01 December 2011

Tidak Boleh Berwuduk Dgn Air Panas Terkena Matahari?



Postby sawi »

salam

Sedikit soalan ringkas berkaitan wuduk dan air.

Pernah terdengar ttg hukum tidak boleh berwuduk dgn air yg panas akibat disinari matahari dalam tempoh lama. (maaf jika salah)

Adakah boleh berwuduk dgn :

Aair yg panas ketika berada dalam batang paip/getah paip?

Perlukah tunggu hingga aliran air panas tadi bertukar menjadi sejuk?

Bagaimana jika air yang panas itu terjadi kerana panas di bahagian atap yg membuatkan air di dalam tangki menjadi panas/suam2?

Sekian, terima kasih

****************************

Postby kamin »

wa'alaikumussalam

Alhamdulillah. Kami akan cuba menjawab soalan anda dengan kadar kemampuan yang ada, InSyaAllah.

Menurut Dr Wahbah Zuhaily, Mazhab Syafie menghukumkan makruh tanzih kepada mereka yang bersuci menggunakan air yang terlalu panas, air yang terlalu sejuk dan air yang dijemur dibawah sinaran matahari yang dikenali dengan air Mushammas.

Makruh tahzih oleh kerana ia bukanlah tegahan akan tetapi digalakkan meninggalkannya, akan tetapi hukumnya tidak putus. Ia bukanlah makruh yang mirip kepada haram.

Hukumnya makruh selama-mana air tersebut panas, dan hukumnya akan berubah apabila air tersebut menjadi sejuk. Hukum tersebut hanya berlaku kepada air yang tidak diisi didalam bekas emas atau perak. Namun demikian, bagi air yang dipanaskan oleh "water heater",jika ia tidak terlalu panas, maka hukumnya tidak memakruhkan.

Menurut Syiekh Abdul Rahman Ibn Jibrin rh, jika air tersebut terlalu panas, wudhu' tersebut sah, tetapi hukumnya makruh, kerana ia mungkin akan memberi kesan kepada kulit dan menyebabkan sakit.

Sekian, wassalam

Posted by aizuddin at 5:15 PM 0 comments

24 June 2010

Koreksi Beberapa Kesalahan Dalam Berwudhu

Koreksi Beberapa Kesalahan dalam Berwudhu

Al-Ustadz Dzulqarnain bin Muhammad Sunusi

PERTANYAAN

Berwudhu, suatu kegiatan yang sudah akrab dengan kaum muslimin. Seorang muslim yang ingin beramal ibadah dengan benar sesuai dengan tuntunan Rasulullah tentunya juga ingin mengetahui kesalahan-kesalahan yang terjadi yang dilakukan orang dalam praktik berwudhu, agar dapat terhindar dari kesalahan-kesalahan tersebut. Oleh sebab itu, harap diterangkan kesalahan-kesalahan yang sering terjadi!

JAWABAN

Ada beberapa kesalahan dalam praktek berwudhu di tengah masyarakat. Berikut ini kami akan menerangkan beberapa kesalahan tersebut.

Memisahkan Antara Kumur-Kumur dan Menghirup Air

Memisahkan antara kumur-kumur dengan menghirup air, dengan cara mengambil air tersendiri untuk dihirup selain dari air untuk berkumur-kumur, merupakan kesalahan yang hampir merata di tengah masyarakat. Perlu kami terangkan bahwa memisahkan antara kumur-kumur dengan menghirup air tidak dilandasi tuntunan yang benar dari Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam .

Orang yang melakukan hal tersebut sandarannya hanyalah dibangun di atas hadits yang lemah. Berikut ini penjelasannya.

Hadits Thalhah bin Musharrif dari ayahnya, dari kakeknya, beliau berkata,

دَخَلْتُ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يَتَوَضَّأُ وَالْمَاءُ يَسِيْلُ مِنْ وَجْهِهِ وَلِحْيَتِهِ عَلَى صَدْرِهِ فَرَأَيْتُهُ يَفْصِلُ بَيْنَ الْمَضْمَضَةِ وَالْإِسْتِنْشَاقِ

Saya masuk menemui Nabi shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam dan beliau sedang berwudhu. Air mengucur dari wajah dan jenggot beliau di atas dadanya. Saya melihat beliau memisahkan antara kumur-kumur dengan menghirup air ke hidung.”

Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud dalam Sunan -nya no. 139, Al-Baihaqy dalam Sunan -nya 1/51, dan Ath-Thabarany jilid 19 no. 409-410. Semuanya dari jalan Al-Laits bin Abi Sulaim dari Thalhah bin Musharrif, dari ayahnya, dari kakeknya. Lalu dalam salah satu riwayat Ath-Thabarany dengan lafazh,

إِنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ تَوَضَّأَ فَتَمَضْمَضَ ثَلاَثًا وَاسْتَنْشَقَ ثَلاَثًا يَأْخُذُ لِكُلِّ وَاحِدَةٍ مَاءً جَدِيْدًا …

Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam berwudhu lalu berkumur-kumur tiga kali dan menghirup air tiga kali. Beliau mengambil air baru (baca: tersendiri) untuk setiap anggota ….”

Hadits ini adalah hadits yang lemah sebagaimana yang dikatakan oleh Abu Hatim dalam Al-‘Ilal 1/53 karya anaknya. Ada dua kelemahan dalam sanadnya:

Pertama , terdapat rawi yang bernama Al-Laits bin Abi Sulaimdan ia telah dilemahkan oleh Ibnu Mahdy, Yahya Al-Qaththan, Ibnu ‘Uyyainah, Ibnu Ma’in, Ahmad, Abu Hatim, Abu Zur’ah, Ya’qub Al-Fasawy, An-Nasa`i dan lain-lainnya, bahkan Imam An-Nawawy, dalam Tahdzib Al-Asma` Wa Al-Lughat 1/2/75, menukil kesepakatan para ulama atas lemah dan goncangnya hadits Al-Laits bin Abi Sulaim.

Kedua , ayah Thalhah bin Musharrif adalah rawi yang majhul ‘tidak dikenal’.

Baca Tahdzibut Tahdzib , Al-Badrul Munir 3/277-286, At-Talkhish Al-Habir 1/133-134, dan Nashbur Rayah 1/17.

Al-Hafizh Ibnu Hajar, dalam At-Talkhish , menyebutkan bahwa Ibnus Sakan menyebut dalam Shahih -nya satu hadits dari jalan Abu Wa`il Syaqiq bin Salamah, bahwa beliau berkata,

شَهِدْتُ عَلِيَّ بْنَ أَبِيْ طَالِبٍ وَعُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ تَوَضَّأَ ثَلاَثًا ثَلاَثًا فَأَفْرَدَا الْمَضْمَضَةَ مِنَ الْإِسْتِنْشَاقِ ثُمَّ قَالاَ : هَكَذَا رَأَيْنَا رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ تَوَضَّأَ

Saya menyaksikan ‘Ali bin Abi Thalib dan ‘Utsman bin ‘Affan berwudhu tiga kali-tiga kali, lalu keduanya menyendirikan (baca: memisahkan) kumur-kumur dari menghirup air. Kemudian keduanya berkata, ‘Demikianlah kami melihat Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam berwudhu.’.”

Saya berkata , “Al-Hafizh Ibnu Hajar tidak menyebutkan sanad hadits ini, tapi bisa dipastikan bahwa hadits ini lemah karena ‘Utsman bin ‘Affan, dalam riwayat Bukhary-Muslim dan selainnya, telah memeragakan cara Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam berwudhu dan beliau tidak memisahkan antara kumur-kumur dan menghirup air. Demikian pula ‘Ali bin Abi Thalib, dalam riwayat yang shahih dari beliau, memeragakan cara Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam berwudhu, tetapi tidak memisahkan antara kumur-kumur dan menghirup air.

Kemudian saya menemukan sanad hadits Abu Wa`il Syaqiq bin Salamah yang disebutkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar tersebut, yaitu diriwayatkan oleh Ibnul Ja’d sebagaimana dalam Al-Ja’diyyat no. 3406 dan dari jalannya diriwayatkan oleh Al-Maqdasy dalam Al-Mukhtarah no. 347 dari jalan ‘Abdurrahman bin Tsabit bin Tsauban, dari ‘Abdah bin Abi Lubabah, dari Syaqiq bin Salamah, sama dengan lafazh yang disebut oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar tapi ‘Ali bin Abi Thalib tidak disebutkan.

Adapun ‘Abdurrahman bin Tsabit bin Tsauban, yang ada di dalam sanad, adalah rawi yang dha’if maka hadits ini adalah mungkar karena menyelisihi riwayat para rawi yang tsiqah ‘terpercaya’ yang tidak menyebutkan lafazh ini.”

Maka sebagai kesimpulan, seluruh hadits, yang menjelaskan bahwa kumur-kumur dipisah dari menghirup air, adalah lemah.

Berkata Imam An-Nawawy dalam Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab 1/398, “Adapun memisah (antara kumur-kumur dan menghirup air-pent.), tidak ada sama sekali hadits yang tsabit ‘kuat, sah’. Yang ada hanyalah hadits Thalhah bin Musharrif dan ia adalah (rawi yang) lemah.”

Berkata Ibnul Qayyim dalam Zadul Ma’ad 1/192-193, “Dan tidaklah datang (keterangan tentang) memisah antara kumur-kumur dan menghirup air dalam hadits yang shahih sama sekali.”

Setelah membaca uraian lemahnya hadits yang menjelaskan disyariatkannya memisahkan antara kumur-kumur dan menghirup air, mungkin akan muncul pertanyaan di dalam benak, “Kalau cara memisah antara kumur-kumur dan menghirup air itu salah, lalu bagaimana cara yang benarnya?”

Jawabannya dari dua sisi:

Secara global , kami menetapkan bahwa berkumur-kumur dan menghirup air adalah menggabungkannya dengan cara mengambil air lalu digunakan untuk berkumur-kumur sekaligus menghirup air.

Secara rinci , dalam hadits Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam diterangkan tiga kaifiyah ‘cara’ dalam berkumur-kumur dan menghirup air.

Pertama ,berkumur-kumur dan menghirup air secara bersamaan dari satu telapak tangan sebanyak tiga kali cidukan. Hal ini diterangkan dalam beberapa hadits, di antaranya hadits ‘Abdullah bin Zaid riwayat Bukhary-Muslim,

فَتَمَضْمَضَ وَاسْتَنْشَقَ مِنْ كَفٍّ وَاحِدَةٍ فَعَلَ ذَلِكَ ثَلاَثًا

Maka beliau berkumur-kumur dan menghirup air dari satu telapak tangan. Beliau mengerjakan itu sebanyak tiga kali.”

Kedua ,berkumur-kumur dan menghirup air secara bersamaansebanyak tiga kali dari satu kali cidukan air dengan satu telapak tangan. Cara ini, walaupun agak sulit diterapkan, tetapi memungkinkan dan bisa dilakukan, sebab kaifiyah ini telah diterangkan dalam hadits ‘Abdullah bin Zaid riwayat Bukhary,

فَمَضْمَضَ وَاسْتَنْثَرَ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ مِنْ غُرْفَةٍ وَاحِدَةٍ

Maka beliau berkumur-kumur dan (menghirup air lalu) mengeluarkannya sebanyak tiga kali dari satu cidukan.”

Ketiga ,berkumur-kumur tiga kali lalu menghirup air tiga kali dari satu kali cidukan dengan satu telapak tangan. Hal ini dijelaskan dalam hadits ‘Ali bin Abi Thalib,

ثُمَّ أَدْخَلَ يَدَهُ الْيُمْنَى فِي الْإِنَاءِ فَمَضْمَضَ ثَلاَثًا وَاسْتَنْشَقَ ثَلاَثًا

Kemudian beliau memasukkan tangan kanannya ke dalam bejana lalu berkumur-kumur tiga kali dan menghirup air tiga kali.” (diriwayatkan olehAbu Daud, An-Nasa`idan lain-lain, dan dishahihkan oleh Syaikh Muqbil dalam Jami’ Ash-Shahih dan Al-Hafizh, dalam At-Talkhish , menyebutkan jalan-jalan yang banyak dari hadits ini)

Walaupun hadits ini mengandung ihtimal ‘kemungkinan’, tetapi zhahirnya menunjukkan kaifiyah tersendiri. Wallahu a’lam.

Baca Ikhtiyarat Ibnu Qudamah 1/158, Al-Mughny 1/170-171, dan Al-Majmu’ 1/397-398.

Lalai Dalam Menyempurnakan Wudhu

Lalai dalam menyempurnakan wudhu, sehingga menyebabkan ada bagian dari anggota wudhu (anggota badan dalam berwudhu) yang terluput dari basuhan air, adalah kesalahan besar, apalagi kalau yang terluput dari basuhan air itu adalah anggota yang merupakan rukun wudhu, maka wudhu dianggap batal. Dimaklumi bersama, bahwa anggota yang merupakan rukun wudhu adalah yang tertera dalam ayat 5 surah Al-Maidah,

Wahai orang-orang yang beriman, jika kalian berdiri hendak mengerjakan shalat, maka cucilah wajah-wajah kalian dan tangan-tangan kalian sampai ke siku, lalu usaplah kepala-kepala kalian dan cucilah kaki-kaki kalian sampai ke mata kaki.”

Berikut ini beberapa dalil yang menunjukkan kewajiban dan keutamaan menyempurnakan wudhu.

Pertama ,hadits Abu Hurairah, bahwa Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam mengajar seseorang yang jelek shalatnya,

إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلاَةِ فَأَسْبِغِ الْوُضُوْءَ

Jika kamu hendak shalat, maka sempurnakanlah wudhu.” (diriwayatkan oleh Bukhary-Muslim)

Kedua ,hadits Laqith bin Saburah, bahwa Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam bersabda kepadanya,

أَسْبِغِ الْوُضُوْءَ

Sempurnakanlah wudhu.”

(Diriwayatkan oleh Asy-Syafi’iy dalam Al-Umm 1/52, Ahmad 4/32-33, ‘Abdurrazzaq no. 79, Abu ‘Ubaid dalam Ath-Thahur no. 284, Ath-Thayalisy no. 171, Al-Bukhary dalam Al-Adab Al-Mufrad no. 166, Abu Daud no. 141, Tirmidzy no. 788, Ibnu Majah no. 407, An-Nasa`i 1/66,79, Ibnul Mundzir dalam Al-Ausath 1/406-407, Ibnu Khuzaimah no. 150 168, Ibnu Hibban no. 1053, 1087, Al-Hakim 1/247-248 dan 4/123, Al-Baihaqy 1/50, 51, 76 dan 7/303, Ath-Thabarany 19/no. 281, dan Ibnu ‘Abdil Barr 18/223. Dishahihkan oleh Syaikhuna Muqbil dalam Al-Jami’ Ash-Shahih )

Ketiga , hadits Abu Hurairah dan ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash riwayat Bukhary-Muslim dan hadits ‘Aisyah riwayat Muslim, bahwa Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam bersabda,

وَيْلٌ لِلْأَعْقَابِ مِنَ النَّارِ

Celakalah tumit-tumit dari api neraka.”

Sebab wurud (pengucapan) hadits adalah karena sebagian dari para shahabat yang berwudhu dan hanya mengusap di atas kakinya, maka Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam menegur mereka dengan hadits di atas.

