia
3. Haqqul yaqin, yaitu segala Anbiya
~~~~~~~ oOo ~~~~~~~
SIFAT-SIFAT KETUHANAN
Adapun yang wajib bagi Ketuhanan itu bersifat dengan empat sifat:
1. Sifat Nafsiyah, yaitu Wujud
2. Sifat Salbiyah yaitu, Qidam, Baqa, Mukhalafatuhu lil khawaditsi, Qiyamuhu binafsihi dan Wahdaniat
3. Sifat Ma’ani, yaitu, Qudrat, Iradat, Ilmu, Hayat, Sami’, Bashir dan Kalam
4. Sifat Ma’nawiyah, yaitu Qadirun, Muridun, ‘Alimun, Hayyun, Sami’un, Bashirrun dan Muttaqalimuun
Dibahagi lagi menjadi dua sifat (Pendekatan secara nafi dan isbat)
1. Sifat Istighna’ yaitu, Wujud, Qidam, Baqa, Mukhalafatuhulilkhawadits, Qiyamuhu binafsihi, Sami’, Bashir, Kalam, Sami’un, Bashirun dan Muttaqallimun
2. Sifat Iftikor, yaitu Qudrat, Iradat, Ilmu, Hayat, Kodirun, Muridun, ‘Alimun, Hayyun dan Wahdaniah
SIFAT-SIFAT KETUHANAN
Adapun yang wajib bagi Ketuhanan itu bersifat dengan empat sifat:
1. Sifat Nafsiyah, yaitu Wujud
2. Sifat Salbiyah yaitu, Qidam, Baqa, Mukhalafatuhu lil khawaditsi, Qiyamuhu binafsihi dan Wahdaniat
3. Sifat Ma’ani, yaitu, Qudrat, Iradat, Ilmu, Hayat, Sami’, Bashir dan Kalam
4. Sifat Ma’nawiyah, yaitu Qadirun, Muridun, ‘Alimun, Hayyun, Sami’un, Bashirrun dan Muttaqalimuun
Dibahagi lagi menjadi dua sifat (Pendekatan secara nafi dan isbat)
1. Sifat Istighna’ yaitu, Wujud, Qidam, Baqa, Mukhalafatuhulilkhawadits, Qiyamuhu binafsihi, Sami’, Bashir, Kalam, Sami’un, Bashirun dan Muttaqallimun
2. Sifat Iftikor, yaitu Qudrat, Iradat, Ilmu, Hayat, Kodirun, Muridun, ‘Alimun, Hayyun dan Wahdaniah
~~~~~~~ oOo ~~~~~~~
Bahagian I: Sifat Nafsiyah:
Wujud, artinya ada, yang ada itu dzat Allah Ta’ala, lawannya ‘Adum, artinya tiada yaitu mustahil tiada diterima oleh aqal sekali-kali dikatakan Allah Ta’ala itu tiada karena jikalau Allah Ta’ala itu tiada niscaya tiadalah perobahan pada alam ini. Alam ini jadilah statis (tak ada masa, rasa dll), dan tiadalah diterima ‘aqal jika semua itu (perobahan) terjadi dengan sendirinya.
Jikalau alam ini jadi dengan sendirinya niscaya jadilah bersamaan pada suatu pekerjaan atau berat salah satu maka sekarang alam ini telah nyata adanya sebagaimana yang kita lihat sekarang ini dan teratur tersusun segala pekerjaannya maka menerimalah aqal kita wajib adanya Allah Ta’ala dan mustahil lawannya tiada. Adapun dalilnya yaitu firmannya dalam Al Qur’an:
Allahu kholiqu kullu syai’in
artinya, Allah Ta’ala jualah yang menjadikan tiap-tiap sesuatu.
Adapun Wujud itu sifat Nafsiyah ada itulah dirinya hak Ta’ala. Adapun ta’rif sifat nafsiyah itu: Hiya huwa wala hiya ghoiruku, artinya, sifat inilah dzat hak Ta’ala, tiada ia lain daripadanya yakni sifat pada lafadz dzat pada makna
Adapun Hakikat sifat nafsiyah itu : Hiya lhalul wajibatu lizzati maadaamati azzatu ghoiru mu’alalahi bi’illati, artinya: hal yang wajib bagi dzat selama ada dzat itu tiada dikarenakan dengan suatu karena yakni adanya yaitu tiada karena jadi oleh sesuatu dan tiada Ia terjadi dengan sendirinya dan tiada Ia menjadikan dirinya sendiri dan tiada Ia berjadi-jadian.
Adapun Wujud itu dikatakan sifat Nafsiyah karena wujud menunjukkan sebenar-benar dirinya dzat tiada lainnya dan tiada boleh dipisahkan wujud itu lain daripada dzat seperti sifat yang lain-lain.
Adapun Wujud itu tiga bahagi:
1. Wujud Haqiqi, yaitu dzat Allah Ta’ala maka wujud-Nya itu tiada permulaan dan tiada kesudahan maka wujud itu bersifat Qadimdan Baqa’, inilah wujud sebenarnya
2. Wujud Mujazi, yaitu dzat segala makhluk maka wujudnya itu ada permulaan dan ada kesudahan tiada bersifat Qadim dan Baqa’, sebab wujudnya itu dinamakan wujud Mujazi karena wujudnya itu bersandarkan Qudrat Iradat Allah Ta’ala
3. Wujud ‘Ardy, yaitu dzat ‘Arodul wujud maka wujudnya itu ada permulaan dan tiada kesudahan seperti ruh, syurga, neraka, Arasy, Kursi dan lain-lain
Adapun yang Mawujud selain Allah Ta’ala dua bahagi
1. Mawujud dalam ‘alam sahadah, yaitu yang di dapat dengan khawas yang lima seperti langit, bumi, kayu, manusia, binatang dan lain-lain
2. Mawujud didalam ‘alam ghaib yang tiada didapat dengan khawas yang lima tetapi didapat dengan nur iman dan Kasaf kepada siapa-siapa yang dikaruniakan Allah Ta’ala seperti Malaikat, Jin, Syaitan, Nur dan lain-lain.
Adapun segala yang Mawujud itu lima bahagi:
1. Mawujud pada Zihin yaitu ada pada ‘aqal
2. Mawujud pada Kharij yaitu ada kenyataan bekas
3. Mawujud pada Khayal yaitu seperti bayang-bayang dalam air atau yang didalam mimpi
4. Mawujud pada Dalil yaitu ada pada dalil seperti asap tanda ada api
5. Mawujud pada Ma’rifat yaitu dengan pengenalan yang putus tiada dapat diselingi lagi terus Ia Ma’rifat kepada Allah Ta’ala
Membicarakan Wujud-Nya dengan jalan dalil:
1. Dalil yang didapat dari Khawas yang lima tiada dapat didustakan
2. Dalil yang didapat dari Khabar Mutawatir tiada dapat didustakan
3. Dalil yang didapat daripada ‘Aqal tiada dapat didustakan
4. Dalil yang didapat daripada Rasulullah tiada dapat didustakan
5. Dalil yang didapat daripada firman Allah Ta’ala tiada dapat didustakan
SIFAT-SIFAT KETUHANAN
Adapun yang wajib bagi Ketuhanan itu bersifat dengan empat sifat:
1. Sifat Nafsiyah, yaitu Wujud
2. Sifat Salbiyah yaitu, Qidam, Baqa, Mukhalafatuhu lil khawaditsi, Qiyamuhu binafsihi dan Wahdaniat
3. Sifat Ma’ani, yaitu, Qudrat, Iradat, Ilmu, Hayat, Sami’, Bashir dan Kalam
4. Sifat Ma’nawiyah, yaitu Qadirun, Muridun, ‘Alimun, Hayyun, Sami’un, Bashirrun dan Muttaqalimuun
Dibahagi lagi menjadi dua sifat (Pendekatan secara nafi dan isbat)
1. Sifat Istighna’ yaitu, Wujud, Qidam, Baqa, Mukhalafatuhulilkhawadits, Qiyamuhu binafsihi, Sami’, Bashir, Kalam, Sami’un, Bashirun dan Muttaqallimun
2. Sifat Iftikor, yaitu Qudrat, Iradat, Ilmu, Hayat, Kodirun, Muridun, ‘Alimun, Hayyun dan Wahdaniah
~~~~~~~ oOo ~~~~~~~
Bahagian II: Sifat Salbiyah
Adapun hakikat sifat Salbiyah itu: wahiya dallat ‘alallafiy maalaa khaliyqu billahi ‘aza wajalla, artinya barang yang menunjukkan atas menafikan apa-apa yang tiada patut dan tiada layak pada dzat, pada sifat dan pada af’al Allah Ta’ala yaitu lima sifat:
1. QIDAM, artinya Sedia
2. BAQA’ artinya Kekal,
3. MUKHALAFATUHULILKHAWADITS artinya Bersalahan Allah Ta’ala dengan segala yang baharu.
4. QIYAMUHU BINAFSIHI, artinya Berdiri Allah Ta’ala dengan sendiriNya.
5. WAHDANIAH, artinya Esa
~~~~~~~ oOo ~~~~~~~
1. QIDAM, artinya Sedia
Adapun hakikat Qidam ibarat dari menafikan ada permulaan bagi Wujud-Nya yakni tiada permulaan, lawannya Hudusy artinya baharu yaitu mustahil tiada diterima oleh aqal sekali-kali dikatakan Ia baharu karena jikalau Ia baharu niscaya jadilah Wujud-Nya itu wujud yang harus, tiadalah Ia wajibal wujud maka sekarang telah terdahulu wajibal wujud baginya maka menerimalah aqal kita wajib baginya bersifat Qadim dan mustahil lawannya baharu , adapun dalilnya firmannya dalam Al Qur’an: huwal awwalu, artinya Ia juga yang awal.
Adapun Qadim nisbah pada nama empat perkara:
a. Qadim Haqiqi, yaitu dzat Allah Ta’ala
b. Qadim Sifati, yaitu sifat Allat Ta’ala
c. Qadim Idofi, yaitu Qadim yang bersandar seperti dahulu bapa daripada anak
d. Qadim Zamani, yaitu masa yang telah lalu sekurang-kurangnnya setahun
2. BAQA’ artinya Kekal
Adapun hakikat Baqa’ itu ibarat menafikan ada kesudahan bagi Wujud-Nya, yakni tiada kesudahan, lawannya Fana’ artinya binasa yaitu mustahil tiada diterima oleh aqal sekali-kali dikatakan Ia binasa, jikalau Ia binasa jadilah Wujud-Nya itu wujud yang baharu, apabila Ia baharu tiadalah Ia bersifat Qadim maka sekarang telah terdahulu bagi-Nya wajib bersifat Qadim maka menerimalah aqal kita wajib bagi-Nya bersifat Baqa dan mustahil lawannya binasa, adapun dalilnya firman-Nya dalam Al Qur’an: wayabqo wajhu robbikauzuljalali wal ikrom, artinya kekal dzat Tuhan kamu yang mempunyai Kebesaran dan Kemuliaan.
Adapun yang Kekal itu dua bahagi:
a. Kekal Haqiqi, yaitu dzat dan sifat Allah Ta’ala
b. Kekal Ardy, yaitu kekal yang dikekalkan, menerima hukum binasa jikalau dibinasakan Allah Ta’ala, karena ia sebahagian daripada mumkinun, tetapi tiada dibinasakan maka kekallah ia, maka kekalnya itu dinamakan kekal ‘Ardy, seperti ruh, arasy, kursi, kalam, lauh mahfudh, surga, neraka, bidadari dan telaga nabi.
3. MUKHALAFATUHULILKHAWADITSI artinya Bersalahan Allah Ta’ala dengan segala yang baharu
Adapun Hakikat Mukhalafatuhulilhawadits itu diibaratkan menafikan dzat dan sifat dan af’al Allah Ta’ala dengan segala sesuatu yang baharu, yakni tiada bersamaan dengan segala yang baharu, lawannya Mumassalatuhulilhawadits, artinya bersamaan dengan segala sesuatu yang baharu. Tiada diterima oleh aqal dikatakan Allah Ta’ala itu bersamaan dzat-Nya dan sifat-Nya dan af’al-Nya dengan segala yang baharu, karena jikalau bersamaan dengan segala yang baharu maka tiadalah Ia bersifat Qadim dan Baqa’, sebab segala yang baharu menerima hukum binasa, maka sekarang telah terdahulu wajib bagi Allah Ta’ala bersifat Qadim dan Baqa’, maka menerimalah aqal kita wajib bagi Allah Ta’ala bersifat mukhalafatuhulilhawadits, dan mustahil lawannya Mumasalatu lilhawadits, adapun dalilnya firman-Nya dalam Al Qur’an:
laisa kamislihi syaiin wa huwassami’ul bashir, artinya tiada seumpama Allah Ta’ala dengan segala sesuatu dan Ia mendengar dan melihat.
Adapun bersalahan dzat Allah Ta’ala dengan dzat yang baharu karena dzat Allah Ta’ala bukan jirim atau jisim dan bukan jauhar atau ‘aradh dan tiada dijadikan, tiada bertempat, tiada berjihat, tiada bermasa atau dikandung masa dan tiada beranak atau diperanakkan.
Bersalahan sifat Allah Ta’ala dengan sifat yang baharu karena sifat Allah Ta’ala Qadim dan ‘Aum takluknya, seperti Sami’ Allah Ta’ala takluk pada segala yang mawujud.
Adapun sifat yang baharu itu tiada ia Qadim dan tiada ‘Aum takluknya, tetapi takluk pada setengah perkara jua seperti yang baharu mendengar ia pada yang berhuruf dan bersuara dan yang tiada berhuruf dan bersuara tiada ia mendengar atau yang jauh atau yang tersembunyi seperti gerak-gerak yang dalam hati dan begitu jua sifat-sifat yang lain tiada serupa dengan sifat Allah Ta’ala.
Adapun bersalahan perbuatan Allah Ta’ala dengan perbuatan yang baharu karena perbuatan Allah Ta’ala itu memberi bekas dan tiada dengan alat perkakas dan tiada dengan minta tolong dan tiada mengambil faedah dan tiada yang sia-sia.
Adapun perbuatan yang baharu tiada memberi bekas dan dengan alat perkakas atau dengan minta tolong dan mengambil faedah.
4. QIYAMUHU BINAFSIHI, artinya Berdiri Allah Ta’ala dengan sendirinya
Adapun hakikat Qiyamuhu binafsihi itu ibarat daripada menafikan berkehendak kepada tempat berdiri dan berkehendak kepada yang menjadikan dia, yakni tiada berkehendak kepada tempat berdiri dan tiada berkehendak kepada yang menjadikannya.
Mustahil tiada diterima oleh aqal sekali-kali dikatakan tiada berdiri dengan sendiriNya, karena Ia zat bukan sifat, jikalau Ia sifat, maka berkehendak kepada tempat berdiri karena sifat itu tiada boleh berdiri dengan sendirinya.
Dan tiada berkehendak kepada yang menjadikan Ia karena Ia Qadim, jikalau berkehendak Ia kepada yang menjadikan Dia, maka jadilah Ia baharu, apabila ia baharu tiadalah ia bersifat Qadim dan Baqa’ dan Mukhalafatuhulilhawadits.
Maka sekarang menerimalah aqal kita, wajib diterima oleh aqal, bagi Allah Ta’ala itu bersifat Qiyamuhubinafsihi dan mustahil lawannya An-laayakuunu ko’imambinafsihi, adapun dalilnya firman-Nya dalam Al Qur’an: Innallaha laghniyyun ‘anil ‘alamiin, artinya Allah Ta’ala itu terkaya daripada sekalian alam.
Adapun segala yang Mawujud menurut berkehendak kepada tempat berdiri dan berkehendak kepada yang menjadikan dia itu empat bahagi:
a. Tiada berkehendak kepada yang menjadikan Dia dan tiada berkehendak kepada tempat berdiri, yaitu zat Allah Ta’ala
b. Berdiri pada zat Allah Ta’ala dan tiada berkehendak kepada yang menjadikan Dia, yaitu sifat Allah Ta’ala
c. Tiada berkehendak kepada tempat berdiri dan berkehendak kepada yang menjadikan dia yaitu segala jirim yang baharu
d. Berkehendak kepada tempat berdiri dan berkehendak kepada yang menjadikan dia yaitu segala ‘aradh yang baharu
5. WAHDANIAH, artinya Esa
Adapun hakikat Wahdaniah itu ibarat menafikan kammuttasil (berbilang-bilang atau bersusun-susun atau berhubung-hubung) dan kammumfasil (bercerai-cerai banyak yang serupa) pada zat, pada sifat, dan pada af’al.
Lawannya An-yakunu wahidan, artinya tiada ia esa. Mustahil tiada diterima oleh akal sekali-kali dikatakan tiada Ia Esa, karena jikalau tiada Ia Esa tiadalah ada alam ini karena banyak yang memberi bekas.
Seperti dikatakan ada dua atau tiga tuhan, kata tuhan yang satu keluarkan matahari dari barat, dan kata tuhan yang satu lagi keluarkan dari timur, dan kata tuhan yang satu lagi keluarkan dari utara atau selatan, karena tiga yang memberi bekas. Tentu kalau tuhan yang satu itu mengeluarkan matahari itu dengan sekehendakknya umpamanya disebelah barat, tentu pula tuhan yang lain meniadakkannya dan mengadakan lagi menurut kehendaknya umpamanya disebelah timur atau utara atau selatan, karena tiga-tiga tuhan itu berkuasa mengadakan dan meniadakan maka kesudahannya matahari itu tiada keluar.
Maka sekarang kita lihat dengan mata kepala kita sendiri bagaimana keadaan atau perjalanan didalam alam ini semuanya teratur dengan baiknya maka menerimalah aqal kita wajib diterima aqal Wahdaniah bagi Allah Ta’ala dan mustahil lawannya berbilang-bilang atau bercerai-cerai.
Adapun dalilnya firman-Nya dalam Al Qur’an: Qul huwallahu ahad, artinya katakanlah oleh mu (Muhammad) Allah Ta’ala itu Esa, yakni Esa zat dan Esa sifat dan Esa Af’al.
Adapun Wahdaniah pada zat menafikan dua perkara:
a. Menafikan Kammuttasil, yaitu menafikan berbilang-bilang atau bersusun-susun seperti dikatakan zat Allah Ta’ala itu berdarah, berdaging dan bertulang urat, atau dikatakan zat Allah Ta’ala itu kejadian daripada anasir yang empat.
b. Menafikan Kammumfasil, yaitu menafikan bercerai-cerai banyak yang sebangsa atau serupa, umpama dikatakan ada zat yang lain seperti zat Allah Ta’ala yakni tiada sekali-kali seperti yang demikian itu.
Maka Kammuttasil dan Kammumfasil itulah yang hendak kita nafikan pada zat Allah Ta’ala, apabila sudah kita nafikan yang dua perkara ini maka barulah dikatakan Ahadiyyatuzzat, yakni Esa dzat Allah Ta’ala.