Keempat , hadits ‘Utsman bin ‘Affan, Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam bersabda,

مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَتَطَهَّرُ فَيُتِمُّ الطُّهُوْرَ الَّذِيْ كَتَبَ اللهُ عَلَيْهِ فَيُصَلِّيْ هَذِهِ الصَّلَوَاتَ الْخَمْسَ إِلاَّ كَانَتْ كَفَّارَاتٍ لِمَا بَيْنَهُمَا

Tidaklah seorang muslim berwudhu lalu ia menyempurnakan wudhu yang Allah tetapkan atasnya kemudian dia mengerjakan shalat lima waktu, kecuali ia menjadi kaffarah (penggugur dosa) di antara kelimanya.” (diriwayatkan oleh Muslim)

Kelima , hadits ‘Utsman bin ‘Affan riwayat Muslim, Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam menyatakan,

مَنْ تَوَضَّأَ لِلصَّلاَةِ فَأَسْبَغَ الْوُضُوْءَ ثُمَّ مَشَى إِلَى الصَّلاَةِ الْمَكْتُوْبَةِ فَصَلاَّهَا مَعَ النَّاسِ أَوْ مَعَ الْجَمَاعَةِ أَوْ فِي الْمَسْجِدِ غَفَرَ اللهُ لَهُ ذَُنُوْبَهُ

Barangsiapa yang berwudhu untuk shalat, lalu ia menyempurnakan wudhunya kemudian melangkah untuk mengerjakan shalat wajib sehingga ia shalat wajib bersama orang-orang atau bersama jamaah atau di mesjid, maka Allah mengampuni untuk dosa-dosanya.”

Mencuci Anggota Wudhu Lebih Dari Tiga Kali

Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam , dalam mencuci anggota wudhu, mencontohkan beberapa kaifiyah.

Kadang beliau mencuci anggota wudhunya tiga-tiga kali,sebagaimana yang diterangkan dalam hadits yang sangat banyak, seperti hadits ‘Utsman bin ‘Affan riwayat Bukhary-Muslim dan hadits ‘Abdullah bin Zaid riwayat Bukhary-Muslim.

Kadang pula beliau mencuci anggota wudhunya dua-dua kali,sebagaimana dalam hadits ‘Abdullah bin Zaid riwayat Bukhary,

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ تَوَضَّأَ مَرَّتَيْنِ مَرَّتَيْنِ

Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam berwudhu 2 kali 2 kali.”

Kadang beliau juga mencuci anggota wudhunya satu-satu kali,dan ini merupakan batasan wajibnya. Hal ini diterangkan oleh Ibnu ‘Abbas dalam riwayat Bukhary,

تَوَضَّأَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ مَرَّةً مَرَّةً

Nabi shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam berwudhu satu kali satu kali.”

Selain itu, kadang beliau berselang-seling dalam mencucinya dengan cara mencuci sebagiannya tiga kali, sebagian lain dua dan satu kali, sebagaimana praktik wudhu Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam yang diperagakan oleh ‘Abdullah bin Zaid,

فَأَكْفَأَ عَلَى يَدَيْهِ فَغَسَلَهُمَا ثَلاَثًا ثُمَّ أَدْخَلَ يَدَهُ فَاسْتَخْرَجَهُمَا فَمَضْمَضَ وَاسْتَنْشَقَ مِنْ كَفٍّ وَاحِدَةٍ فَفَعَلَ ذَلِكَ ثَلاَثًا ثُمَّ أَدْخَلَ يَدَهُ فَاسْتَخْرَجَهُمَا فَغَسَلَ وَجَهَهُ ثَلاَثُا ثُمَّ أَدْخَلَ يَدَهُ فَاسْتَخْرَجَهُمَا فَغَسَلَ يَدَيْهِ إِلَى الْمِرْفَقَيْنِ مَرَّتَيْنِ ثُمَّ أَدْخَلَ يَدَهُ فَاسْتَخْرَجَهُمَا فَمَسَحَ بِرَأْسِهِ فَأَقْبَلَ بِيَدَيْهِ وَأَدْبَرَ ثُمَّ غَسَلَ رَجْلَيْهِ إِلَى الْكَعْبَيْنِ.

Maka beliau menuangkan air di atas telapak tangannya kemudian mencucinya tiga kali kemudian beliau memasukkan tangannya (ke dalam bejana) lalu mengeluarkannya kemudian beliau berkumur-kumur dan menghirup air dari satu telapak tangan, beliau lakukan itu tiga kali. Kemudian beliau memasukkan tangannya lalu mengeluarkannya kemudian mencuci wajahnya tiga kali. Kemudian beliau memasukkan tangannya lalu mengeluarkan kemudian mencuci kedua tangannya sampai ke siku dua kali dua kali. Kemudian beliau memasukkan tangannya lalu mengeluarkannya kemudian mengusap kepalanya; menggerakkan kedua tangannya ke belakang dan mengedepankannya. Kemudian beliau mencuci kedua kakinya sampai ke mata kaki.” (diriwayatkan oleh Bukhary-Muslim, dan lafazh ini milik Muslim)

Ini tuntunan Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam dalam mencuci anggota wudhunya, tidak dinukil beliau mencuci anggota wudhunya lebih dari tiga kali, bahkan yang ada adalah larangan melebihi tiga kali sebagaimana yang diterangkan dalam hadits dari jalan ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya,

جَاءَ أَعْرَابِيٌّ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ يَسْأَلُهُ عَنِ الْوُضُوْءِ فَأَرَاهُ ثَلاَثًا ثَلاَثُا فَقَالَ : هَذَا الْوُضُوْءُ فَمَنْ زَادَ عَلَى هَذَا فَقَدْ أَسَاءَ وَتَعَدَّى وَظَلَمَ

Datang seorang A’raby kepada Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam bertanya kepadanya tentang wudhu. Maka beliau memperlihatkan wudhu tiga-tiga kali lalu beliau berkata, ‘Inilah wudhu, siapa yang menambah di atas ini maka ia telah berbuat jelek, melampaui batas dan berbuat zhalim.’.” (Diriwayatkan oleh Abu Daud no. 135, Ibnu Majah no. 422, An-Nasa`i no. 140, Ahmad 2/180, Ibnul Jarud dalam Al-Muntaqa no. 75, Ibnu Khuzaimah no. 174, Ath-Thahawy dalam Syarh Musykil Al-Âtsar 1/36 , Ibnul Mundzir dalam Al-Ausath 1/361 no. 329, dan Al-Baihaqy 1/79 dengan sanad yang hasan)

Para ulama menyebutkan bahwa dikatakan ia berbuat jelek karena meninggalkan yang lebih utama dan dikatakan melampaui batas karena melampaui batasan sunnahnya dan dikatakan berbuat zhalim karena menempatkan sesuatu bukan pada tempatnya.

Tapi, perlu diingat, bahwa larangan mencuci anggota wudhu lebih dari tiga kali ini berlaku kalau anggota wudhunya dengan tiga kali telah terbasuh sempurna dengan air, adapun seperti orang yang berada di terik matahari atau semisalnya kemudian tatkala dia membasuh anggota wudhunya tiga kali dan ternyata setelah itu masih ada bagian yang belum tersentuh oleh air maka di sini ia boleh menambah dan membasuh bagian yang belum tersentuh air tersebut berdasarkan dalil-dalil yang telah disebutkan di atas tentang kewajiban menyempurnakan wudhu.

Selain itu, para ulama berbeda pendapat tentang larangan melebihkan cucian dari tiga kali, apakah larangan itu bersifat makruh atau haram.

Imam Syafi’i dan mayoritas ulama syafi’iyah menganggap hal tersebut makruh karahah tanzih ‘makruh yang tidak sampai haram’.

Ibnul Mubarak berkata, “Saya tidak menjamin seseorang yang melebihkan wudhunya lebih dari tiga kali bahwa ia tidak berdosa.”

Berkata Ahmad dan Ishaq, “Tidak ada yang menambah lebih dari tiga kali kecuali orang yang tertimpa musibah/malapetaka.”

Imam Al-Bukhary berkata, “Dan Nabi shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam menerangkan bahwa kewajiban wudhu adalah satu-satu kali dan beliau juga berwudhu dua-dua kali dan tiga-tiga kali dan beliau tidak menambah di atas tiga kali, dan para ulama menganggap makruh berlebihan di dalamnya dan melewati perbuatan Nabi shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam .”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Itu juga adalah bid’ah dan kesesatan menurut kesepakatan kaum muslimin. Bukanlah sunnah dan bukan ketaatan dan qurbah ‘pendekatan diri’ dan siapa yang mengerjakannya di atas dasar itu sebagai ibadah dan ketaatan maka hendaknya dilarang dari hal tersebut. Kalau tidak mau, maka diberi ta’zir ‘hukuman pelajaran’ untuknya karena itu.”

Baca Al-Mughny 1/193-194, Shahih Al-Bukhary bersama Fathul Bary 1/232-234, Al-Majmu’ 1/466-468, Al-Fatawa 21/168, Nailul Authar 1/218, dan lain-lain.

Mengusap Kepala Tiga Kali

Mengusap kepala tiga kali juga termasuk kesalahan-kesalahan dalam wudhu karena hal tersebut tidak dibangun di atas landasan yang kuat.

Untuk mengetahui tidak kuatnya landasan pendapat ini simak uraian pendapat para ulama dalam masalah ini.

Pendapat pertama , disunnahkan mengusap kepala tiga kali. Ini adalah pendapat Imam Syafi’iy dan pengikutnya, pendapat Imam Ahmad dalam satu riwayat, dan Daud Azh-Zhahiry. Dalilnya sebagai berikut:

1. Hadits-hadits yang disebutkan di atas bahwa Nabi shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam berwudhu tiga kali-tiga kali. Masuk di dalamnya tiga kali-tiga kali.

2. Mereka juga berdalilkan dengan hadits ‘Utsman bin ‘Affan dalam sebagian riwayat dengan lafazh,

وَمَسَحَ رَأْسَهُ ثَلاَثًا

Dan beliau mengusap kepalanya tiga kali.”

Pendapat kedua , tidak disyariatkan mengusap kepala kecuali satu kali. Ini merupakan pendapat jumhur ulama seperti Abu Hanifah, Malik, Ahmad yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar, Salim bin ‘Abdillah, An-Nakha’iy, Mujahid, Thalhah bin Musharrif dan Al-Hakam bin ‘Utaibah.

Dalil akan kuatnya pendapat ini sangat banyak, di antaranya:

Hadits ‘Abdullah bin Zaid riwayat Bukhary-Muslim,

ثُمَّ مَسَحَ بِرَأْسِهِ فَأَقْبَلَ وَأَدْبَرَ مَرَّةً وَاحِدَةً

Kemudian beliau mengusap kepalanya mengedepankan dan mengebelakangkannya satu kali.”

Hadits ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu ketika beliau mencontohkan wudhu Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam ,

فَمَسَحَ بِرَأْسِهِ مَرَّةً وَاحِدَةً

Kemudian beliau mengusap kepalanya satu kali .”

Riwayat Abu Daud no. 111, Tirmidzy no. 48, An-Nasa`i no. 92, Ahmad 1/154, Al-Baihaqy 1/68, Al-Maqdasy no. 642, dan lain-lain. Dishahihkan oleh Syaikhuna Muqbil dalam Al-Jami’ Ash-Shahih .

Hadits-hadits yang sangat banyak yang menjelaskan sifat wudhu Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam , yang hadits-hadits tersebut menyebutkan seluruh anggota wudhu dicuci tiga kali kecuali kepala tidak disebutkan berapa kali diusap. Ini menunjukkan bahwa jumlah usapan kepala tidaklah sama dengan anggota yang lainnya.

Adapun dalil-dalil pendapat pertama di jawab sebagai berikut,

1. Konteks hadits-hadits yang menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam mencuci anggota wudhunya tiga kali-tiga kali adalah riwayat yang global/mutlak dan riwayat global ini telah diterangkan secara rinci dalam hadits-hadits yang telah disebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam mengusap kepala satu kali.

2. Seluruh hadits-hadits yang menerangkan bahwa Nabi shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam mengusap kepala lebih dari satu kali adalah hadits-hadits yang lemah.

Berikut penjelasan hadits-hadits lemah (yang dimaksud pada poin di atas) tersebut.

Hadits Pertama

Hadits Ar-Rubayyi’ bintu Mu’awwidz,

وَمَسَحَ رَأْسَهُ مَرَّتَيْنِ

Dan beliau mengusap kepalanya dua kali.”

Hadits ini dikeluarkan oleh ‘Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf no. 11, Abu Daud no. 126, At-Tirmidzy no. 33, Ibnu Majah no. 438, Ahmad 6/359, Ath-Thabarany 24/no. 675, 681, 686, 687 dan dalam Al-Ausath no. 939, dan Al-Baihaqy 1/64. Semuanya dari jalan ‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Aqil dan dia ini adalah rawi yang diperselisihkan oleh para ulama apakah bisa diterima haditsnya atau tidak. Dan saya lebih condong ke pendapat syeikh Muqbil rahimahullah yang menguatkan akan lemahnya riwayatnya, apalagi dalam hadits ini dia telah goncang dalam meriwayatkannya. Kegoncangan tersebut karena di dalam riwayat lain, yang dikeluarkan oleh Abu Daud no. 129, At-Tirmidzy no. 34, Ibnu Abi Syaibah no. 59, Al-Baihaqy 1/58-60, Ath-Thabarany 24/no. 689 dan dalam Al-Ausath no. 2388, 6100 dan dalam Ash-Shaghir no. 1167, dan Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no. 144, ‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Aqil menyebutkan mengusap kepala satu kali bukan dua kali. Maka ini memperkuat akan lemahnya hadits ini, Wallahu A’lam.

Hadits Kedua

Hadits ‘Utsman bin ‘Affan.

Berkata Imam Al-Baihaqy dalam As-Sunan Al-Kubra 1/62, “Telah diriwayatkan dari riwayat-riwayat yang aneh dari ‘Utsman radhiyallahu ‘anhu pengulangan dalam mengusap kepala, akan tetapi riwayat-riwayat tersebut -bersamaan dengan menyelisihi riwayat para huffazh ‘ahli hafalan’ yang tsiqah- bukanlah hujjah di kalangan Ahli Ma’rifat ‘para ulama’ walaupun sebagian Ashhab ‘orang-orang Syafi’iyah’ berhujjah dengannya.”

Berkata Abu Daud dalam As-Sunan 1/64 (cet. Dar Ibnu Hazm), “Hadits-hadits ‘Utsman yang shahih semuanya menunjukkan bahwa mengusap kepala itu hanya sekali saja.”

Ini kesimpulan secara global tentang kelemahan riwayat mengusap kepala tiga kali dalam hadits ‘Utsman bin ‘Affan.

Adapun penjelasan lemahnya secara rinci adalah sebagai berikut.

Penyebutan kepala diusap tiga kali dalam hadits ‘Utsman bin ‘Affan datang dalam lima jalan:

Pertama , dari jalan ‘Abdurrahman bin Wardan, dari Abu Salamah, dari Humran, dari ‘Utsman bin ‘Affan.

Diriwayatkan oleh Abu Daud no. 107, Al-Bazzar no. 418, Ad-Daraquthny 1/91, Al-Maqdasy dalam Al-Mukhtarah no. 328, dan Al-Baihaqy 1/62.

Abdurrahman bin Wardan ini rawi yang lemah di tingkatan syawahid ‘pendukung’.

Kedua , dari jalan ‘Âmir bin Syaqiq bin Jamrah, dari Syaqiq bin Salamah, dari ‘Utsman.

Diriwayatkan oleh Abu Daud no. 110, Ad-Daraquthny 1/91 dan Al-Baihaqy 1/63. Di dalam sanad hadits ini ada dua cacat:

1. ‘Âmir bin Syaqiq adalah layyinul hadits ‘lembek haditsnya’ sebagaimana yang disimpulkan oleh Ibnu Hajar dalam At-Taqrib .

2. ‘Amir bin Syaqiq telah goncang dalam meriwayatkan hadits ini karena, dalam Sunan Abu Daud , Musnad Al-Bazzar no. 393, dan Shahih Ibnu Khuzaimah , dia meriwayatkan hadits yang sama dan tidak menyebutkan bahwa kepala diusap tiga kali.

Ketiga , dari jalan Muhammad bin ‘Abdillah bin Abi Maryam, dari Ibnu Darah Maula ‘Utsman, dari ‘Utsman.

Dikeluarkan oleh Ahmad 1/61, Ad-Daraquthny 1/91-92, Al-Baihaqy 1/62, Al-Maqdasy no. 364, dan Ibnu Jauzy dalam At-Tahqiq no. 136. Ibnu Darah ini majhulul hal ‘tidak dikenal’ sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Hajar dalam At-Talkhis 1/146 (cet. Mu’assah Qurthubah), dan ada kemungkinan dia goncang dalam meriwayatkan hadits ini, sebab dalam riwayat Al-Bazzar no. 409 tidak disebutkan mengusap kepala tiga kali.

Kempat , dari jalan Ishaq bin Yahya, dari Mu’awiyah bin ‘Abdillah bin Ja’far bin Abi Thalib, dari ayahnya, dari ‘Utsman.

Dikeluarkan oleh Imam Ad-Daraquthny dan Al-Baihaqy 1/63. Ishaq bin Yahya ini matrukul hadits ‘ditinggalkan haditsnya’.

Kelima , dari jalan Shalih bin Abdul Jabbar, dari Ibnu Bailamany, dari ayahnya, dari ‘Utsman bin ‘Affan.

Diriwayatkan oleh Imam Ad-Daraquthny 1/92 dan di dalam sanadnya ada tiga kelemahan:

1. Shalih bin ‘Abdul Jabbar meriwayatkan hadits-hadits yang mungkar dari Ibnul Bailamany. Demikian komentar Al-‘Uqaily.

2. Ibnul Bailamany, namanya adalah Muhammad bin Abdurrahman. Ia ini rawi yang mungkarul hadits, bahwa dianggap Muttaham ‘dicurigai berdusta’, oleh Ibnu ‘Ady dan Ibnu Hibban.

3. Ayah Ibnul Bailamany, yaitu ‘Abdurrahman, dha’if sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar.

Lihat Mizanul I’tidal , Lisanul Mizan , Taqribut Tahdzib dan lain-lain.

Catatan

ada beberapa jalan lain yang disebutkan oleh Ibnul Mulaqqin dalam Al-Badru Al-Munir, tapi setelah saya merujuk keasalnya, ternyata tidak ada lafazh mengusap kepala tiga kali. Karena itu, kami tidak menyebutkannya.

Hadits Ketiga

Hadits ‘Ali bin Abi Thalib.

Iman Az-Zaila’iy dalam kitabnya, Nashbur Rayah 1/32-33, menyebutkan bahwa ada tiga jalan dalam hadits ‘Ali bin Abi Thalib yang menyebutkan bahwa kepala diusap tiga kali. Berikut ini uraian jalan-jalan tersebut.

Pertama , dari jalan Abu Hanifah meriwayatkan dari Khalid bin ‘Alqamah, dari ‘Abdul Khair, dari Aly.

Diriwayatkan oleh Abu Hanifah sebagaimana dalam Musnad -nya, Abu Yusuf dalam Kitabul Âtsar no. 4,dan Al-Baihaqy 1/63.

Di dalamnya ada dua kelemahan:

1. Abu Hanifah dha’if menurut jumhur ulama Al-Jarh Wat-Ta’dil. Baca Nasyru Ash-Shahifah karya Syaikhuna Muqbil rahimahullah.

2. Imam Ad-Daraquthny menyebutkan bahwa Abu Hanifah telah menyelisihi sekelompok ulama Al-Huffadz ‘ahli hafalan’ seperti Zaidah bin Qudamah, Sufyan Ats-Tsaury, Syu’bah, Abu ‘Awanah, Syarik, Ja’far bin Harits, Harun bin Sa’d, Ja’far bin Muhammad, Hajjaj bin Artha`ah, Aban bin Taghlib, Aly bin Shalih, Hazim bin Ibrahim, Hasan bin Shalih dan Ja’far Al-Ahmar. Semua menyebutkan bahwa kepala hanya diusap satu kali, bukan tiga kali. Demikian dinukil Az-Zaila’iy dalam Nashbur Rayah dan lihat juga ‘ Ilal Ad-Daraquthny 4\48-31.

Kedua , diriwayatkan oleh Imam Al-Bazzar dalam Musnad -nya no. 736 dari jalan Abu Daud Ath-Thayalisi, dari Sallam bin Sulaim Abul Ahwash, dari Abu Ishaq, dari Abu Hayyah bin Qais, dari ‘Ali radhiyallahu ‘anhu, dan disebutkan bahwa beliau mengusap kepalanya tiga kali.

Demikian riwayat Al-Bazzar. Tetapi riwayatnya ini diselisihi oleh para imam lainnya seperti Abu Daud dalam Sunan -nya, At-Tirmidzy, An-Nasa`i , Ibnu Majah no. 436, 456, Al-Bukhary dalam Al-Kuna hal. 24, Abdullah bin Ahmad dalam Zawa’id Al-Musnad 1/127,157, Abu Ya’la, Al-Maqdasy dalam Al-Mukhtarah no. 795-798, dan Al-Baihaqy 1/75.

Maka jelaslah dari sini ada kesalahan dalam riwayat Al-Bazzar. Tetapi, dari mana asal kesalahan ini, sedangkan seluruh rawi Al-Bazzar Muhtajun Bihim ‘dipakai berhujjah’?

Penulis lebih condong menitikberatkan kesalahan pada Al-Bazzar karena beliau memiliki kelemahan dari sisi hafalannya. Wallahu A’lam.

Ketiga , diriwayatkan oleh Imam Ath-Thabarany dalam Musnad Asy-Syamiyyin no. 1336. Di dalam sanadnya terdapat rawi-rawi yang saya tidak temukan biografinya, dan ada rawi yang bernama Sulaiman bin Abdurrahman dha’if dan rawi lain bernama ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Ubaidillah Al-Himsyi dha’if kadang-kadang meriwayatkan hadits mungkar.

Hadits Keempat

Hadits Abu Hurairah.

Diriwayatkan oleh Imam Ath-Thabarany dalam Al-Ausath no. 5912 dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu beliau berkata,

أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ تَوَضَّأَ فَمَضْمَضْ ثَلاَثًا وَاسْتَنْشَقَ ثَلاَثًا وَغَسَلَ وَجْهَهُ ثَلاَثًا وَغَسَلَ يَدَيْهِ ثَلاَثُا وَمَسَحَ بِرَأْسِهِ ثَلاَثًا وَغَسَلَ قَدَمَيْهِ ثَلاَثًا

Sesungguhnya Rasulullah berwudhu maka beliau berkumur-kumur tiga kali dan menghirup air tiga kali dan mencuci wajahnya tiga kali dan mencuci kedua tangannya tiga kali mengusap kepalanya tiga kali dan mencuci kedua kakinya tiga kali.”

Di dalam sanadnya terdapat dua cacat:

1. Guru Imam Ath-Thabarany, Muhammad bin Yahya bin Al-Mundzir Al-Qazzaz Al-Bashry, tidak disebutkan padanya jarh dan ta’dil.

2. ‘Amir bin ‘Abdul Wahid Al-Ahwal disimpulkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Taqribut Tahdzib bahwa beliau adalah shaduqun yukhti`u, berarti ia menurut penilaian Al-Hafizh hanyalah dipakai sebagai pendukung. Kemudian tidak pantas ia bersendirian dari ‘Atha` bin Abi Rabah dalam meriwayatkan hadits yang seperti ini karena ‘Atha` adalah seorang rawi yang terkenal mempunyai banyak murid lalu dimana murid-muridnya yang lain yang lebih senior? Kenapa mereka tidak meriwayatkan hadits ini? Wallahu A’lam.

Dari uraian di atas jelaslah lemah pendapat bahwa kepala boleh diusap lebih dari satu kali. Berarti dengan hal ini nampak kuat pendapat bahwa kepala hanya diusap satu kali.

Pendapat ini yang dikuatkan oleh Ibnu Qudamah, Ibnu Taimiyah, Syaikh Muqbil, dan lain-lain. Wallahu a’lam.

Baca Al-Mughny 1/178-180, Al-Majmu’ 1/460-465, Al-Fatawa 21/125-127.

Mengusap Telinga Dengan Air Tersendiri

Dalam praktik wudhu di tengah masyarakat, kebanyakan dari mereka ketika mengusap kepala mengambil air kemudian setelah itu mengambil air lagi untuk mengusap telinga. Ini juga merupakan kesalahan dalam wudhu.

Kami tegaskan demikian karena dua alasan:

Alasan pertama , dalil-dalil yang dipakai tentang disyariatkannya mengambil air baru untuk telinga bersumber dari hadits yang lemah, yakni hadits ‘Abdullah bin Zaid,

إِنَّهُ رَأَى رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ يَتَوَضَّأُ فَأَخَذَ لِأُذُنَيْهِ مَاءً خِلاَفَ الَّذِيْ أَخَذَ لِرَأْسِهِ

Sesungguhnya ia melihat Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam berwudhu lalu beliau mengambil untuk kedua telinganya air selain dari air yang dia ambil untuk kepalanya.”

Hadits dengan lafazh ini diiriwayatkan oleh Imam Al-Baihaqy dari jalan Al-Haitsam bin Kharijah dari Ibnu Wahb dari ‘Âmir bin Harits dari ‘Itban bin Waqi’ Al-Anshary dari ayahnya dari ‘Abdullah bin Zaid. Imam Al-Baihaqy juga menyebutkan bahwa ada rawi lain juga meriwayatkan hal yang sama dari Ibnu Wahb yaitu ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Imran bin Miqlash dan Harmalah bin Yahya.

Hadits ini syadz ‘lemah’ sebagaimana yang diisyaratkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Bulughul Maram . Kami menetapkan syadz-nya hadits ini karena tiga sebab:

Imam Muslim meriwayatkan hadits ini dari jalan Ibnu Wahb tetapi dengan lafazh,

وَمَسَحَ بِرَأْسِهِ بِمَاءٍ غَيْرِ فَضْلِ يَدِهِ

Dan beliau mengusap kepalanya dengan air bukan sisa (air untuk mencuci) tangannya.”

1. Imam Ibnu Turkumany, dalam Al-Jauhar An-Naqy , menyebutkan bahwa Ibnu Daqiq Al-Ied melihat dalam riwayat Ibnul Muqri’ dari Harmalah dari Ibnu Wahb bukan seperti lafazh Al-Baihaqy tetapi seperti lafazh Muslim.

2. Enam orang rawi semua meriwayatkan dari Ibnu Wahb dan mereka menyebutkan hadits dengan lafazh riwayat Muslim. Enam rawi itu adalah: Harun bin Ma’ruf, Harun bin Sa’id, Abu Ath-Thahir, Hajjaj bin Ibrahim Al-Azraq, Ahmad bin ‘Abdirrahman bin Wahb, dan Syuraij bin Nu’man. Lihat riwayat mereka dalam Shahih Muslim no. 236, Musnad Abu ‘Awanah , dan Musnad Ahmad 4/41.

Nampaklah dari sini kesalahan riwayat Al-Baihaqy yang menetapkan bahwa telinga diusap dengan air tersendiri, sehingga riwayat ini tidak bisa dipakai berhujjah.

Alasan kedua , mengambil air tersendiri untuk kedua telinga adalah menyelisihi sunnah Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam , sebab dalam satu hadits yang shahih, Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam menyatakan,

الْأُذُنَانِ مِنَ الرَّأْسِ

Kedua telinga itu bagian dari kepala.” (Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albany dalam Ash-Shahihah no. 36)

Maksud hadits ini bahwa telinga itu bagian dari kepala dan hukumnya sama dengan kepala. Karena bagian dari kepala, maka kedua telinga diusap dengan air yang diambil untuk kepala.

Sebagai kesimpulan bahwa kedua telinga diusap dengan air lebih dari kepala setelah mengusap kepala dan tidak disyaratkan mengambil air tersendiri untuk telinga. Wallahu a’lam.

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, “Dan cara wudhu yang pasti dari beliau shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam , dalam riwayat Ash-Shahihain (Bukhary-Muslim) dan lain-lainnya dari beberapa jalan, tidak ada padanya (keterangan) mengambil air baru bagi telinga.” Lihat Al-Fatawa 11/279.

Berkata Ibnul Qayyim, “Dan tidak tsabit ‘tetap/shahih’ dari beliau bahwa beliau mengambil untuk kedua (telinga)nya air baru.” Lihat Zadul Ma’ad 1/195.

Pendapat yang kami kuatkan ini adalah pendapat Jumhur ulama.

Baca Al-Mughny 1/183-184, Al-Majmu’ 1/424-426, Nailul Authar 1/204 dan lain-lainnya.

Mengusap Leher dan Tengkuk

Ternasuk kesalahan dalam berwudhu adalah mengusap leher atau sebagian darinya seperti tengkuk. Kesalahan perkara tersebut adalah jelas karena tidak ada hadits yang shahih yang menunjukkan hal tersebut. Yang ada hanyalah hadits-hadits yang lemah ataupun palsu, di antaranya:

Hadits Laits bin Abi Sulaim dari Thalhah bin Musharrif, dari ayahnya, dari kakeknya,

إِنَّهُ رَأَى رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ يَمْسَحُ رَأْسَهُ حَتَّى بَلَغَ القَذَالَ وَمَا يَلِيْهِ مِنْ مُقَدَّمِ الْعُنُقِ

Sesungguhnya beliau melihat Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam mengusap kepalanya hingga ke belakang kepala (tengkuk) dan yang setelahnya dari permulaan batang leher .”

Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad 3/481, Abu Daud no. 132, Al-Baihaqy 1/60, Ath-Thahawy dalam Syarh Ma’an y Al-Âtsar 1/30, Ath-Thabarany 19/180/407, dan Al-Khatib dalam Tarikh Baghdad 6/169. Di dalam sanadnya ada rawi yang bernama Laits bin Abi Sulaim dan ia adalah seorang rawi yang lemah. Juga riwayat Thalhah bin Musharrif dari ayahnya dari kakeknya ada kelemahan sebagaimana yang telah dijelaskan pada pembahasan memisah antara kumur-kumur dan menghirup air.

Mungkin karena itulah Imam An-Nawawy, dalam Al-Majmu’ 1/488, berkata , “ Ia adalah hadits yang lemah menurut kesepakatan (para ulama-pent.) .”

Demikian pula hadits yang berbunyi,

مَسَحُ الرَّقَبَةِ أَمَانٌ مِنَ الْغُلِّ

Mengusap leher adalah pengaman dari Al-Ghill ‘ dengki, iri hati, benci ’ .”

Juga hadits yang berbunyi,

مَنْ تَوَضَّأَ وَمَسَحَ عُنُقَهُ لَمْ يُغَلَّ بِالْأَغْلاَلِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Siapa yang berwudhu dan mengusap lehernya, ia tidak akan dibelenggu dengan (rantai) belengguan hari kiamat .”

Kedua hadits ini adalah hadits palsu sebagaimana yang diterangkan oleh Imam Al-Albany dalam Silsilah Ahadits Adh-Dha’ifah wal Maudhu’ah no. 69 dan 744.

Berkata Imam An-Nawawy , “ Tidak ada sama sekali (hadits) yang shahih dari Nabi shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam dalamnya (yakni dalam masalah mengusap leher/tengkuk-pent.) .”

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Al-Fatawa 21/127-128, “Tidak benar dari Nabi shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam bahwa beliau mengusap lehernya dalam wudhu, bahkan tidak diriwayatkan hal tersebut dari beliau dalam hadits yang shahih. Bahkan hadits-hadits shahih, yang di dalamnya ada (penjelasan) sifat wudhu Nabi shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam , (menerangkan bahwa) beliau tidak mengusap lehernya. Karena itulah, hal tersebut tidak dianggap sunnah oleh Jumhur Ulama seperti Malik, Ahmad dan Syafi ’ iy dalam zhahir madzhab mereka …, dan siapa yang meninggalkan mengusap leher, maka wudhunya adalah benar menurut kesepakatan para ulama .”