Adapun Wahdaniah pada sifat menafikan dua perkara:
a. Menafikan Kammuttasil, yaitu menafikan berbilang-bilang atau bersusun-susun sifat, seperti dikatakan ada pada Allah Ta’ala dua Qudrat atau dua Ilmu atau dua Sami’ yakni tiada sekali-kali seperti yang demikian itu.
b. Menafikan Kammumfasil, yaitu menafikan bercerai-cerai banyak yang sebangsa atau serupa seperti dikatakan ada Qudrat yang lain atau Ilmu yang lain seperti Qudrat dan Ilmu Allah Ta’ala.
Maka Kammuttasil dan Kammumfasil inilah yang hendak kita nafikan pada sifat Allah Ta’ala, apabila sudah kita nafikan yang dua itu maka baharulah dikatakan Ahadiyyatussifat, yakni Esa sifat Allah Ta’ala.
Adapun Wahdaniah pada af’al menafikan dua perkara:
a. Menafikan Kammuttasil, yaitu menafikan berhubung atau minta tolong memperbuat suatu perbuatan, seperti dikatakan Allah Ta’ala jadikan kuat pada nasi mengenyangkan dan kuat pada air menghilangkan dahaga dan kuat pada api membakar dan kuat pada tajam memutuskan yakni tiada sekali-kali seperti yang demikian itu.
b. Menafikan Kammumfasil, yaitu menafikan bercerai-cerai banyak perbuatan yang memberi bekas, seperti dikatakan ada perbuatan yang lain memberi bekas seperti perbuatan Allah Ta’ala, yakni tiada sekali-kali seperti yang demikian itu.
Maka Kammuttasil dan Kammumfasil inilah yang hendak kita nafikan pada af’al Allah Ta’ala, apabila sudah kita nafikan yang dua ini maka baharulah kita dikatakan Ahadiyyatull af’al, yakni Esa perbuatan Allah Ta’ala.
Bahagian III: Sifat Ma’ani
Adapun hakikat sifat Ma’ani itu: wahiya kullu sifatu maujudatun qo’imatun bimaujuudatun aujabat lahu hukman, artinya tiap-tiap sifat yang berdiri pada yang maujud (wajibalwujud / zat Allah Ta’ala) maka mewajibkan suatu hukum (yaitu Ma’nawiyah)
Sifat Ma’ani ini maujud pada zihin dan maujud pula pada kharij, ada tujuh perkara:
1. QUDRAT artinya Kuasa, Takluk pada segala mumkinun
2. IRADAT artinya Menentukan, takluk pada segala mumkinun
3. ILMU artinya Mengetahui, takluk pada segala yang wajib, mustahil dan ja’iz bagi aqal.
4. HAYAT artinya Hidup, tiada takluk, tetapi syarat bagi aqal kita menerima adanya sifat-sifat yang lain.
5. SAMA’ artinya Mendengar, takluk pada segala yang maujud.
6. BASYAR artinya Melihat, takluk pada segala yang maujud.
7. KALAM artinya Berkata-kata
~~~~~~~ oOo ~~~~~~~
1. Qudrat artinya Kuasa
Adapun hakikat Qudrat itu yaitu satu sifat yang Qadim lagi azali yang sabit berdiri pada zat Allah Ta’ala, maka dengan Dia mengadakan dan meniadakan bagi segala mumkin muafakat dengan Iradat-Nya. Adapun arti mumkin itu barang yang harus adanya atau tiadanya
Adapun mumkin itu empat bahagi:
a. Mumkin Maujuud ba’dal ‘adum, yaitu mumkin yang pada masa sekarang, dahulu tiada, seperti: langit, bumi dan kita semuanya.
b. Mumkin Ma’dum ba’dal wujud, yaitu mumkin yang tiada pada masa sekarang ini dahulunya ada, seperti: nabi Adam as, dan datok-datok nenek kita yang sudah tiada.
c. Mumkin sayuzad, yaitu mumkin yang akan datang seperti hari kiamat, syurga dan neraka.
d. Mumkin Ilmu Allah annahu lamyujad, yaitu mumkin yang didalam Ilmu Allah Ta’ala, tetapi tiada dijadikan seperti hujan emas, Air laut rasanya manis, dan banyak yang lain lagi.
Lawannya ‘Ujdzun artinya lemah, yaitu mustahil tiada diterima oleh aqal sekali-kali dikatakan Allah Ta’ala itu lemah, karena jikalau Ia lemah niscaya tiadalah ada alam ini karena yang lemah itu tiada dapat memperbuat suatu perbuatan. Maka sekarang alam ini telah nyata adanya bagaimana yang kita lihat sekarang ini, maka menerimalah aqal kita wajib diterima aqal, bagi-Nya bersifat Qudrat dan mustahil lawannya ‘Ujdzun.
Adapun dalilnya firman-Nya dalam Al Qur’an: wallahu ‘ala kulli sai’in-qodir, artinya Allah Ta’ala itu berkuasa atas tiap-tiap sesuatu.
Tetaplah dalam Hakikat Qudrat itu difahami dengan memahami sifat Salbiyah terlebih dahulu untuk menafikan apa-apa yang tiada patut dan tiada layak pada dzat, pada sifat dan pada af’al Allah Ta’ala.
* Qudrat Allah Ta’ala Qadim atau sedia, tiada diawali dengan lemah.
* Qudrat Allah Ta’ala Baqa’ atau Kekal, tiada diakhiri dengan lemah.
* Qudrat Allah Ta’ala itu Mukhalafatuhu lil hawadits, atau bersalahan dengan yang baharu, maha suci dari sekalian misal.
* Qudrat Allah Ta’ala itu Qo’imumbizzatihi atau berdiri pada zat Allah Ta’ala, tiada meminta tolong pada sesuatu, dan tiada mengambil faedah.
* Qudrat Allah Ta’ala itu Wahdaniyah, atau Esa, tiada kamuttassil (Berhubung/bersusun) dan tiada kamumfasil (tiada bercerai dengan sifat yang lain).
2. Iradat artinya Menentukan
Adapun hakikat Iradat itu satu sifat yang Qadim lagi azali yang sabit berdiri pada zat Allah Ta’ala maka dengan Dia menentukan sekalian mumkin adanya atau tiadanya,muafakat dengan Ilmu-Nya.
Adapun Iradat Allah Ta’ala menentukan enam perkara:
a. Menentukan mumkin itu Ada atau tiadanya
b. Menentukan Tempat mumkin itu
c. Menentukan Jihat mumkin itu
d. Menentukan Sifat mumkin itu
e. Menentukan Qadar mumkin itu
f. Menentukan Masa mumkin itu
Lawannya Karahat artinya tiada menentukan atau tiada berkehendak, yaitu mustahil tiada diterima oleh aqal sekali-kali dikatakan Allah Ta’ala itu tiada menentukan atau tiada berkehendak, karena jikalau tiada Ia menentukan atau tiada Ia berkehendak mengadakan alam ini atau meniadakan alam ini niscaya tiadalah baharu (Berubah) alam ini maka sekarang alam ini telah nyata adanya perubahan, ada siang ada malam, ada yang datang ada yang pergi, seperti yang telah kita lihat dengan mata kepala kita sendiri, maka menerimalah aqal kita wajib bagi Allah Ta’ala bersifat Iradat dan mustahil lawannya Karahat.
Adapun dalilnya firman-Nya dalam Al Qur’an: fa’allu limaa yuriy d’, artinya berbuat Allah Ta’ala dengan barang yang ditentukan-Nya.
Adapun Iradat dengan amar dan nahi itu tiada berlazim karena:
Ada kalanya disuruh tetapi tiada dikehendaki seperti Abu jahal, Abu lahab dan segala pengikutnya.
Ada kalanya disuruh dan dikehendaki seperti Abu Baqa’r dan segala sahabat yang lain.
Ada kalanya tiada disuruh dan tiada dikehendaki seperti kafir yang banyak.
Adakalanya tiada disuruh tetapi dikehendaki seperti mengerjakan yang haram dan makruh seperti Nabi Adam as dan Hawa.
Tetaplah dalam Hakikat Iradat itu difahami dengan memahami sifat Salbiyah terlebih dahulu untuk menafikan apa-apa yang tiada patut dan tiada layak pada dzat, pada sifat dan pada af’al Allah Ta’ala.
* Iradat Allah Ta’ala Qadim atau sedia, tiada diawali dengan Karahat.
* Iradat Allah Ta’ala Baqa’ atau Kekal, tiada diakhiri dengan Karahat.
* Iradat Allah Ta’ala itu Mukhalafatuhu lil hawadits, atau bersalahan dengan yang baharu, maha suci dari sekalian misal.
* Iradat Allah Ta’ala itu Qo’imumbizzatihi atau berdiri pada zat Allah Ta’ala, tiada meminta tolong pada sesuatu, dan tiada mengambil faedah.
* Iradat Allah Ta’ala itu Wahdaniyah, atau Esa, tiada kamuttassil (Berhubung/bersusun) dan tiada kamumfasil (tiada bercerai dengan sifat yang lain).
3. Ilmu artinya Mengetahui
Adapun hakikat Ilmu itu yaitu satu sifat yang Qadim lagi azali yang sabit berdiri pada zat Allah Ta’ala maka dengan Dia Mengetahui pada yang wajib, pada yang mustahil, dan pada yang harus.
Adapun yang wajib itu zat dan sifatNya, maka mengetahui Ia zatNya dan sifatNya yang Kamalat.
Adapun yang mustahil itu yaitu yang menyekutui ketuhanannya atau yang kekurangan baginya maka mengetahui Ia tiada yang menyekutui bagi ketuhanan-Nya dan yang kekurangan pada-Nya.
Adapun yang harus itu sekalian alam ini maka mengetahui Ia segala perkara yang ada pada masa sekarang ini, segala perkara yang sudah tiada dan segala perkara yang akan diadakan lagi dan tiada terdinding yang dalam Ilmu-Nya sebesar jarah jua pun, semuanya diketahui-Nya dengan Ilmu-Nya yang Qadim
Lawannya Jahil, artinya bodoh, yaitu mustahil tiada diterima oleh aqal sekali-kali dikatakan Ia Jahil atau bodoh karena jikalau ia Jahil atau bodoh niscaya tiadalah teratur atau tersusun segala pekerjaan didalam alam ini maka sekarang alam ini telah teratur dan tersusun dengan baiknya, maka menerimalah aqal kita wajib bagi Allah Ta’ala bersifat Ilmu dan mustahil lawannya Jahil atau bodoh.
Adapun dalilnya firman-Nya dalam Al Qur’an: wallahu bikulli syai’in ‘alimun, artinya Allah Ta’ala mengetahui tiap-tiap sesuatu.
Tetaplah dalam Hakikat Ilmu itu difahami dengan memahami sifat Salbiyah terlebih dahulu untuk menafikan apa-apa yang tiada patut dan tiada layak pada dzat, pada sifat dan pada af’al Allah Ta’ala.
* Ilmu Allah Ta’ala Qadim atau sedia, tiada diawali dengan jahil.
* Ilmu Allah Ta’ala Baqa’ atau Kekal, tiada diakhiri dengan jahil.
* Ilmu Allah Ta’ala itu Mukhalafatuhu lil hawadits, atau bersalahan dengan yang baharu, maha suci dari sekalian misal, dan tiada terdinding.
* Ilmu Allah Ta’ala itu Qo’imumbizzatihi atau berdiri pada zat Allah Ta’ala, tiada meminta tolong pada sesuatu.
* Ilmu Allah Ta’ala itu Wahdaniyah, atau Esa, tiada kamuttassil (Berhubung/bersusun) dan tiada kamumfasil (tiada bercerai dengan sifat yang lain).
4. Hayat artinya Hidup
Adapun hakikat Hayat itu satu sifat yang Qadim lagi azali yang sabit berdiri pada zat Allah Ta’ala, maka dengan Dia zohirlah sifat yang lain-lain.
Lawannya maut artinya mati, yaitu mustahil tiada diterima oleh aqal sekali-kali dikatakan Ia mati karena jikalau Ia mati niscaya tiadalah ada sifat yang lain seperti Qudrat, Iradat dan Ilmu maka menerimalah aqal kita wajib bagi Allah Ta’ala bersifat hayat dan mustahil lawannya maut.
Adapun dalilnya firman-Nya dalam Al Qur’an: huwal hayyuladzii laa yamuut, artinya Dia yang Hidup yang tiada mati.
Tetaplah dalam Hakikat Hayat itu difahami dengan memahami sifat Salbiyah terlebih dahulu untuk menafikan apa-apa yang tiada patut dan tiada layak pada dzat, pada sifat dan pada af’al Allah Ta’ala.
* Hayat Allah Ta’ala Qadim atau sedia, tiada diawali dengan maut.
* Hayat Allah Ta’ala Baqa’ atau Kekal, tiada diakhiri dengan maut.
* Hayat Allah Ta’ala itu Mukhalafatuhu lil hawadits, atau bersalahan dengan yang baharu, maha suci dari sekalian misal.
* Hayat Allah Ta’ala itu Qo’imumbizzatihi atau berdiri pada zat Allah Ta’ala, tiada meminta tolong pada sesuatu.
* Hayat Allah Ta’ala itu Wahdaniyah, atau Esa, tiada kamuttassil (Berhubung/bersusun) dan tiada kamumfasil (tiada bercerai dengan sifat yang lain)
5. Sami’ artinya Mendengar
Adapun hakikat Sami’ itu yaitu satu sifat yang Qadim lagi azali yang sabit berdiri pada zat Allah Ta’ala, maka dengan Dia mendengar segala yang mawujud sama ada yang mawujud itu Qadim atau Muhadas.
Adapun mawujud yang Qadim yaitu dzat dan Sifat-Nya, maka mendengar Ia akan Kalam-Nya yang tiada berhuruf dan bersuara, dan yang muhadas yaitu sekalian alam ini maka mendengar Ia akan segala perkara yang ada pada masa sekarang ini, segala perkara yang sudah tiada dan segala perkara yang akan diadakan lagi, maka tiada terdinding pendengarannya oleh sebab jauh atau tersembunyi.
Lawannya Sumum, artinya pekak atau tuli yaitu mustahil tiada diterima oleh aqal sekali-kali dikatakan Ia pekak atau tuli karena jikalau Ia pekak atau tuli niscaya tiadalah dapat Ia memperkenankan seruan makhluk-Nya padahal Menyuruh Ia kepada sekalian makhluk-Nya dengan meminta seperti firman-Nya dalam Al Qur’an: ud’uunii astajib lakum, artinya mintalah olehmu kepadaKu niscaya Aku perkenankan.
Maka menerimalah aqal kita wajib bagi Allah Ta’ala bersifat Sami’ dan mustahil lawannya Sumum, pekak atau tuli, adapun dalilnya firman-Nya dalam Al Qur’an: wallahu sami’un ‘alimun, artinya Allah Ta’ala itu yang mendengar dan yang mengetahui .
Tetaplah dalam Hakikat Sami’ itu difahami dengan memahami sifat Salbiyah terlebih dahulu untuk menafikan apa-apa yang tiada patut dan tiada layak pada dzat, pada sifat dan pada af’al Allah Ta’ala.
* Sami’ Allah Ta’ala Qadim atau sedia, tiada diawali dengan pekak.
* Sami’ Allah Ta’ala Baqa’ atau Kekal, tiada diakhiri dengan pekak.
* Sami’ Allah Ta’ala itu Mukhalafatuhu lil hawadits, atau bersalahan dengan yang baharu, maha suci dari sekalian misal, dan tiada terdinding.
* Sami’ Allah Ta’ala itu Qo’imumbizzatihi atau berdiri pada zat Allah Ta’ala, tiada meminta tolong pada sesuatu.
* Sami’ Allah Ta’ala itu Wahdaniyah, atau Esa, tiada kamuttassil (Berhubung/bersusun) dan tiada kamumfasil (tiada bercerai dengan sifat yang lain).
6. Bashir artinya Melihat
Adapun hakikat Bashir itu satu sifat yang Qadim lagi azali yang sabit berdiri pada zat Allah Ta’ala, maka dengan Dia melihat segala yang mawujud sama ada yang mawujud itu Qadim atau muhadas.
Adapun mawujud yang Qadim itu dzat dan sifat-Nya, maka melihat Ia akan dzat-Nya yang tiada berupa dan berwarna dan sifat-Nya yang kamalat.
Adapun mawujud yang muhadas itu sekalian alam ini maka melihat Ia akan segala perkara yang ada pada masa sekarang ini, segala perkara yang sudah tiada dan segala perkara yang lagi akan diadakan.
Tiada terdinding yang pada penglihatan-Nya oleh sebab jauh atau sangat halusnya atau sangat kelamnya.
Lawannya ‘Umyun, artinya buta, yaitu mustahil tiada diterima oleh aqal sekali-kali dikatakan Ia buta karena jikalau Ia buta maka jadilah Ia kekurangan. Maka menerimalah aqal kita wajib bagi Allah Taa’la itu bersifat Bashir dan mustahil lawannya ‘Umyun atau buta
Adapun dalilnya firman-Nya dalam AlQur’an: wallahu bashirun bimaa ta’maluun, artinya Allah Ta’ala itu melihat apa yang kamu kerjakan.
Tetaplah dalam Hakikat Bashir itu difahami dengan memahami sifat Salbiyah terlebih dahulu untuk menafikan apa-apa yang tiada patut dan tiada layak pada dzat, pada sifat dan pada af’al Allah Ta’ala.
* Bashir Allah Ta’ala Qadim atau sedia, tiada diawali dengan buta.
* Bashir Allah Ta’ala Baqa’ atau Kekal, tiada diakhiri dengan buta.
* Bashir Allah Ta’ala itu Mukhalafatuhu lil hawadits, atau bersalahan dengan yang baharu, maha suci dari sekalian misal, dan tiada terdinding.
* Bashir Allah Ta’ala itu Qo’imumbizzatihi atau berdiri pada zat Allah Ta’ala, tiada meminta tolong pada sesuatu.
* Bashir Allah Ta’ala itu Wahdaniyah, atau Esa, tiada kamuttassil (Berhubung/bersusun) dan tiada kamumfasil (tiada bercerai dengan sifat yang lain).
7. Kalam artinya Berkata-kata
Adapun hakikat Kalam itu satu sifat yang Qadim lagi azali yang sabit berdiri pada zat Allah Ta’ala, maka dengan Dia berkata-kata pada yang wajib seperti firman-Nya: fa’lam annahu laailahaillalah, artinya ketahui oleh mu bahwasanya tiada tuhan melainkan Allah, dan berkata-kata pada yang mustahil dengan firman-Nya: laukana fiyhima alihatun illallah lafasadatu, artinya jikalau ada tuhan yang lain selain daripada Allah maka binasalah segala-galanya. dan berkata pada yang harus dengan firman-Nya: wallahu holaqokum wamaa ta’maluun, artinya Allah Ta’ala jua Yang menjadikan kamu dan barang perbuatan kamu.
Lawannya Bukmum, artinya kelu atau bisu yaitu mustahil tiada diterima oleh aqal sekali-kali dikatakan Ia bisu atau kelu karena jikalau Ia bisu atau Kelu tiadalah dapat Ia menyuruh atau mencegah dan menceritakan segala perkara seperti hari kiamat, syurga, neraka dan lain-lain. Maka sekarang suruh dan cegah itu ada pada kita seperti suruh kita sembahyang dan cegah kita berbuat ma’siat. Maka menerimalah aqal kita wajib bagi Allah Ta’ala itu bersifat Kalam dan mustahil lawannya bukmum, kelu atau bisu. Adapun dalilnya friman-Nya dalam Al Qur’an: wa kallamallaahu muusa taqlimaan, artinya berkata-kata Allah Ta’ala dengan nabi Musa as dengan sempurna kata.
Adapun Kalam Allah Ta’ala itu satu sifat jua tiada Ia berbilang tetapi berbagi-bagi dipandang dari segi perkara yang dikatakan-Nya apabila Ia menunjukkan kepada suruh maka dinamakan amar seperti suruh sembahyang dan puasa dan lain-lain, jika Ia menunjukkannya kepada cegah atau larangan maka dinamakan nahi seperti cegah berjudi., minum arak dan lain-lain, jika Ia menunjukkan pada cerita dinamakan akhbar, seperti cerita raja Fir’aun , Namrudz, dan lain-lain. jika Ia menunjukkan pada khabar gembira dinamakan Wa’ad seperti balas syurga pada orang beriman dan ta’at dan lian-lain, jika Ia menunjukkan pada khabar menakutkan maka dinamakan Wa’id, seperti janji balas neraka dan azab bagi orang yang berbuat maksiat dan kafir.
Tetaplah dalam Hakikat Kalam itu difahami dengan memahami sifat Salbiyah terlebih dahulu untuk menafikan apa-apa yang tiada patut dan tiada layak pada dzat, pada sifat dan pada af’al Allah Ta’ala.
* Kalam Allah Ta’ala Qadim atau sedia, tiada diawali dengan kelu.
* Kalam Allah Ta’ala Baqa’ atau Kekal, tiada diakhiri dengan kelu.
* Kalam Allah Ta’ala itu Mukhalafatuhu lil hawadits, atau bersalahan dengan yang baharu, maha suci dari sekalian misal, tiada terdinding dan tiada berhuruf atau bersuara.
* Kalam Allah Ta’ala itu Qo’imumbizzatihi atau berdiri pada zat Allah Ta’ala, tiada meminta tolong pada sesuatu.
* Kalam Allah Ta’ala itu Wahdaniyah, atau Esa, tiada kamuttassil (Berhubung/bersusun) dan tiada kamumfasil (tiada bercerai dengan sifat yang lain).
Bahagian IV: Sifat Ma’nawiyah
Adapun hakikat sifat ma’nawiyah itu: hiyal halul wajibatu lidzati madaamati lidzati mu’allalati bi’illati, artinya hal yang wajib bagi dzat selama ada dzat itu dikarenakan suatu karena yaitu Ma’ani, umpama berdiri sifat Qudrat pada dzat maka baru dinamakan dzat itu Qadirun, artinya Yang Kuasa, Qudrat sifat Ma’ani, Qadirun sifat Ma’nawiah maka berlazim-lazim antar sifat Ma’ani dengan sifat Ma’nawiah, tiada boleh bercerai yaitu tujuh sifat pula:
1. QADIRUN, artinya Yang Kuasa, melazimkan Qudrat berdiri pada dzat
2. MURIIDUN, artinya Yang Menentukan maka melazimkan Iradat yang berdiri pada dzat
3. ‘ALIMUN, artinya Yang Mengetahui maka melazimkan ‘Ilmu yang berdiri pada dzat
4. HAYYUN, artinya Yang Hidup melazimkan Hayyat yang berdiri pada dzat
5. SAMI’UN, artinya Yang Mendengar melazimkan Sami’ yang berdiri pada dzat
6. BASIRUN, artinya Yang Melihat melazimkan Basir yang berdiri pada dzat
7. MUTTAKALLIMUN, artinya Yang Berkata-kata melazimkan Kalam yang berdiri pada dzat
Bahagian V: Sifat Istighna
Artinya sifat Kaya, Hakikat sifat Istighna: mustaghniyun ’angkullu maa siwahu, artinya Kaya Allah Ta’ala itu daripada tiap-tiap yang lain.
Apabila dikatakan Kaya Allah Ta’ala daripada tiap-tiap yang lain, maka wajib bagi-Nya bersifat dengan sebelas (11) sifat, jikalau kurang salah satu daripada sebelas (11) sifat itu maka tiadalah dapat dikatakan Kaya Allah Ta’ala daripada tiap-tiap yang lainnya.
Adapun sifat wajib yang 11 itu ialah:
Wujud, Qidam, Baqa’, Mukhalafatuhu lil khawaditsi, Kiyamuhubinafsihi, Sami’, Basir, Kalam, Sami’un, Basirun dan Muttakalimun.
Selain sebelas (11) sifat yang wajib itu ada tiga (3) sifat yang harus (Jaiz) yang termasuk pada sifat Istighna yaitu
1. Mahasuci dari pada mengambil faedah pada perbuatan-Nya atau pada hukum-Nya, lawannya mengambil faedah, yaitu mustahil tiada diterima oleh aqal sekali-kali karena jikalau mengambil faedah tiadalah Kaya Ia daripada tiap-tiap yang lainnya karena lazim diwaktu itu berkehendak Ia pada menghasilkan hajat-Nya
2. Tiada wajib Ia menjadikan alam ini. Lawannya wajib yaitu mustahil tiada diterima oleh aqal sekali-kali karena jikalau wajib Ia menjadikan alam ini tiadalah Ia Kaya daripada tiap-tiap yang lainnya, karena lazim diwaktu itu berkehendak Ia kepada yang menyempurnakan-Nya
3. Tiada memberi bekas suatu daripada kainat-Nya dengan kuatnya. Lawannya memberi bekas yaitu mustahil tiada diterima oleh aqal sekali-kali karena jikalau memberi sesuatu daripada kainat-Nya dengan kuatnya tiadalah Kaya Ia pada tiap-tiap yang lainnya karena lazim diwaktu itu berkehendak Ia mengadakan sesuatu dengan wasitoh
Bahagian VI: Sifat Ifthikhor
Artinya sifat berkehendak: hakikat sifat Ifthikhor: wamuftaqirun ilaihi kullu maa ’adaahu, artinya berkehendak tiap-tiap yang lainnya kepada-Nya.
Apabila dikatakan berkehendak tiap-tiap yang lain kepada-Nya maka wajib bagi-Nya bersifat dengan sembilan (9) sifat, jikalau kurang salah satu daripada sembilan (9) sifat ini maka tiadalah dapat berkehendak tiap-tiap yang lainya kepada-Nya,
Adapun sifat wajib yang sembilan (9) itu adalah:
1. Qudrat
2. Iradat
3. Ilmu
4. Hayat
5. Qodirun
6. Muridun
7. ‘Alimun
8. Hayyun
9. Wahdaniah
Selain dari sembilan (9) sifat yang wajib itu ada dua (2) sifat yang harus termasuk pada sifat Ifthikhor:
1. Baharu sekalian alam ini. Lawannya Qodim yaitu mustahil tiada diterima oleh aqal sekali-kali karena jikalau alam ini Qodim tiadalah berkehendak tiap-tiap yang lainnya kepada-Nya karena lajim ketika itu bersamaan derejat-Nya
2. Tiada memberi bekas sesuatu daripada kainatnya dengan tobi’at atau dzatnya. Lawannya memberi bekas yaitu mustahil tiada diterima oleh aqal sekali-kali karena jikalau memberi bekas sesuatu daripada kainat dengan tobi’at niscaya tiadalah berkehendak tiap-tiap yang lain kepada-Nya karena lajim ketika itu terkaya sesuatu daripadaNya.
Maka sekarang telah nyata pada kita bahwa duapuluh delapan (28) sifat Istighna dan duapuluh dua (22) sifat Ifthikhar maka jumlahnya jadi limapuluh (50) ‘akaid yang terkandung didalam kalimah laa ilaha ilallaah, maka jadilah makna hakikat laa ilaha ilallaah itu dua: laa mustaghniyun angkullu maasiwahu, artinya tiada yang kaya dari tiap-tiap yang lainnya dan wa muftaqirun ilaihi kullu ma’adahu, artinya dan berkehendak tiap-tiap yang lain kepadaNya.
Ini makna yang pertama maka daripada makna yang dua itu maka jadi empat (4):
1. Wajibal wujud, yaitu yang wajib adanya.
2. Ishiqoqul ibadah, yaitu yang mustahak bagi-Nya ibadah
3. Kholikul ‘alam, yaitu yang menjadikan sekalian alam
4. Maghbudun bihaqqi, yaitu yang disembah dengan sebenar-benarnya.
Ini makna yang kedua maka daripada makna yang empat (4) itu jadi satu (1) yaitu:
Laa ilaha ilallaah, Laa ma’budun ilallah, artinya tiada Tuhan yang disembah dengan sebenarnya melainkan Allah.
Ini makna yang ketiga penghabisan maka jadilah kalimah laa ilaha ilallaah itu menghimpun nafi dan isbat
Adapun yang dinafikan itu sifat Istighna’ dan sifat Ifthikhor berdiri pada yang lain dengan mengatakan: laa ilaha dan diisbatkan sifat Istighna’ dan sifat Ifthikhor itu berdiri pada dzat Allah Ta’ala dengan mengatakan kalimah Ilallaah
Laa = nafi, Ilaha = menafi, ila = isbat, Allah = meng-isbat
Yang kedua kalimah laa ilaha ilallaah itu nafi mengandung isbat dan isbat mengandung nafi sepeti sabda nabi : laa yufarriqubainannafi wal-isbati wamamfarroqu bainahumaa fahuwa kaafirun, artinya Tiada bercerai antara nafi dan isbat dan barang siapa menceraikan kafir.
Seperti asap dengan api. Asap itu bukan api dan asap itu tidak lain daripada api. Asap tetap asap dan api tetap api: tetapi asap itu menunjukkan ada api inilah artinya nafi mengandung isbat dan isbat mengandung nafi. Tiada bercerai dan tiada bersekutu.
AQAI’DUL IMAN
Adapun Aqa’idul Iman itu lima bahagi:
1. Aqa’idul Iman 50, yaitu dengan ringkas untuk mengesahkan iman kita dan wajib diketahui bagi tiap-tiap orang islam yang baligh lagi beraqal laki-laki atau perempuan yang mula hendak mengerjakan ibadah kepada Allah Ta’ala, jikalau tiada kita mengetahui Aqa’idul Iman yang ringkas ini maka tiadalah syah ibadah kita kepada Allah Ta’ala yaitu 20 sifat yang wajib dan 20 sifat yang mustahil dan 1 sifat yang harus maka dijumlahkan jadi 41 dan 4 sifat yang wajib bagi rasul dn 4 sifat pula yang mustahil dan 1 sifat yang harus pada rasul maka jadi 9, maka dijumlahkan dengan 41, jadi 50 Aqa’id
2. Aqa’idul Iman 60
3. Aqa’idul Iman 64
4. Aqa’idul Iman 66
5. Aqa’idul Iman 68
Adapun Aqa’idul Iman yang empat (4) kemudian ini untuk ma’rifat yaitu untuk membedakan dzat Allah Ta’ala dengan dzat yang baharu, dan membedakan sifat Allah Ta’ala dengan sifat yang baharu dan membedakan perbuatan Allah Ta’ala dengan perbuatan yang baharu, maka kesemuanya itu benar, hanya perselisihannya pada Rukun Iman sahaja, setengahnya tiada dimasukkan Rukun Iman yang 4 perkara, maka jadi 60, setengahnya dimasukkan Rukun Iman tetapi tiada dimasukkan lawannya, maka jadi 64, dan setengahnya dimasukkan Rukun Iman yang 4 perkara dan lawannya , maka jadilah 68 dan yang 66 tiada masyhur sebab tiada dimasukkan satu (1) sifat yang wajib bagi Rasul dan lawannya maka inilah sebab menjadi 66.
Maka baharulah jadi Syahadat itu dua (2) bahagi:
1. Syahadat Tauhid, yaitu Ashadu anllaa ilaha ilallah
2. Syahadat Rasul, yaitu Ashadu ana muhammadarrasuulullaah
Adapun Fardhu Syahadat itu dua perkara:
1. Diikrarkan dua kalimah itu dengan lidah
2. Ditasdiqkan makna itu kedalam hati
Syarat Syahadat itu empat perkara:
1. Diketahui apa isi didalam dua kalimah itu
2. Diikrarkan dua kalimah itu dengan lidah
3. Ditasdiqkan maknanya itu kedalam hati
4. Diyakinkan sungguh-sungguh didalam hati
Rukun Syahadat itu empat perkara:
1. Mengisbatkan dzat Allah Ta’ala dzat yang wajibal wujud
2. Mengisbatkan sifat Allah Ta’ala sifat yang kamalat atau sifat yang kesempurnaan
3. Mengisbatkan af’al Allah Ta’ala memberi bekas dan yang berlaku dalam alam ini semua perbuatannya
4. Mengisbatkan kebenaran Rasulullah dan Muhammad itu benar-benar pesuruh Allah
Kesempurnaan Syahadat itu empat (4) perkara:
1. Diketahui
2. Diikrarkan dengan lidah
3. Ditasdiqkan maknanya didalam hati
4. Diamalkan dari dalam hati hingga melimpah keseluruh anggota
Yang Membinasakan Syahadat itu empat (4) perkara:
1. Syak hatinya pada Allah Ta’ala
2. Menduakan Allah Ta’ala
3. Menyangkal dirinya dijadikan Allah Ta’ala
4. Tiada mengisbatkan dzat, sifat dan af’al Allah Ta’ala dan kebenaran Rasul
Adapun dzikir itu tiga (3) bahagian
1. Dzikir lidah yaitu: Laa ilaha ilallah
2. Dzikir hati yaitu: Allah
3. Dzikir sirr yaitu: Huwa
Adapun Laa ilaha ilallaah dzikir orang Syari’at
Adapun Allah… Allah… dzikir orang Tarikat
Adapun Huwa… Huwa… dzikir orang Hakikat
Laa ilaha ilallaah itu makanan Jasmani
Allah… Allah… itu makanan Qalbu
Huwa… Huwa… itu makanan Ruhani
ALLAH
Alif = Dzat
Lam = Sifat
Lam = Af’al
Ha = Asma’
-END-


ON………………

312020
💜💜💜💜💜❤❤❤❤♥️♥️♥️♥️♥️♥️♥️💚💚💚💚💚💙💙💙

ALLAH MELAMPAUI SEGALA SESUATU

3: ALLAH MELAMPAUI SEGALA SESUATU Mengenai Allah yang tanzih (putus hubungan) daripada sebarang bentuk tasybih (ada-perhubungan) atau penjelmaan, terkandung di dalam ayat-ayat yang menunjukkan dengan jelas keadaan-Nya di dalam Kitab-Nya atau melalui lidah Rasul-Nya. “Maha suci Allah dan maha tinggi, melampaui apa yang mereka katakan.” (17:43). Pada penyaksian hamba terhadap Tuhannya dalam ketulenan dan putusnya kekuatan dan ketinggiannya daripada dihubungkan dengan “bagaimana” atau yang seumpamanya adalah petanda yang memberikan keputusan muktamad tentang kedudukan hamba dan pujiannya keteguhan pengetahuan dan pengesahannya dan penolakan terhadap tuduhan dan perubahan [Segala pengetahuan dibekalkan kepada Akal Awal] Ketahuilah yang menanggung segala ilmu, baik mengenai yang di langit mahupun yang di bumi, adalah Akal yang menerimanya daripada Allah s.w.t tanpa perantaraan. Tiada sebarang pengetahuan mengenai makhluk alam tinggi dan alam rendah tersembunyi daripadanya. Semuanya datang daripada kurniaan dan kemurahan-Nya, dan daripada penerangan-Nya, cahaya-Nya dan ketulenan limpahan-Nya. Akal mempelajari daripada Allah s.w.t dan ia mengajar kepada diri. Diri yang belajar daripada Akal melahirkan tindakan. Ia meliputi sekalian pengetahuan mengenai apa yang berhubungan dengan Akal , iaitu segala yang di bawah daripadanya. Kita disempadani oleh “apa yang di bawah daripadanya” dalam hubungan pembelajaran yang dikatakan. Berhati-hati bila kamu fikirkan, ingatlah Allah s.w.t berfirman, “sehingga Kami tahu” 47:31). Dia yang mengetahui segala-galanya, oleh itu akuilah sumber segala sesuatu. […melainkan dunia yang membingungkan] Ketahuilah bahawa dunia yang menipu-daya ini tidak mempelajari apa-apa daripada Akal Awal, dan Akal Awal tidak ada kuasa terhadap mereka yang dibingungkan oleh cinta dunia. Mereka dan dunia yang membingungkan itu berada pada taraf yang sama, seperti individu-individu yang keluar daripada kawalan Kutub, walaupun Kutub itu sendiri adalah satu daripada individu-individu. Tetapi Akal dipilih untuk menyampaikan sebagaimana Kutub dipilih bagi pengangkatan di kalangan individu. […dan melainkan pengetahuan mengenai tauhid tajrid (pengasingan)] Prinsip pengajaran Akal kepada apa yang di bawahnya menjadi kenyataan pada semua, bahawa tiap sesuatu ada perhubungan dengan pengetahuan Akal – melainkan bagi ‘tauhid tajrid (tauhid pengasingan)’. Kaedah tauhid tajrid berbeza daripada segala perkara yang diketahui dalam semua hal, kerana dalam kaedah ini tidak ada sebarang hubungan di antara Allah s.a.w dengan ciptaan-Nya, walaupun jika ‘hubungan’ itu digunakan pada hal tertentu sebagaimana yang dilakukan oleh Imam Abu Hamid al-Ghazali di dalam bukunya dan juga oleh beberapa orang lain. Itu adalah satu gaya penyampaian, dan ianya sangat berbeza daripada kebenaran. Hubungan apakah yang ada di antara sesuatu yang disempadani oleh masa dengan yang melampaui masa. Atau bagaimanakah diadakan persamaan terhadap Dia yang tidak mungkin ada persamaan, dengan sesuatu yang menerima persamaan. Ini adalah tidak mungkin seperti kata Abu’l-‘Abbas ibn al-‘Arif as-Sanhaji dalam Mahasin al-Majalis, “Tidak ada perhubungan di antara Allah dengan hamba kecuali urusan. Di sana tidak ada asbab melainkan keputusan dan tidak ada masa melainkan azali. Apa juga yang lain adalah kegelapan dan kekaburan yang menipu daya.” Satu kelainan mempunyai ‘pengetahuan’ menggantikan ‘kegelapan’. Perhatikanlah betapa unggulnya perkataan ini dan betapa lengkapnya makrifat Allah ini dan betapa tulen musyahadahnya. Semoga Allah mengurniakan faedah kepada kita melalui perkataannya. [Kelemahan akal dalam mencapai makrifat tentang Allah] Pengetahuan tentang Allah terlalu sukar bagi keupayaan yang ada pada akal dan diri untuk mengerti, melainkan sekadar pengakuan bahawa Dia wujud dan suci. Akal yang waras mengakui bahawa Allah berlainan daripada apa yang dikatakan tentang-Nya, baik dalam bentuk nyata atau khayalan, dalam apa juga anasir atau apa sahaja. Khayalan tidak sampai kepada kebenaran tentang-Nya. Ungkapan juga tidak mampu menerangkan hal-Nya seperti menerangkan tentang makhluk. Ianya digunakan itu hanyalah untuk memudahkan pendengar memahami akan keteguhan wujud menurut apa yang mampu diterima oleh pendengar, bukan untuk mengemukakan yang sebenarnya tentang Yang Haq. Allah berfirman, “Tiada sesuatu menyerupai-Nya” (47:19). Walau bagaimanapun, mengenal Allah adalah fardu bagi kita menurut peraturan Syariat kerana Allah berfirman kepada Rasulullah s.a.w, “Ketahuilah, bahawa tiada Tuhan melainkan Allah” (47:19). Dia mengatakan, “Kenalilah Aku melalui perkhabaran daripada-Ku, yang harmoni dengan renungan kamu supaya kepercayaanmu akan melahirkan pengetahuan yang benar, seperti boleh jadi benarnya pengetahuan yang menimbulkan tidak percaya yang datang melalui kepastian”. Jadi, keadaannya adalah demikian. Oleh kerana sebahagian orang berpandangan dan berpendapat demikian, kita renungkan tentangnya untuk melihat bagaimana makrifat mengenai-Nya boleh dicapai. Kita kaji secara adil dan munasabah. Akal yang sempurna tidak berupaya mencapainya melalui usaha dan ikhtiar yang gigih. Kita hanya mencapai kepada makrifat mengenai-Nya melalui ketidakupayaan untuk mengenali-Nya. Sesuatu yang wujud yang tidak menyerupai sesuatu dan tidak boleh difikir dan dikhayalkan, bagaimana mungkin akal menguasai perkara ini? Hal ini tidak boleh berlaku sekalipun pengetahuan mengenai kewujudan-Nya diyakini sunguh-sungguh. Kita tahu bahawa Dia wujud dan Esa pada Zat-Nya. Ini adalah pengetahuan yang dituntut daripada kita, bukanlah kita mengetahui hakikat Zat-Nya yang Dia ketahui, yang Dia miliki. Ini adalah pengetahuan tanpa pengetahuan, yang dituntut daripada kita. Dia tidak menyerupai sebarang makhluk dalam pandangan akal, dan tidak ada sesuatu yang menyerupai-Nya. Ia menjadi fardu kepada kita apabila dikatakan kepada kita, “Ketahuilah tiada Tuhan melainkan Allah” untuk mengetahui apakah pengetahuan itu. Kita mempelajarinya dan kita mempelajari apa yang mula-mula difardukan kepada kita untuk mengetahui apakah pengetahuan itu. [Induk kepada tuntutan ilmu pengetahuan] Ada empat hujah ilmu: iakah?, apakah?, bagaimanakah?, mengapakah?. ‘Ia?’ dan ‘mengapa?’ adalah tuntutan kerohanian yang satu disusuli oleh apakah ianya. ‘Ia?’ dan ‘mengapa?’ adalah dua sumber bagi anasir yang mudah sementara ‘apakah ianya?’ adalah sesuatu yang boleh dikatakan kompleks. Tuntutan yang empat ini tidak boleh ditanyakan tentang Allah, sesuai dengan kenyataan kerana ianya tidak benar bahawa sebarang pengetahuan tauhid boleh diketahui melainkan melalui penafian pada apa yang wujud kecuali Dia. Oleh itu Dia mengatakan, “Tiada sesuatu menyerupai-Nya”(41:11) dan “Maha suci Tuhan kamu, Tuhan yang memiliki benteng yang teguh, melampaui apa yang mereka sifatkan”(37:180). [Pengetahuan tentang penafian adalah pengetahuan tentang Allah] Pengetahuan tentang penafian adalah pengetahuan tentang Allah. Begitu juga kita tidak dibenarkan bertanya “bagaimana” mengenai roh. Ianya adalah terlalu seni untuk dipersoalkan dan hakikatnya berlainan daripada apa yang diucapkan. Alat bagi pertanyaan yang tidak dapat diajukan kepada roh, tidak boleh juga diajukan kepada Allah. Yang Haq tidak mampu diketahui melalui tuntutan-tuntutan ini. [Yang kelihatan melalui zat dirinya, yang kelihatan melalui perbuatannya dan yang tidak kelihatan sama sekali] Jika kita pandang kepada yang selain Allah kita akan temui dua kategori. Kategori pertama adalah yang kelihatan melalui zat dirinya, iaitu sesuatu yang padat dan boleh dicapai oleh pancaindera. Keduanya adalah yang kelihatan melalui tindakannya, iaitu sesuatu yang seni dan dapat ditangkap oleh akal. Yang dapat ditangkap oleh akal lebih tinggi daripada yang dapat ditangkap oleh pancaindera: zatnya terlalu seni untuk menjadikan dirinya kelihatan, tetapi tindakannya ada kenyataan. Keadaan ini adalah keadaan makhluk, Allah bukan makhluk. Dia terlalu murni untuk disaksikan Zat-Nya seperti kategori pancaindera, ataupun tindakan-Nya untuk disamakan dengan kategori seni, kerana tidak ada hubungan langsung di antara-Nya dengan makhluk ciptaan-Nya. Zat-Nya tidak kelihatan kepada kita untuk menjadikan-Nya seperti makhluk yang dapat ditangkap oleh pancaindera, tidak juga perbuatan-Nya untuk menjadikan-Nya seperti makhluk yang dapat ditangkap oleh akal. Perbuatan Yang Haq adalah permulaan kepada sesuatu bukan daripada sesuatu. Makhluk rohani yang seni memperolehi sesuatu daripada sesuatu. Jadi, apakah hubungan keduanya? Bila hubungan tidak mungkin pada perbuatan, maka semestinya juga tidak mungkin pada zat. Jika kamu berhasrat untuk mencapai sebahagian daripada kesedaran dalam tahap ini, perhatikan kepada kesan tindakan menurut tahap kesan-kesan tersebut, misalnya kesan kerja-tangan seperti baju dan kerusi. Kita dapati tukang itu tidak dikenali melainkan dia sendiri memberi gambaran akan kewujudannya dan ilmunya mengenai kerja-tangannya. Begitu juga dengan kesan pembentukan makhluk – cakerawala dan bintang-bintang – yang tidak mengenali penggubahnya dan yang membentuknya. Ia adalah Diri Universal yang melingkungi mereka. Begitu juga dengan kesan semulajadi – seperti penghasilan bahan logam, tumbuh-tumbuhan dan haiwan, yang memberi kesan semulajadi yang menjadi sebahagian daripada kesan pembentukan makhluk. Tetapi mereka tidak dapat mengongkong sesuatu yang bertindak bagi mereka, iaitu cakerawala dan bintang-bintang. Jadi, pengetahuan mengenai cakerawala bukanlah apa yang kamu lihat pada jisimnya dan bukan apa yang kamu saksikan mengenai mereka. Di manakah jisim matahari dalam hubungan dengan dirinya sendiri pada pandangan kita yang melihatnya? Pengetahuan mengenai cakerawala datang daripada roh dan tujuannya yang Allah bawakan kepada kewujudan daripada Diri Universal yang meliputi, yang menjadi asbab bagi cakerawala dan apa yang terkandung di dalamnya. Begitu juga dengan kesan penjelmaan Diri Sejagat atau Diri Universal, menjelma daripada Akal sebagai Dihya[1}, bentuk yang datang daripada pembentukan Jibrail. Diri Universal tidak mengetahui penjelmaan itu daripada apa kerana ia adalah di bawah jagaannya dan dilengkunginya lantaran ia adalah satu daripada khawatirnya. Jadi, bagaimana Diri Universal tahu apa yang di atasnya sedangkan apa yang pada Diri itu daripada apa yang di atasnya hanyalah apa yang di dalamnya? Ia hanya mengetahui apa yang ada dengannya. Jadi, ia mengetahui dirinya, tetapi tidak penyebabnya! [1] Dihya al-Kalbi, salah seorang daripada sahabat Rasulullah s.a.w. Jibril pernah berjumpa dengan Rasulullah s.a.w dengan menjelma dalam rupa Dihya al-Kalbi. Ia juga sama dengan kesan permulaan yang dinamakan Hakikat Muhammadiah, atau ada yang memanggilnya Akal Awal. Ia adalah Qalam Tertinggi yang Allah jadikan daripada tiada. Ia tidak mempunyai keupayaaan dan dihjijab daripada menyaksikan Pembuatnya melebihi daripada kesan yang sudah dinyatakan kerana di antara setiap kesan dan pembuatnya, ada sesuatu hubungan dan persamaan. Jadi, ia tahu mengenainya menurut kadar hubungan di antara mereka, samada dalam bentuk yang nyata atau sebaliknya. Di sana tidak ada hubungan di antara yang pertama diciptakan dengan Yang Hakiki – maha suci Dia! Kesan yang muncul daripada penyebab tidak berupaya mengenali Pembuat atau Penyebabnya. Ketidakupayaan kesan tersebut, yang menyerupai penyebabnya yang aktif dalam beberapa hal, adalah tidak berupaya untuk menyaksikannya dan mengetahuinya. Jadi, fahamilah hal ini dan hayatinya. Ia amat berguna bagi urusan tauhid dan ketidakupayaan untuk menghubungkan pengetahuan yang sementara kepada Allah Yang Maha Besar. [Lima bakat dan pengertiannya yang sebenar] Manusia memperolehi segala pengetahuan melalui salah satu daripada lima bakat: deria yang lima – bau, rasa, sentuh, dengar dan lihat. Pandangan menyaksikan warna, benda-benda berwarna dan individu menurut had dan jarak jauhnya. Apa yang dipandang satu batu jauhnya berbeza dengan apa yang dipandang dua batu jaraknya. Apa yang dipandang 20 langkah tidak sama dengan yang satu batu. Apa yang dipandang yang hampir seperti tangan sendiri, tidak sama dengan apa yang dipandang 20 langkah jaraknya. Pada jarak 2 batu disaksikan bentuk individu tetapi tidak dapat dikenali samada ianya pokok atau manusia. Pada jarak satu batu ia dikenali sebagai manusia. Pada jarak 20 langkah dikenali pula samada putih atau hitam. Bila saling berhadapan dikenali dengan pasti samada biru atau biru air laut. Begitulah keadaan semua pancaindera dalam pengertiannya menurut dekat atau jauh Pencipta tidak dapat ditangkap oleh bakat pancaindera dalam kita cuba mengenali-Nya. Kita tidak boleh mengenali-Nya melalui keupayaan bakat pancaindera. Bakat khayalan hanya menerima apa yang dibekalkan oleh bakat pancaindera, samada gambaran atau bentuk dalam fikiran, daripada apa yang bakat pancaindera bekalkan. Jalan manusia akal dalam menyingkapkan tentang Allah berakhir di sini (melalui bakat khayalan dan fikiran). Ini adalah ungkapan mereka (manusia akal), bukan ungkapan kami. Sekalipun jalan mereka benar, kami sandarkan pendapat tersebut kepada mereka dan ia diungkapkan oleh mereka. Bakat fikiran dan khayalan ini akan berterusan selagi ia menerima persepsi daripada bakat pancaindera (deria). Kami berpendapat apa juga perkaitan deria dengan Allah tidak boleh dijadikan pegangan, begitu juga perkaitan fikiran dan khayalan dengan-Nya. Bagi kebolehan bertafakur pula, manusia hanya mampu menyatakan perkara-perkara yang ada dengannya, yang dia pelajari dengan derianya, persepsi akal dan daripada jalanan fikiran tentang perkara-perkara yang di dalam bidang imaginasinya sesuai dengan pengetahuan tentang benda-benda tersebut yang padanya dia melihat perhubungan. Di sana tidak ada hubungan di antara Allah dengan ciptaan-Nya. Jadi, pengetahuan mengenai-Nya tidak terpakai melalui cara renungan. Oleh kerana itu orang arif melarang berfikir tentang Zat Allah. Bagi bakat akal pula, akal tidak berupaya menyaksikan-Nya. Akal hanya mampu menerima apa yang diketahuinya secara spontan atau renungan yang sesuai dengan kita. Fikiran tidak ada keupayaan untuk mengkaji tentang-Nya melalui pemikiran dan renungan, jadi akal bukanlah alat yang sebenar untuk mengkaji mengenai-Nya melalui renungan. Apa juga akal itu hadnya ialah untuk memahami dan mengambil apa yang mampu diperolehinya. Jadi, mungkin Yang Haq akan kurniakan penyingkapan mengenai-Nya dan akal akan faham, tetapi bukan melalui pemikiran. Ini bukanlah mustahil. Allah kurniakan pembukaan ini kepada sesiapa yang Dia kehendaki dari kalangan hamba-Nya. Akal tidak memiliki sepenuhnya persepsi tentang makrifat, tetapi ia menerimanya apabila didatangkan kepadanya. Jadi, tiada pembuktian dan peruntukan didasarkan padanya kerana penyingkapan (makrifat) adalah melampaui persepsi akal. Sifat-sifat yang wajib tidak boleh dinyatakan kerana ianya melampaui perumpamaan dan ibarat “Tidak ada sesuatu menyerupai-Nya” (41:11). Akal yang tidak dibukakan tentang makrifat ini bertanyakan akal lain yang dibukakan sebahagian kepadanya. Tetapi ianya bukanlah di dalam keupayaan akal yang ditanyakan itu untuk menerangkannya, malah ianya adalah tidak mungkin. Sebab itulah Abu Bakr as-Siddiq mengatakan, “Ketidakupayaan memahami itulah pemahaman.” Kenyataan ini ada dua tahap, jadi fahamkanlah. Sesiapa yang mencari Allah melalui pemikiran dan pengkajiannya akan sesat. Walau bagaimanapun, persediaan yang ada dengan akal mungkin mencukupi untuk menjadikannya sebagai bekas yang sesuai bagi menerima apa yang Allah kurniakan kepadanya, fahamkanlah! Bagi keupayaan mengingat pula, tiada jalan baginya untuk mencapai pengetahuan tentang Allah. Ia mengingati apa yang telah diketahui oleh akal sebelumnya dan kemudian mengabaikannya atau melupakannya dengan tidak disedari. Jadi bakat atau daya ingatan tidak mempunyai jalan kepada-Nya. Jadi, pengertian manusia terbatas kepada kemanusiaan itu sendiri, apa yang zat dirinya berikan kepadanya dan apa yang dia boleh pelajari. Selebihnya adalah persediaan akal untuk menerima apa yang Allah kurniakan daripada makrifat-Nya. Manusia tidak akan mengenali Yang Haq melalui pembuktian secara logik – melainkan sekadar mengakui Dia Wujud dan Dia adalah Yang Esa yang disembah. Pemikiran manusia tidak berupaya untuk memikirkan sesuatu melainkan perkara yang difikirkan itu sudahpun ada dengannya. Jika tidak kerana itu ia tidak akan memikirkannya sama sekali dan tidak juga mengenalinya. Oleh kerana manusia tidak mengenali sesuatu melainkan dia memiliki sesuatu menyamai perkara yang dikenali itu, sebenarnya manusia hanya mengenali apa yang menyerupainya. Di sana tidak ada sesuatu menyamai Pencipta dan tidak ada apa yang mempunyai sesuatu menyerupai-Nya, jadi Dia tidak akan dikenali. [Benda-benda alam semulajadi hanya menerima bekalan daripada yang seumpama dengannya] Sebahagian daripada perkara yang menyokong apa yang telah kami katakan ialah benda-benda semulajadi hanya menerima makanan daripada benda-benda yang daripada jenisnya juga, dan tidak sekali-kali menerima makanan daripada jenis lain. Contoh bagi perkara ini ialah bahan-bahan daripada galian, tumbuh-tumbuhan dan haiwan adalah campuran daripada jenisnya, dan tidak menerima makanan daripada sumber lain. Ini adalah kerana sebahagaian daripadanya adalah untuknya. Jika makhluk mahu membuat makanan untuk tubuhnya, yang terdiri daripada bahan-bahan ini, daripada anasir yang lain daripada bahan-bahan tersebut, atau apa yang dicampurkan daripada yang lain, ia tidak akan dapat melakukannya. Kerana ianya hanyalah mungkin bagi tubuh yang asli menerima makanan daripada sesuatu yang dicampurkan daripada anasir-anasir yang serupa dengannya, jadi adalah tidak mungkin bagi seseorang untuk mengetahui sesuatu melainkan dia memiliki sesuatu menyerupainya.Tidakkah kamu perhatikan diri hanya menerima daripada akal apa yang ia kongsikan dengannya dan apa yang menyamainya? Ia tidak tahu apa yang ia tidak sedikitpun berkongsi dengannya. Tiada sesuatu yang dinisbahkan kepada Allah ada dengan sesuatu yang lain, hal ini tidak mungkin dalam segi apa sekalipun, jadi tiada sesiapa yang mengenali-Nya melalui dirinya dan renungannya. Rasulullah s.a.w bersabda, “Allah terhijab bagi akal sebagaimana Dia terhijab bagi mata. Makhluk alam tinggi mencari-Nya sebagaimana kamu mencari-Nya.” Jadi, Rasulullah s.a.w menceritakan bahawa akal tidak ada pengenalan tentang-Nya melalui renungannya, tidak juga melalui mata dalamnya dan tidak juga melalui mata luarnya. Inilah yang dinyatakan sebelum ini dalam tajuk ini. Segala puji bagi Allah yang mengilhamkan kita dan mengajar kita apa yang kita tidak tahu. Kemurahan Allah maha luas. [Tanzih (‘tiada-hubungan’) dan penafian terhadap tasybih (penyifatan dan perhubungan)] Jadi, pegangan mestilah berkonsepkan ‘tiada-hubungan’ (tanzih) dan ‘penafian’ terhadap penyifatan dan perhubungan. Sesiapa dari kalangan yang menggunakan perhubungan dan menjadi sesat adalah disesatkan oleh pemahaman tentang ibarat dan menggunakan ayat-ayat dan hadis yang tidak difahaminya tanpa melihat kepada aspek tanzih (‘tiada-perhubungan’) yang Allah fardukan. Itu membawa mereka kepada kejahilan yang sebenar dan kesesatan yang nyata. Jika mereka berpegang kepada yang benar dan membiarkan hadis dan ayat-ayat berkenaan tanpa mengubahsuai apa-apa padanya kepada sesuatu yang lain dan menyerahkan pengetahuan itu kepada Allah dan Rasul-Nya dan berkata, “Kami tidak tahu”, itu adalah lebih baik bagi mereka. Firman Allah semestinya memadai bagi mereka, “Tiada sesuatu menyerupai-Nya” (41:11). Bila sesuatu hadis sampai kepada mereka, hadis yang menceritakan tentang perhubungan yang menggambarkan Allah seumpama sesuatu, Dia menafikan persamaan itu dalam hubungan Diri-Nya. Jadi, yang tinggal adalah hadis itu memiliki satu