Berkata Ibnul Qayyim, “Tidak ada satu hadits pun yang shahih dari beliau tentang mengusap leher .” Lihat Zadul Ma’ad 1/195.

Baca Al-Majmu’ 1/488 dan Nailul Authar 1/206-207.

Berdoa Setiap Kali Mencuci Anggota Wudhu

Tidak jarang kita melihat ada orang yang berwudhu, ketika berkumur-kumur, membaca,

اللَّهُمَّ اسْقِنِيْ مِنْ حَوْضِ نَبِيَّكَ كَأْسًا لاَ أَظْمَأُ بَعْدَهُ أَبَدُا

Ya Allah berilah saya minum dari telaga Nabi-Mu satu gelas yang saya tidak akan haus selama-lamanya.”

Lalu ketika mencuci wajah, dia membaca ,

اللَّهُمَّ بَيِّضْ وَجْهِيْ يَوْمَ تَسْوَدُّ الْوُجُوْهُ

Ya Allah, putihkanlah wajahku pada hari wajah-wajah menjadi hitam.”

Kemudian ketika mencuci tangan, dia membaca ,

اللَّهُمَّ أَعْطِنِيْ كِتَابِيْ بِيَمِيْنِيْ وَلاَ تُعْطِنِيْ بِشِمَالِيْ

Ya Allah, berikanlah kitabku di tangan kananku dan janganlah engkau berikan di tangan kiriku.”

Selanjutnya ketika mengusap kepala, dia membaca ,

اللَّهُمَّ حَرِّمْ شَعْرِيْ وَبَشَرِيْ عَلَى النَّارِ

Ya Allah, haramkanlah rambut dan kulitku dari api neraka.”

Lalu ketika mengusap telinga, dia membaca ,

اللَّهُمَّ اجْعَلْنِيْ مِنَ الَّذِيْنَ يَسْتَمِعُوْنَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُوْنَ أَحْسَنَهُ

Ya Allah, jadikanlah saya dari orang-orang yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti yang terbaiknya.”

Terakhir ketika mencuci kaki, dia membaca ,

اللَّهُمَّ ثَبِّتْ قَدَمِيْ عَلَى الصِّرَاطِ

Ya Allah, kokohkanlah kedua kakiku di atas jembatan (hari kiamat).”

Doa ini banyak disebutkan oleh orang-orang belakangan di kalangan Syafi’iyah, dan ini adalah perkara yang aneh karena tidak ada sama sekali landasan dalilnya. Bahkan Imam Besar ulama Syafi’iyah, yang dikenal dengan nama Imam An-Nawawy, menegaskan bahwa doa ini tidak ada asalnya dan tidak pernah disebutkan oleh orang-orang terdahulu di kalangan Syafi’iyah.

Maka, dengan ini, tidak diragukan bahwa doa ini termasuk bid’ah sesat dalam wudhu yang harus ditinggalkan.

Lihat Al-Majmu’ 1/487-489.

Wallahu Ta’ala A’lam Wa Fauqa Kulli Dzi ‘Ilmin ‘Alim .

Posted by aizuddin at 2:05 PM 0 comments

08 June 2010

Najis Ikan Dalam Balang

Postby Guest »

:salam

Isteri saya ada bela ikan dalam balang.. dan seperti kita tahu ikan buang najis dalam air (sudah tentu...).

Soalan saya;

Air dalam balang tu jadi najis ke tak?

**********************************

Postby kamin »

Wa’alaikumussalam

Alhamdulillah. Kami akan cuba menjawab soalan anda dengan kadar kemampuan yang ada, InSyaAllah.

Ikan, dalam apa keadaan kita mendapatinya, ia halal di makan. Malahan, kesemua bahagian dari ikan itu halal dimakan. Firman Allah swt :-

أُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ الْبَحْرِ وَطَعَامُهُ مَتَاعًا لَكُمْ وَلِلسَّيَّارَةِ وَحُرِّمَ عَلَيْكُمْ صَيْدُ الْبَرِّ مَا دُمْتُمْ حُرُمًا وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ

Dihalalkan bagi kamu binatang buruan laut dan makanan yang didapati dari laut, sebagai bekalan bagi kamu (untuk dinikmati kelazatannya) dan juga bagi orang-orang yang dalam pelayaran; tetapi diharamkan atas kamu memburu binatang buruan darat selama kamu sedang berihram. Oleh itu, bertakwalah kepada Allah, yang kepadaNya kamu akan dihimpunkan.” [al-Maaidah : 96].

Menurut Syeikh Dr Yusuf al-Qaradhawi didalam bukunya Halal dan Haram didalam Islam, yang dimaksudkan binatang laut ialah semua binatang yang hidupnya di dalam air. Secara hukumnya, kesemua binatang didalam air ini adalah suci. Sabda Nabi :saw :-

هو الطهور ماؤه الحل ميتته

Ia adalah air yang membersihkan dan bangkai didalamnya adalah halal”

Disini kita dapat lihat bahawa najis ikan merupakan perkara yang didiamkan hukumnya. Malahan ada dikalangan ulama’ al-Syafie yang mengatakan jika najis ikan tidak mengubah warna dan rasa, maka ia merupakan perkara yang dimaafkan.

Cuma dari segi aspek “bersih” dari segi pandangan manusia, adalah sesuatu yang berlainan. Semua NAJIS itu KOTOR, dan tidak semua yang KOTOR itu NAJIS. Maka, amalan membersihkan balang air ikan, merupakan sesuatu amalan yang baik dari segi aspek hygenik dan sainstifik. WA.

Sekian, wassalam

Posted by aizuddin at 2:01 PM 0 comments

Labels: najis haiwan

06 May 2010

Membersihkan Najis Guna Spray

Postby lipanrebus »

salam,

kalo basuh najis gune spray/penyembur air yg dalam bentuk botol/seumpamanya boleh tak? ke dalil naqli mengkhususkan utk menjirus je.

contoh:

taik cicak kena kat laptop

kencing budak atas lantai

seat kene kencing budak (sikit)

buang air kecil di tandas Western yg gune tisu dan tak selesa gune tisu, tapi ada bawak spray yg boleh menyucikan air tu.

ape pendapat tuan? ade orang tak setuju gune spray, dia kata renjis tu bukan "ghusl" . tapi dalam perintah wuduk "ghusl" jugak, boleh pulak gune spray utk wuduk

*********************************

Postby al-jawhar »

Salam ,

Apa yang penting dalam menyucikan anggota atau tempat yang terkena najis ialah dengan menghilangkan samada bau , warna dan rasa najis tersebut.

Sekiranya dengan menggunakan spray yang dipancit berkali-kali boleh membuatkan ain najis tersebut dan ketiga-tiga sifat yang disebutkan di atas terhapus , maka ianya dikira telah suci.

Perlu diingat , tenpat yang terkena najis tersebut tidak boleh dianggap suci sekiranya ketiga-tiga sifat tersebut tidak terhapus.Ini berbeza dengan kaedah menyucikan air kencing bayi yang tidak makan apa-apa kecuali susu ibunya , kerana dalam menyucikan najis tersebut disyarat hanya dengan menrenjiskan sahaja bahagian yang terkena najis tersebut tanpa perlu memastikan hilangnya ketiga-tiga sifat tersebut.

Maka untuk menghilangkan ketiga-tiga sifat najis itu kebiasaannya ialah dengan menggunakan air yang banyak.Adakah dengan menggunakan spray sudah memadai??...

WA

Pengalaman pertama seorang gadis...



Sebaik sahaja anda baring, anda mula merasakan otot-otot anda mula menegang. Anda cuba mengelak dengan cuba memberi alasan, tetapi dia enggan menerima alasananda bahkan semakin merapati anda. Diabertanyakan adakah anda takut. Tetapi anda dengan berani menggelengkan kepala. Jari-jemarinya mula meneroka untuk mencari apa yang dihajati. Dan kali pertama jarinya menyentuh tempat yang betul. Semakin dalam dia menusuk semakin kuat anda mengerang. Tetapi dia masih dengan sikapnya dan melakukanny adengan selembut yang boleh sebagaimana yang telah dia janjikan. Dia merenung jauh ke dalam mata anda dan mahu anda percayakannya. Ini bukanlah kali pertama bagi dirinya. Dia terus tersenyum dan anda mamberi lebih ruang masuk kepadanya. Anda mulamerayu agar dia mempercepatkannya. Tetapi dia masih lagi melakukannya dengan perlahan agar anda merasakan kesakitan yang paling minimum. Semakin dalam tusukkannya semakin andamerasakan tisu-tisu anda koyak. Kesakitan makin terasa diikuti dengan sedikit darah mengalir. Dia merenung kepada anda dan bertanyakan adakah ia menyakitkan?. Mata anda digenangi dengan air mata tetapi andamenggelengkan kepala dan mahu dia terus melakukannya. Dia meneruskan dengan apa yang patut dilakukan. Terus keluar masuk. Tetapi anda sudah mula merasa kebas dan tidak lagi merasakan apa-apa. Beberapa ketika kemudian anda merasakan sesuatu memancut dan dia mengeluarkannya dari anda. Anda terbaring dengan wajah yang pucat. Dia menghamparkan sekuntum senyuman kepada anda dan mengatakan anda adalah antara yang terdegil tetapi telah memberinya banyak pengalaman. Anda hanya tersenyum tawar dan juga inilah pengalaman pertama anda. Dengan senyuman yang tawar anda punmengucapkan terima kasih kepada doktor kerana mencabut gigi anda...

SOLAT JEMAAH TIDAK SERAGAM


SOLAT JEMAAH TIDAK SERAGAM

Postby WARIS on Fri Jan 13, 2006 9:25 am

Perbuatan solat kita adalah daripada sunnah/perbuatan Rasululah s.a.w. dan sepatutnya ianya adalah SERAGAM perbuatannya seperti seragam sewaktu mengangkat takbir, rukuk, sujud dan sebagainya.

Tetapi apa yang kita lihat hari ini ialah terdapat perbezaan yang jelas antara individu jemaah dalam melakukan perbuatan ini. Ada yang mengangkat takbir di PARAS CUPING TELINGA, ada SEPARAS DADA bagi wanita tetapi kaum lelaki meniru begini dalam solat dan ada yang tak angkat langsung.

Perkara begini bukan terjadi dikalangan remaja atau manusia yang kekurangan ilmu agama tetapi terdapat juga dikalangan yang berserban.

Memang perkara begini dikatakan sah sembahyang tetapi kenapakah PERBEZAAN ini berlaku walhal perbuatan solat orang Islam berujuk kepada Rasulullah saw.

Apakah kejadian ini berlaku kerana kejahilan, beramal tanpa ilmu atau manusia islam memandang ENTENG kepada agama?

Dimalaysia sepatutnya KESERAGAMAN berlaku kerana rata-rata ummat islam di sini adalah Ahli Sunnah Wal-Jamaah.

KENAPA?

KENAPA?

KENAPA?


******************************************************************************************************
BAB SOLAT******************************************************************************************************

Takrif solat:

Solat dari segi bahasa ertinya doa. Dari segi syarak pula ia bermaksud beberapa perkataan dan perbuatan yang didahului dengan takbir dan diakhiri dengan salam, mengikut syarat-syarat yang tertentu. Firman Allah swt:



"Dan dirikanlah olehmu solat, kerana sesungguhnya solat itu dapat mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar" (Al Ankabut : 45)
Solat fardhu yang wajib didirikan ialah solat lima waktu sehari semalam, iaitu subuh, zuhur, asar, maghrib dan isya'.

Syarat wajib solat:
1. Islam
2. Baligh
3. Berakal


Syarat sah solat:
1. Suci badan dari dua hadas.
2. Suci dari najis sama ada di badannya, di tempat solatnya, dan di pakaiannya.
3. Menutup aurat.
4. Menghadap qiblat (kecuali yang uzur dan tidak terdaya)
5. Yakin masuk waktu solat.
(nota: sekiranya sesudah tamat solat, lalu disedari perkara yang tersebut di atas terjadi - misalnya didapati ada najis di sejadah - maka perlulah diulangi solat itu kerana ianya tidak menepati syarat sah solat)

Perkara-perkara yang membatalkan solat:
1. Keluar/kedatangan hadas.
2. Berkata-kata dengan sengaja walau sedikit, atau tertawa.
3. Makan/minum walau sedikit.
4. Melakukan gerakan di luar gerakan solat tiga kali berturut-turut (mutawaliyat).
5. Berniat keluar dari solat (mufaraqah).
6. Terkena najis yang tidak dimaafkan.
7. Beralih arah dari qiblat dengan sengaja.
8. Terbuka aurat dengan sengaja, atau tidak sengaja tetapi tidak segera ditutup.
9. Berubah niat dari satu solat ke solat yang lain.
10. Meninggalkan rukun solat.


Waktu-waktu Solat Fardhu:
Waktu-waktu yang telah ditetapkan untuk menunaikan solat ialah seperti berikut:
1. Solat Subuh - bermula daripada fajar menyinsing hinggalah terbit matahari. Masa yang diperuntukkan kira-kira 2 jam.
2. Solat Zuhur - bermula selepas matahari mulai condong daripada puncaknya sehingga bayang melebihi separuh panjangnya.
3. Solat Asar - bermula selepas berakhirnya waktu solat Zuhur sehinggalah matahari terbenam.
4. Solat Maghrib - bermula selepas matahari terbenam sehingga hilang mega merah di ufuk barat.
5. Solat Isya' - bermula selepas mega merah di ufuk timur hilang dan berterusan sehingga terbit fajar pada hari keesokannya.


Perbuatan sunat sebelum solat:
1. Azan - ertinya memberitahu, dan pada syarak adalah perkataan tertentu untuk memaklumkan kepada orang ramai tentang masuknya waktu solat fardu.
2. Iqamah.
3. Bersugi - ertinya membersihkan mulut dan gigi dengan alatan bersugi.


Waktu-waktu yang dimakruhkan solat tanpa sebab:
1. Selepas solat subuh sehingga naik matahari.
2. Ketika naik matahari sehingga sekadar segalah.
3. Ketika matahari di tengah-tengah langit.
4. Selepas solat asar sehingga masuk matahari atau matahari terbenam.
5. Ketika masuk matahari.



[kembali ke atas]

--------------------------------------------------------------------------------


Rukun Solat

Rukun solat ada 13:
1. Niat.
2. Takbiratul-Ihram (Allahu-Akhbar yang pertama).
3. Berdiri bagi yang mampu.
4. Membaca surah Al-fatihah.
5. Rukuk dengan tama'ninah (tama'ninah: tenang dan tertib, tidak terburu-buru).
6. Iktidal dengan tama'ninah.
7. Sujud dua kali, dengan tama'ninah.
8. Duduk di antara dua sujud, dengan tama'ninah.
9. Tasyahhud/Tahiyyat Akhir dengan membaca bacaan Tasyahhud.
10. Duduk dalam Tasyahhud akhir.
11. Selawat kepada Nabi Muhammad saw dalam Tasyahhud Akhir.
12. Membaca salam
13. Tertib.

Huraian rukun solat:

1. Niat: niat dilafazkan di dalam hati. Lafaz yang disebut oleh mulut itu tidaklah dipanggil sebagai niat. Niat solat berlaku semasa seseorang mengangkat takbiratul-ihram iaitu tatkala ia mengata Allahu-Akbar. Umpamanya, untuk solat Zuhur, maka seseorang itu akan bertakbiratul-ihram dan lalu hatinya berkata:



Sahaja aku solat Fardhu Zuhur, empat rakaat, tunai, kerana Allah Taala



Nota: tidak semua perkara dalam niat seperti contoh di atas adalah perkara-perkara yang dituntut dalam perbuatan niat. Perkara yang dituntut dalam niat ada 3, iaitu Qasad ("Sahaja aku solat"), Ta'arrudh (Fardhu) dan Ta'yin (Zuhur, sebagainya).

Oleh itu, niat "Sahaja aku solat Fardhu Zuhur" sudah mencukupi syarat sebagai niat.

Niat "Empat Rakaat", "Tunai" atau "Kerana Allah Ta'ala" adalah tidak disyaratkan, bahkan hanya sunat hukumnya. Namun begitu adalah lebih baik untuk menghadirkan kesemuanya di dalam hati.

Adapun niat menjadi imam ("Imaman") atau makmum ("Makmuman/Makmumatan") ketika takbiratul-ihram hanyalah disyaratkan pada sembahyang Jumaat sahaja, tetapi pada sembahyang lain tidaklah disyaratkan dan hanya sunat hukumnya.

Jika tidak diniatkan menjadi imam atau makmum ketika takbiratul-ihram untuk sembahyang Jumaat, maka tidaklah sah sembahyang Jumaat seseorang itu.

Jika seseorang makmum tidak berniat menjadi makmum ketika takbiratul-ihram dalam sembahyang (selain daripada fardhu Jumaat), dia masih lagi dibolehkan berniat mengikut imam pada mana-mana rukun sembahyang, contohnya ketika rukuk. Namun begitu, adalah makruh hukumnya jika seseorang itu berterusan dengan sengaja mengikuti imam dengan tanpa berniat menjadi makmum.

Imam yang tidak berniat menjadi imam ketika takbiratul-ihram, atau ketika mana-mana rukun yang lain, tidaklah terbatal sembahyangnya ataupun sembahyang makmumnya.

Bagi sembahyang Qasar (memendekkan solat fardhu yang empat rakaat menjadi dua rakaat), perkara-perkara yang manjadi tuntutan ketika takbiratul-ihram selain Qasad, Ta'arrudh dan Ta'yin ialah niat Qasar. Maka bagi seseorang yang hendak solat Qasar perlulah berniat sekurang-kurangnya: "Sahaja aku sembahyang Fardhu Zuhur Qasar."

Bagi sembahyang sunat yang mempunyai waktu dan sembahyang sunat yang mempunyai sebab, maka wajiblah disertakan di dalam niat hanya dua perkara, iaitu Qasad ("Sahaja aku sembahyang") dan Ta'yin (sunat Hari Raya Adha, sunat gerhana bulan, dan sebagainya).

Dituntut juga dalam perkara niat ini ialah menentukan qabliyah (sebelum) dan ba'diyah (selepas) dalam sembahyang sunat Rawatib. Ini tertentu kepada sembahyang sunat Zuhur, Maghrib dan Isya' sahaja, seperti dinyatakan dalam niat: "Sahaja aku solat Sunat Zuhur qabliyah/ba'diyah" atau "Sahaja aku solat Sunat Sebelum/Selepas Zuhur."

Adapun sembahyang sunat Subuh dan Asar tidaklah disyaratkan niat qabliyah, kerana kedua-dua sembahyang tersebut hanya ada qabliyah sahaja dan tiada ba'diyah (iaitu tidak ada solat sunat Rawatib selepas Subuh dan Asar).

Bagi sembahyang sunat mutlak pula wajib disertakan di dalam niat semasa takbiratul-ihram satu perkara sahaja iaitu Qasad. Umpamanya seseorang hanya perlu berniat: "Sahaja aku sembahyang".

2. Takbiratul-Ihram, iaitu mengucapkan Allahu-Akbar untuk memulakan solat. Perkataan Allahu-Akbar itu tidak boleh ditukar dengan lafaz lain.

Sebutan kalimah Allahu-Akbar itu diwajarkan agar tidak melebihi daripada empat belas harakat (tujuh alif), dan pergerakan tangannya tidak melebihi tiga kali pergerakan, kerana semua ini akan menjejaskan kesahihan dan kesempurnaan solat.

Nota: sebutan Allahu-Akbar yang teramat panjang ketika niat, dan pergerakan tangan yang berkali-kali, adalah disebabkan oleh was-was atau berterusan tidak kepastian sama ada apa yang dilakukanya itu telah sempurna atau belum. Was-was adalah berpunca dari bisikan syaitan, dan seseorang yang ditimpa was-was ini perlulah banyak berzikir, sebaiknya zikir "Laa-Ilaha-Illallah."

3. Berdiri bagi orang yang berkuasa. Sekiranya seseorang itu berdiri tetapi condong ke hadapan, ke belakang, ke kanan atau ke kiri hingga tidak dapat dinamakan sebagai berdiri maka hukum solat itu tidak sah. Sekiranya tidak mampu berdiri maka bolehlah dilakukan solat secara duduk, baring mengiring, menelentang atau secara mana yang termampu. Untuk solat sunat dibolehkan sembahyang secara duduk, namun tidak digalakkan.

4. Membaca al-Fatihah: pada tiap-tiap rakaat dengan memelihara segala makhraj dan tajwid fatihah. Rukun al-Fathihah tidak diwajibkan untuk makmum dalam solat berjemaah.

5. Rukuk, berserta tama'ninah. Sekurang-kurangnya rukuk ialah membongkokkan belakangnya sampai dua tangan di atas dua kepala lutut, disertai dengan tama'ninah iaitu berhenti sebentar sekadar lama bacaan Subhanallah, dan anggota-anggota berat kemudian berhenti. Doa tasbih ketika rukuk ialah:



"Maha suci Allah yang Maha Agung dengan sifat kepujian-Nya."

6. Iktidal: Ertinya berdiri tegak semula selepas rukuk, berserta tama'ninah. Doa tasbih ketika iktidal ialah:



"Allah mendengar akan orang yang memuji-Nya."

Kemudian disambung pula dengan bacaan:


"Ya Tuhan kami! Bagi-Mu segala puji."

7. Sujud ialah meletakkan dahi di atas tempat sujud, dan dahi itu mestilah tidak berlapik dengan sesuatu. Sekiranya terpaksa seperti dahi dibalut kerana luka dan sebagainya, maka tidaklah wajib dibuka. Dahi yang berlapik dengan songkok dengan sengaja tanpa sebab adalah tidak sah solatnya. Anggota sujud ada 7:
1. Dahi
2. Dua tapak tangan
3. Dua lutut
4. Dua perut jari kaki
Doa ketika sujud ialah:



"Maha suci Allah yang Maha Mulia dengan sifat kepujian-Nya"
8. Duduk di antara dua sujud berserta tama'ninah. Mengangkat kepala dan badan untuk duduk di antara dua sujud ini mestilah mengandungi tujuan. Oleh itu, sekiranya seseorang itu mengangkat dari sujud kerana tujuan lain, umpamanya mengelakkan daripada binatang, maka hendaklah ia kembali sujud semula. Duduk antara dua sujud merupakan rukun pendek maka tidak wajar dilama-lamakan. Doa tasbih ketika sujud ialah:



"Ya Allah ampunilah daku, rahmatilah daku, kayakan daku, angkatlah darjatku, rezekikanlah aku, berilah aku hidayah, sihatkanlah aku dan maafkanlah aku."
9. Tahiyyat/Tasyahud akhir. Membaca tahiyyat akhir juga hendaklah dipelihara segala bacaan di dalamnya. Bacaan tahiyyat akhir adalah seperti berikut:



"Segala penghormatan yang berkat solat yang baik adalah untuk Allah. Sejahtera atas engkau wahai Nabi dan rahmat Allah serta keberkatannya. Sejahtera ke atas kami dan atas hamba-hamba Allah yang soleh. Aku naik saksi bahawa tiada Tuhan melainkan Allah dan aku naik saksi bahawasanya Muhammad itu adalah pesuruh Allah.
Kurniakanlah rahmat dan kesejahteraan Kepada junjungan mulia Muhammad saw dan ke atas ahli keluarga baginda yang mulia, sebagaimana rahmat dan kesejahteraan yang telah Engkau kurniakan kepada Ibrahim dan ahli keluarga Ibrahim. Dan limpahkanlah berkatMu kepada Muhammad dan ahli keluarga Muhammad seperti mana berkatMu kepada Ibrahim dan ahli keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau yang amat terpuji lagi amat mulia."
nota: ungkapan "sayyidina" di dalam contoh di atas hanyalah sunat hukumnya dan tidak mengapa jika ditinggalkan.

10. Duduk ketika tahiyyat akhir.

11. Selawat ke atas Nabi Muhammad s.a.w. sekurang-kurangnya; "Allahumma-solli 'ala Muhammad."

12. Salam pertama: Sekurang-kurang salam ialah "Assalamu'alaikum" bermaksud "salam sejahtera ke atas kamu."

13. Tertib. Tertib ditakrifkan sebagai mendahulukan yang dahulu dan mengkemudiankan yang kemudian. Solat yang tertinggal ketertiban rukun-rukunnya dikira tidak sah.



[kembali ke atas]


--------------------------------------------------------------------------------


Sunat Hai'ah & Ab'adh

Perkara-perkara sunat semasa solat ada dua:
1. Sunat Hai'ah
2. Sunat Ab'adh

Sunat Hai'ah ada 15 perkara:
1. Mengangkat tangan ketika Takbiratul-Ihram, ketika rukuk, ketika iktidal dan ketika bangun pada rakaat kedua. (nota: bangun dari rakaat pertama dan ketiga tidak diperlukan mengangkat tangan)
2. Meletakkan perut tangan kanan di atas tangan kiri dan memegangnya dan meletakkannya di bawah dada atau di atas pusat.
3. Membaca doa tawujud/iftitah. Doa iftitah ialah:



"Allah Maha Besar sebesar-besarnya. Dan puji-pujian bagi Allah sebanyak-banyaknya. Dan Maha Suci Allah siang dan malam. Kuhadapkan mukaku, kepada yang menjadikan langit dan bumi, aku cenderung lagi berserah kepada Allah, dan bukanlah aku dari golongan orang-orang yang menyekutukan Allah. Sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku, dan matiku kuserahkan hanya kepada Allah seru sekalian alam. Sekali-kali tidaklah aku menyekutukan-Nya. Dan dengan demikian aku ditugaskan, dan aku adalah dari golongan orang-orang Islam."

4. Membaca A'uzubillah
5. Membaca Al-fatihah dan surah dengan suara yang kuat (jahar) pada masa-masa yang ditentukan.
6. Membaca amin selepas fatihah
7. Membaca surah al-Quran di rakaat pertama dan kedua selepas bacaan al-Fatihah
8. Membaca tasbih ketika rukuk
9. Membaca tasbih ketika rukuk
10. Membaca tasbih ketika sujud
11. Membaca tasbih ketika bangkit dari rukuk
12. Meletakkan kedua tangan di atas peha dengan melepaskan jari kesemuanya
13. Duduk iftirasy pada semua duduk iaitu duduk di atas buku lali kaki kiri
14. Duduk Tawarruk iaitu duduk tahiyat akhir
15. Salam yang kedua
Sunat Ab'adh ada 7 perkara:
1. Tahiyat awal. Doa tahiyat awal ialah:



"Segala penghormatan yang berkat solat yang baik adalah untuk Allah. Sejahtera atas engkau wahai Nabi dan rahmat Allah serta keberkatannya. Sejahtera ke atas kami dan atas hamba-hamba Allah yang soleh. Aku naik saksi bahawa tiada Tuhan melainkan Allah dan aku naik saksi bahawasanya Muhammad itu adalah pesuruh Allah."

2. Selawat didalam Tahiyat awal
3. Duduk Tahiyat
4. Doa qunut waktu subuh dan pada solat witir. Doa qunut ialah:


"Ya Allah, tunjukkanlah aku sebagaimana orang yang telah Engkau tunjukkan. Sejahterakanlah aku sebagaimana orang yang telah Engkau sejahterakan. Pimpinlah aku sebagaimana orang yang telah Engkau pimpinkan. Berkatlah hendaknya untuk apa-apa yang telah Engkau berikan kepadaku. Jauhkan aku dari segala kejahatan yang telah Engkau tetapkan. Sesungguhnya hanya Engkau sajalah yang menetapkan, dan tidak sesiapapun yang berkuasa menetapkan sesuatu selain daripada Engkau. Sesungguhnya tidak terhina orang yang memperoleh pimpinanMu. Dan tidak mulia orang yang Engkau musuhi, telah memberi berkat Engkau, oh Tuhan, dan Maha Tinggi Engkau. Maka hanya untuk Engkau tetapkan. Aku minta ampun dan bertaubat kepada Engkau. Dirahmati Allah jugalah kiranya Muhammad, Nabi yang buta-huruf, dan keluarganya dan sahabat-sahabatnya, dan diberiNya kesejahteraan."

5. Selawat di dalam qunut
6. Berdiri semasa qunut
7. Membaca selawat ke atas keluarga Nabi pada Tahiyat akhir.

Sekiranya tertinggal sunat Ab'adh, maka disunatkan ia sujud sahwi; manakala tertinggal sunat hai'ah tidak diperlukan sujud sahwi.


[kembali ke atas]


--------------------------------------------------------------------------------

Solat Berjemaah
Solat berjemaah bermaksud solat yang dilakukan lebih daripada seorang, atau secara beramai-ramai, dengan diketuai seorang imam. Sabda Nabi SAW:


"Solat berjemaah itu lebih afdhal (baik) daripada solat bersendirian dengan 27 kali darjat" (HR Bukhari dan Muslim)
Solat berjemaah terdiri daripada seorang imam dan sekurang-kurangnya seorang makmum. Solat secara berjemaah sangat dituntut dalam Islam. Bagi Mazhab Syafie hukumnya ialah fardu kifayah, manakala sesetengah pendapat mengatakan solat berjemaah hukumnya sunat muaakad atau sunat yang sangat dituntut dalam Islam. Antara solat yang biasa ditunaikan secara berjemaah ialah solat fardu lima waktu, solat hari raya, solat sunat tarawih dan solat sunat witir. Tetapi bagi sembahyang Jumaat, ia wajib dikerjakan secara berjemaah.

Syarat-syarat sah solat berjemaah:
1. Berniat mengikut/menjadi imam (untuk solat Jumaat sahaja, dan tidak diwajibkan bagi solat-solat yang lain).
2. Mengetahui segala apa yang dikerjakan oleh imam.
3. Tiada dinding yang menghalangi antara imam dan makmum, kecuali bagi makmum perempuan di masjid hendaklah dibataskan dengan kain.
4. Tidak mendahului imam dalam takbir dan tidak pula melambatkannya.
5. Tidaj mendahului imam dalam rukun-rukun sembahyang.
6. Kedudukan imam ialah di hadapan makmum, sekurang-kurangnya di takat tumit. Makmum tidak boleh berada di hadapan atau sebaris dengan imam.
7. Solat makmum harus sama dengan solat imam, misalnya sama-sama solat Zuhur, Jumaat, qasar, jamak dan sebagainya.
8. Makmum lelaki tidak mengikut imam perempuan.


Semasa berniat, seseorang itu disunatkan menambah perkataan makmuman (makmum lelaki), makmumatan (makmum perempuan), imaman (imam lelaki) atau imamatan (imam perempuan) selepas menyebut solat yang ingin dilakukan. Solat seseorang itu tetap sah walaupun tidak berniat menjadi imam/makmum, melainkan ketika solat Jumaat.

Antara syarat untuk menjadi imam:
* Bacaannya lebih baik daripada bacaan makmum.
* Seseorang itu bukan sedang mengikut atau menjadi makmum kepada imam lain.
* Imam itu sudah mumaiyiz.


Terdapat sabda Rasulullah s.a.w yang bermaksud: “Imam ialah yang menanggung pembacaan, apabila baik pembacaannya maka pahala untuk dirinya dan untuk mereka (makmum) dan jika rosak pembacaannya maka dosanya ialah di atas dirinya sendiri, dan bukannya atas mereka (makmum).”

Dalam solat berjemaah bersama satu makmum, maka makmum itu kedudukannya di sisi kanan imam, asalkan tidak terkehadapan ataupun sebaris dengan imam.