aspek ‘tiada-hubungan’ (tanzih) yang Allah akui dan ia dibawa kepada kefahaman orang Arab yang melalui lidah Arab Quran dibukakan. Sebenarnya tidak kedapatan satu ungkapan pun di dalam hadis atau ayat yang boleh dijadikan hujah bagi menegakkan pegangan ‘ada-hubungan’. Apa yang ditemui ialah ia menyokong berbagai-bagai aspek, ada yang menunjukkan kepada ‘ada-hubungan’ dan ada yang menunjukkan kepada ‘tiada-hubungan’. Penterjemah ibarat atau misal menggunakan ungkapan berkenaan dengan memaksudkan ‘ada-hubungan’ secara menyalahi maksud sebenar ungkapan tersebut kerana dia tidak memahami kedudukan ungkapan berkenaan menurut kehendak tata-bahasa. Dia telah melanggar peraturan Allah apabila dia meletakkan sesuatu yang tidak benar kepada-Nya. Insya’ Allah, kita akan bawakan sebahagian hadis yang menunjukkan kepada ‘ada-hubungan’ tetapi sebenarnya tidak bermaksud demikian. “Kepunyaan Allah bukti yang jelas nyata. Jika Dia kehendaki Dia beri petunjuk kepada kamu semua.” (6:149). [Tasybih (‘ada-hubungan’) dan penyifatan dalam ungkapan Sunnah] Contoh yang demikian ialah sabda Rasulullah s.a.w, “Hati orang mukmin berada di antara dua jari Allah.” (A-Tarmizi). Akal melihat kepada apa yang diperlukan oleh keadaan sebenar dan kiasan, dan anggota adalah mustahil bagi Allah! ‘Jari’ dalam dalam ungkapan ini boleh difahamkan sebagai anggota ataupun rahmat. Pengembala[2] berkata: Kelemahan tongkat, dari orang Badwi, kamu melihatnya atas mereka bila manusia yang tidak mendapat rahmat berakhir dengan kemarau [2] ia-itu pengembala yag baik menjaga untanya dengan baik. Dia mengatakan, “Kamu melihatnya atas mereka” menunjukkan kepada rahmat secara menjaga mereka dengan baik. Bila orang Arab berkata, “Alangkah baiknya jari si anu menjaga hartanya”, ia bermakna hasilnya yang membuat hartanya bertambah lantaran pengurusan yang baik. Menggerakkan sesuatu benda dengan tepat adalah dengan menggunakan jari kerana saiznya kecil dan sesuai untuk kerja yang demikian. Jadi pergerakannya lebih kemas daripada tangan dan bahagian yang lain. Bila Allah balikkan hati hamba-Nya, ia adalah pergerakan yang tepat. Rasulullah s.a.w sangat memahami tentang orang Arab, dan penyampaiannya adalah dengan cara yang mereka faham. Bagi kita, sesuatu benda digerakkan dengan tangan, baginda menggunakan pergerakan dengan ‘jari’ kerana jari adalah bahagian tangan, dan lebih pantas. Rasulullah s.a.w bermunajat, “Wahai Yang membalikkan hati-hati, jadikan hatiku teguh di dalam jagaan-Mu!“ (Ibnu Majah). Allah membalikkan hati-hati bermaksud apa yang Dia jadikan iaitu kecenderungan hati kepada kebaikan dan kecenderungannya kepada kejahatan. Bila seseorang menyedari perubahan dalam hatinya ini bermaksud ‘Allah membalikkan hati’. Pengetahuan manusia tidak berubah daripada dirinya sendiri. Sebab itulah Rasulullah s.a.w mengatakan, “Wahai Yang membalikkan hati-hati, jadikan hatiku teguh di dalam jagaan-Mu!” Merujuk kepada hadis ini, salah seorang daripada isteri-isteri baginda s.a.w bertanya kepada baginda, “Adakah engkau takut, wahai Rasul Allah?”. Baginda s.a.w menjawab, “Hati orang mukmin berada di antara dua jari Allah”, jadi Rasulullah s.a.w menunjukkan kepada kecepatan pertukaran daripada beriman kepada tidak dan apa yang terkandung pada kedua-duanya. Allah berfirman, “Allah mengilhamkan kepada mereka kejahatan dan kebaikan” (91:8). Ilham ini adalah pertukaran dan jari-jari itu adalah kecepatannya. Maksud bagi dua (‘dua jari’) adalah kecenderungan kepada kebaikan dan rangsangan kepada kejahatan. Jadi, ‘jari-jari’ hendaklah difahamkan sebagaimana kami telah terangkan. ‘Jari-jari’; boleh membawa maksud anggota dan boleh juga bermaksud rahmat. Jadi, daripada dua aspek ini yang manakah kamu guna-pakai bagi memenuhi kehendak konsep ‘tiada-hubungan’?Samada kita hanya mendiamkan diri dan membiarkan maksud yang sebenar kepada Allah dan mereka yang Allah bukakan mengenainya – Rasul-rasul-Nya atau wali yang diilhamkan, selagi anggota itu dinafikan, atau mungkin kita dikuasai oleh rasa ingin tahu, walaupun kita menyandarkannya kepada golongan pembaharuan yang mengadakan penyerapan kepada penyifatan. Rasa ingin tahu tidak boleh dijadikan alasan. Setiap orang yang mengetahui berkewajipan memperjelaskan aspek ‘tiada-hubungan’ dalam ungkapan-unkapan berkenaan supaya membatalkan alasan-alasan mereka yang bermain-main dengan istilah. Semoga Allah mengasihani kita dan mereka dan memberikan kepada mereka Islam! Jika kita membincangkan keadaan Allah yang tasybih, penerangannya hendaklah menjurus kepada hal yang sesuai bagi Allah – maha suci Dia! Ini adalah bahagian akal dalam tata-bahasa kesusasteraan. Tiupan roh ke dalam hati [Bahagian hati daripada dua jari menurut aspek ghaib] ‘Dua jari’ adalah rahsia bagi kesempurnaan yang perlu yang kerananya apabila ia dibukakan pada Hari Kebangkitan, anak akan menangkap bapanya yang derhaka dan mencampakkannya ke dalam neraka tanpa berasa sedih dan dukacita, semuanya kerana rahsia ‘dua jari’ ini, yang mempunyai satu makna sahaja walaupun perkataannya dua. Syurga dan neraka diciptakan dan nama diterangi ataupun digelapkan, dan Yang Maha Pengampun dan Yang Maha Keras menyata. Janganlah membayangkan ‘dua jari’ ini sebagai dua jari daripada sepuluh jari! Rahsia ini mesti ditonjolkan dalam bahagian ini. Hadis mengatakan, “Kedua-dua tangan-Nya adalah tangan kanan”. Inilah rahsia penyingkapan makrifat. Ahli syurga mendapat dua nikmat: pertama ialah nikmat syurga dan satu lagi ialah nikmat hukuman terhadap ahli neraka di dalam api neraka. Begitu juga ahli neraka mendapat dua seksaan. Kedua-dua golongan tersebut melihat Allah melalui Nama-nama seperti yang mereka lakukan di dunia. Mengenai ‘dua genggaman’ yang datangnya daripada Rasulullah s.a.w, dalam hubungan dengan Allah ialah rahsia kepada apa yang telah kami nyatakan. “Allah mengatakan kebenaran dan memberi petunjuk kepada jalan yang lurus”.(33:4). Genggaman dan tangan kanan: Allah berfirman, “Bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya” (39:67) dan, “Langit digulung dalam tangan kanan-Nya” (39:67). Akal haruslah melihat sebagaimana keadaan kehendaki. Allah melarang Dia diadakan persamaan dan penyifatan yang mana akal yang lemah telah berbuat demikian lantaran keliru dengan ayat dan hadis. Kemudian, selepas ‘tiada-hubungan’ (tanzih) di mana mereka yang berakal memahaminya, Allah berfirman, “Bumi sekaliannya berada dalam genggaman-Nya” (39:67). Salah satu tata-bahasa Arab yang diketahui, apabila dikatakan, “Si anu berada dalam tangan saya (qabda),” ia bermakna berada di bawah penguasaan, sekalipun saya tidak memegang apa-apa daripada orang itu di dalam tangan saya. Tetapi keputusan saya boleh dikuatkuasakan ke atas orang tersebut, sama seperti keputusan saya terhadap apa yang benar-benar ada dalam tangan saya. Saya katakan, “Harta saya berada dalam tangan saya”, bermakna ia adalah milik saya dan saya berkuasa ke atasnya. Saya boleh menggunakannya mengikut kehendak saya. Apabila saya menggunakannya, pada ketika itu saya boleh berkata, “Dalam tangan saya untuk menggunakan barang ini”, sekalipun ianya adalah hamba saya yang menggunakan barang tersebut dengan izin saya. Oleh kerana anggota badan adalah mustahil bagi Allah maka akal hendaklah mengubahsuai tanggapannya dan maksud ‘genggaman’ itu. Ia adalah pemilikan yang dikuasai ketika itu, walaupun tidak ada apa dalam genggaman orang itu sebenarnya. Ia adalah pemilikan semata-mata. Alam maya ini berada dalam genggaman Yang Haq. Bumi dan akhirat ditentukan juga sebagai sebahagian daripada milik-Nya, seperti apa yang kamu maksudkan bila berkata, “Hamba saya berada dalam genggaman saya”, walaupun hanya sebahagian sahaja daripada hamba itu dalam genggaman kamu. Dalam pandangan kami ‘tangan kanan’ adalah tempat bagi urusan mutlak yang kuat. ‘Kiri’ tidak memiliki kekuasaan ke atas ‘kanan’. Jadi, dalam ayat Quran, tangan kanan menunjukkan kepada penguasaan penuh. Ia menunjukkan kepada kekuasaan untuk bertindak. Jadi, makna Quran sampai kepada orang Arab melalui ungkapan yang mereka ketahui dan mudah fahami. Penyair berkata: Bila panji dikibarkan tanda kemenangan, ‘Araba mengambilnya dengan tangan kanan Kemenangan bukanlah benda yang nyata, jadi anggota badan iaitu tangan kanan tidak dapat memegangnya. Perkataannya seolah-olah berbunyi: Seandainya kemenangan menampakkan panji yang nyata, tempatnya ataupun orang yang layak membawanya adalah ‘Araba al-Awsi (salah seorang orang Ansar), bermakna sifat kemenangan itu lengkap padanya. Orang Arab masih menggunakan ungkapan yang digunakan kepada anggota sedangkan perkara itu tidak dapat dipegang oleh anggota sebenar kerana maknanya boleh difahamkan. Tiupan roh ke dalam hati [Bahagian hati dalam tangan kanan dan kiri: menurut aspek ghaib] Apabila Yang Haq menyatakan Diri-Nya kepada rahsia (sirr) hamba-Nya yang memiliki semua rahsia-rahsia dimasukkannya ke dalam golongan mereka yang bebas, dan hamba-Nya ini memiliki kebebasan mengambil tindakan yang perlu berhubung dengan tangan kanan. Kemuliaan tangan kiri adalah dengan sesuatu yang lain sementara kemuliaan tangan kanan adalah dengan zatnya sendiri. Kemuliaan tangan kanan adalah secara khitab atau diamanatkan padanya, sementara kemuliaan tangan kiri secara tajalli atau dilekatkan padanya. Kemuliaan seseorang adalah dengan mengenali hakikat dirinya dan menjadi perihatin dengannya, dan ia adalah yang kiri = ‘kedua-dua tangan’ berhubung dengan seseorang adalah kiri sebagaimana kedua-dua bagi Allah adalah tangan kanan! Berhubung dengan makna penyatuan (ittihad), kedua-dua tangan hamba adalah kanan. Merujuk kepada tauhid, sebelah tangan Allah adalah kanan dan sebelah lagi kiri. Kadang-kadang aku berada dalam ‘persatuan’ dan ‘persatuan pada persatuan’ dan kadang-kadang aku berada dalam keadaan ‘perpisahan’ dan ‘perpisahan pada perpisahan’ menurut suasana warid yang dikurniakan kepadaku. Satu hari aku temui orang yang dikurniakan nikmat (yaman), dia adalah Yemeni. Jika aku temui seseorang yang menjangkau lebih jauh (mu’addhi), dia adalah ‘Adnani Kehairanan, ketawa, gembira dan marah. Kehairanan terjadi daripada sesuatu yang pada mulanya tidak diketahui apakah yang menghairankan itu, dan kemudian dia mengetahuinya dan itu yang membuatnya hairan. Lalu, ketawa berlaku padanya. Ini tidak mungkin bagi Allah. Tidak ada apa yang diluar daripada pengetahuan-Nya, jadi apabila sesuatu berlaku yang membuat kita hairan, kehairanan dan ketawa itu jika ditujukan kepada Yang Esa yang tidak boleh hairan atau ketawa, kerana sesuatu yang kadang-kadang membuat kita hairan dan ketawa, seumpama pemuda yang tidak ada nafsu muda, adalah sesuatu yang menghairankan, tetapi bagi Allah tidak ada kedudukan seumpama apa yang kita hairankan. Ketawa dan kesukaan datangnya daripada penerimaan dan keseronokan. Jika kamu lakukan sesuatu untuk seseorang, dan kerana itu dia ketawa dan gembira, bermakna dia menerima perbuatan itu dan gembira dengannya. Jadi, ketawa-Nya dan kegembiraan-Nya adalah penerimaan-Nya dan keredaan-Nya terhadap hamba-Nya. Begitu juga, kemurkaan-Nya tidak ada kena mengena dengan keadaan darah mendidih, hati yang mahu membalas dendam, kerana Dia terlalu suci untuk disamakan dengan keadaan pancaindera dan yang mungkin atau tidak mungkin berlaku. Ia merujuk kepada tindakan seseorang yang sedang marah dan dibenarkan untuk menjadi marah. Ia adalah hukuman-Nya kepada orang yang derhaka dan yang menentang perintah dan peraturan-Nya. Allah berfirman, “Dia murka kepadanya” bermakna Dia membalasnya sebagaimana dilakukan terhadap orang yang dimurkai. Jadi Yang Maha Keras itu murka dan kenyataan tindakan itu menunjukkan kepada nama berkenaan. Senyum adalah sebahagian daripada ketawa. Hadis mengatakan, “Allah senyum kepada orang yang berjalan ke masjid untuk bersembahyang dan mengingati-Nya”. Oleh kerana dunia ini ditutup oleh makhluk yang nyata dan dipenuhi oleh yang selain Allah, mereka melakukan tindakan ini dalam keadaan tidak ada kehadiran Allah. Seandainya mereka datang kepada-Nya membawa salah satu daripada berbagai-bagai jenis kehadiran, Allah menghantarkan kepada hati mereka sebahagian daripada rasa kelazatan yang lahir daripada nikmat kehadiran (muhadara) itu, munajat dan musyahadah yang jelira dalam hati mereka. Rasulullah s.a.w bersabda, “Cinta Allah kepada kesejahteraan yang Dia kurniakan kepada kamu daripada rahmat-Nya.” Senyuman menggambarkan perbuatan-Nya ini kerana ia adalah kenyataan kepada kegembiraan bila kamu datang kepada-Nya. Bila seseorang memudahkan kamu untuk datang, tanda kegembiraan ialah menunjukkan kebaikan dan kasih sayang kepada kamu dan menghantarkan sebahagian nikmat yang dia miliki kepada kamu. Bila hal yang seperti ini muncul dari Allah kepada hamba-Nya, itu dikatakan ‘senyuman’. Kelupaan. Allah berfirman, “Dia melupakan mereka” (9:67). Adalah mustahil bagi Allah untuk dihinggapi oleh lalai dan lupa. Tetapi bila Allah hukumkan mereka dengan seksaan yang kekal abadi dan tidak memberikan kepada mereka pengampunan, keadaan mereka yang demikian diistilahkan sebagai dilupakan oleh-Nya, seolah-olah Dia menjadi lupa kepada mereka. Ini adalah perbuatan seseorang yang lupa dan seseorang yang tidak mengingati kesakitan hukuman yang dia sedang jalani. Ia adalah kerana semasa hidupnya di dalam dunia mereka lupa kepada Allah, jadi Dia membalasnya dengan perbuatannya sendiri dan perbuatannya kembali kepada dirinya sendiri sebagaimana wajarnya. Maksud “Allah lupa kepada mereka” ialah Dia tidak menghiraukan mereka dan maksud “mereka lupa kepada Allah” ialah mereka tidak menghiraukan perintah Allah dan tidak melaksanakannya. Jadi, Allah tidak menghiraukan mereka di dalam api neraka, sementara sebahagian yang lain dikeluarkan-Nya daripada neraka. Hampir dengan yang demikian ialah menggambarkan Yang Haq sebagai mengadakan tipu-daya dan memperolok-olok. Allah berfirman, “Allah memperolok-olokkan mereka” (9:79), “Allah mengadakan tipu-daya” (3:54) dan “Allah akan perolok-olokkan mereka” (2:15). Nafas: Rasulullah s.a.w bersabda, “Jangan mengutuk angin. Ia adalah daripada nafas Yang Maha Pemurah”. Baginda juga bersabda, “Aku merasakan nafas Yang Maha Pemurah datang kepadaku dari arah Yaman”. Semua ini adalah kesenangan (tanfis). Ia adalah seumpama baginda s.a.w mengatakan, “Jangan mengutuk angin. Ia adalah sebahagian daripada apa Yang Maha Pemurah guna bagi menyenangkan (naffasa) atau mengangkat beban hamba-Nya”. Rasulullah s.a.w bersabda, “kamu dibantu dengan angin timur”. Ucapan baginda, “Aku merasakan nafas…” bermaksud Yang Maha Pemurah mengangkat daripadaku apa yang mendukacitakan daku. Ini adalah dukacita yang Rasulullah s.a.w rasakan tatkala berhadapan dengan mereka yang menolak seruan baginda dan menolak peraturan Allah. Baginda bersabda, “Dari arah Yaman”, jadi kaum Ansar adalah di dalam golongan yang melalui mereka Allah hilangkan dukacita Rasul-Nya yang disebabkan oleh puak yang menolak seruan baginda s.a.w. Allah Yang Maha Besar tidak terikat dengan nafas dalam bentuk hembusan udara. “Allah melampaui apa yang mereka sifatkan tentang-Nya!” (17:43). Bentuk atau rupa (sura). Bentuk menunjukkan kepada jisim dan apa yang diketahui oleh manusia dan yang lain. Hadis yang menyifatkan bentuk Allah dalam sahih dan kitab-kitab yang lain, misalnya hadis yang diriwayatkan oleh ‘Ikrima, Rasulullah s.a.w bersabda, “Aku melihat Tuhanku dalam rupa jejaka tampan”. Ini adalah suasana Rasulullah s.a.w, dan ia adalah ungkapan yang biasa digunakan