Sekiranya hanya ada satu makmum dalam solat berjemaah, dan makmum pertama sedang berdiri di tepi kanan imam, lalu disertai pula seorang lagi makmum, maka imam disyaratkan maju ke hadapan atau makmum yang pertama berundur belakang (tidak melebihi tiga langkah) ke saf bersama makmum kedua.


[kembali ke atas]


--------------------------------------------------------------------------------


Masbuq

Masbuq ialah apabila makmum ketinggalan dalam solat berjemaah.
Contoh: apabila seseorang makmum memasuki solat jemaah, lalu ia takbiratul-ihram dan mendapati imam sedang rukuk, maka perlu makmum mengikuti rukuk imam itu dengan tanpa wajib menyelesaikan rukun fatihah.


Dari hadis:
Dari Hasan dari Abu Bakrah, dia sampai kepada Nabi saw, ketika Nabi sedang rukuk, maka dia rukuk sebelum sampai kepada saf. Hal itu disampaikan kepada nabi, maka Nabi berkata, “Semoga Allah menambah semangatmu tetapi jangan diulangi lagi.” (H.R. Bukhari)
Sabda Rasulullah saw: "Apabila seseorang diantara kamu datang (untuk) solat sewaktu kami sujud, hendaklah ikut sujud dan janganlah kamu hitung itu satu rakat. Barangsiapa yang mendapati rukuk bersama imam, maka ia telah mendapat satu rakaat."(H.R. Abu Daud).

Dari hadis di atas, maka difahamilah bahawa orang yang mendapatkan rukuk dianggap telah mendapatkan satu rakaat, biarpun tanpa sempat menyempurnakan rukun fatihahnya.

Sekiranya makmum sempat mengikuti rukuk imam dengan sempurna (sekadar dapat menyentuh lutut) sebelum imam bangun untuk iktidal, dikira makmum sudah mendapat rakaat ("muwafiq"). Jika makmum tidak sempat menyempurnakan rukuk, atau makmum memasuki solat sesudah imam rukuk (iaitu semasa sujud, atau duduk tahiyyat dan sebagainya) maka tidaklah dikira ia mendapat rakaat itu ("masbuq").

Sekiranya makmum hanya sempat masbuq di tahiyyat akhir, tidaklah ia perlu membaca doa dalam tahiyyat akhir kerana doa tahiyyat itu disunatkan hanya untuk orang yang bertasyahhud akhir. Makmum yang masbuq itu juga diperbolehkan duduk iftirasy seperti di dalam rakaat kedua.

Setelah solat berakhir dan imam memberi salam, maka makmum itu perlulah bangun dan menyelesaikan solatnya dengan menambah rakaat yang tertinggal.

Jika makmum sedang takbir lalu imam memberi salam, maka makmum ditegah duduk kerana duduk itu mengikut imam, dan imam telahpun selesai solatnya. Jika makmum itu duduk dengan sengaja dan tahu akan tegahannya maka batallah sembahyang itu.

Dalam solat Subuh, makmum masbuq mestilah berqunut sekali lagi untuk dirinya di rakaat keduanya meskipun ia telah berqunut bersama imam di awal sembahyang tadi.

Dalam solat Jumaat pula, sekiranya makmum sempat mendapat rakaat kedua dengan ia sempat rukuk bersama imam, maka dikira ia mendapat solat Jumaat itu dan hanya perlu menyelesaikan jumlah dua rakaat sahaja. Tetapi sekiranya makmum tidak sempat rukuk dalam rakaat terakhir solat Jumaat, maka ia dikira solat Zuhur dan perlulah menyempurnakan jumlah empat rakaat.


[kembali ke atas]


--------------------------------------------------------------------------------


Istikhlaf

Istikhlaf bererti imam digantikan oleh salah seorang daripada makmumnya (lalu menjadi imam) bagi menyempurnakan sembahyang mereka, disebabkan keuzuran imam pertama itu.
Jika imam keluar daripada sembahyangnya disebabkan berhadas, atau biarpun dengan tiada sebab, adalah diharuskan bagi salah seorang makmum menggantikannya.


Hadis: "Ketika Nabi SAW sedang sakit tenat, datang Bilal untuk memberitahu Baginda tentang sembahyang. Maka Nabi SAW menyuruhnya supaya mengatakan kepada Abu Bakar agar mengimami orang ramai. Saya berkata: "Abu Bakar adalah seorang lelaki yang penyedih dan jika dia berdiri mengambil tempatmu (sembahyang), dia akan menangis dan tidak mampu membaca Al-Qur’an." Nabi SAW bersabda: "Suruhlah Abu Bakar untuk mengimami sembahyang." Saya pun mengatakan hal yang sama seperti di atas. Beliau (mengulangi perintah yang sama) pada ketiga atau keempat kalinya Baginda bersabda: "Kamu adalah (macam) sahabat-sahabat Yusuf. Suruhlah Abu Bakar untuk mengimami sembahyang." Maka Abu Bakar mengimami sembahyang. Kemudian Nabi SAW datang dengan bantuan dua orang lelaki; seakan-akan baru saja aku melihat Baginda memijakkan kakinya ke tanah. Pada waktu Abu Bakar melihatnya, dia mencuba untuk berundur tetapi Nabi SAW memberi isyarat kepadanya untuk tetap sembahyang. Abu Bakar berundur sedikit dan Nabi SAW duduk di sebelah kirinya. Abu Bakar memperdengarkan takbir kepada orang ramai." (HR Bukhari)
Disyaratkan bagi makmum yang menggantikan imam itu adalah pengganti (khalifah/mustakhlif) yang sah menjadi imam kepada jemaah yang lain. Jika imam itu diganti oleh makmum yang kurang fasih dalam bacaan fatihah (ummiyan), atau orang bisu, atau orang yang tidak jelas bacaannya seperti mendengungkan pada tempat yang tidak dengung serta mengubah bacaan, maka tidak sah sembahyang makmum yang lain jika mengikutinya, kerana ia tidak sah menjadi imam.

Disyaratkan juga imam itu diganti oleh makmum yang berada di saf pertama betul-betul di belakang imam. (nota sampingan: makmum saf pertama di belakang imam adalah juga bertanggungjawab untuk menegur imam di kala kesilapan bacaan dan perbuatan solat dengan isyarat bacaan "Subhanallah")

Imam yang keluar itu hendaklah keluar dengan tertib, sekurang-kurangnya beralih ke kirinya jika tiada luang kosong untuk ia mundur. Kemudian makmum yang mengganti imam itu hendaklah pula maju ke hadapan dengan tidak lebih dari dua pergerakan langkah. Tempatnya yang kosong di saf hendaklah pula diisi oleh makmum lain, sama ada di sebelah atau di belakang, juga dengan tidak lebih dari dua pergerakan langkah.

Istikhlaf hendaklah dilakukan dengan serta-merta. Jika imam keluar daripada jemaah sedangkan makmum telahpun lanjut melakukan satu rukun, maka ditegah penggantiannya selepas itu. Juga ditegah penggantiannya jika makmum tersebut diam terlalu lama dengan kadar berlalunya satu rukun, sama ada rukun fi‘li (perbuatan) atau rukun qauli (percakapan). Sekiranya didapati tiada sesiapa yang maju menggantikan imam, maka makmum diperbolehkan mufaraqah (berpisah) dari berjemaah dan meneruskan solat bersendirian.

Tidak disyaratkan ke atas makmum dalam istikhlaf untuk berniat lagi untuk menjadi makmum, kerana mustakhlif (pengganti) itu sudah dalam kedudukan imam yang awal.

Cara Istikhlaf Dalam Sembahyang

Apabila seorang mustakhlif menggantikan imam dalam sembahyang yang sama atau bilangan rakaat yang sama, maka sah penggantian tersebut di mana-mana rakaat pun kerana mustakhlif itu mengikuti tertib imam sebelumnya dan tidak membawa kepada percanggahan.

Adapun jika diganti oleh seorang yang di luar sembahyang (mustakhlif bukan daripada kalangan makmum, dan terus masuk menjadi imam), maka menurut pendapat Imam Nawawi dan jumhur ulama adalah diharuskan istikhlaf dengan syarat mustakhlif tersebut menggantikan imam pada rakaat pertama, atau rakaat ketiga (pada sembahyang yang empat rakaat) kerana tidak akan bercanggah dengan tertib makmum yang mengikutinya.

Jika berlaku percanggahan dalam tertib, maka tidaklah diharuskan istikhlaf. Contohnya ialah apabila seorang yang di luar sembahyang mengganti imam pada rakaat kedua atau rakaat terakhir, dan dia (pengganti) itu akan bangun berdiri bagi rakaatnya yang pertama sedangkan makmum yang lainnya duduk tahiyyat awal (atau tahiyyat akhir) di rakaat mereka.

Jika makmum yang masbuq menggantikan imam yang keluar daripada jemaah hendaklah dia menjaga tertib imam tersebut, sebagaimana perbuatannya jika imam belum keluar daripada jemaah. Sebagai contoh, jika makmum yang masbuq pada rakaat kedua dalam sembahyang subuh, kemudian imam itu berhadas lalu diganti oleh makmum yang masbuq itu, maka makmum yang menggantikan itu hendaklah menjaga tertib imam pertama dengan menyambung perbuatan sebagaimana yang perlu dilakukan di dalam rakaat kedua dalam sembahyang subuh iaitu berqunut, duduk dan bertasyahud biarpun pada asalnya dia baru melakukan satu rakaat. Selepas itu baharulah mustakhlif yang masbuq itu bangkit semula (tanpa salam) untuk menggenapkan solat dua rakaatnya, lalu berqunut lagi pada rakaat keduanya itu bagi dirinya sendiri sahaja (doa qunut bersendirian dan bukan qunut berjemaah). Para jemaah yang mengikuti mustakhlif yang masbuq tersebut ada dua pilihan pada tahiyyat akhir tadi iaitu sama ada berniat mufaraqah (berpisah daripada imam) dan terus memberi salam, ataupun duduk menunggu mustakhlif itu dan memberi salam bersama-samanya.

Makmum-makmum masbuq yang bangkit semula untuk menyempurnakan sembahyang mereka setelah sempurna solat berjemaah adalah diperbolehlah kepada salah seorang daripada mereka yang masbuq itu untuk maju ke hadapan menjadi imam dan makmum masbuq yang lain itu boleh mengikutinya. Istikhlaf sebegini adalah diharuskan kecuali dalam sembahyang Jumaat kerana tidak harus mendirikan lagi sembahyang Jumaat selepas selesai dikerjakannya.

Istikhlaf Dalam Sembahyang Jumaat

Apabila imam keluar selepas membaca dua khutbah dan sebelum mengangkat takbiratul ihram bagi sembahyang Jumaat, adalah diharuskan menggantikannya jika mustakhlif itu juga turut menghadiri khutbah. Jika ia tidak menghadiri khutbah maka dia tidak diharuskan mengganti imam itu.

Jika imam keluar daripada sembahyang selepas mengangkat takbiratul ihram pada rakaat pertama sembahyang Jumaat dan sebelum rukuk di rakaat kedua, adalah harus dia diganti oleh mustakhlif yang bersama imam sebelum imam keluar daripada jemaah itu, kerana mustakhlif itu dikira tergolong dalam ahli Jumaat. Jika ia tidak bersama imam sebelum dia keluar daripada sembahyang, maka tidak diharuskan ia mengimamkan sembahyang itu kerana dia tidak tergolong dalam ahli Jumaat.

Manakala jika imam itu keluar selepas rukuk dalam rakaat kedua sembahyang Jumaat, imam tidak harus diganti oleh mustakhlif yang tidak bersama imam sebelum dia keluar daripada jemaah. Akan tetapi jika mustakhlif itu bersama imam sebelum imam keluar daripada jemaah tetapi dia tidak bersama imam sebelum rukuk pada rakaat kedua (mustakhlif masbuq), maka difardhukan ke atas mustakhlif itu sembahyang Zuhur.

Makmum yang bersembahyang Jumaat diharuskan pula mengikuti mustakhlif yang difardhukan ke atasnya sembahyang Zuhur itu. Akan tetapi hendaklah mustakhlif itu menjaga tertib imam yang awal. Manakala makmum yang mengikutinya ada dua pilihan, antara memberi salam dengan niat mufaraqah atau makmum menunggu mustakhlif dan memberi salam bersamanya. Cara ini adalah yang lebih afdhal dilakukan.


[kembali ke atas]


--------------------------------------------------------------------------------


Sujud Sahwi

Sahwi bermaksud lupa sesuatu. Pengertian dari segi syarak adalah terlupa sesuatu di dalam solat. Sujud sahwi adalah sujud yang dilakukan sebanyak dua kali setelah selesai bacaan Tahiyat akhir dan sebelum salam; ia dikerjakan untuk menutup kecacatan dalam pelaksanaan solat kerana terlupa, dan hukumnya adalah sunat.
Doa sujud sahwi adalah seperti berikut:



Ertinya: "Maha Suci Allah yang tidak tidur dan tidak lupa."
Sebab-sebab sujud sahwi ada tiga: kerana kelebihan, kerana kekurangan, dan kerana ragu-ragu.

1. Sujud Sahwi Kerana Kelebihan
Barangsiapa terlupa di dalam solatnya lalu tertambah rukuk, atau sujud, dan sebagainya, maka dia perlu sujud sahwi.

2. Sujud Sahwi Kerana Kekurangan
Barangsiapa, justeru terlupa, lalu meninggalkan salah satu sunat ab'adh, maka ia harus sujud sahwi sebelum salam. Misalnya, makmum terlupa tahiyyat awal dan hanya teringat setelah sempurna qiam (berdiri tegak), maka dia tidaklah perlu duduk kembali dan cukup baginya sujud sahwi. Namun, sekiranya dia teringat sebelum separuh bangkit untuk qiam, maka bolehlah dia kembali duduk dan menyempurnakan tahiyyat awal dan tidak perlu sujud sahwi.

c. Sujud Sahwi Kerana Ragu-ragu
Keragu-raguan di dalam solat adalah kerana tidak meyakini sama ada terlebih atau terkurang, umpamanya seseorang ragu sama ada dia di dalam rakaat ketiga atau keempat. Keraguan ada dua jenis:

1. Sekiranya seseorang lebih cenderung kepada satu hal (waham, atau lebih 50% pasti), umpamanya dia lebih meyakini dia kini di dalam rakaat ketiga dan bukan rakaat keempat, maka dia harus menurutkan mengambil sikap kepada yang lebih ia yakini, kemudian dia melakukan sujud sahwi setelah salam.

2. Sekiranya seseorang itu ragu-ragu antara dua hal, dan tidak condong pada salah satunya (dzan, atau hanya 50-50 pasti), maka dia harus mengambil sikap kepada hal yang sudah pasti akan kebenarannya, iaitu jumlah rakaat yang sedikit. Kemudian menutupi kekurangan tersebut, lalu sujud sahwi sebelum salam.

Hal-hal Penting Berkenaan Dengan Sujud Sahwi

1.Apabila seseorang meninggalkan salah satu rukun solat secara tidak sengaja, dan ia teringat ketika belum sampai pada rukun yang sama di rakaat berikutnya, maka ia wajib segera kembali kepada rukun yang tertinggal itu, dan kembali meneruskan solat dari situ. Sekiranya dia teringat dan sedang pula berada pada rukun yang tertinggal itu pada rakaat berikutnya, maka rukun yang tertinggal itu dianggap terganti dan ia perlulah meneruskan solat seolah-olahnya di rakaat yang sebelum itu. Pada kedua-dua hal ini, wajib dia melakukan sujud sahwi setelah salam atau sebelumnya.

2.Apabila sujud sahwi dilakukan setelah salam, maka harus pula melakukan salam sekali lagi.

3.Apabila seseorang yang melakukan solat meninggalkan sunat ab'adh secara sengaja, maka batallah solatnya.