dalam bahasa Arab. Ia adalah seperti sabda Rasulullah s.a.w, “Allah ciptakan Adam dalam rupa-Nya”. Ketahuilah nilai persamaan yang dibawa oleh Quran adalah istilah bahasa, bukan yang nyata, kerana persamaan yang nyata adalah mustahil bagi Allah. Zaid adalah singa dari segi kekuatan. Zaid adalah Zuhar dari segi puisi. Bila kamu gambarkan sesuatu dengan satu atau dua sifat dan kemudian menggambarkan yang lain dengan sifat tersebut, walaupun terdapat perbezaan yang jelas di antara mereka menurut keadaan yang sebenarnya, mereka memiliki hakikat sifat tersebut. Ini bermakna setiap mereka memiliki rupa bentuk yang lainnya dalam sifat itu khususnya. Jadi, fahamkan dan ambil perhatian! Perhatikan, nilai-nilai yang ada dengan diri kamu itulah kamu gunakan terhadap-Nya – Maha Suci Dia! Tidakkah kamu ceritakan mengenai sifat-sifat kesempurnaan-Nya melalui nilai-nilai sifat yang ada dengan kamu? Fahamkan! Apabila kamu memasuki pintu yang membuang persamaan, kamu menafikan ketidaksempurnaan yang kamu tidak dibenarkan berbuat demikian, walaupun jika kamu berdasarkan kepada yang demikian sama sekali. Walau bagaimanapun apabila seseorang meletakkan nilai yang demikian kepada dirinya, kamu menafikan penyifatan tersebut. Jika orang tersebut tidak ditutupi oleh bayangan, kamu tidak perlu menafikannya. Ketahuilah sekalipun rupa bentuk itu ada banyak pintu, namun kami tidak menyebutnya kerana kami mahu mengelakkan daripada menjadikan buku ini terlalu panjang. “Allah mengatakan yang benar dan memberi petunjuk kepada jalan yang benar” (33:4). Lengan. Ia berkaitan dengan hadis Rasulullah s.a.w, “Geraham orang kafir di dalam neraka seperti Bukit Uhud dan kulitnya setebal empat puluh hasta daripada hasta Yang Maha Perkasa”. Ini adalah penyifatan bagi memuliakan dengan kadar yang Allah sifatkan bagi-Nya. Ia seperti kamu katakan, “Benda ini beberapa hasta raja”, bermaksud hasta terpanjang yang raja lakukan, walaupun misalnya lengan raja sama seperti lengan orang ramai dan hasta orang ramai lebih panjang daripada hasta raja. Dalam kenyataannya bukanlah lengannya, tetapi adalah anggaran pemilikannya dan kemudian dinisbahkan kepada pembuatnya, jadi ketahuilah! Menurut loghat bahasa “Yang Maha Perkasa” adalah Raja Yang Besar. Begitu juga dengan kaki. “Yang Maha Perkasa meletakkan kaki-Nya (dalam neraka)”. Kaki adalah anggota badan. Dikatakan, “Si anu memiliki kecekapan dalam perniagaan”, bermakna kedudukannya teguh. Kaki adalah nama bersama dalam ciptaan, jadi kaki adalah satu bentuk penyifatan. Yang Perkasa itu adalah malaikat dan kaki itu kepunyaan malaikat kerana yang demikian tidak mungkin bagi Allah! Bersemayam (istawa) menunjukkan kepada kestabilan, petunjuk dan yang menguasai. Kestabilan adalah salah satu nilai tubuh badan dan yang demikian tidak boleh digunakan bagi Allah! melainkan dalam aspek kestabilan. Petunjuk adalah kehendak dan ia salah satu sifat kesempurnaan. Allah berfirman, “Dia mengangkat (istiwa) Diri-Nya ke langit,” (3:29), iaitu bertujuan. “Dia bersemayam di atas arasy” (7:54) bermaksud menguasai. Terdapat banyak kepercayaan dan ayat-ayat, sebahagiannya kuat dan sebahagian yang lain lemah. Tidak ada hadis yang tidak mempunyai aspek tanzih (‘tiada-hubungan’). Jika kamu mahu fahamkan dengan lebih mudah, maka letakkan pada diri kamu ungkapan yang menunjukkan kepada tasybih dan ambillah faedahnya atau rohnya atau apa yang datang daripadanya. Letakkannya dalam apa yang sewajarnya bagi Yang Haq dan kamu akan memperolehi darjat tanzih (‘tiada-hubungan’) tatkala orang lain memperolehi tahap tasybih (‘ada-hubungan’). Jadi, lakukan demikian dan sucikan pakaian kamu! Ini sudah memadai bagi kepercayaan berkenaan kerana tajuknya sudah panjang. Tiupan Roh Kudus ke lubuk Hati [Maksud simbolik bagi ungkapan tasybih di dalam Syariat] “Tiupan roh yang paling suci ke lubuk hati” adalah dalam ungkapan yang terdahulu: bila yang berasa kagum (Raja) kagum terhadap yang muncul daripada bentuk-Nya (Adam), Penciptanya dalam kesedaran batinnya, kegirangan dalam kewujudannya, ketawa dalam penyaksiannya dan murka apabila dia membelakangi, tersenyum bila dia mendekati, melupakan keadaan luarannya dan menarik nafas. Jadi, Dia membiarkan kapal mengambil haluannya dan teguh di atas kerajaan-Nya dan mentadbir kerajaan-Nya dengan kekuasaan. Apa yang Dia kehendaki berlaku dan kembali kepada Allah! Ini adalah roh-roh yang terasing yang ditunggu oleh bentuk sokongan (ashbah). Bila tiba ketikanya, masa berakhir, langit bergoyang, matahari digulungkan, bumi digantikan, bintang-bintang berguguran, segala sesuatu berubah, Alam Akhirat muncul dan manusia serta yang lain dikumpulkan dalam keadaan asal (Lihat 19:10). Kemudian bentuk-bentuk itu akan memberikan pujian, roh-roh akan bergembira, Yang Membuka akan menyata, pelita akan dinyalakan, arak berkilauan, cinta sejati (wudd) muncul, permohonan menghilang, sayap dikembangkan, dan Qubah [3] didirikan daripada permulaan malam hingga ke pagi. Perhentian yang sangat indah! Betapa gembiranya diri-diri yang dalam keadaan sempurna. Semoga Allah mengizinkan kita menikmatinya! [3] Baitul Makmur pada langit ke tujuh menyerupai Kaabah pada bumi. Related posts

Penanggung Arasy

Penanggung Arasy [Mengenai Penanggung Arasy] Dengan Allah, Arasy menanggung ar-Rahman, dan mereka menanggungnya – kenyataan ini mudah dimengerti. Apakah kuasa yang ada pada makhluk dan apakah kekuatannya sekiranya bukan kerananya yang akal dan Penyingkapan bawakan? Tubuh dan roh dan makanan serta kedudukan tiada apa lagi yang pembahagian aturkan. Itulah Arasy, seandainya engkau ketahui kemuliaannya! Yang bersemayam di atasnya dengan nama ar-Rahman yang diharapkan. Mereka berlapan, dan Allah mengetahui mereka. Kini di sana adalah empat, dan tiada kesalahan pada mereka: Muhammad, kemudian Ridwan dan Malik, Adam dan Khalil (Ibrahim) dan kemudian Jibrail, Diikuti oleh Mikail dan Israfil. Hanya lapan di sini – mendapat kekuatan daripada “La ilah illa Llah”. [Arasy (singgahsana) dalam bahasa Arab] Semoga Allah membantu wali-Nya! Ketahuilah dalam bahasa Arab singgahsana membawa maksud sesuatu yang menunjukkan kepada kewujudan kerajaan. Dikatakan, “Singgahsana raja diruntuhkan,” bila berlaku kekacauan di dalam kerajaannya. Singgahsana (takhta) juga membawa maksud kerusi. Bila singgahsana dimaksudkan sebagai penunjuk bagi sesuatu kerajaan, pembawanya adalah penanggungnya. Bila singgahsana itu adalah kerusi, penanggungnya ialah kakinya yang menanggungnya, ataupun sesiapa sahaja yang membawanya di atas galas mereka. Bilangan ditentukan bagi penanggung singgahsana Arasy. Rasulullah s.a.w mengatakan ada empat di dalam dunia ini, dan lapan pada Hari Kebangkitan. Rasulullah s.a.w membacakan, “Pada hari itu lapan akan membawa Arasy Tuhan kamu” (69:17) dan kemudian baginda bersabda, “Kini mereka adalah empat,” maksudnya dalam dunia ini. Firman Allah, “Pada hari itu mereka menjadi lapan”, bermaksud Hari Kebangkitan. [Arasy terkandung dalam tubuh, roh, penyuburan dan darjat] Kami bawakan daripada Ibn Masarra al-Jabali, salah seorang yang terkemuka dalam bidang kerohanian, mengatakan, dan menyingkapkan, “Arasy yang dibawa itu adalah kerajaan. Ia terkandung di dalam tubuh, roh, penyuburan dan darjat. ” Adam dan Israfil dari golongan bentuk; Jibrail dan Muhammad dari roh; Mikail dan Ibrahim dari pembekalan; dan Malik dan Ridwan dari Janji dan Ancaman. Dalam kerajaan itu hanya ada apa yang dinyatakan. Penyuburan, iaitu pembekalan, adalah yang boleh dicapai dengan pancaindera dan juga rohaniah. Apa yang akan kami nyatakan dalam tajuk ini ialah satu cara, yang membawa makna kerajaan, melaluinya segala manfaat berhubung. “Penanggungnya” mengatur mereka yang menjalankan urusan. Satu pengurus dalam bentuk anasir atau bentuk yang bercahaya; satu pengurus dalam bentuk roh; satu pengurus kepunyaan bentuk anasir; satu pengurus adalah roh dan satu diuruskan dan dikuasai oleh bentuk yang bercahaya. Penyuburan adalah kepunyaan bentuk anasir dan penyuburan ilmu dan makrifat roh. Ada darjat kebahagiaan yang boleh dialami oleh pancaindera dengan memasuki syurga dan ada darjat kecelakaan yang boleh dialami oleh pancaindera diperolehi dengan memasuki Jahannam dan darjat ilmu secara kerohanian. Tajuk ini berdasarkan empat isu. Persoalan pertama ialah bentuk; keduanya roh; ketiga ialah penyuburan; dan keempat ialah darjat, iaitu penghujung. Setiap persoalan ini ada dua bahagian, jadi semuanya menjadi lapan. Mereka adalah penanggung Arasy, iaitu apabila yang lapan itu hadir, kerajaan pun didirikan dan muncul, lalu Raja bersemayam di atasnya. [Badan yang bercahaya dan Malaikat Utama] Persoalan pertama menyentuh bentuk dan ia mempunyai dua bahagian: bentuk tubuh beranasir yang mengandungi bentuk tubuh khayali, dan bahagian lain ialah tubuh fizikal yang bercahaya. Kita mulakan dengan tubuh yang bercahaya. Tubuh-tubuh pertama yang Allah jadikan adalah tubuh roh kemalaikatan bergerak dengan cinta dalam keagungan Allah. Ia termasuklah Akal Awal dan Diri Sejagat (Universal) dan tubuh yang bercahaya, diciptakan daripada cahaya keagungan berakhir di sana. Tidak ada daripada malaikat ini yang diciptakan melalui cara lain kecuali melalui Diri (an-Nafs) yang di bawah Akal. Setiap malaikat yang diciptakan selepas malaikat-malaikat ini adalah dibawah taklukan alam semulajadi. Mereka adalah daripada keturunan sfera-sfera yang daripadanya mereka diciptakan dan padanya mereka menghuni. Ia sama juga dengan malaikat anasir. Malaikat darjat terakhir ialah yang diciptakan daripada amalan dan nafas ahli ibadat. Kami akan nyatakannya sedarjat demi sedarjat dalam tajuk ini, Insya’ Allah. Ketahuilah bahawa telah ada Allah sebelum Dia ciptakan makhluk dan di sana tidak ada masa sebelumnya. Itu adalah ungkapan secara ‘ada-hubungan’ yang menunjukkan perhubungan yang melaluinya matlamat dicapai pada pendengar. Allah berada di dalam ‘ama’ yang di bawah dan di atasnya tidak ada udara. Ia adalah kenyataan Ilahi yang pertama muncul yang dalamnya mengalir cahaya Zat, seperti dijelaskan oleh firman-Nya, “Allah adalah cahaya langit dan bumi” (24:35). Bila ‘ama’ itu diwarnai oleh cahaya, Dia bukakan dalamnya rupa malaikat yang terpukau oleh kecintaan yang di atas daripada badan alam semulajadi. Tidak ada singgahsana atau malaikat yang mendahului mereka. Bila Dia bawa mereka kepada kewujudan, Dia berikan mereka kenyataan. Kenyataan itu menjadi tidak kelihatan kepada mereka, dan yang tidak kelihatan itu menjadi roh mereka, iaitu bagi rupa-bentuk itu. Dia berikan kepada mereka kenyataan dalam Nama-Nya, Yang Maha Indah, lalu mereka kehairanan dan kebingungan dengan kecintaan dalam keagungan keindahan-Nya, dan mereka tidak pulih daripadanya. [Akal Awal adalah Paksi bagi Alam Catatan dan Rakaman] Bila Allah berkehendak menciptakan alam catatan dan penulisan, Dia khususkan salah seorang daripada malaikat Karubiyun. Ia adalah malaikat pertama daripada cahaya itu yang dinamakan Akal dan Qalam. Ia dikurniakan tajalli dalam tempat di mana ilmu yang dikurniakan menyata menurut kewujudan yang Dia kehendaki terhadap makhluk-Nya, bukan untuk akhiran dan batasan. Dengan zatnya, Akal menerima apa yang sepatutnya dan Nama-nama Ilahi yang yang inginkan kemunculan alam ciptaan. Daripada Akal ini muncul kewujudan lain yang dipanggil Loh. Dia perintahkan Qalam agar turun kepadanya dan mengamanahkan kepadanya hanya apa yang akan berlaku sehingga Hari Kebangkitan. Dia kurniakan kepada Qalam 360 tahun penulisan, iaitu menjadi Qalam. Bermula daripada ia menjadi qalam, Allah kurniakan kepadanya 360 tajalli atau raqa’iq (berus). Setiap tahun atau raqa’iq mengeluarkan 360 jenis ilmu yang lengkap, dan Qalam memperincikannya dalam Loh. Ini meliputi ilmu mengenai alam semesta sehingga Hari Kebangkitan. Loh mengetahuinya apabila Qalam menyerahkan pengetahuan itu kepadanya. Ini adalah sebahagian daripada alam semulajadi, dan ia adalah ilmu pertama yang Loh terima mengenai ilmu yang bersangkutan dengan apa yang Allah kehendaki pada makhluk-Nya. Ini adalah lebih tepat dikira sebagai semulajadi daripada diri. Semua itu berada di dalam alam cahaya yang murni. [Arasy dan malaikat yang menghuninya] Kemudian Allah bawa kepada kewujudan kegelapan yang murni yang bertentangan dengan cahaya ini, yang berada dalam keadaan ketiadaan yang menyeluruh bertentangan dengan kewujudan yang menyeluruh. Bila Dia membawanya kepada kewujudan, cahaya itu mengalir ke atasanya dengan pengaliran keluar yang perlu dengan bantuan semulajadi. Maka cahaya memperbaiki keadaannya yang berselerakan dan badan muncul yang ditunjukkan sebagai Arasy. Kemudian nama ar-Rahman bersemayam di atasnya dengan nama, Kenyataan Zahir. Itu adalah kemunculan yang pertama bagi alam ciptaan. Daripada cahaya yang bercampur itu, yang seumpama cuaca subuh, Dia ciptakan malaikat yang mengelilingi Singgahsana itu. Inilah firman-Nya, “Kamu akan lihat malaikat mengelilingi Arasy sambil membesar dan memuji Tuhan mereka” (39:75). Mereka tidak mempunyai tugas lain kecuali mengelilingi Arasy, membesar dan memuji-Nya. Kami telah terangkan tentang penciptaan alam maya dalam buku kami, ‘Uqla al-Mustawfiz. Kami gunakan prinsip berkenaan dalam tajuk ini. [Kursi dan malaikat yang mendiaminya] Kemudian Dia bawakan Kursi ke dalam kewujudan Arasy ini dan meletakkan padanya malaikat yang dari jenisnya. Setiap sfera merupakan asas penghuninya yang diciptakan di dalamnya sama seperti anasir yang daripadanya penghuninya diciptakan. Adam diciptakan daripada tanah maka keturunannya menghuni bumi. Dalam Kursi yang mulia ini, Perkataan dibahagikan kepada rakaman dan pengadilan: ini adalah dua kaki yang turun daripada Arasy sebagaimana dinyatakan oleh hadis. Kemudian di dalam Kursi itu Allah ciptakan sfera-sfera, satu di dalam yang lain. Dalam setiap sfera Dia ciptakan alam daripadanya yang mereka diami, yang dinamakan malaikat iaitu utusan. Dia hiaskan sfera-sfera dengan bintang-bintang, dan mengilhamkan kepada setiap langit dengan perintah-Nya sehingga Dia ciptakan bentuk benda-benda (muwalladat). [Roh bentuk yang bercahaya, bentuk khayali dan bentuk anasir] Bila Allah lengkapkan bentuk-bentuk yang bercahaya dan anasir ini yang tidak mempunyai roh yang tidak kelihatan oleh bentuk-bentuk tersebut, Dia kurniakan kenyataan kepada setiap golongan bentuk-bentuk tersebut menurut asas masing-masing. Roh bentuk-bentuk itu muncul daripada bentuk-bentuk tersebut dan daripada tajalli. Ini merupakan persoalan kedua. Allah ciptakan roh-roh dan perintahkan mereka menguruskan bentuk-bentuk tersebut dan Dia jadikan mereka ghaib, zat yang satu tetapi dijadikan berbeza di antara satu sama lain. Mereka berbeza menurut bentuk yang mereka terima daripada tajalli itu. Bentuk-bentuk itu bukanlah kepunyaan roh-roh secara kenyataannya menurut “di mana berada”. Bentuk-bentuk ini dimiliki oleh roh-roh sebagai kerajaan berhubung dengan bentuk anasir, dan seumpama tempat menyatakan berhubung dengan semua bentuk-bentuk. Kemudian Allah hasilkan bentuk khayali fizikal melalui tajalli lain di antara lataif (yang seni) dan bentuk, dan bentuk bercahaya dan menyala muncul kepada pandangan dalam tubuh fiikal itu. Bentuk yang dapat ditangkap oleh pancaindera yang menyata itu membawa bentuk maksud dalam bentuk fizikal ini di dalam tidur, selepas kematian dan sebelum dibangkitkan – ia adalah bentuk di antara ruang (barzakh). Ia adalah tanduk cahaya yang atasnya luas dan bawahnya sempit. Bahagian tertingginya ialah ‘ama’ dan bahagian terendahnya ialah bumi. Badan-badan bagi bentuk ini yang mana jin, malaikat dan bahagian batin manusia muncul adalah arah ke luar semasa tidur dan bentuk-bentuk Taman Syurga. Bentuk inilah yang menghuni bumi khayali yang sudah kami katakan dalam tajuk yang sesuai ini. [Penyuburan roh-roh dan penyuburan bentuk-bentuk] Kemudian Allah tentukan penyuburan bagi bentuk-bentuk dan roh-roh ini. Ia termasuk dalam persoalan ketiga. Mereka hidup dengan penyuburan itu. Ia mengandungi penyuburan pancaindera dan penyuburan maksud. Penyuburan maksud adalah penyuburan ilmu pengetahuan, tajalliyat dan hal-hal (ahwal) atau suasana. Penyuburan pancaindera sudah diketahui umum. Ia adalah apa yang bentuk-bentuk itu makan dan minum yang membawakan maksud kerohanian, iaitu bakat-bakat. Setiap bentuk, samada yang bercahaya, haiwan atau fizikal, disuburkan oleh apa yang sesuai dengannya. Ia mengambil tempat yang panjang untuk diperincikan di sini. [Darjat alam dalam kebahagiaan dan kecelakaan] Kemudian Allah kurniakan kepada setiap alam darjat dalam kebahagiaan dan kecelakaan dan satu setesen; dan perinciannya tidak terhitung. Kebahagiaannya menurutnya: sebahagiannya kebahagiaan nafsu, kebahagiaan kesempurnaan, kebahagiaan kerana dipenuhi, dan kebahagiaan tempat, iaitu Syariat. Kecelakaan adalah seperti itu dalam pembahagian apa yang tidak disetujui oleh nafsu, kesempurnaan, kelakuan (iaitu tidak dipenuhi), dan bukan Syariat. Semua itu boleh ditangkap oleh pancaindera dan akal. Bahagiannya yang ditangkap oleh pancaindera berkait dengan Kediaman kecelakaan, kesakitan pada dunia ini dan alam kemudian, dan berkait dengan Kediaman kebahagiaan bagi kesenangan dalam dunia ini dan alam kemudian. Sebahagiannya murni dan sebahagiannya bercampur. Yang murni berhubung dengan Alam Kemudian. Yang bercampur berhubung dengan Kediaman sekarang. Jadi yang bahagia mungkin muncul dalam bentuk yang celaka dan yang celaka mungkin muncul dalam bentuk bahagia sementara mereka akan menjadi jelas berbeza pada Kediaman Kemudian. Boleh jadi yang celaka menyatakan kecelakaannya dalam dunia ini dan ia berhubung dengan kecelakaan di Alam Kemudian. Begitu juga dengan keadaan bahagia. Walau bagaimanapun, mereka tidak diketahui dalam dunia ini, tetapi mereka menjadi jelas dalam Alam Kemudian: “Sekarang asingkan diri-diri kamu, wahai mereka yang berdosa, pada hari ini!” (35:59). Jadi darjat dihubungkan dengan orang berkenaan dengan hubungan yang tidak akan putus ataupun berubah. [Penanggung Arasy dalam alam ini dan alam kemudian] Jadi maksud lapan, iaitu jumlah kerajaan ditunjukkan oleh Arasy, sudah dijelaskan kepada kamu. Ini adalah persoalan keempat. Maksud lapan sudah jelas bagi kamu. Lapan ini kepunyaan lapan asbab Ilahi yang melaluinya Allah diceritakan. Mereka ialah: kehidupan, pengetahuan, kuasa, kehendak, pertuturan, pendengaran, penglihatan, dan kesempurnaan kecapan, bau dan rasa dengan sifat yang berhubung dengannya. Pengertian ini mengenai mereka ada hubungan, seperti pendengaran menyaksikan benda-benda yang didengar dan penglihatan menyaksikan benda-benda yang dilihat. Jadi kerajaan itu terkandung di dalam lapan. Empat daripadanya menyata dalam alam ini: bentuk, makanan dan dua darjat itu. Pada Hari Kebangkitan, kesemua yang lapan itu akan kelihatan pada pandangan. Allah berfirman, “Pada hari itu lapan akan menangung di atas mereka Arasy Tuhan kamu” (69:17). Rasulullah s.a.w bersabda, “Kini mereka berempat”. Inilah penjelasan mengenai Arasy sebagai Kerajaan. Bagi Arasy, iaitu singgahsana, ia kepunyaan Allah dan malaikat-malaikat membawanya di atas belakang mereka. Hari ini mereka berempat, dan esok mereka berlapan berhubung dengan tanggungan di bumi yang dikumpulkan. Ia berhubung dengan empat yang menanggungnya kira-kira menyamai apa yang Ibn Masarra katakan. Dikatakan satunya mempunyai rupa manusia, satu singa, satu helang dan keempatnya lembu. Itulah yang dilihat dan dikhayalkan oleh Samiri sebagai Tuhan Musa. Jadi dia bina anak lembu untuk kaumnya dan berkata, “Inilah Tuhan kamu dan Tuhan Musa” (20:88), menurut kisahnya. Allah menceritakan yang benar dan memimpin ke jalan yang benar.

Kewujudan makhluk rohani

[Kewujudan makhluk rohani yang diciptakan daripada api yang tiada asap (jin)] Dia campurkan api dan tumbuh-tumbuhan, maka bentuk jin dijadikan sebagai ruang di antara dua keadaan. Ia adalah di antara roh yang berjasad dengan tempat yang dalam dan roh yang tiada “di mana”. Yang menerima jasad mencari makanan untuk pembesaran tanpa kepalsuan, Dan yang menerima malaikat-malaikat, menerima hati bagi mengambil bentuk dalam keasliannya. Kerana sebab ini, ia mentaati pada satu ketika dan menentang pada ketika lain Dia akan balas mereka yang tidak taat dengan dua api. [Penciptaan Jin, malaikat dan manusia] Allah berfirman, “Dia ciptakan jin daripada pucuk api yang tiada asap” (55:14). Hadis menceritakan, “Allah ciptakan malaikat daripada nur, dan Allah ciptakan jin daripada api, dan Dia ciptakan manusia daripada apa yang telah dikhabarkan kepada kamu”. Apa yang Rasulullah s.a.w katakan mengenai ciptaan manusia “seperti yang telah diceritakan kepada kamu”, baginda memberi ketegasan dan tidak menjelaskannya seperti yang baginda lakukan pada menceritakan ciptaan malaikat dan jin. Rasulullah s.a.w “diberikan segala perkataan”. Ini adalah sebahagian daripadanya. Asas ciptaan malaikat dan jin tidak berubah. Asas ciptaan manusia berubah kerana ada empat kategori kejadian manusia. Kejadian Adam tidak menyerupai kejadian Hawa. Kejadian Hawa tidak meneyrupai kejadian keturunan Adam yang lain. Kejadian Isa tidak menyerupai yang lain. Di sini Rasulullah s.a.w memberi penjelasan. Baginda menyampaikan kepada kita perincian kejadian manusia. Adam diciptakan daripada tanah liat, Hawa daripada tulang rusuk, Isa daripada tiupan Roh, keturunan Adam daripada “air yang hanyir” (77:20). [Konsep perkaitan langit dan bumi] Bila Allah dirikan empat anasir asas dan asap naik ke bahagian bawah Sfera Bintang-bintang Yang Tetap, tujuh langit dibentangkan di dalam asap itu, setiap satu berpisah daripada yang lain. Dia “bukakan pada setiap langit ketentuannya” selepas “Dia adakan dalamnya rezekinya” dan semua ini “dalam empat hari”. Kemduian Dia berfirman, “kepada langit dan bumi: Datanglah dengan rela atau terpaksa”. (41:9-11). Kemudian Allah adakan perkaitan di antara langit dan bumi dan arah yang dengannya Dia berkehendak mengadakan benda-benda di bumi dalam bentuk bahan galian, tumbuh-tumbuhan dan haiwan. Dia jadikan bumi seumpama isteri dan langit seumpama suami. Langit menyalurkan perintah Allah kepada bumi sebagaimana suami memindahkan air mani kepada isterinya. Dengan demikian bumi membawa keluar jenis-jenis pembentukan yang Allah sembunyikan di dalamnya. [Empat anasir dan pembentukan manusia dan jin] Bila udara dinyalakan dan dipanaskan, ia membakar seperti pelita. Pembakaran api itu adalah nyalaan udara dan ianya tidak berasap (marj, bercampur-aduk) kerana ia bercampur dengan udara dan adalah udara yang terbakar. Marj adalah campuran dan daripada ini yang tidak berasap itu adalah marj kerana tumbuh-tumbuhan bercampur di dalamnya. Jin adalah campuran dua anasir iaitu api dan udara, sebagaimana manusia merupakan campuran dua anasir iaitu air dan tanah diuli bersama yang menjadikannya tanah liat. Begitu juga campuran udara dan api dinamakan ‘api yang tidak berasap’. Allah ciptakan bentuk jin dalam api yang tidak berasap itu. Oleh kerana anasir udara ada dengan jin, maka jin boleh mengambil berbagai-bagai bentuk yang mereka mahu. Oleh kerana ada anasir api dengannya maka ia menjadi tidak nyata dan seni, dan mereka mencari kekuasaan, kemegahan dan kekuatan kerana api merupakan bahagian yang paling tinggi dalam anasir-anasir itu dan ia mempunyai pengaruh yang kuat untuk menukarkan sesuatu sebagaimana hukum alam kehendaki. Inilah sebabnya jin iblis menyombong dan enggan sujud kepada Adam bila Allah memerintahkannya berbuat demikian lantaran pandangannya yang tinggi terhadap dirinya. Dia berkata, “Aku lebih baik daripadanya” (7:12), bermaksud menurut dasar bahawa Allah lebih menyukai api daripada anasir-anasir yang lain. Jin tidak tahu bahawa anasir air yang daripadanya Adam diciptakan lebih kuat daripada api kerana air boleh memadamkan api dan tanah adalah lebih teguh daripada api melalui kesejukan dan kekeringan. Adam memiliki kekuatan dan kemantapan melalui penguasaan dua anasir tersebut yang Allah jadikannya. Walaupun dia juga memiliki anasir-anasir yang lain – udara dan api, anasir tersebut tidak ada kekuasaan atasnya. Jin juga memiliki anasir-anasir selebihnya…. Adam dikurniakan sifat rendah diri berdasarkan sifat tanah yang ada dengannya. Bila dia menjadi megah, itu hanyalah yang datang kemudian (bukan sifat semulajadinya). Dia menerima sifat tersebut kerana anasir api yang ada dengannya sebagaimana imaginasi dan keadaannya menerima berbagai-bagai suasana kerana anasir udara dengannya. Jin bersifat menyombong kerana sifat api yang ada dengannya. Jika mereka merendah diri, itu adalah yang datang kemudian (bukan sifat asli), ia boleh datang kerana anasir tanah yang ada dengannya. Mereka juga menerima ketetapan dalam menggunakan tipu daya jika mereka syaitan, dan menerima ketetapan untuk berbuat taat jika mereka bukan syaitan. [Keadaan jin bila surah ar-Rahman (surah 55 dalam Quran) dibacakan] Bila Rasulullah s.a.w membacakan surah ar-Rahman kepada para sahabat baginda, baginda bersabda, “Aku membacakannya kepada kumpulan jin. Mereka mendengarkannya lebih baik daripada kamu. Bila aku katakan,’Nikmat Tuhan kamu yang manakan kamu nafikan?’ mereka melafazkan,’kami tidak nafikan sebarang nikmat Tuhan kami!’ Ia meneguhkan mereka dan tidak menggeletar bila dibacakan,’Nikmat Tuhan kamu yang manakah kamu nafikan?’ dalam bacaannya. Ini adalah cetusan sifat jin yang keluar daripada aanasir tanah dan air yang memadamkan nyalaan api. Sebahagian daripada mereka adalah taat kepada Allah dan sebahagiannya menderhaka, seperti manusia: tetapi mereka boleh mengambil berbagai-bagai bentuk seperti malaikat. [Bentuk asasnya ialah rohani] Allah jadikan mereka tidak kelihatan kepada pandangan manusia melainkan bila Allah angkatkan tutupan kepada orang-orang tertentu untuk mereka melihatnya. Oleh kerana jin tidak nyata dan seni, mereka boleh mengambil apa juga bentuk yang boleh dicapai oleh pancaindera menurut kemahuan mereka. Bentuk asasnya ialah kerohanian yang merupakan bentuk pertama yang diterima oleh jin pertama tatkala Allah membawanya kepada kewujudan. Kemudian ia mengambil berbagi-bagai bentuk menurut apa yang Allah kehendaki. Jika Allah bukakan pandangan kita sehingga kita dapat melihat bentuk-bentuk yang dapat disaksikan pancaindera melalui khayal, maka pada masa yang berlainan kamu akan dapat melihat manusia dalam berbagai-bagai bentuk yang tidak serupa antara satu sam alain. [Pembiakan jin dan manusia] Kemudian Allah tiupkan roh ke dalam nyalaan api yang bergolak lantaran keadaannya yang tidak pejal itu. Tiupan menambahkana pergolakan tersebut dan udara menguasainya dan ia tidak tinggal dalama keadaan yang sama. Alam jin muncul dalam bentuk demikian. Sebagaimana persetubuhan berlaku dalam kehidupan manusia secara memasukkan air ke dalam kandungan lalu menghasilkan pembiakan dan kelahiran dalam bangsa Adam yang fana, begitu juga dengan pembiakan berlaku pada jin secara memindahkan udara ke dalam kandungan perempuan dan pembiakan serta kelahiran berlaku pada jin. Mereka keluar melalui Sagittarius dan keadaannya yang berapi-api. Ini telah diceritakan oleh orang yang telah sampai – semoga Allah melindunginya! [Tempuh di antara penciptaan jin dan penciptaan manusia] Tempuh di antara penciptaan Jann (jin pertama) dengan penciptaan Adam ialah 60,000 tahun. Ini adalah perlu menurut dakwaan sesetengah orang bahawa kelahiran jin berakhir selepas 4,000 tahun dan kelahiran manusia berakhir selepas 7,000 tahun. Walau bagaimanapun, ianya tidak berlaku berdasarkan yang demikian. Ianya akan berlaku menurut kehendak Allah. Jin masih membiak dan akan terus membiak. Jadi bilakah manusia bermula, berapa tahun pembiakannya yang masih tinggal, berapa lama lagikah sebelum berakhirnya dunia ini dan bangsa manusia terhapus dari muka bumi ini dan mereka dipindahkan ke Alam Kemudian? Ini bukanlah pegangan mereka yang kukuh dalam ilmu. Ia dikatakan oleh sebilangan kecil sahaja dan tidak akan diulangi. [Jin adalah ruang di antara malaikat dengan manusia] Malaikat adalah roh yang ditiupkan ke dalam nur (cahaya). Jin adalah roh yang ditiupkan ke dalam angin. Manusia adalah roh yang ditiupkan ke dalam bentuk. Ada yang mengatakan bahawa yang perempuan tidak berpisah daripada jin yang mula-mula wujud, seperti Hawa berpisah daripada Adam. Salah seorang daripada mereka mengatakan Allah ciptakan anggota pada jin pertama, maka satu bahagiannya bersetubuh dengan bahagiannya yang lain dan keturunannya dilahirkan seperti keturunan Adam dilahirkan: lelaki dan perempuan berkahwin. Jadi sifat jin ialah memiliki kedua-dua jantina. Oleh kerana itu jin merupakan sebahagian daripada ruang di antara: mereka menyerupai manusia dan menyerupai malaikat kerana kedua-dua jantina menyerupai lelaki dan perempuan. [Makanan dan perkahwinan jin] Anasir udara dan api menguasai kejadian jin. Oleh kerana itu makanannya ialah apa yang di bawa oleh udara iaitu lemak di dalam tulang. Allah jadikan persediaan ini dalam mereka. Jadi kita dapati bahawa tulang dan dagingnya tidak berkurangan sama sekali dan kita tahu bahawa Allah berikan kepada mereka zat dalam tulang itu. Inilah yang dikatakan oleh Rasulullah s.a.w mengenai tulang, “Tulang adalah makanan saudara kamu dari golongan jin”. Dalam satu hadis, “Allah taruhkan zat pemakanan mereka di dalamnya”. Orang yang hal ini dibukakan kepadanya menceritakan kepada kami dia telah melihat jin mendapatkan tulang dan menghidunya seperti haiwan menghidu mangsanya. Kemudian mereka pergi sesudah mengambil makanannya. Makanannya diambil melalui penghiduan itu. Segala puji bagi Yang Maha Lemah-lembut (al-Latiff) dan Yang Maha Mengerti! Bagi penyatuan mereka dalam perkahwinan, ia dalam bentuk berpusing – seperti apa yang kelihatan pada asap yang keluar dari tempat bakaran. Asap itu bercampur-gaul dan setiap individu jin itu menikmati kemasukan yang berbalas-balasan itu. Pancutan maninya seperti biji palma dan dalam bentuk bau yang asli, sama seperti makanannya. [Puak dan kumpulan jin] Mereka berpuak-puak dan berkumpulan. Dikatakan mereka tergolong kepada dua belas puak dan kemudian bercabang kepada puak-puak yang lebih kecil. Biasa berlaku peperangan besar di antara mereka, dan sebahagian daripada angin puting beliung adalah sebenarnya di tengah-tengah pertempuran mereka. Puting beliung itu merupakan perlawanan yang berbalas-balasan di antara dua angin yang bertentangan, masing-masing menghalang yang satu lagi daripada melepasi. Jadi penahanan itu membawa kepada bulatan yang dapat disaksikan oleh mata sebagai debu yang nyata yang merupakan kesan kepada perlawanan dua angin itu. Pertempuran mereka adalah seperti itu, tetapi bukanlah pula setiap puting beliung itu pertempuran mereka. Kisah jin ‘Amr merupakan kisah yang terkenal. Ia terbunuh di dalam puting beliung yang kelihatan. Ia pecah daripadanya ketika ia hampir mati. Ia tidak mengambil masa yang lama untuk mati. Ia adalah jin yang salih. Jika asas buku ini adalah untuk menceritakan sejarah dan budaya kami tentu ceritakan