Jika ketinggalan kerana lupa, kemudian dia ingat sebelum beranjak dari sunat ab'adh tersebut, maka hendaklah dia melaksanakannya dan tidak perlu sujud sahwi.
Jika ia teringat setelah melewatinya tapi belum sampai kepada rukun berikutnya, maka hendaklah dia kembali melaksanakan rukun tersebut, lalu sujud sahwi selepas salam.
Jika ia teringat setelah sampai kepada rukun yang berikutnya, maka sunat ab'adh itu gugur, dan dia tidak perlu kembali kepadanya untuk melakukannya, akan tetapi perlu sujud sahwi sebelum salam.
4.Sekiranya seseorang itu terlupa sujud sahwi dan teringat hanya selepas memberi salam maka bolehlah ia sujud sahwi, dengan syarat ingatan itu timbul dalam masa yang tidak begitu lama.
5. Sekiranya imam terlupa sujud sahwi, makmum bolehlah sujud sahwi setelah imam memberi salam.


[kembali ke atas]

--------------------------------------------------------------------------------


Sujud Sajadah/Tilawah
Tilawah ertinya bacaan, dan Sujud Sajadah atau sujud Tilawah itu ialah perbuatan sujud apabila seseorang itu bertemu ayat sajadah dalam bacaan al-Qur'an sama ada di dalam solat ataupun di luar solat.

Daripada Abu Hurairah r.a. katanya, Rasulullah s.a.w. telah bersabda:
Apabila anak Adam membaca ayat Sajdah, lalu dia sujud; maka syaitan jatuh sambil menangis. Katanya, "Celaka aku! Anak Adam disuruh sujud, maka dia sujud, lalu mendapat syurga. Aku disuruh sujud, tetapi aku menolak maka untukku neraka." (HR Al-Bukhari dan Muslim)

Hukum sujud sajadah adalah sunat mu'akad, atau sunat yang amat digalakkan.

Dari Umar r.a.: Pada suatu hari Jumaat, dia (Rasulullah) membaca surah al-Nahl di atas mimbar, maka ketika sampai pada ayat sajadah, dia lalu turun dan sujud. Dan para hadirin juga turut melakukan sujud. Pada hari Jumaat berikutnya, dibacanya surah berkenaan, lalu apabila sampai pada ayat sajdah dia berkata: "Wahai manusia, sebenarnya kita tidak diperintahkan (diwajibkan) sujud tilawah. Tetapi barangsiapa bersujud, dia telah melakukan yang benar. Dan barangsiapa yang tidak melakukannya, maka dia tidak mendapat dosa." (HR Bukhari)

Ayat-ayat sujud sajadah ialah:

1. Surah 7 (Al-A’Raaf) Ayat 206
2. Surah 13 (Ar-Ra’d) Ayat 15
3. Surah 16 (Al-Nahl) Ayat 50
4. Surah 17 (Al-Isra’) Ayat 109
5. Surah 19 (Maryam) Ayat 58
6. Surah 22 (Al-Hajj) Ayat 18
7. Surah 22 (Al-Hajj) Ayat 77
8. Surah 25 (Al-Furqaan) Ayat 60
9. Surah 27 (An Naml) Ayat 26
10. Surah 32 (As-Sajdah) Ayat 15
11. Surah 38 (Shaad) Ayat 24
12. Surah 41 (Fushshilat) Ayat 38
13. Surah 53 (An-Najm) Ayat 62
14. Surah 84 (Al-Insyiqaq) Ayat 21
15. Surah 96 (Al-'Alaq) Ayat 19

Nota: Perlu dinyatakan bahawa bacaan Surah 38 (Shaad) Ayat 24 menurut Syafi'iyah dan Hanbaliyah tidak termasuk ayat sajadah, tapi ayat yang disunatkan untuk sujud syukur (keterangan sujud syukur akan menyusul selanjutnya). Bacaan surah 22 (Al-Hajj) Ayat 77 pula menurut madzhab Syafi'iyah dan Hanbaliyah dimasukkan sebagai ayat sajadah.

Untuk mengenali ayat-ayat sajadah itu di dalam al-Qur'an, pada kebiasaannya pada ayat-ayat itu ada ditandakan dengan garis atau di penghujung ayat itu ditandakan simbol dengan tertulis perkataan sajadah.

Bacaan doa yang sunat dibaca ketika sujud ialah:



Ertinya: "Aku bersujud dengan wajahku kepada Dzat yang telah merupakan dan menciptakannya, dan menciptakan pendengaran dan penglihatannya dengan kekuatan-Nya. Maha memberkati Allah, sebaik-baik Pencipta."

Cara melakukan sujud sajadah ialah terus bersujud (tanpa niat, dan tanpa mengangkat tangan) sebaik sahaja selepas membaca ayat sajadah, dan membaca doa sujud sajadah di dalam sujud, lalu kembali berdiri dan meneruskan bacaan selanjutnya. Sekiranya bacaan ayat sajadah itu telahpun tamat, maka teruslah rukuk selepas berdiri sebentar apabila bangun dari sujud.

Adalah sunat bertakbir "Allah-Akbar" sebelum turun dari qiam untuk melakukan sujud sajadah. Disunatkan juga agar bertakbir apabila naik dari sujud. Adalah tidak perlu mengangkat tangan ketika naik dari sujud.

Di dalam solat berjemaah, makmum wajib mengikuti imam sama ada imam itu melakukan sujud sajadah ataupun tidak. Bercanggah dari mengikuti imam akan menyebabkan solat makmum itu batal. Akan tetapi, adalah sunat hukumnya bagi makmum melakukan sujud tilawah selepas selesai salam dengan syarat jarak di antara sujud dan salam itu tidak lama.

Walau bagaimanapun bagi sembahyang yang dibaca dengan suara perlahan, umpamanya solat Zuhur, sujud tilawah itu sunat dibuat oleh imam setelah dia selesai menunaikan sembahyang supaya tidak menimbulkan kekeliruan di kalangan makmum.

Rukun sujud sajadah di luar sembahyang ialah:
1. Niat - iaitu "Sahaja aku sujud sajadah kerana Allah Ta'ala"
2. Takbiratul-ihram
3. Sujud
4. Salam.

Sujud sajadah di luar solat adalah disunatkan kepada pembaca dan juga pendengar bacaan ayat sajadah, dan sujud si pendengar itu tidak tergantung sama ada pembaca (qari) itu turut sujud atau tidak.

Syarat sah sujud sajadah di luar sembahyang adalah sama seperti syarat sembahyang (suci dari hadas besar dan kecil, mengadap kiblat, menutup aurat, dan sebagainya), dan tidak berjangka waktu yang lama antara bacaan ayat sajadah dan perbuatan sujud.

Sekiranya seseorang itu mendengar bacaan ayat sajadah dan tidak berupaya untuk sujud sajadah (umpamanya sedang memandu), maka bolehlah ditangguhkan sujud sajadah itu hingga ketika dia boleh, asalkan tidak terlampau lama masa yang terluput di antaranya.

Tidak perlu berwuduk untuk sujud sajadah ketika di luar solat, namun berwuduk itu adalah lebih afdal.

Disunatkan bacaan takbir "Allahu-Akbar" (selepas daripada Takbiratul-ihram) ketika hendak sujud, dan disunatkan juga bertakbir apabila bangun dari sujud sebelum salam.

Adalah tidak perlu untuk seseorang itu bangun dari duduk untuk berdiri (qiam) apabila hendak melakukan sujud sajadah di luar solat. Namun begitu, apabila seseorang itu sedang berdiri, maka perlulah dia bertakbiratul-ihram di kala qiam, lalu sujud, duduk, dan salam.

Nota sampingan:


Sujud Syukur
Sujud Syukur adalah perbuatan sujud ketika seseorang mendapat limpahan rahmat daripada Allah, atau terhindar daripada malapetaka.

Hukum sujud syukur adalah sunat, dan hanya dilakukan di luar solat. Sekiranya seseorang itu melakukan sujud syukur di dalam solat, maka batallah solatnya.

Cara sujud syukur dan syarat sujud syukur adalah sama seperti sujud sajadah di luar solat.

Di samping melaksanakan sujud syukur, disunatkan juga bersedekah dan melakukan sembahyang sunat syukur.


[kembali ke atas]

--------------------------------------------------------------------------------


Solat Qasar & Jama'
Maksud solat qasar bagi orang yang musafir ialah memendekkan atau meringkaskan solat fardhu yang empat rakaat (Zuhur, Asar dan Isya’) menjadi dua rakaat sahaja. Solat qasar itu merupakan satu kelonggaran yang dikhususkan kepada orang yang musafir sahaja. Solat Maghrib dan Subuh tidak boleh diqasarkan, dan perlu ditunaikan dengan sempurna seperti biasa.

Orang yang musafir yang memenuhi syarat-syarat sebagaimana yang diharuskan solat qasar, harus juga solat jamak. Maksud solat jamak ialah menghimpunkan atau mengumpulkan dua solat dalam satu waktu, iaitu menghimpunkan solat Zuhur dengan Asar, atau Maghrib dengan Isya’ dalam satu waktu yang sama, sama ada dalam waktu yang pertama atau yang kedua. Solat Subuh tidak boleh dijamakkan.


Syarat-syarat solat qasar:
1. Musafirnya hendaklah tidak bertujuan maksiat.
2. Perjalanannya hendaklah tidak kurang daripada dua marhalah.
3. Solat yang diqasarkan itu hendaklah solat Zohor, Asar, dan Isya’ sahaja, dan dilaksanakan secara tunai. Tidak dibolehkan qasar solat qada’ bagi solat yang ditinggalkan semasa musafir apabila telah tiba di dalam kawasan kediaman. Solat yang ditinggalkan dalam musafir boleh diqasarkan apabila diqadakan di masih dalam musafir.
4. Hendaklah diniatkan qasar di dalam masa takbiratul ihram.
5. Tidak boleh berimamkan orang yang bersolat tamam (sempurna ).
6. Hendaklah tempat yang dituju itu tertentu. Jika sekiranya tempat yang dituju itu tidak tentu, maka tidak boleh qasar.
7. Berkekalan perjalanannya sehingga sempurna solat.
8. Ia tahu bahawa orang yang musafir itu harus mengerjakan solat qasar.

Solat Jama' terbahagi kepada dua:
1. Jama' Taqdim
2. Jama' Takkhir.

Solat Jama' Taqdim:
Jama' Taqdim dilakukan solat Zohor dan solat Asar pada waktu Zohor, atau solat Maghrib dan solat Isya’ pada waktu Maghrib. Dinamakan solat ini dengan Jama' Taqdim kerana solat yang kedua yang belum masuk waktunya dibawa ke solat yang pertama.

Syarat-syarat Jama' Taqdim:
1. Hendaklah didahulukan solat yang empunya waktu dengan tertib, ertinya mendirikan dahulu solat Zuhur atau Maghrib yang dikira solat yang pertama, kemudian barulah diikuti dengan solat yang dijamakkan iaitu Asar atau Isya’ yang dikira solat kedua.
2. Hendaklah diniatkan jamak pada solat yang pertama atau yang empunya waktu itu dalam mana-mana juzud sembahyang sebelum salam tetapi yang afdal disyaratkan niat semasa takbiratulihram.
3. Hendaklah berturut-turut (mu'alat) antara dua solat itu dengan tidak diselangi dengan penceraian yang dikira panjang uruf.
4. Hendaklah berkekalan musafirnya daripada permulaan solat yang pertama hingga sempurna takbiratul-ihram solat kedua, kerana batal solat jamaknya apabila ia jadi mukim di antara dua solat itu.

Solat Jama' Takkhir:
Jama' Takkhir dilakukan solat Zohor dan solat Asar pada waktu Asar, atau solat Maghrib dan solat Isya’ dilakukan dalam waktu Isya’. Dinamakan solat ini dengan Jama' Takkhir kerana solat pertama yang telah tamat waktunya itu dibawa ke solat yang kedua.

Syarat-syarat Jama' Takkhir:
1. Hendaklah berniat Jama' Takkhir sebelum habis waktu solat yang pertama (umpamanya berniat Jama' Takkhir untuk solat Zuhur bersama solat Asar, sebelum tamat waktu Zuhur). Jika ia tidak berbuat demikian hukumnya haram mentakkhirkan solat yang pertama itu daripada waktunya dan solat itu jadi qada’ pada waktu yang kedua.
2. Hendaklah berkekalan musafirnya itu sehingga diselesaikan solat yang kedua, dan sekiranya ia telah jadi mukim sebelum selesai solat yang kedua nescaya yang pertama itu jadi solat qada’.

Huraian pengertian musafir:
Apabila seseorang itu bermusafir lebih dari dua marhalah (60 batu), maka ia harus melakukan solat qasar dan jamak sekali. Solat jamak dan qasar ini adalah suatu keringanan yang diberi oleh Allah kepada hamba-Nya dalam segenap masa bagi orang musafir, senang atau susah asalkan melebihi dua marhalah.

Permulaan musafir ini dikira setelah kita keluar kawasan, sama ada melalui sungai, parit, kota sempadan atau kawasan yang sudah tidak ada bangunan lagi. Akhir musafir ialah apabila kita memasuki kawasan permulaan musafir tadi. Solat jamak dan qasar boleh dilakukan apabila perjalanan seorang musafir tidak kurang dari 60 batu atau 100 km walaupun ada khilaf ulama dalam penentuan jarak jauhnya. Jadi, untuk berhati-hati, eloklah dikira dari 60 batu.

Apabila seseorang itu sudah sampai ke kawasan permulaan ia bertolak tadi, maka selesailah solat jamak dan qasarnya. Ia tidak boleh lagi mengerjakan solat secara jamak dan qasar. Apabila seseorang itu bermusafir dan berhenti pada satu tempat selama 4 hari atau lebih, maka putuslah safarnya. Tapi, sekiranya ia hendak berhenti di situ selama tiga hari, maka bolehlah solat jamak dan qasar. Tiga hari itu tidak termasuk hari sampai dan hari keluar. Apabila seseorang itu berhenti di suatu tempat dengan niat akan berada di situ selama tiga hari, tapi kerana urusan tidak selesai dari sehari ke sehari, maka ia diharuskan jamak dan qasar sehingga 18 hari.

Perjalanan seseorang musafir hendaklah tentu dan ia tahu ke mana arah tujuannya. Jika ia tidak tahu ke mana hendak diarahkan perjalanannya itu, maka tidak boleh jamak/qasar.

Orang yang musafir kurang dari tiga marhalah (90 batu) maka afdal solat sebagaimana biasa. Jika perjalanannya melebihi 90 batu, maka baginya lebih afdal mengerjakan solat jamak dan qasar.

Kemudahan solat jama' (jama' sahaja) juga diberikan kepada ahli karyah yang ingin mengerjakan solat berjemaah apabila hujan lebat dan kampung itu merupakan satu kawasan yang biasa lecah dan becak lalu tidak kemampuan untuk datang berjemaah, dengan syarat ada hujan pada awal kedua-dua solat, di antara kedua solat, dan pada salam solat pertama. Tidak mengapa kalau sekiranya hujan itu berhenti di pertengahan solat pertama atau di pertengahan solat kedua.


[kembali ke atas]


--------------------------------------------------------------------------------

Solat Jumaat
Solat Jumaat ialah solat dua rakaat yang dilakukan pada hari Jumaat menggantikan solat Zuhur, dan dilakukan secara berjemaah selepas mendengar khutbah. Firman Allah:


"Wahai orang-orang yang beriman! Apabila diserukan azan untuk mengerjakan solat pada hari Jumaat, maka segeralah kamu pergi [ke masjid] untuk mengingati Allah [dengan mengerjakan solat Jumaat] dan tinggalkanlah berjual beli [pada saat itu]; yang demikian adalah baik bagi kamu, jika kamu mengetahui [hakikat yang sebenarnya]," - Al Jumu'ah: 9
Sabda Rasulullah SAW: "Solat Jumaat itu hak wajib dikerjakan oleh tiap-tiap orang Islam dengan berjemaah, kecuali empat jenis manusia: hamba sahaya yang dimiliki, perempuan, anak-anak, dan orang yang sakit." - Riwayat Abu Dawud & Hakim
Solat Jumaat itu hukumnya Fardhu Ain, iaitu wajib dikerjakan atas setiap mukallaf dengan syarat-syarat tertentu.