sebahagian daripadanya, tetapi buku ini adalah mengenai maksud ilmu pengetahuan. Kamu boleh mencari ceritanya pada tempat yang lain, dalam buku sejarah dan puisi. [Cara alam makhluk rohani muncul dalam rupa bentuk] Bila alam rohani mengambil bentuk dan muncul dalam bentuk yang boleh ditangkap oleh pancaindera, mata mengurung makhluk rohani itu kerana makhluk rohani itu tidak dapat melepaskan bentuk yang ia muncul itu kerana mata terus melihat kepadanya walaupun yang melihat itu ialah manusia. Bila mata manusia jelas mengenai makhluk rohani itu, ia tidak mempunyai tempat untuk menghilangkan diri, maka makhluk rohani itu menjelmakan bentuk yang ia gunakan untuk menutupi dirinya. Kemudian makhluk rohani itu membuat manusia mengkhayalkan yang bentuk itu telah meninggalkannya pada satu arah, lalu mata mengikuti arah tersebut. Bila mata mengikutinya, makhluk rohani itu meninggalkan kurungan mata tadi dan menghilang. Bila ia menghilang, bentuk itu hilang dari pandangan orang yang sedang memandang kepadanya dan mengikutinya dengan pandangannya. Dalam hubungan dengan makhluk rohani itu, bentuk itu adalah umpama cahaya yang di dalam bekas lampu yang cahayanya dihamburkan di penjuru-penjuru. Bila badan lampu itu tiada cahaya pun hilang. Beginilah keadaan bentuk itu. Jika seseorang mengetahui hal ini, dan mahu mengurung makhluk rohani itu, dia tidak harus mengikuti makhluk rohani itu dengan matanya. Ini adalah salah satu rahsia Ilahi yang hanya diketahui oleh mereka yang mendapat petunjuk Allah. Bentuk itu tidak lain daripada makhluk rohani itu. Sebenarnya ia adalah sama, sekalipun ia berada pada seribu tempat, atau pada setiap tempat, dengan bentuk yang berlainan. Andaikata salah satu bentuk itu dibunuh dan kelihatan mati, makhluk rohani itu meninggalkan kehidupan dunia ini dan pergi ke ruang antara sebagaimana kita pergi apabila kita meninggal. Tidak ada maklumat mengenainya tinggal di dalam dunia ini, seperti keadaan kita juga. Bentuk yang boleh ditangkap oleh pancaindera yang diambil oleh makhluk rohani itu dinamakan ‘tubuh’. Allah berfirman, “Kami adakan hanya jasad di atas singgahsananya” (38:34) dan “Kami tidak berikan kepada mereka tubuh yang tidak memakan makanan” (21:8). Perbezaan di antara jin dengan malaikat, walaupun secara kerohaniannya mereka serupa, ialah makanan jin mengandungi makanan yang didapati dalam tubuh asli. Malaikat tidak demikian. Itulah sebabnya Allah ceritakan tentang tetamu Nabi Ibrahim a.s, “Bila dia melihat tangan mereka tidak mengambilnya, dia mencurigai mereka” (11:70), iaitu malaikat tidak menjamah daging panggang dan mereka tidak memakannya yang membuat Nabi Ibrahim a.s curiga. [Pembentukan alam jin] Apabila sampai masa dijadikan alam jin, Dia memerintahkan tiga daripada malaikat yang kepercayaan dalam sfera pertama yang membawa pembantu-pembantu mereka yang diperlukan untuk tugas ini dari langit kedua. Mereka turun ke langit-langit dan mengambil dua pembantu dari langit ke dua dan ke enam. Mereka turun ke anasir dan menyediakan tempat tersebut. Tiga lagi penjaga mengikuti mereka, dan mereka membawa apa juga pembantu yang diperlukan daripada langit kedua, kemudian turun ke langit ke tiga, dan daripada sana kepada yang ke lima. Mereka mengambil dua malaikat. Mereka melalui langit ke enam dan dan mengambil dua pembantu daripada malaikat. Kemudian mereka turun ke anasir bagi melengkapkan pembentukan itu. Enam yang lebihnya turun dan mengambil pembantu yang selebihnya di dalam langit ke dua dan langit-langit. Semuanya dikumpulkan bagi susunan kejadian ini dengan izin Yang Maha Mengetahui, Maha Bijaksana. Bila kejadian alam jin selesai, Allah perintahkan roh daripada Alam Pemerintahan dan tiupkan kepada bentuk yang telah sedia itu dan kehidupan pun mengalir ke dalamnya. Ia pun berdiri mengucapkan puji-pujian kepada Penciptanya: ini merupakan ketentuan semulajadi yang Dia aturkan. Terkandung di dalamnya ialah kekuatan dan kebesaran yang penyebabnya tidak dikenali dan tidak ditemui kerana pada masa itu tidak ada makhluk lain yang wujud dalam alam semulajadi ini selain ia. Ia beribadat kepada Tuhannya, memperakui kekuasaan-Nya, merendah diri kepada Tuhannya yang telah mewujudkannya sebagai satu makhluk sehinggalah Adam diciptakan. Bila jin ini melihat lembaga Adam, salah seorang daripada mereka yang bernama al-Harith, dikuasai oleh kebencian kepada lembaga tersebut dan kemarahannya menyala-nyala tatkala menyaksikan lembaga Adam itu. Puaknya yang lain melihat keadaannya dan mengkeritiknya lantaran mereka melihat ia bersedih dan berdukacita di atas kejadian Adam itu. Bila kejadian Adam telah siap, al-Harith menunjukkan apa yang tersirat dalam dirinya dengan mengingkari perintah Penciptanya supaya sujud kepada Adam dan ia menjadi angkuh terhadap Adam berbangga dengan asal usulnya (daripada api yang ia rasakan lebih mulia daripada tanah). Ia gagal melihat rahsia kekuatan air yang daripadanya Allah jadikan setiap makhluk yang hidup ini, dan daripadanya juga datangnya kehidupan jin sekalipun ia tidak menyedarinya. [Penciptaan Adam dan kejadian manusia] Jika kamu terdiri daripada mereka yang tidak disingkapkan, fikirkanlah tentang firman Allah, “dan singgahsana-Nya di atas air” (11:7). Jadi, singgahsana dan makhluk di sekelilingnya memperolehi kehidupan melalui air. “Tidak ada yang tidak meninggikan puji-pujian terhadap-Nya” (17:44). Dia menggunakan yang negatif. Hanya yang hidup mengagungkan. Dala satu hadis yang baik Rasulullah s.a.w bersabda, “Malaikat berkata,’Wahai Tuhan (dalam hadis yang panjang)!adakah Engkau ciptakan sesuatu yang lebih kuat daripada api?’ Dia menjawab,’Iya, air.'” Jadi, Dia jadikan air lebih kuat daripada api. Sekiranya anasir udara dalam struktur jin tidak dinyalakan oleh api, maka jin tentunya menjadi lebih kuat daripada keturunan Adam, kerana udara lebih kuat daripada air. Dalam hadis ini malaikat bertanya, “Wahai Tuhan, adakah Engkau ciptakan sesuatu yang lebih kuat daripada api?” Dia menjawab, “Ya, keturunan Adam.” Allah jadikan organisma manusia lebih kuat daripada udara. Air lebih kuat daripada api, dan ia merupakan anasir utama dalam manusia sebagaimana api menjadi anasir utama dalam jin. Inilah sebabnya Allah katakan tentang syaitan, “Sesungguhnya tipu daya syaitan itu lemah” (4:76). Ia tidak menganggap berkekuatan terhadapnya sama sekali. Ia tidak menafikannya kepada Gobernor Mesir tatkala ia bertkata, “sesungguhnya tipu daya kamu kuat” (12:27)… Sebab bagi yang demikian ialah organisma manusia memiliki kesesuaian untuk melahirkan sikap berhati-hati, keteguhan hati, bertafakur dan berfikir lantaran pengaruh anasir tanah dan air dalam sifat manusia. Jadi manusia memiliki akal yang lebih kerana tanah memegangnya dan menahannya sementara air menjadikannya lemah-lembut dan mudah. Jin tidak demikian. Akal jin tidak memiliki yang demikian yang boleh membuatnya berpegang kepada sesuatu sebagaimana manusia boleh lakukan. Sebab itu kita katakan, “Si anu ‘ringan’ akalnya dan ‘malap’ fikirannya” bila dia berkelakuan bodoh dan dungu! Ini merupakan sifat jin, dan dengannya jin sesat daripada jalan petunjuk kerana sifat aslinya yang dungu dan kurang kecerdasannya dalam berfikir. Jadi ia berkata, “Aku lebih mulia daripadanya” (7:12) dan menggabungkan kejahilan dan akhlak yang buruk kerana sifat dungunya. [Syaitan pertama dari golongan jin] Mana-mana jin yang derhaka adalah syaitan, iaitu yang tercampak jauh daripada rahmat Allah. Al-Harith adalah jin pertama yang dipanggil syaitan. Allah menghalaunya dalam keadaan putus asa, iaitu menghalaunya keluar dari rahmat-Nya dan mengharamkan rahmat ke atasnya. Daripadanya cabang-cabang syaitan muncul. Mana-mana jin yang beriman, seperti Hama ibn Alham ibn Laqis ibn Iblis, bergabung dengan jin yang beriman. Mana-mana yang tinggal dalam keingkaran adalah syaitan. Ia hanya merupakan sedikit perselisihan pendapat di kalangan ulama Syariat. Ada yang mengatakan syaitan tidak pernah tunduk, berpandukan daripada apa yang Rasulullah s.a.w katakan tentang syaitan yang menjadi sahabatnya, “Allah berikan daku kekuatan ke atasnya maka dia tunduk (aslama).” Mereka yang mentafsirkan baginda sebagai berkata “aslamu” mengambil kefahaman “Daku selamat daripadanya” dan ia tidak mempunyai jalan ke atasku. Jadi, terjemahannya berbeza. Jika ia diterjemahkan sebagai “aslama” maka ia tunduk. Ia bermakna ia tunduk walaupun ia menjadi musuh maka ia tidak menyuruhku melainkan kepada kebaikan, dipaksakan berbuat demikian oleh Allah dan sebagai perlindungan kepada Rasulullah s.a.w. Yang bertentangan berkata bahawa “aslama” bermakna bahawa ia percaya kepada Allah seperti yang tidak percaya bertukar menjadi Muslim dan beriman. Ini adalah lebih tepat dan diterima. [Iblis adalah jin celaka yang pertama] Kebanyakan orang berpendapat al-Harith adalah jin yang pertama, dan ia merupakan jin yang sama kedudukannya dengan jin-jin yang lain seperti umat manusia dengan Adam. Kami tidak berpendapat demikian. Al-Harith adalah salah satu daripada jin, tetapi yang menyamai seperti kedudukan Adam bagi umat manusia adalah jin yang lain. Inilah sebabnya Allah berfirman, “Iblis adalah salah satu jin” (18:50), iaitu ia adalah dalam kategori penciptaan ini. Sama juga Qabil adalah salah seorang manusia, tetapi Allah catitkannya di kalangan yang celaka. Dia adalah yang pertama dari kalangan manusia yang celaka, dan iblis adalah yang pertama yang celaka di kalangan jin. Kebanyakan seksaan bagi syaitan bangsa jin di dalam neraka ialah dengan kesejukan yang amat sangat, bukan dengan kepanasan, walaupun mereka mungkin diseksa dengan api. Kebanyakan seksaan untuk keturunan Adam ialah dengan api. Satu hari aku berjumpa dengan seorang wali yang meracau. Dia menangis dan berkata kepada orang ramai, “Jangan berhenti dengan perkataan-Nya, ‘Aku akan penuhkan Jahannam dengan kamu'” (38:85) dan memaksudkannya dengan iblis sahaja. Perhatikan bagaiamana Dia menyampaikan kepada kamu secara tidak langsung bila Dia berfirman, ‘…jahannam dengan kamu.’ Iblis dijadikan daripada api maka dia kembali kepada asal usulnya – semoga Allah melaknatinya! Jika iblis diseksa dengannya, seksaan bagi periuk belangan dengan api adalah lebih lagi, maka ambillah perhatian! Bila Jahannam disebutkan, wali ini hanya memikirkan api secara khusus, dan lupa akan kenyataan bahawa Jahannam adalah nama bagi kedua-duanya iaitu panas yang bersangatan dan sejuk yang bersangatan. Ia dipanggil jahannam kerana rupanya yang masam (jahama. Jahuma bermakna ‘memiliki rupa yang hodoh’) kerana rupanya yang menimbulkan rasa kebencian. Jaham adalah perkataan bagi awan yang sudahpun mencurahkan air yang dikandungnya. Hujan yang lebat merupakan rahmat Allah. Bila Allah sudah mengeluarkan hujan daripada awan, maka nama jaham digunakan baginya kerana rahmat iaitu hujan yang lebat sudah tiada lagi. Begitu juga, Allah telah menghilangkan rahmat daripada Jahannam yang dibenci menurut pandangan dan lapuran. Ia dinamakan Jahannam kerana ia terlalu dalam. Ada yang mengatakan, “sedalam Jahannam” bila menyatakan sesuatu yang sangat dalam. Kita bermohon kepada Allah Yang Maha Besar agar dikurniakan kepada kita dan sekalian orang yang beriman keselamatan daripadanya!

Pengenalan

Pengenalan Segala puji dan puja untuk Allah, Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Dia yang mengumpul segala pengetahuan di dalam Zat-Nya dan Dia jualah Pencipta segala pengetahuan dengan keabadian. Segala kewujudan bersumberkan Wujud-Nya. Segala puji bagi Allah lantaran Dia menghantarkan Quran yang mulia yang mengandungi di dalamnya sebab-sebab ia diturunkan iaitu untuk memperingatkan manusia tentang Allah. Dihantarkan-Nya kepada pembimbing yang memandu manusia pada jalan yang benar dengan yang paling Perkasa di antara agama-agama. Selawat dan salam ke atas Nabi Muhammad s.a.w yang tidak diajar oleh makhluk tetapi diajar oleh-Nya sendiri. Baginda s.a.w adalah nabi-Nya yang terakhir, penyambung terakhir pada rantaian kenabian yang diutus kepada dunia yang sedang hanyut di dalam huru hara, yang paling mulia di kalangan nabi-nabi-Nya, dimuliakan dengan kitab suci yang paling suci dan paling mulia. Keturunan baginda s.a.w adalah pembimbing bagi orang-orang yang mencari. Sahabat-sahabat baginda s.a.w adalah pilihan dari kalangan orang yang baik-baik dan murah hati. Semoga kesejahteraan dan keberkatan yang melimpah-limpah dikurniakan kepada ruh-ruh mereka. Tentu sekali yang paling berharga di antara yang berharga, paling tinggi, permata yang tidak ternilai, barang perniagaan yang paling menguntungkan manusia, adalah ilmu pengetahuan. Hanya dengan hikmah kebijaksanaan kita boleh mencapai keesaan Allah, Tuhan sekalian alam. Hanya dengan hikmah kebijaksanaan kita boleh mengikuti rasul-rasul-Nya dan nabi-nabi-Nya. Orang yang berpengetahuan, yang bijaksana, adalah hamba-hamba Allah yang tulen yang Dia pilih untuk menerima perutusan Ilahi. Dia lebihkan mereka daripada yang lain semata-mata dengan kebaikan rahmat-Nya yang Dia curahkan kepada mereka. Mereka adalah pewaris nabi-nabi, pembantu-pembantu mereka, yang dipilih oleh rasul-rasul-Nya untuk menjadi khalifah kepada sekalian manusia. Mereka berhubungan dengan nabi-nabi dengan perasaan yang amat seni dan kebijaksanaan yang sangat tinggi. Allah Yang Maha Tinggi memuji orang-orang yang memiliki hikmah kebijaksanaan: “Kemudian Kami wariskan Kitab itu kepada mereka yang Kami pilih daripada hamba-hamba Kami, tetapi sebahagian daripada mereka menganiayai diri mereka sendiri, dan sebahagian daripada mereka cermat, dan sebahagian daripada mereka ke hadapan dalam kebajikan-kebajikan dengan izin Allah, yang demikian adalah kurniaan yang besar”. (Surah Fatir, ayat 32). Nabi Muhammad s.a.w bersabda, “Pemegang hikmah kebijaksanaan adalah pewaris nabi-nabi. Penduduk langit mengasihi mereka dan di atas muka bumi ini ikan-ikan di laut bertasbih untuk mereka hingga kepada hari kiamat”. Dalam ayat lain Allah Yang Maha Tinggi berfirman: “Tidak takut kepada Allah daripada hamba-hamba-Nya melainkan orang-orang yang berilmu Pengetahuan” (Surah Fatir, ayat 28). Nabi Muhammad s.a.w bersabda, “Pada hari pembalasan, Allah akan mengumpulkan sekalian manusia, kemudian mengasingkan yang berilmu di antara mereka dan berkata kepada mereka: ‘Wahai orang-orang yang berilmu. Aku kurniakan kepada kamu ilmu-Ku kerana Aku mengenali kamu. Tidak aku kurniakan hikmah kebijaksanaan kepada kamu untuk Aku hukumkan kamu pada hari ini. Masuklah ke dalam syurga-syurga-Ku. Aku telah ampunkan kamu’ “. Segala puji milik Allah, Tuhan sekalian alam lantaran Dia kurniakan makam yang tinggi kepada hamba-hamba-Nya yang taat dan memelihara mereka daripada dosa dan menyelamatkan mereka daripada diseksa. Dia berkati ahlul hikmah dengan menghampiri mereka. Sebahagian daripada murid-murid kami meminta supaya kami sediakan sebuah buku yang memadai buat mereka. Sesuai dengan permintaan dan keperluan mereka kami siapkan buku yang ringkas ini Semoga ia dapat mengubati dan memuaskan mereka serta yang lain juga. Kami namakan buku ini “Sirr al-asrar fi ma yahtaju Ilahi al-abrar” atau “rahsia dalam rahsia-rahsia yang Kebenarannya sangat diperlukan”. Dalam pekerjaan ini kenyataan di dalam kepercayaan dan perjalanan kami dibukakan. Setiap orang memerlukannya. Dalam menyampaikan hasil kerja ini kami bahagikannya kepada 24 bab kerana terdapat 24 huruf di dalam pengakuan scui “La ilaha illah Llah, Muhammadun rasulu Llah” dan juga terdapat 24 jam dalam satu hari.