Syarat wajib solat Jumaat:
1. Islam - tidak wajib bagi orang kafir.
2. Baligh - tidak wajib bagi kanak-kanak yang belum baligh.
3. Berakal - tidak wajib bagi orang yang gila.
4. Merdeka - tidak wajib ke atas hamba abdi.
5. Lelaki - tidak diwajibkan untuk orang perempuan.
6. Sihat - tidak wajib bagi orang yang uzur dan berhalangan.
7. Bermastautin atau bermukim - tidak wajib bagi orang yang musafir.

Syarat sah solat Jumaat:
1. Didirikan didalam waktu Zuhur.
2. Tempat mendirikan solat Jumaat itu hendaklah di suatu tempat yang telah di tetapkan seperti masjid, dewan, padang dan sebagainya.
3. Mestilah berjemaah dengan sekurang-kurangnya 40 orang yang tinggal tetap di kawasan itu.
4. Didahului dengan dua khutbah.

Rukun-rukun khutbah Jumaat:
1. Khutbah dimulai dengan memberi pujian pada Allah SWT seperti ucapan: "Allahamdulillah".
2. Diikuti dengan salawat ke atas Nabi Muhammad SAW: "Allahuma salli ala Saidina Muhammad waala ali Saidina Muhammad."
3. Khutbah hendaklah mengandungi pesanan kepada para jamaah agar bertaqwa kepada Allah SWT seperti: "bertaqwalah kamu kepada Allah."
4. Membaca satu ayat Quran pada khutbah yang pertama atau kedua, tapi paling elok pada khutbah yang pertama.
5. Mendoakan setiap Muslim pada khutbah yang kedua sekurang-kurangnya: "Rahima-kumullah."

Syarat sah Khutbah Jumaat:
1. Pembaca khutbah hendaklah seorang lelaki, tidak sah jika orang perempuan.
2. Pembaca khutbah hendaklah menutup aurat.
3. Suci daripada hadas dan najis pada pakaian, badan dan tempat.
4. Berdiri pada kedua-dua khutbah itu pada yang mampu.
5. Membaca khutbah setelah masuk waktu Zuhur dan dilakukan sebelum solat Jumaat.
6. Membaca rukun-rukun khutbah di dalam bahasa Arab, tidak boleh di baca dalam bahasa ibunda seperti membaca salawat Nabi dalam bahasa Melayu.
7. Mualat antara khutbah yang pertama dengan khutbah yang kedua, antara segala rukunnya dan antara khutbah dengan solat.
8. Duduk sebentar setelah selesai khutbah pertama sebelum memulakan khutbah kedua. Jikalau pembaca berkhutbah dalam keadaan duduk, maka pisahkan di antara dua khutbah itu dengan diam sebentar.
9. Khutbah didengar oleh 40 orang yang bermukim sekalipun tidak memahami bahasa yang digunakan untuk menyampaikan khutbah.
10. Mencukupi bilangan 40 orang dari mula khutbah hingga akhir solat.

Seorang Muslim yang mengalami salah satu perkara di bawah ini adalah dikecualikan dari menunaikan solat Jumaat, mereka hanya perlu bersolat Zuhur seperti biasa:
1. Sakit - Iaitu sakit yang menyukarkan untuk ke masjid atau bimbang akan memudaratan penyakitnya.
2. Hujan - Jika hujan itu membawa kesukaran untuk pergi ke masjid.
3. Musafir - Iaitu orang yang keluar sebelum subuh untuk bermusafir.
4. Takut dizalimi - Orang yang bersembunyi kerana takut di zalimi.

Perkara-perkara sunat yang dilakukan pada hari Jumaat:
1. Mandi sunat hari Jumaat, terutama ketika hendak berangkat ke Masjid.
2. Memotong kuku.
3. Memotong, mencabut atau mengunting bulu [ketiak, hidung, misai].
4. Bersugi.
5. Memakai wangi-wangian.
6. Berhias diri dengan memakai pakaian yang bersih dan cantik.
7. Bersegera pergi ke masjid.
8. Berniat iktikaf.
9. Solat Tahiyatul Masjid sebaik sahaja masuk ke dalam masjid.
10. Memperbanyakkan berzikir, membaca Al Quran dan bersalawat atas Nabi.



[kembali ke atas]

--------------------------------------------------------------------------------


Solat Sunat
Perlaksanaan solat-solat sunat amat digalakkan selain dari solat-solat fardhu.
nota: solat sunat, umpamanya solat sunat hajat, ada pelbagai cara. Oleh itu pembaca digalakkan merujuk kepada ahli agama tempatan tentang perbezaan cara dan yang mana lebih digemari pembaca.


Terdapat 16 jenis solat sunat:
1. Sunat Rawatib - solat sunat mengiringi solat fardhu. Solat sunat rawatib ada dua jenis: Sunat "Qabliyah" iaitu solat rawatib yang dikerjakan sebelum solat wajib, dan waktu-waktunya ialah: 2 rakaat sebelum solat Subuh, 2 rakaat sebelum solat Zuhur, 2 atau 4 rakaat sebelum solat Asar, dan 2 rakaat sebelum solat Isya'; dan Sunat "Ba’diyyah" iaitu solat rawatib yang dikerjakan setelah solat fardhu, dan waktu-waktunya ialah: 2 atau 4 rakaat sesudah solat Zuhur, 2 rakaat sesudah solat Maghrib dan 2 rakaat sesudah solat Isya'.
2. Sunat Dhuha - solat ketika matahari baru naik pada waktu pagi sekadar satu galah tingginya, sekurang-kurangnya 2 rakaat dan sebanyak-banyaknya 12 rakaat (enam salam).
3. Sunat Witir - solat selepas solat Isyak, kebiasaannya dirangkaikan dengan solat sunat tarawih. Bilangan rakaatnya ialah 1, 3, 5, 7, 9 atau 11 rakaat.
4. Sunat Tahajjud - solat pada lewat tengah malam selepas bangun dari tidur.
5. Sunat Tasbih - solat yang terdapat sebanyak 300 tasbih, dianjurkan supaya dikerjakan sekurang-kurang sekali seumur hidup. Solat tasbih ada empat rakaat, dengan ketentuan jika dikerjakan pada siang hari cukup dengan satu salam, dan jika dikerjakan pada malam hari dengan dua salam. Cara mengerjakan solat tasbih ialah dengan membaca tasbih 15 kali sesudah membaca surat Al-Fatihah, 10 kali tasbih ketika rukuk, 10 tasbih ketika iktidal, 10 tasbih ketika sujud pertama, 10 tasbih ketika duduk antara dua sujud, dan 10 tasbih ketika sujud kedua. Ulangi 75 tasbih ini untuk empat rakaat.
6. Sunat Hajat - solat untuk memohon hajat atau ketika berada dalam kesulitan.
7. Sunat Tahiyyatul Masjid - solat ketika memasuki masjid.
8. Sunat Taubat - solat untuk memohon keampunan setelah menginsafi perbuatan mungkar.
9. Sunat Musafir - solat sebelum keluar untuk bermusafir.
10. Sunat Hari Raya - solat pada hari raya Aidilfitri dan AidilAdha, dan mengandungi takbir tujuh kali pada rakaat pertama, dan takbir lima kali pada rakat kedua.
11. Sunat Tarawih - solat selepas solat Isyak pada bulan Ramadan.
12. Sunat Istikharah - solat untuk meminta petunjuk yang baik, apabila kita menghadapi dua pilihan, atau ragu dalam mengambil keputusan. Sebaiknya dikerjakan pada 2/3 malam terakhir.
13. Sunat Mutlaq - solat sunat tanpa sebab dan tidak ditentukan waktunya, juga tidak dibatasi jumlah rakaatnya.
14. Sunat Wuduk - solat selepas mengerjakan wuduk.
15. Sunat Khusuf (Gerhana) - solat sunat sewaktu terjadi gerhana bulan atau matahari.
16. Sunat Istisqa' (Minta Hujan) - solat sunat yang dikerjakan untuk memohon hujan. Tiga hari sebelum solat istisqa' segenap penduduk diwajarkan berpuasa dan meninggalkan segala kezaliman serta dianjurkan beramal soleh. Pada hari keempat semua penduduk termasuk yang lemah akan pergi ke tempat yang lapang dengan berpakaian sederhana dan tanpa wangi-wangian untuk solat istisqa’. Solat ini juga diiringi dengan dua khutbah selepas solat. Pada khutbah pertama hendaklah membaca istighfar 9 kali dan pada khutbah kedua 7 kali.



[kembali ke atas]


--------------------------------------------------------------------------------

Solat Khauf
Solat khauf (atau solat ketakutan) ialah solat yang ditunaikan dalam keadaan suasana peperangan dengan pihak musuh. Solat khauf adalah kemudahan yang tidak terdapat dan tidak boleh dilaksanakan di dalam sembahyang–sembahyang yang lain.

Ulamak–ulamak fiqah juga telah bersepakat tentang adanya ketetapan syarak mengenai solat khauf ini, "bahkan yang dimaksudkan dengan khauf oleh mereka bukan semata –mata takut kepada serangan musuh malah termasuk juga khauf (takut)dari ancaman kebakaran dan juga binatang–binatang buas dan lain–lain lagi daripada ancaman yang boleh menyebabkan kemusnahan dan kehancuran."

Cara–cara menunaikan solat khauf dapat simpulkan kepada dua keadaan:

Sebelum tercetus peperangan (situasi berjaga-jaga)

Terdapat dua cara yang telah dilaksanakan oleh Rasulullah s.w.t mengikut keadaan kedudukan arah musuh:

1) Musuh berada di arah qiblat

Syarat solat khauf dalam keadaan sebegini ialah:

a) Bilangan tentara Islam itu lebih banyak
b) Tidak dikhuatiri tentera musuh mampu membuat serangan hendap ketika sembahyang berlangsung
c) Bilangan tentera islam itu dapat dipecahkan kepada beberapa bahagian (iaitu lebih daripada 6 orang)


Cara solat khauf dalam situasi sebegini adalah seperti berikut:

Imam perlu membahagikan batalion tentera kepada dua kumpulan, dan setiap kumpulan sekurang-kurangnya tiga orang. Seterusnya dua kumpulan akan membuat saf di belakang imam; setiap kumpulan boleh terdiri daripada beberapa saf, mengikut jumlah yang munasabah di mata imam. Imam akan bersembahyang bersama dengan kedua-dua kumpulan sehingga kepada rukuk di rakaat yang pertama, kemudian hanya kumpulan pertama sahaja yang akan turut rukuk bersama imam, manakala kumpulan yang kedua pula terus berdiri(dalam keadaan iktidal) untuk menjaga pertahanan, kalau-kalau ada gerakan baru atau serangan dari pihak musuh.

Setelah imam dan bahagian pertama bangkit untuk rakaat yang kedua, bahagian kedua pula akan turun menyempurnakan rakaat pertama secara bersendirian hinggalah mereka mendapatkan imam semula pada rakaat yang kedua. Pada rakaat ini, imam akan rukuk diikuti dengan kumpulan yang kedua sahaja akan turut bersama–sama dengan imam, manakala kumpulan yang pertama tadi akan tetap berdiri (iktidal) sehinggalah imam dan kumpulan yang kedua sampai ke tahiyyat akhir, barulah mereka akan menyempurnakan rakaat yang kedua secara bersendirian dan mendapatkan imam di tahiyyat akhir (yang mana imam hendaklah menunggu kumpulan pertama dengan memanjang doa)kemudian imam akan memberi salam bersama-sama dengan kedua-dua kumpulan tersebut.

2) Musuh tidak di arah qiblat

Cara solat khauf dalam situasi ini pula adalah seperti berikut:

Imam akan membahagikan tentera kepada dua kumpulan; kumpulan yang pertama akan bersembahyang bersamanya manakala kumpulan yang kedua akan kekal mengawasi keadaan. Imam pada permulaannya akan solat bersama kumpulan yang pertama untuk rakaat yang pertama sekiranya sembahyang dua rakaat atau sembahyang qasar, dan dua rakaat pertama sekiranya sembahyang genap (empat rakaat). Sesudah itu imam akan bangkit untuk rakaat seterusnya dan berdiri bagi menunggu kedatangan kumpulan yang kedua. Adapun kumpulan pertama akan niat berpisah dengan imam (niat mufaraqah) dan menamatkan sembahyang masing-masing secara bersendirian, kemudian bergerak manggantikan tempat kumpulan kedua yang tadinya mengawasi keadaan. Manakala kempulan yang kedua pula akan memulakan sembahyang bersama imam (yang mana imam sedang berada di rakaatnya) hinggalah sampai ke tahiyyat akhir (bagi imam), dan di sini imam akan memanjangkan doa dalam tahiyyat akhir bagi menunggu kumpulan kedua menyempurnakan baki rakaat mereka masing-masing sehinggalah mereka juga sampai di tahiyyat akhir dan imam akan memberi salam bersama-sama dengan mereka. Kumpulan pertama akan mendapat kelebihan (fadhilat) takbirratul-ihram bersama-sama dangan imam, manakala kumpulan kedua pula mendapat kelebihan memberi salam bersama-sama imam.

Ketika peperangan sedang meletus

Sekiranya peperangan tercetus dengan dahsyatnya, dan waktu sembahyang hampir ke penghujungnya sedangkan pihak musuh pula tidak menunjukkan tanda-tanda untuk menghentikan serangan dan keadaan juga seolah-olah tidak memberikan peluang untuk bersembahyang khauf secara berjamaah dengan imam; maka di waktu ini kita disuruh untuk bersembahyang dengan isyarat hati sahaja tanpa melibatkan rukun-rukun fi'li (perbuatan). Dalam pada ketika ini kita dibenarkan untuk melakukan gerakan-gerakan yang berkaitan dengan peperangan seperti memancung, menikam, menembak, dan sebagainya dan dimaafkan untuk tidak mengadap qiblat.

Perkara-perkara yang membatalkan Solat Khauf:

1) Terbatal wudu’ ketika dalam sembahyang
2) Menjerit dan melaung (sekiranya tidak diperlukan)
3) Gerakan-gerakan yang banyak yang tiada kaitan dengan peperangan
4) Darah yang banyak (kecuali terpaksa atau darurat, di sisi mazhab Syafie; darah yang banyak tidak menjejaskan sembahyang di sisi mazhab Maliki)


[kembali ke atas]


--------------------------------------------------------------------------------

Nota:
1) pengunjung amat disyorkan merujuk kepada ustaz/ustazah tempatan sekiranya mempunyai kemusykilan dalam perihal bab solat ini. namun, sekiranya ingin bertanya penulis, hantarkan email kepada
emzadii@hotmail.com (dan bukan di guestbook!)
2) terima kasih kepada semua pengunjung atas teguran huraian/ejaan. Juga terima kasih kepada semua yang menyuarakan sokongan dan perangsang dalam penulisan bab solat ini.
3) perhargaan kepada saudara Mohd Adib Hj Omar atas tambahan doa tahiyyat awal dan akhir.

Rujukan :
http://www.geocities.com/CapitolHill/6163/solat.html

WARIS

Dari Abdullah bin 'Amr r.a., Rasulullah s.a.w.bersabda, "Sampaikanlah pesanku biarpun satu ayat..!

Sila layari:
http://enwaris.blogspot.com/

Ahli Kehormat
Ahli Kehormat

Posts: 9319

Joined: Wed Dec 28, 2005 4:03 pm